PENYAKIT VESIKULOBULOSA DAN VESIKUPUSTULA NON-INFEKSI

KLASIFIKASI LEPUH

Definisi
   
Lepuh adalah sebuah rongga (kavitas) berisi cairan yang terbentuk dalam atau di bawah epidermis. Cairan ini terdiri dari cairan jaringan dan plasma. Berbagai komponen sel-sel inflammatory juga bisa terdapat di dalamnya. Lepuh bisa terjadi pada banyak penyakit kulit. Jika dilihat sepintas, hal ini  tampaknya menunjukkan bahwa pelepuhan terlalu umum atau tidak spesifik untuk digunakan dalam evaluasi klinis. Akan tetapi, karakter lepuh pada sebuah penyakit tertentu cenderung seragam dan memiliki karakteristik yang sama. Salah satu perbedaan yang bermanfaat adalah kategorisasi lepuh menjadi vesikula (lepuh dengan diameter <0,5 cm) dan bula (lepuh dengan diameter > 0,5 cm). Sebagai contoh, vesikula secara khas terjadi pada dermatitis herpetiformis, sedangkan pada pemfigoid bula paling umum diamati.


Mekanisme pembentukan lepuh
   
Mekanisme yang dapat diamati pada beberapa penyakit ditunjukkan pada Tabel 9-1. Spongiosis merupakan akuamulasi cairan ekstraseluler dalam epidermis yang menghasilkan pemisahan keratinosit. Spongiosis yang tegas mengarah pada gangguan desmosom dan selanjutnya pembentukan lepuh. Sehingga, epidermis memiliki kenampakan “bunga karang (spongy)” secara mikroskopisdan akumulasi cairan yang meningkat mengarah pada sebah vesikula dan, pada beberapa kasus, mengarah pada bula. Spongiosis tegas bisa berujung pada degenerasi retikular. Spongiosis paling sering terkait dengan infiltrat limfosit dalam epidermis dan di sekitar pembuluh-pembuluh dangkal. Akan tetapi, spongiosis merupakan sebuah proses pasif yang terkait dengan meningkatnya permeabilitas pleksus vaskular superfisial, khususnya venul post-kapiler.
   
Acantholysis terjadi akibat hilangnya asel keratinosit yang sesuai – kontak sel. Bukti histologis dari acantholysis mencakup keberadaan keratinosit-keratinosit bulat dengan sitoplasma terkonedensasi dan inti besar dengan kondensasi perifer dari kromatin dan nukleoli yang menonjol.
   
Degenerasi retikular terkadi akibat degenerasi pelembungan (edema intraseluler) dengan kerusakan sekunder pada keratinosit. Perlekatan desmosomal yang tersisa sering menghubungkan untai-untai membran keratinosit yang pecah dan sitoplasma dengan keratinosit utuh, menghasilkan kenampakan seperti jaring tidak beraturan pada epidermis.
   
Sitolisis adalah gangguan keratinosit. Ini terjadi pada epidermisnormal ketika matriks struktural (keratin) dan plak desmosomal dari keratinosit dilingkupi oleh kadar agen-agen fisik yang tinggi seperti gesekan dan panas. Gesekan (energi mekanis yang diaplikasikan sejajar dengan epidermis) mengarah pada penggeseran keratinosit  satu sama lain dan penggeseran keratinosit-keratinosit itu sendiri, menghasilkan lepiuh berisi cairan jernih yang khas. Gesekan minimal bisa mengarah menjadi sitolisis pada subjek-subjek yang keratinositnya tidak memiliki matriks struktural normal dan desmosom, seperti simpleks bulosa epidermolisis. Tipe Cockayne-Weber.
   
Gangguan atau kerusakan zona membran dasar terjadi akibat gangguan struktural utama serta akibat kerusakan yang berperantara humoral dan imunologi seluler. Ketika lepuh muncul pada zona membran dasar epidermal, setiap dari bagian subanatomi spesifik bisa terkena: (a) keratinosit basal, dan khususnya bagian-bagian bawah; (b) lamina lucida, dan area elektron-lucid yang berdekatan langsung dengan membran plasma; (c) lamina densa, yang sebagian besar tersusun atas kolagen tipe IV; dan (d) zona sublamina densa.

Evaluasi Patologi
   
Ketika lepuh ditemukan secara mikroskopis, analisis sistematis bisa menegekkan diagnosis pada kebanyakan kasus. Penilaian interpretif kritis yang harus digunakan adalah sebagai berikut: (a) bidang pemisahan lepuh (Tabel 9-2); (b) mekanisme pembentukan lepuh (Tabel 9-1); dan (c) karakter infiltrat inflammatory, termasuk adaatau tidak adanya, polanya, dan tipe-tipe sel spesifik yang terlibat (Tabel 9-3).
   
Enam masalah mendasar ditemukan dengan menggunakan algoritma ini. Pertama adalah bahwa bidang pemisahan bisa berubah ketika lepuh bertambah lama. Mikrovesikula spongiotik bisa berpindah ke stratum korneum sebagai kerak. Atap lepuh epidermal bisa menjadi nekrotik sehingga tidak memungkinkan penilaian bidang lepuh awal. Akan tetapi, keratinosit-keratinosit basal bisa mempertahankan kenampakan kolumnar dalam atap lepuh (atau dasar lepuh). Sehingga memungkinkan pemisahan ke dalam pembentukan lepuh suprabasal atau sub-basal. Dan juga, keratinosit-keratinosit basal adalah sel-sel yang paling bermelanin dalam epidermis. Pencarian keratinosit basal bermelanin (yakni unit basal), bahkan jika nekrotik, bisa memungkinkan penilaian bidang lepuh awal. Beberapa atap lepuh bisa langgeng selama beberapa pekan atau lebih; dan dalam hal ini keratinosit-keratinosit yang tetap aktif bisa menjadi mengulur dan menempati dasar lepuh. Demikian juga, lepuh suprabasal atau subepidermal yang berepitelisasi ulang pada awalnya diduduki oleh keratinosit-keratinosit skuamus datar dan bukan keratinosit cuboidal atua kolumnar. Ketika epitelisasi ulang pertama kali terjadi, tidak ada retia normal, dan keratinosit-keratinosit skuamus datar bermigras pada sebuah matriks fibrinogen bukan dermis papillary normal. Kedua. Ruang-ruang mirip celah mikroskopis dalam epidermis pada kelompok penyakit yang disertai perobekan kulit – penyakit Darier, penyakit Hailey-Hailey, dan penyakit Grover – menyerupai lepuh sejati. Akan tetapi, belahan-belahan ini kecil dan tidak mengandung fibril dan cairanjaringan. Lebih jauh, kelompok penyakit ini hanya jarang terdapat bersama lepuh secara klinis. Ketiga, evaluasi preparasi histologis rutin mungkin tidak memungkinkan seseorang untuk secara akurat menilai mekanisme spesifik pembentukan lepuh. Ini kghususnya benar pada penyakit vesikobulosa subepidermal. Keempat, tipe-tipe sel yang menembus lesi-lesi dalam penyakit vesikobulosa berubah ketika lesi bertambah lama. Kelima, gambaran histologis dari berbagai penyakit pelepuhan subepidermal tidak disertai dengan evaluasi imunologi cermat yang diperlukan sekarang ini. Sebagai contoh, banyak kasus yang pada awalnya dilaporkan sebagai pemfigoid bulosa dan pemfigoid sikatrisial sekarang ini diketahui lebih cocok dikelompokkan sebagai epidermolisis bulosa acquista dan dermatosis buloas IgA. Banyak dari penyakit pelepuhan subepidermal yang bisa menyerupai satu sama lain secara klinis, sehingga mengarah pada diagnosis yang tidak tepat dan membuat gambaran histologis dalam literatur dicurigai. Terakhir, untuk secara cepat berkembang menjadi ruam dan simptomologi pasien, dokter sering amemulai dengan resimen-resimen terapeutik untuk diagnosis klinis yang telah diduga. Terapi sering terdiri dari steroid dopikal atau sistemik dan inhibitor inflamasi. Pemeriksaanhistopatologi sebuah biopsi hanya dilakukan ketika respons terapeutik tidak memberikan hasil atau sebagian, yang menimbulkan pertanyaan tentang diagnosis klinis. Banyak yang mengambil biopsi tanpa memberitahukan ke dermatopatologist dari terapi tersebut. Terapi seperti ini sering menekan infiltrat inflammatory, respons epidermal, “tri-respons Lewis” dan perubahan-perubahan histologis lainnya. Evolusi dan hubungan temporal perubahan-perubahan histologis dari dermatitida pada berabgai terapi belum banyak didokumentasikan untuk memungkinkan kajian diagnostik ayng optimal atau bahkan akurat. Biopsi-biopsi harus diambil dari kulit perawan bukan dari kulit yang telah berubah secara terapeutik jika memungkinkan. Apabila terapi telah dilakukan, harus dihentikan, jika memungkinkan, sekurang-kurangnya 1 pekan sebelum pengambilan biopsi.
   
Dengan hal-hal tersebut di atas, gangguan-gangguan spesifik dan kelompok gangguan akan dibahas disini.

PENYAKIT BULOSA SUBEPIDERMAL
   
Penyakit buloas subepidermal adalah penyakit dimana sebuah lepuh terbentuk di sepanjang pertemuan dermo–epidermal. Kelompok penyakit ini mencakup kondisi-kondisi yang memiliki kenampakan klinis, gambaran histologis, dan patogenesis berbeda. Perubahan karena faktor genetik atau karena faktor lingkungan pada protein-protein kunci pada atau dalam pertemuan dermo-epidermal menghasilkan pembentukan lepuh. Dalam sub-kelompok penyakit bulosa subepidermal autoimun, antigen-antigen target utama yang diikat oleh autoantibodi dari pasien-pasien telah dikarakterisasi (Tabel 9-6). Beberapa dari gen yang mengkodekan autoantigen-autoantigen ini memiliki mutasi-mutasi yang bertanggung jawab untuk berbagia penyakit mekanobulosa, yakni, epidermolisis bulosa (EB). Untuk memahami penyakit bulosa epidermal, penting untuk memiliki beberapa pengetahuan tentang azona membran dasar epidermal dan berbagai protein target yang terkait dengannya (Gbr. 9-15).
   
Berangkat mulai dari epidermis ke dermis, ada empat komponen struktural berbeda dari membran dasar epidermal yaitu:
Filamen intermediat, plak hemidesmosomal, dan membran plasma dari keratinosit basal.
Lamina lucida yang mengandung filamen-filamen penjangkar halus yang menghubungkan hemidemosom dalam keratinosit basal ke lamina densa yang ada di bawahnya

Lamina densa yang memberikan banyak kekuatan bagi membran dasar. Komponen utama adalah kolagen tipe IV
Daerah sublaminar densa yang mengandung fibril-fibril penjangkar (kolagen tipe IV), plak penjangkar, dan protein berfilamen dari dermis papillary

Disepanjang permukaan basal dari keratinosit pertemuan dermo-epidermal, filamen-filamen intermediat keratin (keratin 5 dan 14) melekat ke hemodesmosom (HD) pada membran plasma basal. Komponen-komponen intraseluler utama dari HD mencakup antigen pemfigoid bulosa 230-kD (BPAg1) dan plektin. Komponen-komponen transmembran dari HD mencakup integrin α6β4 dan antigen pemfigoid bulosa 180-kD (BPAg2). Keduanya meluas ke lamina lucida pada tempat dimana filamen-filamen penjangkar terdapat. Filamen-filamen penjangkar amembuka lamina lucida antara HD dan lamina densa. Antibodi-antibodi terhadap BPAg1 adalah bagian dari penyakit bulosa subepidermal autoimun yang paling umum, yakni pemfigoid bulosa. BPAg2 ditargetkan oleh autoantibodi-autoantobodi dari pasien yang mengalami pemfigoid bulosa, pemfigoid gestasionis (PG), pemfigoid cicatricial (CP), dan sekelompok dermatosis bulosa IgA linear (LABD). Beberapa pasien yang mengalami bulosa epidermolisis lunak atropik menyeluruh (GABEB) memiliki defisiensi BPAg2 sejak lahir. Mutasi subunit β4 dari integrin α6β4 mengarah pada EB junctional yang terkait dengan atresia pyloric.
   
Lamina lucida merupakan hubungan terlemah dalam pertemuan dermo-epidermal dan ini merupakan bidang perpecahan pada kulit salt-split. Baerbagai antigen terkait dengan lamina lucida, khususnya filamen-filamen penjangkar. Antigen-antigen ini mencakup laminin 5, laminin 5, uncein, nidogen, dan epiligrin. Autoantibodi-autoantibodi terhadap epiligrin, subunit α3 dari laminin 5, menghasilkan salah satu bentuk pemfigoid sikatrisial. Mutasi-mutasi tidak bermakna pada gen laminin 5 terkait dengan bulosa epidermolisis junctional sub-tipe Herlitz.
   
Lamina densa merupakan sebuah lapisan padat elektron yang terletak sejajar dengan dan bersebelahan dengan lamina lucida. Komponen utamanaya adalah kolagen tipe IV, yang dianggap memberikan banyak kekuatan bagi membran dasar. Komponen-komponen antigenik lainnya adalah laminin 1, nidogen, dan heparan sulfat proteglikan.
   
Dalam daerah sublamina densa, lamina densa dan epidermis di atasnya ditambatkan ke dermis papillary oleh fibril-fibril penjangkar, serangkaian elemen penggabung di sepanjang sisi bawah dari lamina densa yang berfungsi sebagai tempat perlekatan untuk kolagen dalam dermis papillary. Kolagen tipe VBII adalah komponen utama dari fibril-fibril penjangkar. Autoantibodi-autoantibodi terhadap kolagen tipe VII telah diidentifikasi dalam epidermolisis bulosa acquisita (EBA), lupus eritematosus sistemik bulosa dan beberapa varian penyakit IgA linear (EBA berperantaran IGA). Mutasi-mutasi yang tidak bermakna pada gen kolagen tipe BVII (COL7A1) terkait dengan EB distropi.

Pemfigoid bulosa
   
Pertama kali ditemukan pada tahun 1953, pemfigoid bulosa mengenai utamanya pasien tua dengan bula tegas besar yang muncul pada basis eritematosa urtikarial atau pada kulit non-eritematosa. Perjalannya kronis dan jinak. Berbeda dengan pemfigus, tanda Nikolsky negatif pada kondisi ini. Lesi-lesi melibatkan trunkus, ekstremitas, dan area-area intertriginosa, dengan musa mulut yang terlibat pada sekitar sepertiga kasus. Pemfigoid bulosa bisa bermual sebagai sebuah erupsi non-spesifik yang merupakan tanda dari urtikaria atau dermatitis, dan bisa berlangsung selama beberapa pekan atau bulan. Cukup jarang, apemfigoid bulosa bisa terdapat sebagai sebuah eritroderma.
   
Histopatologi. Pada lesi-lesi awal, edema dermal papillary bersama dengan infiltrat eosinofilik dan limfositi perivaskular yang kaya sel atau miskin sel ditemukan (Gbr. 9-16A)/ Lepuh muncul pada pertemuan dermo-epidermal. Pada pola yang kaya sel, lepuh muncul pada kulit eritematosa (Gbr. 9-16B). Abses papillary eosinofilik bisa terbentuk dengan berbagai eosinofil interstitial dan perivaskular bercampur-baur dengan limfosit dan neutrofil dalam dermis superfisial dan dermisdalam. Lesi-lesi awal bisa memiliki gambaran histologis dari selulitis eosinoflik (sindro Well). Spongiosis eosinofilik bisa terjadi. Pola yang miskin-sel diamati ketika lepuh terbentuk pada kulit yang relatif normal (Gbr. 9-16C), dimana biasanya ada infiltrat limfositik perivaskular yang tidak cukup dengan sedikit eosinofil. Beberapa tersebar dalam dermis dan yang lainnya di dekat epidermis. Lumen lepuh mengandung sedikit sel inflammatory. Migrasi epitelium dan regenerasi bisa terjadi pada sebuah lokasi intraepidermal pada lebih yang sudah lama. Seperti pemfigus vegetans, sebuah hiperplasia pseudokarsinomatosa dari epidermis, bula subepidermal, dan akumulasi eosinofil dan limfosit bisa telihat.
   
Pengujian imunofluroesensi. Pengujian DIF terhadpa kulit perilesional telah menunjukkan deposisi C3 linear (Gbr. 9-17A) (Tabel 9-4). Pada pertemuan dermo-epidermal pada hampir 100% kasus dan IgG pada 65% hingga 95%. Pemeriksaan IIF menunjukkan antibodi anti IgG zona membran dasar bersirkulasi pada 70% sampai 80%. Demikian juga IgA dan IgM yang terdeposisi diamati pada sekitar 25% kasus. Tidak ada korelasi yang ditemukan antara titer antibodi dan keparahan klinis penyakit. IgG terletak dalam lamina lucida, dimana dia tampak terikat khusus ke hemidesmosom.
   
Pemeriksaan imunofluoresensi kulit salt-split (inkubasi kulit normal atau kulit pasien dalam 1 mol/L NaCl menghasilkan sebuah pecahan dalam lamina lucida) adalah sebuah alat diagnositk yang penting. Teknik ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1984, dimana kulit manusia normal digunakan sebagai sebuah substrat dan seru pasien sebagai uji (teknik kulit salt-split tidak langsung). Epidermis terpisah dari dermis di bawahnya melalui lamina lucida. Antibodi-antibodi pemfigoid terikat hanya ke aspek bawah daria keratinosit basal (atap lepuh). Pada 80% kasus; pada sekitar 20% kasus, antibodi-antibodi terikat ke keratinosit basal bawah (atap), dan aspek superior dari dasar (dasar lepuh) (Tabel 9-7). Cukup jarang, telah dilaporkan bahwa antibodi-antibodi pemfigoid bisa hanya terikat ke lantai; akan tetapi, aporan-laporan ini belum didukung oleh penelitian lain.
   
Kulit perilesional yang dianalisis dengan pemeriksaan DIF juga bisa berupa kulit slat-split (teknik kulit salt-split langsung). Ketika teknik ini digunakan pada pemfigoid, IgG terdapat pada atap atau pada atap dan dasar bawah (Gbr. 9-17B dan C). Lokalisasi ke hanya basis dermal belum dilaporkan pada pemfigoid bulosa dengan menggunakan teknik ini (Gabel 9-7). Pola ini merupakan ciri khas untuk EBA (Gbr. 9-20C).
   
Patogenesis. Antibodi-antibodi pemfigoid terikat ke dua antigen, protein 230-kD (BPAg1), dan kedua, protein 180-kD (BPAg2). Antigen mendasar, BPAg1, terkait dengan tempat perlekatan sitoplasmik dari hemidesmosom dan sebagian besar daam keratinosit basal. BPAg2 merupakan sebuah antigen heidesmosoma yang meluas ke lamina lucida. Distribusi antigen-antigen ini dalam kulit berkorelasi dengan lokasi lesi. Gangguan pelepuhan yang secara klinis serupa dengan pemfigoid memiliki antibodi-antibodi yang mengenali sebuah protein 105-kD yang disintesis oleh keratinosit dan fibroblast.
   
Dengan data yang ada, sebuah urutan proses patogenetik bisa diusulkan. Antibodi-antibodi pemfigoid terikat dengan BPAg1 dan BPAg2, mengaktivasi berbagai komplemen. Anafilatoksin, C3a dan C4a, diurai, mengaktivasi sel-sel mast. Aktivasi sel mast bisa diaugmentasi oleh IgG4 pemfigoid, yang memiliki sifat-sifat homositotropik untuk sel-sel mast. Sel-sel mast berdegranulasi, melepaskan berabgai mediator inflammatory, termasuk faktor kemotaktis eosinofil, faktor kemotaktis neutrofil, leukotrien B4, enzim proteolitik, dan faktor penstimulasi eosinofil. Infiltrasi eosinofilik terjadi dengan degranulasi selanjutnya dan pelepasan protein dasar utama dan enzim proteolitik lainnya. Pembuluh-pembuluh darah bersifat hiperpermeabel, kemungkinan karena pelepasan faktor premeabilitas vaskular (VPF) oleh keratinosit. Pemisahan lamina lucida terjadi akibat cedera keratinosit basal, gangguan hemidesmoso, dan proteolisis. Peranan limfosit penginfiltrasi yang sebagian besar adalah CD4+a masing belum jelas. IL-1 dan IL-2, serta INF-λ, telah diidentifikasi dalam cairan lepuh.
   
Pemeriksaan ultrastruktural. Antibodi-antibodi pemfigoid terikat dalam lamina lucida, khususnya ke hemidesmosom. Lepuh muncul dalam amina lucida pada lesi yang kaya sel dan miskin sel. Pada lesi yang miskin sel, ada gangguan pada filamen-filamen penjangkar tanpa fragmentasi lamina densa. Sebaliknya, lesi-lesi inflammatory dari pemfigoid bulosa dengan banyak sel eosinofil dan mononuklear dalam dermis menghasilkan kerusakan lokal yang lebih besar atau pembentukan lepuh dalam lamina lucida disertai fragmentasi lamina densa

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders