Eritema Multiformis dan Sindrom Stevens-Johnson

ERITEMA MULTIFORMIS

Patogenesis

Faktor-faktor pemicu dalam eritema multiformis mencakup:
  • HSV
  • orf
  • Histoplasma capsulatum
  • Virus Epstein-Barr

Pada kebanyakan anak dan orang dewasa yang mengalami Eritema Multiformis (EM), penyakit dipicu oleh HSV tipe I dan II. Keberadaan herpes labialis sebelum EM terjadi ditemukan pada sekitar 50% subjek yang mengalami EM. Herpes labialis bisa mendahului onset lesi-lesi kutaneous, bisa terjadi secara simultan, atau terjadi setelah lesi-lesi target EM telah muncul. Yang paling umum, herpes labialis mendahului lesi-lesi target EM sekitar 3-14 hari sebelumnya. Diduga bahwa kebanyakan kasus pada anak dan orang dewasa muda disebabkan oleh HSV tipe I, tetapi kasus HSV tipe II pada remaja dan orang dewasa muda juga telah ada yang dilaporkan.

Virus herpes simpleks (HSV) mengkodekan protein-protein yang ditemukan dalam epidermis yang terkena. Dengan diagnosis molekuler DNA HSV bisa dideteksi dalam papula-papula merah yang terbentuk pada awal atau zona terluar dari lesi target pada 80% individu yang mengalami EM. Keberadaan genom HSV utuh dalam lesi kutaneous dan ekspresi antigen-antigen yang dikodekan virus pada keratinosit bisa diiterpretasi sebagai bukti adanya HSV yang bereplikasi dalam tempat-tempat kulit yang terkena. Akan tetapi, replikasi harus terjadi pada tingkatan yang rendah, karena HSV biasanya tidak bisa dikulturkan.


Inflamasi dalam lesi-lesi kutaneous diyakini menjadi bagian dari respon host yang spesifik HSV. Individu dengan EM yang terkait HSV memiliki imunitas normal terhadap HSV, tetapi bisa memiliki kesulitan dalam membersihkan virus ini dari sel-sel yang terinfeksi. Dalam tempat-tempat lesi kutataneous, DNA HSV bisa bertahan sampai 3 bulan setelah lesi sembuh.

Sampai sekarang, belum ada faktor predisposisi genetik yang diketahui untuk EM. Beberapa penelitian skala kecil tentang hubungan antigen HLA dengan EM melaporkan hubungan-hubungan HLA yang berbeda: HLA-DQw3, Drw53 dan Aw33.

Dalam review cermat yang dilakukan terhadap ratusan faktor lain yang dilaporkan terkait dengan EM, banyak diantaranya yang kemungkinan merupakan kasus urtikaria raksasa yang salah didiagnosa sebagai EM karena laporan-laporan individual tidak memenuhi kriteria kasus untuk EM. Bahkan sejak 2000, beberapa artikel yang diterbitkan tentang “faktor-faktor pemicu EM” telah memasukkan kondisi urtikaria yang salah dilaporkan sebagai EM. Daftar faktor-faktor pemicu untuk “EM” yang disebutkan dalam laporan-laporan ini identik dengan daftar untuk urtikaria.
Patologi

Eritema multiformis merupakan sebuah diagnosis klinis bukan diagnosis histologis. Gambaran histologis yang mengeluarkan lupus eritematosus dan vasculitis dan cocok dengan EM dapat membantu para dokter. Keratinosit merupakan target untuk gangguan inflamasi pada EM dengan apoptosis keratinosit-keratinosit individual yang merupakan temuan patologis paling awal. Infiltrat perivaskular dari leukosit-leukosit mononuklear dan limfosit T dengan eksositosis kedalam epidermis juga terlihat. Spongiosis dan pembentukan likuefaksi focal pada keratinosit basal ditemukan ketika lesi-lesi berkembang (Gbr. 21.4).

Temuan-temuan imunofluoresensi tidak spesifik. Deposit-deposit IgM dan C3 di sekitar pembuluh darah superfisial dan memusat pada pertemuan dermal-epidermal telah dilaporkan. Antigen-antigen HSV spesifik telah dideteksi dalam keratinosit dengan teknik imunofluoresensi, dan DNA genomik HSV telah dideteksi dengan amplifikasi PCR terhadap spesimen-spesimen biopsi kulit.

Berbeda dengan Sindrom Stevens-Johnson atau nekrolisis epidermal toksik, selaput-selaput nekrosis epidermal yang besar tidak ditemukan pada EM. Manfaat mendasar pemeriksaan histopatologi untuk lesi-lesi EM adalah untuk mengeluarkan kondisi-kondisi seperti lupus eritematosus atau vasckulitis yang terkadang menyerupai EM.

SINDROM STEVENS-JOHSON

Epidemiologi

Kejadian pasti SJS (Sindrom Stevens-Johnson) tidak diketahui, khususnya karena ada kerancuan tentang definisi kasus dan kesamaan klinis dan histologis yang signifikan dengan keadaan cedera epitelium akut lainnya seperti nekrolisis epidermal toksik. Chan memperkirakan kejadian sebesar 0,8 kasus per  juta penduduk. Kejadian puncak untuk semua kasus adalah pada dekade ke-dua masa hidup, kebanyakan pasien adalah anak-anak. Sindrom Stevens-Johnson jauh lebih umum pada masa anak-anak dibanding EM. Puncak yang terjadi pada musim semi dan musim panas juga telah diamati untuk SJS. Rekurensi telah dilaporkan, tetapi agak tidak lazim jika dibandingkan dengan EM. Tidak ada kecenderungan jender atau ras.
Patogenesis

Walaupun ratusan faktor pemicu telah ditemukan pada SJS, namun obat-obatan memiliki hubungan utama. Penyebab infeksi, seperti infeksi terdahulu dengan Mycoplasma pneumoniae atau HSV, tidak umum terkait dengan SJS. Dari jenis obat-obatan, NSAID (obat anti-inflamasi non-steroid) paling sering terlibat, diikuti dengan sulfonamida, antikonvulsan, penicillin, tetrasiklin dan doksisiklin. Penelitian paling sering menemukan ibuprofen dan naproksen diantara NSAID, dan hydantoin dan barbiturat diantara antikonvulsan.

Obat-obatan anti-inflamasi non-steroid, sulfonamida, dan antikonvulsan dimetabolisasi oleh hati dan kulit melalui mekanisme-mekanisme yang serupa, termasuk sistem sitokrom p450, yang menghasilkan metabolit-metabolit obat aromatik, yang membentuk aren oksida yang terikat ke RNA duta dan menghambat sintesis protein sel.

Pada individu dengan SJS yang ditimbulkan obat, Sullivan dan Shear mempostulasikan bahwa perbedaan genetika dalam hal detoksifikasi obat bisa bertanggung jawab, sehingga menjadi sarana yang potensial untuk memprediksikan individu-individu yang berisiko untuk SJS. Beberapa enzim yang terlibat dalam detoksifikasi berpotensi bertanggung jawab, termasuk yang bertanggung jawab untuk asetilasi dan hidroksilasi aren.

Pada penyakit yang terkait dengan M. Pneumoniae dan penyakit terkait infeksi lainnya, patogenesisnya tetap tidak diketahui.

Ada beberapa laporan tentang pendeteksian autoantibodi-autoantibodi terhadap desmoplakin I dan II pada pasien-pasien yang mengalami SJS, dengan pengikatan terhadap plak desmosomal keratinosit-keratinosit yang dianggap sebagai tahapan penting dalam penggangguan sitoskeleton keratin dan pemisahan sel.

Gambaran klinis

Kebanyakan pasien yang mengalami SJS memiliki gejala awal berupa penyakit pernapasan atas yang khas disertai demam, batuk, rhinitis, luka tenggorokan dan sakit kepala, serta muntah-muntah, diare dan tidak enak badan. Setelah 1-14 hari, terjadi onset makula-makula merah simetris yang berkembang menjadi pembentuk lepuh sentral dan area-area nekrosis epidermal yang ekstensif (Gbr. 21.5). Mukosa oral selalu terlibat pada SJS. Bibir memiliki kerak-kerak yang berdarah dengan pengelupasan mukosa, dan stomatitis terjadi (Gbr. 21.6). Terdapat konjungtivitis bernanah disertai fotofobia dan pembentukan pseudomembran dengan kelopak-mata yang tampak melekat (Gbr. 21.7).

Keterlibatan kulit bisa terbatas pada beberapa lesi target atau ekstensif. Beberapa pasien mengalami makula merah atau kehitaman yang menyebar luas, yang dengan cepat meluas dan bisa menjadi bergabung (Gbr. 21.9); kulitnya lunak. Area-area yang terlibat bisa melepuh atau menunjukkan deskuamasi sentral. Seringkali pasien tidak mampu makan atau minum dan kelihatan dehidrasi saat presentasi.

Limfadenopati menyeluruh biasanya ditemukan, dan pembesaran hati dan limpa bisa ditemukan. Keterlibatan genital disertai nyeri, kemerahan dan erosi (Gbr. 21.10) beserta perdarahan bisa terjadi. Pada wanita, nyeri vaginal parah bisa ditemukan. Erosi anal bisa ditemukan, dan terkadang esofagus, epitelium respirasi dan mukosa hidung terlibat. Pneumonia bisa terjadi, seperti juga pengelupasan epitelium respirasi yang menghasilkan gangguan saluran udara. Bahkan pneumotoraks telah dilaporkan.

Arthritis dan arthralgia terkadang ditemukan, dan hepatitis umum ditemukan. Myokarditis dan nefritis jarang terkait dengan SJS. Perdarahan gastrointestinal terkadang diamati.

Disamping ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, beberapa abnormalitas lain bisa ditemukan dalam pemeriksaan laboratorium. ESR yang meningkat ditemukan pada setiap pasien SJS; leukosit pada 60%; eosinofilia pada 20%; anemia pada 15%, enzim hati meningkat pada 15%; leukopenia pada 10%; dan proteinuria dan hematuria mikroskopis pada 5%.
Diagnosis banding

Diagnosis SJS bisa ditegakkan dengan gejala awal karakteristik diikuti dengan onset area-area nekrosis mukokutaneous yang ekstensif dengan sekurang-kurangnya dua tempat mukosal yang terlibat. Ada banyak masalah dengan istilah yang terkait dengan SJS dan TEN. Telah jelas bahwa beberapa individu memiliki karakteristik SJS dengan keterlibatan kulit ekstensif yang menyerupai yang ditemukan pada TEN, beberapa lagi memiliki keterlibatan kutaneous yang terbatas, dan beberapa lainnya memiliki keterlibatan mukosal. Kerancuan ini telah menghasilkan banyak kontroversi dalam literatur. Semua bentuk SJS memiliki beberapa ciri yang sama dengan TEN dan sama-sama ditandai dengan keberadaan area-area nekrosis epitelium yangluas. Faktor-faktor serupa bisa memicu SJS dan TEN. Jika dua atau lebih tempat mukosal terlibat, dengan atau tanpa lesi kutaneous yang menyertai, kebanyakan pihak menganggap kondisi sebagai SJS; jika selaput-selaput kulit yang lebar terkelupas tanpa keterlibatan mukosal, maka diagnosisnya adalah TEN. Sayangnya, ada beberapa individu dengan karakteristik ivernal yang sulit dikelompokkan meskipun berdasarkan International Cooperative Group.

Dengan menyadari bahwa ada kesamaan yang signifikan dengan TEN pada individu yang mengalami SJS dan keterlibatan kulit, maka keberadaan dua atau lebih tempat mukosal dengan cedera epitelium paling penting dalam diagnosis. Sebuah spesimen biopsi yang menunjukkan area-area nekrosis epidermal ekstensif bermanfaat dalam membedakan SJS dari EM.

Penyakit Kawasaki terkadang sulit dibedakan dengan SJS pada anak-anak. Pemfigus paraneoplastis juga bisa menyerupai SJS. Nekrosis parah yang mirip pada bibir, mata dan mukosa mulut bisa ditemukan pada pemfigus paraneoplastis. Sifat-sifat berbeda pada pemeriksaan histologi rutin dan pada pemeriksaan imunofluoresensi direk dan indirek untuk pemfigus paraneoplastis harus diupayakan. Evaluasi-evaluasi ini harus dipertimbangkan khusus pada pasien-pasien dewasa yang mengalami SJS karena banyak pasien dengan pemfigus paraneoplastis yang bisa sebelumnya salah didiagnosa dengan SJS. Pencarian limfoma terkait, tumor Castleman atau keganasan lainnya diindikasikan.

Pengobatan

Sindrom Stevens-Johnson merupakan sebuah penyakit parah yang memerlukan perawatan rumah sakit yang lama dan memiliki komplikasi yang signifikan. Dari semua strategi terapeutik yang mungkin, perujukan ke unit luka bakar atau ke unit perawatan intensif (ICU) menghasilkan pengurangan morbiditas dan mortalitas. Individu harus ditangani seolah-olah dia mengalami luka bakar karena insiden.

Jika ada obat yang dicurigai, obat tersebut harus dihentikan (Gbr. 21-11). Penghentian dini obat yang bersangkutan bisa mengurangi mortalitas. Individu harus menjalani penambahan cairan dan elektrolit dan pemantauan output urin serta osmolaritas dan elektrolit serum. Tindakan-tindakan lain mencakup penggantian kalori, proteksi dari infeksi sekunder, perawatan ofthalmologi yang baik, dan toilet paru (termasuk drainase postural). Perawatan keperawatan terampil yang umum cukup penting, seperti terapi fisik. Kultur sputum harus dilakukan serta kultur berkala dari kulit, mata dan tempat-tempat mukosal, dengan pengobatan infeksi paru secara cepat. Jika ada area-area yang terkelupas luas, penggunaan balutan biologis atau  ekivalen kulit harus dilakukan sejak dini dalam perjalanan penyakit.

Belum ada pengobatan berbasis bukti berkenaan dengan terapi spesifik untuk SJS, dan masih ada kontroversi tentang apakah ada dari pengobatan yang diusulkan benar-benar bekerja. Ketika intervensi farmakologi telah dipertimbangkan, kortikosteroid lazimnya dipilih untuk mengobati SJS. Penggunaan kostikosteroid sistemik belum pernah terbukti efektif berdasarkan trial klinis, dan kita bisa menyebutkan bahwa kortikosteroid sistemik bisa mempengaruhi mortalitas dan morbiditas secara signifikan. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang harus dihindari untuk mengurangi kemungkinan komplikasi infeksi.

Mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum individu yang terkena benar-benar pulih sempurna. Efek samping permanen, kebanyakan sebagai akibat dari penggarukan, sering diamati. Kontraktur dan komplikasi mata merupakan efek samping yang paling umum, sehingga menekankan pentingnya konsultasi oftalmologi dini dan pemberian terapi fisik. Dengan masa sembuh yang lama, penyuluh di rumah dan perawat yang terampil mungkin diperlukan.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders