Pengaruh Depresi Berat terhadap Penurunan Kognitif Subjektif dan Objektif pada Cedera Otak Ringan sampai Sedang Akibat Trauma

ABSTRAK

Pengaruh depresi berat terhadap penurunan kognitif subjektif dan objektif 6 bulan setelah cedera otak traumatik (TBI) ringan sampai sedang dievaluasi pada 63 pasien. Pasien yang memiliki keluhan kognitif subjektif (n=63) lebih besar kemungkinannya adalah wanita, dengan skor GCS (Skala Koma Glasgow) yang lebih tinggi dan memiliki diagnosis depresi berat. Mereka juga memiliki kinerja yang jauh lebih buruk dalam hal ingatan, perhatian, dan fungsi eksekutif. Perbedaan berdasarkan ukuran-ukuran kognitif tidak ditemukan dalam analisis multivariat jika dilakukan kontrol untuk depresi. Pada TBI (cedera otak traumatik) ringan sampai sedang, penurunan kognitif subjektif terkait dengan depresi berat. Akan tetapi, mekanisme-mekanisme lain juga bisa terlibat untuk penurunan-penurunan kognitif ini.


PENDAHULUAN

Penurunan kognitif setelah cedera otak traumatik (TBI) mencakup gangguan perhatian, ingatan, dan pelaksanaan fungsi eksekutif. Pasien yang berkinerja buruk dalam berbagai uji neurokognitif sering mengeluhkan kesulitan-kesulitan ini. Akan tetapi, hubungan antara gejala-gejala kognitif yang dilaporkan-sendiri dengan kinerja pada uji kognitif objektif belum didukung secara konsisten oleh data-data empiris. Beberapa peneliti telah menyimpulkan bahwa keluhan-keluhan kognitif subjektif tidak selalu terkait dengan kinerja dalam uji neuropsikologis tetapi justru terkait dengan kesulitan-kesulitan emosional. Akan tetapi, beberapa penelitian lain tidak dapat menemukan hubungan antara disfungsi kognitif objektif dengan gangguan emosional. Hasil yang bersilangan ini bisa disebabkan oleh perbedaan metode penelitian dalam mengevaluasi gejala-gejala yang dilaporkan-sendiri oleh pasien dan gangguan kognitif objektif, kemajemukan subjek TBI dalam hal keparahan trauma, dan periode penilaian yang beragam setelah cedera kepala.

Meskipun telah banyak bukti yang menunjukkan hubungan kuat antara depresi berat dan kinerja buruk pada uji kognitif setelah TBI ringan-sampai-sedang, namun masih sedikit penelitian tentang hubungan antara kesulitan-kesulitan kognitif yang dilaporkan-sendiri oleh pasien, kinerja uji neuropsikologis, dan keluhan emosional, yang didasarkan pada ukuran subjektif dari depresi atau yang didasarkan pada instrumen-instrumen yang menilai profil-profil psikologis untuk mendeteksi gejala-gejala depresif komorbid. Disamping itu, penelitian-penelitian ini tidak melakukan kontrol untuk depresi ketika menyelidiki apakah keluhan kognitif subjektif akurat dalam menunjukkan disfungsi kognitif pada uji objektif.

Yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah menyelidiki hubungan antara gangguan kognitif yang dinilai dengan uji neuropsikologis standar dengan keluhan-keluhan kognitif subjektif berdasarkan kuisioner yang dilaporkan sendiri pada TBI ringan-sampai-sedang 6 bulan setelah cedera kepala. Pengaruh depresi berat yang didiagnosa secara klinis terhadap indeks subjektif (dilaporkan sendiri oleh pasien) dan indeks objektif (uji neuropsikologis) dari gangguan kognitif juga diteliti.

METODE

Pemilihan pasien

Populasi penelitian terdiri dari 63 pasien TBI yang direkrut satu per satu dari klinik cedera otak traumatik pada sebuah rumah sakit perujukan tersier. Semua subjek mengalamai cedera kepala ringan (Skala Koma Glasgow [GCS]=13-15; kehilangan kesadaran [LOC] <20 menit; amnesia pasca-trauma [PTA] < 24 jam) atau TBI sedang (GCS=9-12; PTA>24 jam tetapi kurang dari 1 pekan) dan mereka berusia antara 18 sampai 60 tahun. Semua partisipan menjalani pemeriksaan neuropsikiatri setelah 6 bulan pasca-cedera kepala sebelum menjalani uji kognitif. Keberadaan gangguan/kesulitan “kognitif subjektif” pasca-trauma ditentukan berdasarkan respons pasien terhadap tiga pertanyaan RPQ (Rivermead Post Concussion Symptoms Questionnaire), yaitu: “suka lupa, ingatan buruk”, “konsentrasi buruk” dan “memerlukan banyak waktu untuk berpikir”. Pertanyaan-pertanyaan yang dipilih ini merupakan satu-satunya pertanyaan dari RPQ yang berfokus pada kognisi. RPQ telah terbukti sebagai indikator yang valid untuk gejala-gejala yang umum dialami setelah cedera kepala.

Izin tertulis didapatkan dari semua subjek dan persetujuan badan etis institusional diperoleh untuk penelitian.

Pengumpulan data

Informasi dasar pasien

Semua pasien berkunjung 6 bulan setelah TBI ringan sampai sedang. Data demografi dan data terkait TBI yang dikumpulkan mencakup: usia, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan pra-cedera, tingkat pendidikan, minum minuman keras (berdasarkan kuisioner CAGE dan jumlah alkohol yang dikonsumsi per pekan), riwayat psikiatri di masa lampau, cedera kepala sebelumnya dan mekanisme cedera. Penggunaan obat psikotropi dan/atau analgesik juga dicatat karena sifat penekanan sistem-saraf-pusat dari obat-obat ini berpotensi mengganggu kognisi. Untuk keparahan cedera kepala, data-data berikut diperoleh: GCS awal yang dicatat dalam instalasi rawat darurat, durasi kehilangan kesadaran (LOC) dan amnesia pasca-trauma (PTA), dan hasil CT otak pendahuluan.

Diagnosis Depresi Berat

Para partisipan penelitian diwawancarai dengan berpedoman pada SCID for DSM-IV (Structured Clinical Interview for DSM-IV Disorders) untuk menegakkan diagnosis depresi berat. Neuropsikiater klinik yang melakukan wawancara tidak mengetahui data kognitif pasien.

Uji Neuropsikologis

Kumpulan tes neuropsikologis terdiri dari 10 tes yang sensitif terhadap perubahan-perubahan kognitif setelah TBI. Ini mencakup perhatian/ingatan kerja (Weschsler Adult Intelligence Scale-III [WAIS-III] – ingatan kerja, ingatan verbal (California Verbal Learning Test [CVLT-II] – total, pengingatan dengan tundaan lama), pembelajaran dan memori visuospasial (Uji Memori Visuospasial Singkat – Revisi [BVMT-R] – pengingatan total cepat dan tertunda), kecepatan pengolahan informasi dan perhatian yang terbagi (Paced Auditory Serial Addition Task [PASAT] dengan jumlah presentasi yang lebih cepat [WCST] – respons total dan respons persevatif). Sub-skala vocabulary dari WASI (Wechsler Abbreviated Intelligence Scale) digunakan untuk mendapatkan perkiraan IQ pra-cedera dan Uji Ingatan Kata (WMT) diberikan untuk menilai kecocokan tindakan pasien dengan tes.

Analisis Statistik

Analisis univariat

Pasien-pasien yang mengalami dan yang tidak mengalami keluhan kognitif subjektif dibandingkan dengan menggunakan uji t two-tailed untuk variabel-variabel kontinyu, dan analisis x2 untuk variabel kategori. Uji eksak Fisher dilaporkan jika memungkinkan. Untuk data kognitif, skor mentah digunakan untuk analisis.

Analisis multivariat

Analisis multivariat kovarians (MANCOVA) dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel yang signifikan menurut statistik (p =< 0.05) pada analisis univariat. Pengelompokan subjek diijadikan sebagai faktor tetap dan tujuh tugas kognitif dimasukan sebagai variabel terikat. Dua analisis MANCOVA terpisah selanjutnya dihitung pada masing-masing kelompok untuk setiap ukuran kognitif, salah satunya disesuaikan untuk jender dan keparahan cedera yang diukur menurut skor GCS (Glasgow Coma Scale) dan yang lainnya disesuaikan untuk depresi (SCID for DSM-IV) disamping skor jender gan GCS.

HASIL

Data demografi dan data terkait cedera

Usia rata-rata 63 pasien yang direkrut dalam penelitian ini adalah 33 tahun (SD = 11,7) dan 55,6% adalah pria. Sebanyak 34 subjek (54%) melaporkan keluhan kognitif subjektif berdasarkan RPQ. Tidak ada perbedaan dalam hal variabel demografi dan variabel terkait-cedera diantara kedua kelompok, kecuali bahwa mereka yang melaporkan keluhan kognitif subjektif memiliki GCS yang leih tinggi (t = 2,8, df=35, p=0,007) dan lebih besar kemungkinannya adalah wanita (x2 = 6,2, df=1, p=0,01) (Tabel 1).

Depresi berat

Berdasarkan SCID for DSM-IV, depresi berat terjadi pada 18,5% kelompok yang memiliki keluhan kognitif subjektif tetapi tak satupun diantaranya yang tidak memiliki gangguan/kesulitan kognitif yang dilaporkan-sendiri. Perbedaan antara kedua kelompok termasuk signifikan (uji eksak Fisher, p=0,05) (Tabel 1).

Penurunan neurokognitif

Meskipun kedua kelompok memiliki skor yang mirip untuk IQ pra-cedera dan WMT (Tabel 1), pasien dengan keluhan subjektif memiliki skor yang lebih buruk untuk ingatan kerja (WAIS-III) (t=2,7, df=60, p=0,01), ingatan verbal (CVLT-II recognition hits) (t=3,4, df=42, p=0,001) dan ingatan visuospasial (pengingatan total cepat [t=2,9, df=59, p=0,005] dan tertunda [t=3,2, df=54, p=0,002]), perhatian dan kecepatan mengolah informasi (PASAT 2,0 s) (t=2,2, df=57, p=0,03), dan fungsi eksekutif (total WCST [t=2,4, df=51, p=0,02] dan respons perseveratif [t=-2,9, df=56, p=0,005]). Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal total CVLT-II (t=1,7, df=61, p=0,09) dan pengingatan bebas tertunda lama (t=1,4, df=53, p=0,18) atau dalam hal PASAT pada interval presentasi 1,2 (t=1,8, df=56, p=0,07).

Apabila digunakan analisis MANCOVA pada variabel-variabel kognitif signifikan selama analisis univariat, dengan jender dan skor GCS yang berfungsi sebagai kovariat, maka perbedaan antara kelompok tetap signifikan pada hampir semua indikator kognitif: ingatan kerja WAIS-III (F=4,5, df=1,54, p=0,04), CVLT-II recognition hists (F=15,2, df=1,54, p<0,0001), pengingatan total cepat (F=5,9, df=1,54, p=0,02) dan tertunda BVMT-R (F=8,2, df=1,54, p=0,006), dan respons perserveratif WCST (F=7,2, df=1,54, p=0,009). Dalam sebuah analisis MANCOVA terpisah, yang disesuaikan untuk depresi disamping jender dan skor GCS, mereka yang memiliki keluhan kognitif memiliki skor yang lebih buruk hanya pada uji CVLT recognition hits (F=7,1, df=1,54, p=0,01), pengingatan total tertunda BVMT-R (F=4,8, df=1,54, p=0,03) dan respons perseveratif WCST (F=4,3, df=1,54, p=0,04) (Tabel 2).

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini kami menunjukkan bahwa pasien yang mengalami TBI ringan-sampai-sedang, yang melaporkan gangguan/kesulitan kognitif pada 6 bulan setelah cedera, memiliki kinerja yang lebih buruk pada uji neuropsikologis objektif dibanding mereka yang tidak memiliki keluhan kognitif subjektif. Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian TBI ringan sebelumnya dan juga telah dilaporkan pada pasien-pasien yang mengalami HIV dan pada pasien yang mengalami sklerosis multiple.

Kontribusi potensial dari faktor-faktor lain seperti cedera kepala sebelumnya dan asupan obat psikotropi dan/atau analgesik terhadap kinerja pasien dalam melakukan tes kognitif juga dievaluasi. Kurangnya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada semua variabel ini meniadakan kemungkinan pengaruh faktor-faktor ini terhadap kinerja kognitif. Disamping itu, tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam hal hasil CT scan, sebuah temuan yang signifikan karena hubungan antara penurunan neuropsikologis dan kelainan CT scan pada pasen-pasien yang mengalami cedera-cedera ini.

Penelitian kami juga mengklarifikasi temuan-temuan yang kontradiktif dari penyelidikan-penyelidikan sebelumnya dimana pengaruh gangguan psikologis terhadap kognisi dievaluasi semata-mata berdasarkan indikator depresi yang dilaporkan sendiri oleh pasien. Apabila depresi berat (menurut kriteria DSM-IV) dikontrol, maka perbedaan antara pasien yang mengalami dan tidak mengalami keluhan kognitif terlihat pada kebanyakan uji kognitif, sehingga menandakan adanya hubungan dekat antara indikator objektif mood (SCID-IV) dan beberapa aspek kognisi.

Akan tetapi, depresi tidak mewakili semua pelaporan subjektif kesulitan kognitif dalam penelitian kami karena perbedaan signifikan tetap ada antara mereka yang mengalaim dan tidak mengalami keluhan kognitif subjektif. Beberapa individu yang mengalami gangguan/kesulitan kognitif yang mereka laporkan sendiri kemungkinan merupakan bagian dari “miserable minority”, sebuah istilah yang dicetuskan oleh Ruff dkk untuk pasien-pasien TBI ringan yang penyembuhannya terhambat oleh faktor-faktor psikologis selain depresi, seperti sifat kepribadian pra-cedera. Data terbaru dari pemeriksaan pencitraan fungsional menunjukkan adanya hipotesis alternatif – yaitu bahwa, pada pasien tertentu yang mengalami TBI ringan, keluhan-keluhan kognitif bisa terkait langsung dengan disfungsi serebra yang bisa diungkap oleh paradigma aktivasi neuroimaging. Ruff dkk. mengkaji sembilan pasien cedera kepala ringan dengan keluhan kontinyu dan penurunan kognitif yang dapat diukur, yang mengalami PET 18-Fluoro-deoksiglukosa (FDG), rata-rata 29 pasca-cedera. Meskipun dengan pemeriksaan MRI/CT scan yang normal, pasien-pasien TBI, ketika dibandingkan dengan subjek yang sehat, menunjukkan hipometabolisme frontal dan temporal saat melakukan sebuah tugas perhatian yang melibatkan penglihatan. Perubahan substrat serebral telah ditemukan bahkan pada kasus akut TBI ringan (misalnya dalam 1 bulan cedera) dengan menggunakan pendekatan fMRI. Sebagai respons terhadap muatan pengolahan ingatan kerja (WM) yang terus meningkat serta terhadap tugas-tugas yang menguji ingatan episodik, para pasien yang mengalami cedera kepala ringan telah menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal pola aktivasi otak, relatif terhadap subjek yang sehat, perbedaan yang mungkin bisa menjelaskan keluhan-keluhan kognitif pasien TBI ringan dan perlu melakukan upaya yang lebih besar selama tugas kognitif.

KESIMPULAN

Sebagai ringkasan, pasien-pasien yang mengalami TBI ringan-sampai-sedang dengan keluhan kognitif subjektif yang terus menerus memiliki bukti disfungsi kognitif yang dapat diamati. Pada kebanyakan pasien, kesulitan/gangguan kognitif objektif ini terkait dengan depresi utama. Pengamatan yang penting dari segi klinis ini menunjukkan bahwa penilaian menyeluruh terhadap mood berdasarkan kriteria objektif harus dipertimbangkan pada semua pasien yang mengeluhkan masalah-masalah kognitif setelah cedera-cedera seperti ini.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders