Posts

Showing posts from 2009

Molluscum contagiosum pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV

Abstrak Molluscum contagiosum (MC) merupakan sebuah lesi kutaneous yang disebabkan oleh virus DNA dari famili poxvirus. Dengan prevalensi yang tinggi di seluruh dunia, MC paling sering ditemukan sebagai penyakit anak yang mudah diobati dan jarang menyebabkan kecacatan/morbiditas yang serius. Dengan ditemukannya populasi baru individu yang terganggu sistem kekebalannya (imunodefisiensi), khususnya yang terinfeksi HIV, MC telah muncul sebagai sebuah tantangan klinis dan menjadi fokus bagi para tenaga profesional kedokteran gigi. Kata kunci: Molluscum contagiosum, virus HIV, papula, badan inklusi Henderson-Peterson.

Bagaimana hewan menggunakan lingkungannya: Sebuah tinjauan baru terhadap mekanisme kinesis

Abstrak Tujuan makalah ini adalah untuk menunjukkan bagaimana hewan bisa berorientasi terhadap sebuah stimulasi atau mengeksploitasi lingkungan-lingkungan yang baru dengan menggunakan mekanisme-mekanisme kinetika sederhana. Berdasarkan tinjauan baru terhadap klinokinesis dan ortokinesis, sifat-sifat dari kedua mekanisme ini ditentukan dan kontribusinya masing-masing terhadap fenomena pengumpulan hewan pada area yang paling cocok dalam lingkungan juga ditentukan. Apabila regulasi perpindahan merupakan sebuah fungsi variasi intensitas stimulus, klinokinesis bisa dipandang sebagai sebuah mekanisme orientasi spasial dasar, sedangkan ortokinesis kelihatannya tidak memiliki aplikasi biologis. Berbeda dengan itu, jika regulasi perpindahan merupakan fungsi nilai intensitas stimulus, maka klinokinesis dan ortokinesis keduanya bisa dipandang sebagai mekanisme penggunaan ruang dasar. Beberapa contoh aplikasi model juga diberikan dalam makalah ini. Lebih khusus, dianjurkan bagaimana model klinok

Pengaruh Konsentrasi CO2 Terhadap Komposisi Asam Lemak Mikroalga Selama Pertumbuhan

Abstrak Derajat ketidakjenuhan asam-asam lemak lebih tinggi pada sel-sel Chlorella vulgaris 11h yang ditumbuhkan dengan udara (sel rendah CO2) dibanding pada sel-sel yang ditumbuhkan dengan udara yang diperkaya dengan 2% CO2 (sel tinggi O2). Perubahan rasio asam linoleat terhadap asam α-linoleat khususnya sangat signifikan. Perubahan rasio ini diamati pada empat lipid utama yaitu monogalaktosyldiasilgliserol, digalaktosildiasilgliserol,  fosfatidilcholin, dan fosfatidilethanolamin. Kandungan relatif jenis-jenis lipid secara esensial sama pada sel tinggi CO2 dan sel rendah CO2. Setelah sel-sel yang tinggi CO2 ditransfer ke kondisi rendah CO2, total jumlah asam lemak tetap konstan tetapi kandungan relatif asam α-linoleat meningkat selama fase keterlambatan 6-jam dalam pertumbuhan dengan penurunan asam oleat dan linoleat yang bersamaan. Apabila sel-sel rendah CO2 ditransfer ke kondisi yang tinggi CO2, total jumlah asam lemak dan kandungan relatif asam oleat meningkat signifikan. Jumlah

Condyloma Acuminata Giant Perianal (Tumor Buschke Lowenstein) – Laporan Kasus Pertama dari Lembah Kashmir

Abstrak Tumor Buschke Lowenstein atau condyloma acuminata giant merupakan entitas penyakit yang langkan dengan hanya kurang dari 50 kasus yang dilaporkan dalam literatur sejauh ini. Belum ada kasus seperti ini yang telah dilaporkan dari lembah Kashmir. Penyakit ini dianggap sebagai lesi-lesi intermediet/peralihan antara condyloma acuminata sederhana dan karsinoma sel skuamous invasif. Seorang pria heteroseksual berumur 57 tahun datang dengan keluhan condyloma perianal giant. Lesi ini dieksisi secara bedah dengan sempurna. Pasca-operasi pasien diberikan salep 5-FU topikal. Pasien tidak mengalami rekurensi 6 bulan setelah bedah. Condyloma acuminata giant merupakan sebuah tumor agresif dengan kecenderungan mengalami rekurensi dan perubahan menjadi tumor ganas. Eksisi bedah merupakan perawatan yang dipilih. Kasus langka yang disajikan disini akan dibahas dengan telaah literatur. Kata kunci: Condyoma acuminata, Buschke Lowenstein, Perianal

Pokalsitonin, Protein Pengikat Lipopolisakarida, Interleukin-6 dan Protein C-reaktif pada Infeksi-Infesi dan Sepsis yang Terkait Lingkungan: Sebuah Kajian Prospektif

Abstrak Pendahuluan: Para dokter sekarang ini memerlukan penanda-penanda diagnostik dalam mendiagnosa infeksi dan sepsis. Kami mengkaji kemampuan prokalsitonin, protein pengikat lipopolisakarida, IL-6 dan protein C-reaktif untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang mengalami infeksi dan sepsis. Metode: Sampel serum dan plasma didapatkan dari pasien yang suspek infeksi dan sepsis terkait lingkungan. Prokalsitonin diukur dengan uji teknologi emisi cryptat teramplifikasi time-resolved. Protein pengikat lipopolisakarida dan IL-6 diukur dengan uji imunometri kemiluminesen. Hasil: Dari 194 pasien yang dimasukkan, 106 mengalami infeksi tanpa sindrom respons inflamasi sistemik atau mengalami sepsis. Pasien-pasien yang terinfeksi memiliki kadar prokalsitonin, protein pengikat lipopolisakarida, protein C-reaktif dan IL-6 yang meningkat dibanding dengan pasien yang tidak terinfeksi (P < 0,001). Dalam sebuah analisis kurva karakteristik, protein C-reaktif dan IL-6 menunjukkan kinerja palin

Eritroderma: sebuah studi klinis terhadap 97 kasus

Abstrak Latar belakang: Eritroderma merupakan sebuah kondisi kulit yang langka. Penyakit ini bisa disebabkan oleh berbagai dermatosa, infeksi, penyakit sistemik dan obat-obatan. Metode: Kami mereview material biopsi dan material laboratorium dari 97 pasien yang didiagnosa dengan eritroderma, yang dirawat di rumah sakit kami selama periode lebih dari 6 tahun (1996 sampai 2002). Hasil: Rasio antara pria/wanita adalah 1,85:1. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 46,2 tahun. Faktor penyebab yang paling umum adalah dermatosa (59,7%), diikuti dengan reaksi obat (21,6%), keganasan (11,3%) dan penyebab idiopatik (7,2%). Karbamazepin merupakan obat yang paling umum (57,1%). Korelasi klinikopatologi yang paling baik ditemukan pada limfoma sel T kutaneous dan eritroderma yang terkait pityriasis rubra pilaris. Selain skaling dan eritema yang terdapat pada semua pasien, pruritus merupakan temuan yang paling umum (97,5%) diikuti demam (33,6%), limfadenopati (21,3%), edema (14,4%) dan hiperkera

KERATOSIS SEBORHEIK

Sifat-Sifat Penting Makula, papula, plak atau lesi polipoid yang sangat umum, biasanya mengenai orang yang berusia diatas 30 tahun; jumlahnya terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sering tampak seperti kutil (verrucous) atau melekat pada kulit. Cenderung terjadi pada wajah, leher dan trunkus Bisa terjadi dimana saja kecuali membran mukosa, telapak tangan, atau telapak kaki Banyak variannya dan bisa berbeda-beda warnanya mulai dari putih sampai hitam. Sangat jarang tanda Leser-Trelat, sebuah proliferasi atau peningkatan ukuran dan jumlah keratosis seborheik multiple, bisa menjadi penanda tumor ganas internal. Pendahuluan Keratosis seborheik merupakan lesi jinak yang sangat umum pada kulit, yang banyak ditemukan pada orang-orang yang lebih tua. Terkadang letaknya terpencil, lesi-lesi ini tampak sebagai banyak papula atau plak coklat (Gbr. 110.1). Lesi-lesi ini sering mengganggu penampilan pasien, dan bisa menjadi gatal atau teriritasi. Keratosis seborheik juga bisa

Penentuan Faktor-Faktor Risiko untuk Infeksi dan Infeksi-Ulang Gonorrhea dan Chlamydia Dikalangan Remaja Sekolah Tinggi Negeri

Abstrak Latar belakang: Sebagai respons terhadap tingginya tingkat infeksi Chlamydia trachomatis (CT) dan Neisseria gonorrhea dikalangan remaja, Philadelphia melakukan program screening di semua sekolah tinggi negeri pada tahun 2003. Metode: Data dari 14.862 siswa yang diuji lebih dari satu kali dalam program PHSSSP (Program Screening Penyakit Menular Seksual untuk Sekolah Tinggi Philadelphia) selama tahun ajaran 2002 sampai 2006 dianalisis untuk mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan infeksi CT dan GC. Model Proportional Hazards Cox multivariabel dan model regresi logistik dibuat untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik yang terkait dengan jumlah penyakit menular seksual yang diukur. Analisis sekunder menilai tingkat infeksi-ulang jangka pendek dikalangan partisipan yang diuji-ulang dalam tahun ajaran yang sama. Hasil: Dalam analisis primer, selama beberapa tahun, tingkat infeksi CT/GC pada perempuan  lebih dari dua kali lipat dibanding pada pria (6,0 berbanding

Peranan Oklusi dalam Etiologi dan Pengobatan Penyakit Periodontal

Diawal abad ini, trauma dari oklusi (juga disebut trauma oklusal, traumatisme)  dikenali sebagai sebuah perubahan patologi yang terjadi dalam periodonsium, tetapi dianggap sebagai sebuah kondisi terpisah dari periodontitis, bentuk umum penyakit periodontal yang destruktif kronis. Telah disepakati bahwa periodontitis murni sebagai penyakit inflamasi, dimana poket-poket periodontal dan kerusakan jaringan dihasilkan oleh inflamasi saja. Apabila trauma-dari-oklusai juga terjadi, ini dianggap tidak terkait dengan kerusakan, dan kehilangan gigi dikaitkan dengan inflamasi. Pemisahan periodontitis dan trauma-dari-oklusi sangat mempengaruhi perkembangan praktik periodontal. Ini mengarah pada banyaknya dokter yang meminimalisir signifikansi trauma akibat oklusi pada penyakit periodontal dan mempertanyakan manfaat pengobatan dengan koreksi oklusal.

Primer-primer PCR yang dapat mendeteksi DNA Mycobacterium leprae dalam kadar rendah

Abstrak Ada beberapa metode berbasis PCR-spesifik untuk mendeteksi DNA Mycobacterium leprae, tetapi amplikon DNA cukup besar. Sebagai contoh, primer-primer yang menargetkan gen antigen 36-kDa dan digunakan secara umum untuk tujuan diagnostik menghasilkan produk 530-bp. Ini bisa menjadi kekurangan ketika menguji sampel-sampel dimana DNA kemungkinan rusak dan terfragmentasi. Dengan demikian, dua kelompok primer nested spesifik M. leprae dirancang, berdasarkan pasangan-pasangan primer yang ada, yang telah terbukti spesifik untuk M. leprae. Primer-primer yang menargetkan gen antigen 18-kDa memberikan produk luar 136 bp dan produk dalam 110 bp. Primer-primer yang didasarkan pada sekuensi berulang TLEP menghasilkan produk luar 129-bp dan produk nested 99-bp. Dengan pengenceran siapan sel-utuh dari M. leprae sebagai sumber DNA, PCR tahapan tunggal dan PCR nested dilakukan setelah pengoptimalan kondisi-kondisi eksperimental. Jika dibandingkan dengan primer-primer gen antigen 36-kDa, primer l

Urutan gen 18-kDa Mycobacterium leprae pada bagian hulu (upstream) menimbulkan aktivitas penghambatan transkripsi dengan cara yang tidak tergantung pada orientasi

Abstrak Untuk memahami peranan area hulu dari gen 18-kDa Mycobacterium leprae dalam regulasi gen, area ini dibagi menjadi dua pada posisi -50 mulai dari kodon pertama gen dan efeknya terhadap transkripsi diperiksa dengan menggunakan uji gen reporter transkripsonal LacZ. Keberadaan masing-masing dari dua area ini menimbulkan penghambatan transkripsi tidak hanya terhadap promoter gen 18-kDa M. leprae, tetapi juga terhadap promoter heterolog seperti promoter gen BCG hsp65 Mycobacterium. Lebih daripada itu, ditemukan bahwa area-area ini bisa menimbulkan aktivitas penghambatan transkripsi pada kedua kasus dengan cara yang tidak tergantung orientasi. Sehingga, hasil-hasil ini menandakan bahwa area hulu dari gen 18-kDa M. leprae membawa unsur responsif penghambatan transkripsi yang bertindak sebagai sebuah operator dan bisa dibagi lebih lanjut menjadi dua area fungsional secara terpisah, sehingga menunjukkan struktur elemen yang terdiri dari dua bagian. Pengidentifikasian aktivitas penghamb

Imunologi kusta

Mycobacterium leprae kemungkinan memasuki tubuh melalui hidung dan kemudian menyebar ke kulit dan saraf melalui sirkulasi. Respons imunologi yang ditimbukan oleh host menentukan fenotip klinis yang terjadi (tipe penyakit kusta). Orang yang mengalami kusta menunjukkan berbagai tipe klinis. Secara eksperimental, bentuk-betuk ringan dari penyakit ini dikatakan sesuai dengan paradigma imunologi. Penyakit tuberkuloid merupakan hasil dari imunitas berperantara-sel tinggi dengan sebagian besar respons imun tipe Th1. Akan tetapi kusta lepromatous ditandai dengan imunitas berperantara-sel rendah dengan respons Th2 humoral.

Gen protein kejut panas (HSP) 18-kDa Mycobacterium leprae termasuk gen polimorfis

Abstrak Kusta masih menjadi masalah kesehatan utama di India. Mycobacterium leprae, organisme yang menyebabkan penyakit ini, kelihatannya tidak bervariasi secara genetik. Upaya-upaya untuk mengidentifikasi variasi turunan pada isolat-isolat M. Leprae hanya sedikit yang berhasil. Protein kejut panas (HSP) 18-kDa M. Leprae merupakan antigen sel-T utama, dan protein ini termasuk kedalam famii protein kejut panas kecil. Dalam penelitian kali ini, kami telah menganalisis profil ekspresi mRNA dari gen 18-kDa pada lesi-lesi berbagai tipe kusta dengan teknik RT-PCR dan juga mengurutkan amplikon-amplikon PCR yang dibuat dari 25 kasus kusta independen. Polimorfisme nukleotida tunggal dideteksi pada posisi bp ke-154 dalam gen antigen yang disekresikan ini. Dalam gen ini, kodon 52 terdapat sebagai TCA pada sekitar 60% sampel dan sebagai CCA pada sisa sampel lainya. Gen HSP 18-kDa M. Leprae memiliki TCA pada posisi ke-52. Diantara kasus yang diteliti, kami tidak dapat mendeteksi populasi bakteri

Reaksi Tipe 1 Kusta (Reaksi Pembalikan) dan Penatalaksanannya

Abstrak Tipe kusta yang mengenai seseorang tergantung pada respons imun yang ditimbulkan terhadap organisme penyebab. Ini mengarah pada sebuah spektrum penyakit yang bisa diperparah oleh fenomena imunologi yang disebut reaksi. Kemoterapi antimikroba efektif dalam mengobati infeksi Mycobacterium leprae tetapi terdapat sampai 30% individu dengan penyakit kusta standar (borderline) yang mengalami reaksi Tipe 1 (T1R). T1R merupakan episode-episode berperantara imunologi, terlokalisasi pada kulit dan saraf, yang merupakan penyebab utama gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf bisa menyebabkan kecacatan dan deformitas. Kami menelaah frekuensi dan karakteristik reaksi-reaksi Tipe 1. Data dari beberapa penelitian acak dibahas. Keempat penelitian ini semuanya di lakukan di Asia seatan. Pengobatan T1R yang diterima adalah pengobatan dengan kortikosteroid tetapi belum ada kesepakatan tentang dosis atau durasi pengobatan akibat kurangnya data yang tersedia. Salah penelitian menunjukkan bahw

LAPORAN KASUS: Nevus biru bawaan subungual dan periungual

Abstrak Lesi-lesi berpigmen subungual harus menimbulkan kecurigaan tentang melanoma ganas. Nevus biru pada kuku merupakan kondisi yang langka, dengan hanya sepuluh kasus yang sudah dilaporkan dalam literatur. Disini kami melaporkan seorang wanita Hispanis berumur 21 tahun dengan plak berpigmen subungual dan periungual berukuran 1,7 x 2,3 cm yang terus bertambah luas secara perlahan-lahan. Plak ini sudah ada sejak lahir pada jari ke-dua kaki kanannya. Biopsi awal konsisten dengan nevus biru tipe seluler dan dengan perubahan klinis serta perluasan ke periungual, eksisi lengkap direkomendasikan. Seluruh unit kuku direseksi sampai ke periosteum dengan terlebih dahulu dilakukan avulsi pada plat kuku. Rekonstruksi dilakukan dengan graf kulit seluruh lapisan. Follow-up pada satu tahun menunjukkan graf dan tempat donor yang sembuh dengan baik dengan pengembalian fungsi yang sempurna. Kami menyajikan sebuah kasus nevus biru subungual dan periungual bawaan tipe seluler dan telaah pustaka tenta

Screening Bayi yang Sehat untuk Identifikasi Defisiensi Zat Besi Dengan Menggunakan Kandungan Hemoglobin Retikulosit

Abstrak Konteks: Praktik klinis yang ada sekarang bergantung pada hemoglobin untuk mendeteksi defisiensi zat besi, yang tidak mengidentifikasi bayi-bayi yang belum mengalami anemia sehingga mereka berisiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan neurokognitif. Kandungan hemoglobin retikulosit (CHr) belum pernah dibandingkan dengan hemoglobin untuk screening bayi-bayi yang sehat. Tujuan: Untuk mengevaluasi CHr dalam mengidentifikasi defisiensi zat besi tanpa anemia pada bayi sehat yang berumur 9 sampai 12 bulan dan untuk membandingkan CHr dengan hemoglobin dalam screening untuk defisiensi zat besi dalam populasi ini. Tujuan ke-dua adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara CHr dan terjadinya anemia. Desain, Setting, dan Pasien: Sebuah studi kohort observasional prospektif terhadap 202 bayi berumur 9-12 bulan dalam kondisi sehat yang berasal dari klinik perawatan primer berbasis rumah sakit perkotaan di Boston, Mass, yang discreening untuk defisiensi zat besi antara Juni 2000 dan Ap

Pengaruh Depresi Berat terhadap Penurunan Kognitif Subjektif dan Objektif pada Cedera Otak Ringan sampai Sedang Akibat Trauma

ABSTRAK Pengaruh depresi berat terhadap penurunan kognitif subjektif dan objektif 6 bulan setelah cedera otak traumatik (TBI) ringan sampai sedang dievaluasi pada 63 pasien. Pasien yang memiliki keluhan kognitif subjektif (n=63) lebih besar kemungkinannya adalah wanita, dengan skor GCS (Skala Koma Glasgow) yang lebih tinggi dan memiliki diagnosis depresi berat. Mereka juga memiliki kinerja yang jauh lebih buruk dalam hal ingatan, perhatian, dan fungsi eksekutif. Perbedaan berdasarkan ukuran-ukuran kognitif tidak ditemukan dalam analisis multivariat jika dilakukan kontrol untuk depresi. Pada TBI (cedera otak traumatik) ringan sampai sedang, penurunan kognitif subjektif terkait dengan depresi berat. Akan tetapi, mekanisme-mekanisme lain juga bisa terlibat untuk penurunan-penurunan kognitif ini.

Herpes Zoster pada Tahun Pertama Masa Hidup Setelah Keterpaparan Postnatal Terhadap Virus Varicella-zoster: Empat laporan kasus dan sebuah review herpes zoster anak

Abstrak Latar belakang: Herpes zoster, sebuah erupsi dermatomal vesikular nyeri, merupakan akibat dari reaktivasi virus varicella-zoster (VZV) dari ganglia sensoris yang terinfeksi sebelumnya. Herpes zoster lazim dianggap sebagai penyakit orang dewasa, berbeda dengan infeksi primer dengan VZV, yang cenderung terjadi utamanya pada anak-anak. Pengamatan: Kami melaporkan 4 kasus herpes zoster anak pada beberapa anak yang sehat dan stabil sistem kekebalannya, semuanya mengalami infeksi varicella primer dalam beberapa bulan pertama masa hidupnya. Sebuah review terhadap 62 kasus dari literatur menunjukkan bahwa herpes zoster yang didapatkan secara postnatal kurang umum dibanding infeksi intrauterin (31%  [n=19] berbanding 69% [n=43]) dan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 1,5:1. Semua dermatoma sama-sama bisa terkena. Kesimpulan: Walaupun tidak umum, herpes zoster bisa terjadi pada anak-anak yang stabil sistem kekebalannya  sejak usia beberapa pekan dan harus dipertimbangkan d

Perdarahan gingiva kritis setelah perawatan periodontal non-bedah pada pasien-pasien yang diobati dengan anti-platelet

Abstrak Latar belakang: Prosedur kedokteran gigi yang telah dilaporkan menyebabkan perdarahan yang membahayakan nyawa pasien sangat jarang terjadi. Semua kasus-kasus ini terjadi setelah intervensi bedah. Bahan dan metode: Dalam makalah ini, kami melaporkan sebuah kasus perdarahan parah yang terjadi setelah prosedur periodontal non-bedah pada seorang pasien yang diobati dengan resimen anti-platelet ganda setelah insersi stent koroner. Hasil: Riwayat medis pasien mencakup penyakit jantung ischemik, hipertensi dan diabetes melitus. Hemostasis dicapai pada akhir perawatan periodontal non-bedah. Akan tetapi, beberapa jam kemudian, pasien tiba di ruang rawat darurat dan didiagnosa mengalami syok hipovolemik. Kesimpulan: Kasus ini diharapkan dapat menimbulkan kesadaran para dokter terhadap komplikasi perdarahan pada prosedur-prosedur non-bedah serta risiko perdarahan apabila resimen anti-platelet ganda diberikan. Peranan pemantauan pasien dan penggunaan agen-agen hemostatik lokal ditu

Efek jangka panjang metformin terhadap parameter-parameter metabolik dalam sindrom ovarium polycystis (PCOS)

Abstrak Resistensi terhadap insulin merupakan sebuah ciri utama dari sindrom ovarium polycystis (PCOS) dan bisa meningkatkan risiko kardiovaskular. Karena resistensi terhadap insulin, sindrom metabolik lebih prevalen pada wanita yang mengalami PCOS dibanding dengan wanita yang tidak mengalami. Metformin memperbaiki profil metabolik pada PCOS dalam penelitian-penelitian jangka pendek yang telah dilakukan. Dalam penelitian kali ini, kami mengevaluasi efek jangka panjang metformin terhadap parameter-parameter metabolik pada wanita yang mengalami PCOS selama perawatan rutin tanpa diet terkontrol. Kami melakukan review grafik medis dari 70 wanita penderita PCOS yang mendapatkan metformin dari sebuah klinik endokrin akademik. Faktor-faktor risiko metabolik dibandingkan sebelum dan setelah pengobatan metformin. Trend waktu dari parameter-parameter metabolik ini juga dianalisis. Setelah follow-up rata-rata 36,1 bulan dengan pengobatan metformin, perbaikan diamati untuk BMI (-1,09 ± 3,48 kg/m

Mutasi OSMRβ (Reseptor Oncostatin M -β) Mendasari Terjadinya FPLCA (Amyloidosis Kutaneous Terlokalisasi Primer Familial)

Amyloidosis kutaneous terlokalisasi primer familial (FPLCA) merupakan sebuah gangguan dominan autosomal yang terkait dengan gatal-gatal kronis pada kulit dan deposisi materia amyloid terkait-filamen dalam dermis. FPLCA telah dipetakan pada 5p13.1-q11.2, dan dengan menggunakan analisis gen kandidat, telah berhasil diidentifikasi mutasi-mutasi missens dalam gen OSMR, yang mengkodekan OSMRβ (reseptor spesifik oncostatin M β), pada tiga keluarga. OSMRβ merupakan sebuah komponen dari reseptor tipe II oncostatin M (OSM) dan reseptor interleukin (IL)-31, dan keratinosit FPLCA yang dikulturkan menunjukkan penurunan aktivasi jalur Jak/STAT, MAPK, dan P13K/Akt setelah stimulasi  dengan OSM atau sitokin IL-31. Substitusi asam amino patogenik terletak dalam domain mirip fibronektin tipe III ekstraseluler (FNIII), daerah-daerah yang penting bagi dimerisasi dan fungsi reseptor. Pensinyalan OSM dan IL-31 telah ditemukan terlibat dalam proliferasi, diferensiasi, apoptosis, dan inflamasi sel keratinosi

Prevalensi Staphylococcus aureus resisten-methicillin (MRSA) pada isolat-isolat invasif dari negara-negara Mediterania selatan dan timur

Abstrak Tujuan: Upaya-upaya dalam mengurangi peningkatna penyebaran Staphylococcus aureus yang resisten methicillin (MRSA) memerlukan informasi efektif tentang epidemiologinya. Akan tetapi, pengetahuan tentang situasi di negara-negara Mediterania selatan dan timur  masing belum lengkap karena laporan-laporan yang ada bersifat sporadis dan sulit untuk dibandingkan. Metode: Lebih dari 36 bulan periode mulaid ari 2003 sampai 2005, proyek ARMed mengumpulkan lebih dari 5000 hasil uji kepekaan isolat-isolat invasif S. aureus dari kultur-kultur darah yang diolah secara rutin dalam lab yang melayani 62 rumah sakit yang terletak di Algeria, Cyprus, Mesir, Yordania, Lebanon, Malta, Moroko, Tunisia dan Turki. Hasil: Secara keseluruhan, nilai rata-rata proporsi MRSA adalah 39% (kisaran antar-kuartil: 27,1% sampai 51,1%). Proporsi MRSA tertinggi dilaporkan oleh Yordani, Mesir dan Cyprus, dimana lebih dari 50% isolat invasif resisten methicillin. Banyak variasi yang diidentifikasi dalam propor

Perbandingan linezolid dan vankomisin untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus resisten-methicillin di Jepang

Abstrak Tujuan: Untuk membandingkan efikasi dan keamanan linezolid dan vankomisin dalam pengobatan infeksi Staphylococcus aureus resisten-methicillin (MRSA) di Jepang. Metode: Pasien dengan pneumonia nosokomial infeksi kulit dan infeksi jaringan halus atau sepsis yang disebabkan oleh MRSA dikelompokkan menjadi dua kelompok dimana salah satu kelompok mendapatkan linezolid (600 mg setiap 12 jam) atau vankomisin (1 g setiap 12 jam). Hasil: Sebanyak seratus pasien mendapatkan linezolid dan 51 mendapatkan vankomisin dengan hasil yang dievaluasi pada akhir terapi (EOT) dan pada follow-up (FU) 7-14 hari selanjutnya. pada EOT, tingkat keberhasilan klinis pada populasi yang dapat dievaluasi adalah masing-masing 62,9% dan 50,0% untuk linezolid dan vankomisin; dan tingkat pemberantasan mikrobiologi masing-masing adalah 79,0% dan 30,0% pada kedua kelompok (P < 0,0001). Pada FU, tingkat keberhasilan klinis adalah 36,7% untuk kedua kelompok dan tingkat pemberantasan mikrobiologis masing-mas

Kepekaan haMRSA (staphylococcus resisten-methicillin dari rumah sakit) dan caMRSA (staphylococcus resisten-methicillin dari lingkungan) terhadap des-F(6)-kuinolon DX-619

Abstrak Tujuan: Tujuan  penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas des-F(6)-kuinolon DX-619 terbaru terhadap staphylococcus resisten-methicillin (MRS) yang diisolasi di rumah sakit dan lingkungan masyarakat dan untuk membandingkan aktivitasnya dengan kuinolon-kuinolon lain, sitafloksasin dan levofloksasin, serta antibiotik-antibiotik lain yang digunakan untuk pengobatan infeksi Staphylococcus aureus yang resisten methicillin, termasuk vankomisin, teicoplanin, arbekacin, linezolid dan kuinurpistin/dalfopristin. Metode: MIC ditentukan dengan metode dilusi agar dengan menggunakan MRS dari rumah-sakit (S. aureus yang mencakup turunan-turunan dengan kepekaan yang berkurang terhadap vankomisin, 103; staphylococcus negatif-koagulase, 87) dan MRS dari komunitas (S. aureus yang mencakup turunan-turunan yang resisten oksasilin non-multiresisten, 37; staphylococcus negatif-koagulase, 92). Daerah-daerah penentu resistensi kuinolon pada gen gyrA, gyrB, grIA dan grIB dari enam turunan yang ke

Staphylococcus aureus resisten-methicillin (MRSA) yang mengandung gen leucocidin Panton-Valentine di Jerman pada tahun 2005 dan 2006

Abstrak Tujuan: Tujuan makalah ini adalah untuk mengkorelasikan antara staphylococcus aureus resisten-methicillin (MSRA) yang positif leucocidin Panton-Valentine (PVL) dengan lineage klonal menggunakan typing molekuler  dengan perujukan khusus terhadap isolat-isolat yang menunjukkan spa tipe 008/MLST (tipe sekuensi multi-lokus) ST8 (banyak terdapat di USA sebagai MRSA terkait-komunitas (caMRSA) USA300'). Metode: MRSA yang positif-PVL (n = 117) dideteksi diantara 4815 MRSA yang dikirim ke German National Reference Laboratory untuk pemeriksaan typing. Isolat-isolat ini dianalisis dengan PFGA, spa typing, typing sekuensi multilokus, pengelompokkan unsur-unsur SCCmec dan pendeteksian arcA, msr(A), mph(B) dan unit ulangan ≥6 AT dalam sekuensi SACOL0058 dengan menggunakan PCR. Hasil: Diantara 117 isolat, 80 menunjukkan tipe spa t044 (cocok dengan MLST ST80) dan 23 menunjukkan tipe spa t008/MLST ST8. Tipe-tipe spa lainnya direpresentasikan secara sporadis. Karakterisasi lebih lanjut

Cystatin C serum sebagai sebuah penanda untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal sedang

Abstrak Protein dengan berat molekul rendah, cystatin C, yang dihasilkan oleh semua sel berinti dan dieliminasi melalui filtrasi glomerular, memiliki manfaat khusus sebagai penanda fungsi ginjal. Dengan demikian dilakukan sebuah penelitian untuk menyelidiki apakah cystatin C serum bisa digunakan sebagai sebuah penanda untuk mengidentifikasi pasien-pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal. Dilakukan sebuah penelitian berbasis rumah sakit yang bersifat deskriptif cross-sectional dan cystatin C serum diukur pada lima puluh subjek yang berusia antara 12 sampai 74 tahun dengan perkiraan bersihan kreatinin 24 jam yang dilakukan pada saat yang sama. Bersihan kreatinin standar digunakan untuk membandingkan laju filtrasi glomerular yang diprediksi dengan menggunakan cystatin C serum. Laju filtrasi glomerular (GFR) yang diprediksikan memberikan sensitifitas 82% dan spesifitas 68% dengan nilai penggal (cut-off) diagnostik adalah 1,25 mg/L cystatin C untuk pengidentifikasian pasien-pasien ya

Efek jangka panjang metformin terhadap parameter-parameter metabolik dalam sindrom ovarium polycystis (PCOS)

Abstrak Resistensi terhadap insulin merupakan sebuah ciri utama dari sindrom ovarium polycystis (PCOS) dan bisa meningkatkan risiko kardiovaskular. Karena resistensi terhadap insulin, sindrom metabolik lebih prevalen pada wanita yang mengalami PCOS dibanding dengan wanita yang tidak mengalami. Metformin memperbaiki profil metabolik pada PCOS dalam penelitian-penelitian jangka pendek yang telah dilakukan. Dalam penelitian kali ini, kami mengevaluasi efek jangka panjang metformin terhadap parameter-parameter metabolik pada wanita yang mengalami PCOS selama perawatan rutin tanpa diet terkontrol. Kami melakukan review grafik medis dari 70 wanita penderita PCOS yang mendapatkan metformin dari sebuah klinik endokrin akademik. Faktor-faktor risiko metabolik dibandingkan sebelum dan setelah pengobatan metformin. Trend waktu dari parameter-parameter metabolik ini juga dianalisis. Setelah follow-up rata-rata 36,1 bulan dengan pengobatan metformin, perbaikan diamati untuk BMI (-1,09 ± 3,48 kg/m

Sindroma Stevens-Johnson (II)

Lesi kulit Lesi kulit pada SJS merupakan makula purpura atau target atipikal datar yang menyebar luas dan terdistribusi pada trunkus, telapak tangan, dan telapak kaki (Gambar 18-5 dan 18-6). Ini berbeda dengan lesi-lesi pada eritema multiformis, yang terdiri dari target-target tipikal atau atipikal  yang menonjol atau papula-papula edematous yang menonkol yang terletak pada ekstremitas dan/atau wajah. Kumpulan lesi yang baru terlihat, tetapi penyakit sembuh sendiri dan pulih dalam waktu sekitar 1 bulan jika tidak ada komplikasi. Lesi mukosal Bula terjadi secara tiba-tiba 1 sampai 14 haru setelah gejala-gejala yang mendahului, yang muncul pada konjungtiva, membran mukosa nares, mulut (Gbr. 18-7), pertemuan anorektal, daerah vulvovaginal, dan urethral meatus. Stomatitis ulseratif yang mengarah pada pengerakan berdarah merupakan ciri yang paling khusus.

Nekrolisis Epidermal Toksik

Definisi Reaksi kutaneous dan sistemik yang parah ini bisa merupakan akhir paling parah dari spektrum eritema multiformis major (atau sindrom Stevens-Johnson). Erupsi ini, yang pernah disebut sebagai sindrom Lyell sesuai nama Alan Lyell (1956 dan 1997), telah menimbulkan kerancuan di masa lalu dengan apa yang disebut sebagai sindrom kulit melecur staphylococcal. Istilah nekrolisis epidermal toksik hanya boleh digunakan untuk penyakit terkait toksin non-Staphylocococcus. Etiologi dan Patogenesis Banyak teori ada tentang patogenesis perubahan-perubahan epidermal nekrolitik tipikal yang ditemukan pada pasien-pasien yang mengalami nekrolisis epidermal toksik (Goldstein dkk., 1987). Sebuah teori non-imunologi menyebutkan bahwa toksin-toksin yang bersirkulasi atau metabolit-metabolit obat yang terbentuk dalam kulit memperantarai nekrolisis (Snyder dan Elias, 1983; Stein dkk, 19792). Tidak ada bukti kuat untuk melibatkan mekanisme imunologi tertentu dalam nekrolisis epidermal toksik. Se

Sindrom Stevens-Johnson

Sindrom Stevens-Johnson merupakan erupsi bulosa akut yang melibatkan kulit dan membran mukosa (eritema multiformis major). Sindrom ini terdiri dari demam; berbagai lesi kutaneous, termasuk papula-papula eritematosa, lesi-lesi “target”, dan bula; dan erosi atau bula pada membran mukosa. Apabila prosesnya hanya mengenai kulit, maka disebut eritema multiformis minor atau hanya disebut eritema multiformis. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi reaksi-reaksi obat dan infeksi sering diduga. Sindrom Stevens-Johnson sering melibatkan konjungtiva. Penyakit ini bisa terjadi pada usia berapa saja tetapi paling umum pada anak-anak dan orang dewasa muda. Gejala-gejala awal menunjukkan adanya infeksi saluran pernapasan atas seperti demam dan rasa tidak enak badan (malaise) bisa mendahului beberapa hari kenampakan lesi kulit. Kemungkinan terjadi keterlibatan kulit, bibir, mukosa mulut dan membran mukosa lainnya secara luas. Keterlibatan okular menghasilkan gambaran klinis yang menyerupai pemfigoid ci

Eritema Multiformis dan Sindrom Stevens-Johnson

ERITEMA MULTIFORMIS Patogenesis Faktor-faktor pemicu dalam eritema multiformis mencakup: HSV orf Histoplasma capsulatum Virus Epstein-Barr Pada kebanyakan anak dan orang dewasa yang mengalami Eritema Multiformis (EM), penyakit dipicu oleh HSV tipe I dan II. Keberadaan herpes labialis sebelum EM terjadi ditemukan pada sekitar 50% subjek yang mengalami EM. Herpes labialis bisa mendahului onset lesi-lesi kutaneous, bisa terjadi secara simultan, atau terjadi setelah lesi-lesi target EM telah muncul. Yang paling umum, herpes labialis mendahului lesi-lesi target EM sekitar 3-14 hari sebelumnya. Diduga bahwa kebanyakan kasus pada anak dan orang dewasa muda disebabkan oleh HSV tipe I, tetapi kasus HSV tipe II pada remaja dan orang dewasa muda juga telah ada yang dilaporkan. Virus herpes simpleks (HSV) mengkodekan protein-protein yang ditemukan dalam epidermis yang terkena. Dengan diagnosis molekuler DNA HSV bisa dideteksi dalam papula-papula merah yang terbentuk pada awal atau zona

Herpes Zoster pada Tahun Pertama Masa Hidup Setelah Keterpaparan Postnatal Terhadap Virus Varicella-zoster

Abstrak Latar belakang: Herpes zoster, sebuah erupsi dermatomal vesikular nyeri, merupakan akibat dari reaktivasi virus varicella-zoster (VZV) dari ganglia sensoris yang terinfeksi sebelumnya. Herpes zoster lazim dianggap sebagai penyakit orang dewasa, berbeda dengan infeksi primer dengan VZV, yang cenderung terjadi utamanya pada anak-anak. Pengamatan: Kami melaporkan 4 kasus herpes zoster anak pada beberapa anak yang sehat dan stabil sistem kekebalannya, semuanya mengalami infeksi varicella primer dalam beberapa bulan pertama masa hidupnya. Sebuah review terhadap 62 kasus dari literatur menunjukkan bahwa herpes zoster yang didapatkan secara postnatal kurang umum dibanding infeksi intrauterin (31%  [n=19] berbanding 69% [n=43]) dan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 1,5:1. Semua dermatoma sama-sama bisa terkena. Kesimpulan: Walaupun tidak umum, herpes zoster bisa terjadi pada anak-anak yang stabil sistem kekebalannya  sejak usia beberapa pekan dan harus dipertimbangkan d