Eritroderma: sebuah studi klinis terhadap 97 kasus

Abstrak

Latar belakang: Eritroderma merupakan sebuah kondisi kulit yang langka. Penyakit ini bisa disebabkan oleh berbagai dermatosa, infeksi, penyakit sistemik dan obat-obatan.

Metode: Kami mereview material biopsi dan material laboratorium dari 97 pasien yang didiagnosa dengan eritroderma, yang dirawat di rumah sakit kami selama periode lebih dari 6 tahun (1996 sampai 2002).

Hasil: Rasio antara pria/wanita adalah 1,85:1. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 46,2 tahun. Faktor penyebab yang paling umum adalah dermatosa (59,7%), diikuti dengan reaksi obat (21,6%), keganasan (11,3%) dan penyebab idiopatik (7,2%). Karbamazepin merupakan obat yang paling umum (57,1%). Korelasi klinikopatologi yang paling baik ditemukan pada limfoma sel T kutaneous dan eritroderma yang terkait pityriasis rubra pilaris. Selain skaling dan eritema yang terdapat pada semua pasien, pruritus merupakan temuan yang paling umum (97,5%) diikuti demam (33,6%), limfadenopati (21,3%), edema (14,4%) dan hiperkeratosis (7,2%).

Kesimpulan: Penelitian ini menyoroti bahwa faktor etiologi dari eritroderma bisa menunjukkan variasi terkait tempat tinggal (geografis). Kasus-kasus yang kami teliti memiliki persentase eritroderma yang tinggi akibat dermatosa yang telah ada dan persentase penyebab idiopatik yang rendah. Tidak ada pasien terinfeksi HIV dalam kasus kami berdasarkan uji antibodi serum. Gambaran klinis eritroderma cukup identik, tanpa tergantung etiologi. Onset penyakit biasanya tidak disadari kecuali pada eritroderma yang ditimbulkan obat, yang sifatnya akut. Prognosis yang paling baik adalah prognosis yang terkait dengan obat-obatan.


Latar belakang

Eritroderma atau dermatitis eksfoliatif merupakan sebuah gangguan kulit yang langka, yang bisa disebabkan oleh banyak penyebab. Ini mewakili sebuah kondisi iritasi kulit ekstrim yang melibatkan seluruh atau hampir semua permukaan kulit. Karena kebanyakan pasien adalah lanjut usia dan keterlibatan kulit cukup luas, maka penyakit ini memiliki risiko yang penting bagi kehidupan pasien. Hasan dan Jansen memperkirakan kejadian tahunan eritroderma antara 1 sampai 2 per 100.000 pasien. Sehgal dan Strivasta melaporkan kejadian eritroderma dalam sebuah penelitian prospektif skala besar dari sub-daratan India sebesar 35 per 100.000 pasien rawat jalan. Faktor-faktor kutaneous bisa dikelompokkan sebagai dermatosa yang diderita sebelumnya, reaksi obat, penyakit sistemik, keganasan, infeksi dan gangguan idiopatik. Empat penyebab idiopatik yang kemungkinan menjadikan eritroderma lebih parah adalah dermatitis atopik lanjut usia, asupan obat yang tidak diperhatikan oleh pasien, erupsi pra-limfomatous dan keganasan okult. Histopatologi bisa membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma pada hingga 50% kasus, khususnya dengan biopsi kulit multiple. Banyak dermatosa kronis yang tidak dapat dibedakan secara histologis pada pasien eritroderma.

Di Pakistan, Pal dan Haroon telah meneliti sifat-sifat eritoderma pada 90 pasien dan menemukan dermatosa yang telah ada sebagai penyebab paling sering untuk eritroderma. Sampai sekarang belum ada penelitian yang dipublikasikan tentang frekuensi penyebab eritroderma dari Timur Tengah. Untuk mendapatkan gambaran eritoderma di wilayah kami, kami telah mereview kasus-kasus eritroderma yang dievaluasi dan dirawat dalam institusi kami antara 1996 sampai 2000 (enam tahun). Terakhir data kami dibahas dan dibandingkan dengan kasus-kasus lain sebelumnya yang diambil dari populasi Barat dan Eropa serta dari negara-negara Asia lainnya.

Metode

Kami mendefinisikan eritroderma sebagai eritema menyeluruh pada kulit (mengenai lebih dari 90% area permukaan tubuh) yang disertai dengan skaling.

Populasi yang dicakup oleh institut kami sulit untuk ditentukan, karena institut kami merupakan sebuah rumah sakit rujukan tersier yang menerima pasien-pasien dari daerah yang jauh. Cakupan 5.000.000 penduduk merupakan jumlah perkiraan. Karena adanya risiko yang ditimbulkan oleh eritroderma terhadap kehidupan pasien dan untuk mengkaji penyebab pada masing-masing pasien, kami selalu memperlakukan mereka sebagai pasien rawat inap. Catatan pasien yang dikeluarkan dengan diagnosis eritroderma dalam periode mulai dari 1996 sampai 2002 (enam tahun) direview secara cermat dan data-data berikut dicatat untuk semua pasien; data pribadi, riwayat penyakit kulit, riwayat medis di masa lalu, riwayat obat, episode eritroderma sebelumnya, onset eritroderma (akut atau ringan), data klinis selama episode (skaling, pruritus), limfadenopati, pembesaran visceral, hiperkeratosis, keterlibatan mukosa, dan edema). Penyelidikan laboratorium yang mencakup parameter hematologi lengkap, laju sedimentasi eritrosit, kadar protein serum, uji fungsi hati dan ginjal, elektrolit serum, mikroskopi urin, pemeriksaan feses untuk darah okult, penanda serum untuk hepatitis B dan C viral dan pengujian antibodi HIV, mikroskopi untuk kutu skabies dan fungus, elektrokardiografi, dan radiografi dada dilakukan untuk semua pasien sebagai sebuah prosedur rutin dalam klinik dermatologi rumah sakit kami. Pemeriksaan spesifik penyakit seperti biopsi kulit, biopsi kelenjar getah bening, imunofenotyping, sitometri alir, uji tempel dan pemeriksaan untuk keganasan okult dilakukan pada kasus tertentu jika diindikasikan.

Hasil

Dalam periode penelitian selama 6 tahun, eritroderma ditemukan pada 97 pasien. Sebanyak 63 (64,9%) pasien adalah pasien pria dan 34 (35,1%) adalah pasien wanita, yang berarti bahwa jumlah pria lebih banyak dibanding jumlah wanita dengan proporsi 1,85:1. Usia rata-rata saat onset eritroderma adalah 46,2±20,03 (SD) tahun (kisaran, 8 sampai 90 tahun). Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal usia onset antara kelompok pria dan wanita dengan menggunakan uji-T independen. Semua pasien dalam laporan kasus ini berasal dari ras Kaukasoid.

Semua pasien mengalami skaling. Sebanyak 94 (97,5%) pasien mengalami pruritus. Tiga puluh dua (33,6%) pasien mengalami demam (suhu, 38oC atau lebih tinggi) selama episode eritroderma dan limfadenopati ditemukan pada 20 (21,3%) pasien. Pembesaran visceral ditemukan pada 4 (4%) pasien. Edema, hiperkeratosis dan keterlibatan mukosal ditemukan pada 14 (14,4%), 7 (7,2%) dan 1 (1%) pasien, masing-masing.

Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada 81 (83,5%) dari 97 pasien. Biopsi kulit dilakukan pada semua kasus yang dikelompokkan sebagai kasus ganas dan idiopatik. Biopsi kulit tidak dilakukan pada beberapa kasus karena penyebab eritroderma jelas dari awal (dermatosa yang telah ada sebelumnya atau perawatan dengan beberapa obat dalam beberapa hari sebelum munculnya eritroderma).

Diagnosis akhir adalah hasil dari evaluasi klinis, temuan biokimia dan histologi serta evolusi eritroderma pada masing-masing pasien individual. Pasien dibagi menjadi empat kelompok etiologi: (1) dermatosa sebelumnya (58 pasien, 59,8%): psoriasis, 27 (27,8%); dermatitis atopik, 13 (13,4%); pityriasis rubra pilaris, 8 (8,2%); dermatitis seborheik, 2 (2,1%); dermatitis kontak, 3 (3,1%); aktinik retikulosis, 1 (1%); skabies, 1 (1%); ochthyosiformis bulosa, 1 (1%); pemphigus foliaceus, 1 (1%) dan xerosis senile, 1 (1%), (2) keganasan (11 pasien, 11,3%); sindrom Sezary, 2 (2,1%); mycosis fungoides, 8 (8,2%); kanker paru-paru, 1 (1%), (3) reaksi obat 921 pasien, 21,6%): karbamazepin, 12 (57,1%); phenytoin, 3 (14,3%); phenobarbital, 2 (9,5%); lithium, 1 (4,8%); penisilin, 1 (4,8%) dan (4) Idiopatik atau tidak diketahui: tujuh pasien (7,2%). Hubungan antara sebuah obat dan eritroderma ditentukan dari asupan obat yang dicurigai pada hari-hari sebelum onset eritroderma dan pembersihan manifestasi-manifestasi setelah penghentian obat. Anemia ringan, laju sedimentasi eritrosit meningkat, leukositosis, dan hipoalbuminemia merupakan temuan yang umum tetapi tidak ada sesuatu yang istimewa ditemukan pada uji laboratorium. Tak satupun pasien yang positif HIV berdasarkan uji antibodi serum. Semua pasien dalam kelompok idiopatik serta mereka yang mengalami dermatitis seborheik, aktinik retikuloid dan sindrom Sezary adalah pria. Ketiga pasien yang mengalami dermatitis kontak sebagia penyebab eritroderma mereka adalah wanita. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal frekuensi penyebab eritroderma diantara pria dan wanita.

et eritroderma terjadi secara menyeluruh pada 23 (23,7%) pasien. Pada beberapa pasien lainnya, tempat awal yang terlibat pada eritroderma adalah kepala dan leher pada 20 pasien (20,6%), tungkai atas atau bawah pada 18 (18,5%), trunkus pada 11 (11,3%), genitalia pada satu (1%), area fleksural pada lima (5,2%) dan area ekstensor pada 19 (19,6%) pasien. Pada follow-up, hanya satu pasien dengan kanker paru yang meninggal akibat eritroderma atau penyebabnya. Tak satupun pasien dengan reaksi obat dan pityriasis rubra pilaris yang kambuh. Dengan terapi, eritroderma membaik pada semua pasien yang mengalami mycosis fungoides dan sindrom Sezary tetapi kekambuhan terjadi pada semua pasien sekurang-kurangnya sekali lagi. Semua pasien yang mengalami psoriasis dirawat di rumah sakit untuk kedua kalinya selama periode penelitian.

Pembahasan

Pendekatan terhadap pasien yang mengalami eritroderma tergantung pada riwayat dermatologi sebelumnya. Pasien dengan gangguan-gangguan dermatologi yang tidak mempan terapi bisa mengalami eritroderma selama periode suar (flare). Pada kasus-kasus seperti ini, diagnosis etiologi mudah ditegakkan, atau jika tidak, eritroderma akan tetap menjadi tantangan diagnostik. Gambaran klinis eritroderma tidak spesifik dan petunjuk tertentu seperti skaling atau pruritus tidak bisa dikaitkan dengan penyebab spesifik manapun. Eritroderma dengan durasi lama bisa menyebabkan kerontokan rambut atau distropi kuku tanpa tergantung pada asal usulnya, sehingga perubahan-perubahan ini juga tidak spesifik. Pada pasien eritrodermik, korelasi klinikopatologi biasanya buruk, karena perubahan kutaneous spesifik dermatosa atau reaksi-reaksi obat disamarkan oleh perubahan-perubahan non-spesifik yang ditimbulkan oleh proses inflamasi dari eritroderma. Pada seorang pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit dan yang menyangkal pernah meminum obat, diagnosis lebih sulit dan sangat penting untuk melakukan biopsi-biopsi pada kasus-kasus semacam ini walaupun gambaran histologis menunjukkan dermatitis subakut atau kronis dan reaksi psoriasiform. Sehingga setiap kasus yang asal-usulnya tidak diketahui memerlukan pemeriksaan histologis menyeluruh melalui berbagai biopsi kulit dan biopsi kelenjar getah bening untuk menunjukkan limfoma. Salah satu kekurangan penelitian kami ini adalah bahwa penelitian ini merupakan penelitian retrospektif sehingga kami tidak mampu memverifikasi diagnosis sendri. Meskipun dengan kekurangan ini kami yakin bahwa data kami tentang penyebab eritroderma akan memberikan tambahan literatur tentang eritroderma.

Dalam seri kasus kami, usia rata-rata saat onset adalah pada dekade ke-lima dan jumlah pria lebih banyak dari wanita. Temuan seperti ini sesuai dengan banyak penelitian lain. Korelasi klinikopatologi yang paling baik adalah mycosis fungoides dan pityriasis rubra pilaris. Sebelumnya, Botella-Estrada dkk juga telah melaporkan temuan serupa.

Seperti banyak kasus lain, skaling difus dan pruritus ditemukan pada hampir semua pasien. Walaupun kami menguji setiap pasien pada beberapa kondisi, kami menemukan persentase limfadenopati yang lebih rendah, pelebaran visceral, edema dan keterlibatan mukosal dibandingkan dengan kasus Pal dan Haroon. Banyak obat yang dapat menyebabkan eritroderma. Diantarannya yang lebih umum adalah turunan purazalon, karbamazepin, turunan hydantoin, cimetidin, garam lithium dan garam gold. Menurut temuan kami, agen yang paling berpotensi menimbulkan eritroderma adalah karbamazepin, phenytoin dan phenobarbital. Obat-obat yang bertanggung jawab untuk eritroderma dalam seri kasus kami sebelumnya telah dicurigai sebagai penyebab gangguan ini dalam literatur. Karbamazepin merupakan obat yang paling sering disebutkan dalam kasus-kasus kami, dengan 12 dari 21 kasus (57,1%) yang terkait dengan obat ini. Obat ini telah dilaporkan sebagai penyebab eritroderma yang kurang sering pada seri kasus lainnya. Sehingga karbamazepin sebagai sebuah penyebab eritroderma dalam populasi kali ini memerlukan perhatian khusus dan bisa disebabkan oleh sensitifitas genetik terhadap obat ini atau tingkat resep yang tinggi.

Mengherankannya, meskipun dengan fakta bahwa alopurinol sering diresepkan di negara ini namun kami menemukan tidak ada eritroderma yang terkait dengan obat ini. Alopurinol telah disebutkan sebagai salah satu penyebab paling umum eritoderma imbas obat pada beberapa laporan kasus terbaru.

Perbandingan kelompok-kelompok etiologi diantara penelitian-penelitian sebelumnya dan kasus kami ditunjukkan pada Tabel 1. Seri kasus kami memiliki persentasi yang tinggi untuk eritroderma yang terjadi akibat dermatosa yang telah ada sebelumnya yang disebutkan sebagai penyebab paling umum eritroderma dewasa pada kebanyakan penelitian. Reaksi obat merupakan penyebab eritroderma yang paling umum pada pasien-pasien positif HIV dalam salah satu laporan. Persentase kasus dimana tidak ada penyakit lain yang menyertai eritroderma berkurang seiring dengan meluasnya pemeriksaan dan durasi pengamatan, tetapi pada setiap seri kasus jumlah jarang dibawah 10%. Dalam seri kasus kami, kami menemukan persentase kasus idiopatik yang sangat rendah.

Sebanyak 8 (8,2%) pasien kami didiagnosa sebagai pityriasis rubra pilaris yang tidak umum dilaporkan sebagai penyebab eritroderma pada penelitian lain. Pal dan Haroon melaporkan pityriasis rubra pilaris sebagai sebuah faktor penyebab eritroderma pada 2,2% pasien mereka. Sebagai akibatnya, kami menyimpulkan bahwa kemungkinan terdapat frekuensi pityriasis yang lebih tinggi dibanding keumumannya dalam lingkungan kami. Psoriasis merupakan penyebab paling umum, yang sesuai dengan penelitian dari Pakistan dan India.

Onset eritroderma biasanya berlangsung tanpa disadari kecuali pada kasus yang ditimbulkan obat. Ini sesuai dengan tiga penelitian lain, yang melaporkan onset perlahan pada kebanyakan kasus. Pada penelitian Pal dan Haroon, eritroderma dimulai dengan onset akut pada lebih dari dua pertiga pasien yang diasumsikan terkait dengan penggunaan obat tanpa hati-hati. Pada pasien kami, kelompok yang memiliki prognosis paling baik adalah yang terkait dengan obat.

Karena eritroderma terkadang terkait dengan keganasan internal, bahkan pasien dengan riwayat dermatosa sebelumnya yang gambaran klinikopatologinya tidak konklusif, harus diperiksa secara cermat untuk memastikan penyebab neoplastis ganas.

Kami tidak menemukan hasil pemeriksaan laboratorium yang berarti pada pasien-pasien kami. Temuan ini cukup mirip dengan yang dilaporkan oleh Haroon dan Pal. Tidak ada pasien terinfeksi HIV dalam seri kasus kami. Eritroderma sering dilaporkan akibat dermatosa berbeda atau reaksi obat pada pasien yang positif HIV. Dalam salah satu seri kasus yang dilaporkan oleh Morar dkk., banyak pasien eritroderma yang positif HIV tetapi tidak memiliki peningkatan jumlah episode ertiroderma secara signifikan. Disimpulkan bahwa pada pasien kulit hitam yang masih muda eritroderma bisa menjadi penanda infeksi HIV. Sejalan dengan frekuensinya yang rendah, HIV kelihatannya merupakan ancaman yang lebih kecil dalam komunitas kami.

Dalam penelitian-penelitian awal, angka kematian yang dilaporkan akibat eritroderma bervariasi mulai dari 18 sampai 64%. Pada follow-up, kami hanya menemukan satu kematian yang terkait dengan eritroderma atau penyebab mendasarnya, yang adalah pasien dengan kanker paru-paru. Temuan kami mendukung pendapat Hassan dan Jansen bahwa eritroderma tidak memiliki risiko signifikan bagi kehidupan pasien.

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa beberapa sifat penting dari eritroderma bisa menunjukkan variasi geografis.

Kesimpulan

Kasus-kasus yang kami laporkan memiliki persentase eritroderma yang tinggi akibat dermatosa yang telah ada sebelumnya dan persentase kasus idiopatik yang rendah. Gambaran klinis eritroderma cukup identik, tanpa tergantung pada etiologi. Onset penyakit biasanya berlangsung lambat kecuali pada eritroderma imbas obat, yang bersifat akut. Penelitian ini menggarisbawahi bahwa faktor etiologi dari eritroderma bisa menunjukkan variasi geografis.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders