Prurigo nodularis dan lichen simpleks kronikus

Abstrak

Ketegangan emosional pada orang-orang yang rentan bisa memegang peranan penting dalam menimbulkan sensasi pruritus, mengarah pada penggarukan yang, dengan menjadi fotomekanisme terus menerus, bisa menjadi karakteristik utama dari dua penyakit klinis kutaneous yang berbeda, yaitu: prurigo nodularis dan lichen simpleks kronikus. Faktor-faktor psikogenik memegang peranan relevan pada kedua kondisi ini, dan sering terkait dengan depresi serta gangguan kejiwaan. Dengan demikian, penting untuk mengevaluasi pasien-pasien ini dari sudut pandang psikodermatologi yang mana bisa menganalisis hubungan antara penyakit kulit dan faktor-faktor psikologis. Pasien yang mengalami kecacatan sejati atau kecacatan yang dirasakan pada bagian-bagian tubuh tertentu (wajah, kulit kepala, tangan, dan area genital) lebih rentan mengalami gangguan psikologis, dimana penyakit kutaneous bisa mengarah pada tingkat gangguan yang meningkat. Karena faktor-faktor psikosomatis telah diperkirakan terdapat pada sekurang-kurangnya sepertiga pasien kulit, maka penatalaksanaan yang efektif untuk kondisi-kondisi kulit melibatkan pertimbangan faktor-faktor emosional yang terkait.

Kata kunci: lichen simpleks kronikus, penatalaksanaan, prurigo nodularis, psikodermatologi

Pendahuluan

Menurut perspektif psikosomatis yang lazimnya disepakati di kalangan komunitas ilmiah, ketegangan emosional pada orang-orang yang rentan bisa memegang peranan penting dalam menimbulkan gatal-gatal, sehingga mendorong seseorang untuk menggaruk. Fenomena ini bisa menjadi sebuah fotomekanisme yang terbentuk dengan sendirinya dan terus menerus  sehingga menghasilkan kondisi-kondisi klinis kutaneous tersendiri yang berbeda mencakup prurigo nodularis (PN) dan lichen simpleks kronikus (LSC).
   
Prurigo nodularis merupakan sebuah kondisi dermatologik yang ditandai dengan keberadaan papula-papula dan nodula-nodula yang disertai pruritus intensif. PN (atau biasa juga disebut lichenifikasi nodular sirkumskrib, nodula Picker) bisa terjadi pada usia berapapun dan tidak ada kecenderungan jender. Kondisi ini tampak dengan nodula keras berdiameter 1-5 cm, dengan permukaan merah gelap berpigmen, berkutil (warty), eksoriasi disertai kerak-kerak memusat, biasanya dikelilingi oleh cincin hiperpigmentasi tidak beraturan (Gbr. 1). Area ekstensor dari tungkai, wajah, dan trunkus biasanya terkena oleh lesi ini, yang mana bisa meninggalkan scar ketika sembuh spontan (Gbr. 2). Gatal-gatal yang terjadi cukup intensif, dan gatal-gatal yang parah bisa dipicu oleh tekanan emosional.
   
Lichem simpleks kronikus (LSC) merupakan sebuah gangguan kulit yang ditandai dengan lichenifikasi kulit sebagai akibat dari penggarukan yang berlebihan (Gbr. 3). LSC (neurodermatitis sirkumskrib) ditandai dengan plak lichenifikasi sentral yang menebal dan sering berhiperpigmentasi, biasanya dikelilingi oleh plak-plak lichenoid dan, di sepanjang batas dengan kulit normal yang mengelilingi, dikelilingi oleh sebuah zona penebalan ringan yang  tidak beraturan. Tempat yang paling umum terkena adalah leher, engkel, kulit kepala, vulva, pubis, skrotum, dan lengan bawah ekstensor. Puncak kejadian adalah antara usia 35 sampai 50 tahun, dan wanita lebih banyak terkena dibanding pria (2:1).
   
Lichen simpleks kronikus diklasifikasikan berbeda dengan bentuk-bentuk lichenifikasi sekunder lainnya, yang biasanya menyertai lesi-lesi kulit pruritisu persisten dari berbagai jenis, tetapi perbedaannya terkadang sangat kecil. Juga ada beberapa varian yang telah ditemukan (seperti lichenifikasi raksasa Pautrier, yang terjadi pada area genitokrural, dan yang disebut lichenifikasi pebbly pada subjek atopik). Gatal-gatal merupakan gejala yang dominan. Kondisi ini ditandai dengan serangan proksistikal, yang digaruk secara intensif sehingga menimbulkan kepuasan, berlanjut hingga 1-5 jam dan kemudian terjadi serangan pruritus lainnya. Biasanya, penggarukan juga terus dilakukan dalam waktu yang lama sehingga mendorong terjadinya luka-luka kulit yang jelas, khususnya ketika pasien mengalami tekanan psikologis parah.
   
Pada PN dan LSC, pruritus merupakan gejala utama, dan persistensi serta perkembangan lesi-lesi kulit berkorelasi dengan penggarukan dan penggosokan. Telah umum diketahui bahwa definisi pruritus masih belum memuaskan dan definisi yang diterima saat ini masih sebagai sebuah “sensasi yang, jika cukup kuat, akan mendorong penggarukan atau keinginan untuk menggaruk”. Pada kebanyakan penyakit kulit, gejala “pruritus” terkait dan berhubungan erat dengan dermatosis utama yang bersangkutan. Pada kasus-kasus lain, pruritus menjadi konsekuensi dari penyakit kutaneous primer sebagai sebuah tanda dari perkembangan atau kronisasi dermatosis tersebut. Pada PN dan LSC, stimulus yang mendasari (dan merupakan satu-satunya penyebab yang jelas) serta merupakan gejala yang paling penting adalah pruritus.
   
Definisi LSC yang pertama diperkenalkan oleh Vidal dan kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Brocq; Hardway melaporkan sebuah kondisi kulit yang ditandai dengan berbagai lesi nodular dan pruritus. Hyde selanjutnya menentukan kondisi ini sebagai PN.
   
Beberapa peneliti menggunakan definisi PN sebagai sinonim dari LSC tetapi menurut yang lainnya, keduanya adalah dua kondisi klinis berbeda yang ditandai dengan adanya pruritus sebagai stimulus. Hipotesis-hipotesis yang mencoba untuk menjelaskan pruritus yang terkait dengan PN dan LSC berfokus pada gangguan-gangguan medis internal, terkait dengan dermatosis, dan diatas semua aspek-aspek psikologis. Gangguan terkait yang paling umum dilaporkan dalam literatur adalah gagal ginjal dan penyakit biliary obstruktif, limfoma Hodgkin, hipertiroidisme, policythemia rubra vera, enteropati sensitif gluten; dermatosis yang memicu adalah dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, dermatitis statis, dan gigitan serangga.
   
Faktor-faktor psikogenik bisa memegang peranan relevan pada PN dan LSC; evaluasi profil psikiatri telah membuktikan bahwa keduanya sering terkait dengan depresi dan gangguan kejiwaan. Bidang psikodermatologi telah lahir karena meningkatnya minat dalam memahami hubungan antara penyakit kulit dan berbagai faktor psikologis. Pasien yang mengalami kecacatan/ketidaksempurnaan, baik yang sejati maupun yang merupakan persepsi, pada bagian-bagian tubuh yang memiliki citra penting (wajah, kulit kepala, tangan, dan daerah kelamin) lebih rentan mengalami gangguan psikologis. Lebih daripada itu, orang-orang dengan penyakit kutaneous mengalami tingkat gangguan yang meningkat, sebagaimana diukur dengan kuisioner kesehatan umum dan wawancara diagnostik terstruktur. Karena faktor-faktor psikosomatis dalam penyakit kulit telah diperkirakan terdapat pada sekurang-kurangnya sepertiga pasien kulit, penatalaksanaan yang efektif terhadap kondisi kulit ini melibatkan pertimbangan faktor-faktor emosional yang terkait.

Histopatologi dan patogenesis
   
Gambaran histopatologi dari PN adalah hiperplasia epidermal disertai ortokeratosis, parakeratosis fokal, dan acanthosis tidak beraturan, hipergranulosis ringan sampai parah dan proliferasi sel-sel Swann, dan hiperplasia neural. Jumlah sel Merkel yang meningkat pada epidermis telah ditemukan. Infiltrat inflammatory dalam dermis sebagian besar terdiri dari limfosit, sel mast, histiosit, dan sesekali eosinofil. Sel-sel mast pada PN ditandai dengan bentuk yang lebih dendritus jika dibandingkan dengan kulit normal, dimana mereka normalnya bulat dan memanjang, lebih banyak, dan terikat erat dengan ujung-ujung saraf. Morfologi sel-sel ini dan pertetanggaan dengan ujung-ujung saraf berkorelasi dengan peningkatan pelepasan faktor pertumbuhan saraf (NGF) dan dengan semua mediator gatal yang dihasilkan oleh sel-sel mast seperti: histamin, triptase, leukotriena, prostaglandin, interleukin 2,4,6 (14-17). Disamping itu, eosinofil, yang meningkat dalam dermis, mengandung kadar protein kation eosinofil yang tinggi dan protein x eosinofil/neurotoksin asal eosinofil. Kedua protein ini mampu mendegranulasi sel-sel mast.
   
Gambaran histopatologi pada lichen simpleks adalah hiperplasia epidermal, ortokeratosis, dan hipergranulosis dengan pemanjangan rete ridges secara reguler. Terdapat infiltrat limfosit perivaskular dan terkadang infiltrat makrofage. Makrofage tidak dendritus secara jelas seperti pada PN dan jauh lebih kecil. Lebih daripada itu, pada LSC tidak terdapat hiperplasia neural dan kelimpahan NGF serta kurangnya imunostaining positif untuk mediator reseptor NGF pruritus seperti pada PN. Temuan-temuan terbaru ini tidak hanya menambah kontribusi untuk membedakan PN dari LSC, tetapi juga memberikan data yang menarik untuk berspekulasi tentang patogenesis kedua penyakit ini.

Diagnosis dan diagnosis banding
    Pada PN dan pada LSC, gambaran klinis biasanya sudah cukup untuk mendiagnosa penyakit-penyakit ini. Tahap pertama adalah memastikan  ada tidaknya penyakit yang mendasari dan kemudian mencari penyebab pruritus umum, yang bisa dipantau dalam laboratorium (Tabel I). Evaluasi instrumental seperti CT scan dan sinar-x dada dilakukan jika limfoma dicurigai. Jika penyebab umum telah diketahui, diagnosis banding yang paling umum untuk PN adalah: lichen planus hipertropi, kerato-acanthoma berganda, dan pemfigoid nodularis. Jika ada sedikit lesi, skabies nodular bisa dipertimbangkan.
   
Lichen simpleks kronikus harus dibedakan dari psoriasis, mikosis fungoides, lichen planus, dan lichen amyloidosis. Semua penyakit kulit ini bisa dikeluarkan dengan mudah atau tidak berdasarkan histopatologi.

PN dan LSC – sebuah model untuk psikoneuroimunologi kutaneous?
   
Hubungan antara gangguan mental dan afektif dengan status neuro-imun-endokrin yang terkait kulit telah diketahui, sehingga mendukung hipotesis bahwa faktor-faktor psikologis dan sosial mempengaruhi proses penyakit dalam kulit. Kulit, khususnya, bisa diinterpretasi sebagai titik pertemuan antara aktivitas otak, sistem imun, dan kulit itu sendiri ang simultan dan saling terhubung. Dalam hal ini, neuropeptida, interleukin, dan duta sistem imun tidak hanya merupakan duta, tetapi juga menjadi pelaku dalam kondisi klinis spesifik. Mengherankannya, sangat sedikit penelitian klinis dan eksperimental yang telah meneliti hubungan antara data dan kondisi klinis yang telah diketahui. Meski demikian, agen-agen psikotropika dan intervensi-intervensi psikoterapeutik non-farmakologi bisa memiliki imbas positif yang kuat terhadap beberapa penyakit kulit, termasuk PN dan LSC.
   
Entitas klinis yang jelas seperti PN dan LSC kemungkinan merupakan bidang pengamatan yang penting untuk memahami kejadian-kejadian psiko-neuro-imun pada kulit manusia.

Penatalaksanaan dan perawatan
   
Lichen simpleks dan PN merupakan kondisi yang menyulitkan (bagi pasien dan dokter kulit) untuk diobati, tanpa adanya hubungan mendasar yang jelas, karena kekebalannya yang tinggi terhadap terapi. Terdapat siklus “gatal-garuk”, yang sangat sulit dihentikan, tetapi lebih daripada itu, ada kondisi psikologis tertentu dari pasien yang dipengaruhi oleh kedua penyakit kulit ini. Dengan demikian strategi-strategi terapeutik selain farmakologi sangat penting.
   
Agen-agen antipruritus spesifik topikal seperti metanol 1% dan fenol pada krim dasar, dulunya direkomendasikan, tetapi tidak sangat membantu. Krim-krim glukokortikoid topikal kuat atau salep seperti betametason dipropionat (dibawah oklusi) atau glukokortikoid intralesional seperti triamnikolon asetonida sering berhasil digunakan. Pengaplikasian capsaicin secara topikal (0,025-0,1%), yang mampu mencegah akumulasi neuropeptida pada saraf-saraf kutaneous tipe delta-A myelinasi kecil, bisa efektif dalam mengobati manifestasi-manifestasi awal. Takrolimus topikal telah terbukti efektif pada LSC.
   
Pada bentuk PN yang difus dan/atau kebal obat, terapi berbasis ultraviolet memanfaatkan UVB (baik berkas sempit maupun berkas lebar) dan UVA; UVB berkas sempit kelihatannya lebih efektif dan lebih kurang berbahaya dibanding PUVA yang perlahan-lahan kurang digunakan di masa lalu. Pada bentuk PN yang kebal pengobatan, siklosporin mengurangi keparahan pruritus dengan menghambat transkripsi limfokin dan aktivasi serta proliferasi limfosit. Dosis tidak boleh kurang dari 4 mg/kg/hari selama periode tidak kurang dari 6 bulan. Thalidomid dan naltrekson juga bisa efektif pada bentuk PN difus yang resisten. Thalidomid mengurangi kemotaksis leukosit morfonuklear dan secara selektif menghambat produksi TNF-alfa sehingga berinteraksi dengan pato-mekanisme yang disebutkan. Efek antipruritus dari naltrekson disebabkan oleh aktivitas antagonisnya terhadap reseptor opiat sentral dan perifer. Ada beberapa laporan tentang efikasi etretinat (50-75 mg/hari) dalam mengurangi pruritus bahkan jika mekanisme-mekanisme aksi spesifik tidak ditemukan.
   
Setelah pengobatan farmakologi, intervensi-intervensi psikosomatis bisa dianjurkan. Salah satu strategi terbaik adalah biofeedback. Sebagaimana dilaporkan oleh Shenefelt pada penyakit-penyakit kulit dengan komponen saraf otonomik terdokumentasi, biofeedback dengan atau tanpa hipnosis terkait bisa membantu. Dengan pelatihan, individu bisa secara sadar merasakan bagaimana merubah respon otonomik dan dengan pengulangan yang cukup ini bisa membentuk pola kebiasaan baru, kemungkinan dengan menghindari, misalnya penggarukan dan penggosokan.
   
Konseling pendukung terdiri dari banyak intervensi psikologis yang bisa diterapkan dokter untuk menarik perhatian ke gangguan-gangguan yang dilaporkan oleh pasien. Pendekatan-pendekatan berkisar mulai dari penenanangan pasien terhadap klarifikasi tentang sifat dari penyakit, dan titik pemicu. Pada kasus seperti ini, dokter bisa berhasil dalam menyalurkan kilas komprehensi kepada pasien. Klarifikasi rasionil awal tentang gejala-gejala bisa menghilangkan ketidakpastian tentang penyakit dan kronisitas dampak dari pola klinis. Dan juga, terapi perilaku-kognitif telah memberikan hasil yang baik dalam LSC dan PN. Metode-metode ini memiliki tujuan utama untuk memodifikasi perilaku yang dianggap tidak adaptif terhadap individu. Lebih daripada itu, mereka menggunakan sebagian terapi-terapi kognitif dalam mengidentifikasi sisi negatif disfungsional atau membentuk ulang gambaran pemikiran dengan menawarkan perspektif positif yang baru.

Kesimpulan
   
Pasien yang terkena penyakit kulit seperti LSC dan PN memberikan tantangan tersendiri bagi dokter kulit, karena mereka biasayna memerlukan bukan hanya keahlian pemecahan masalah kulit untuk penatalaksanaan permintaan perawatan fisik, tetapi juga keahlian pengaturan emosi untuk menangani “penyakit emosional”. Lebih daripada itu, dengan pandangan ini, kolaborasi dengan seorang psikodermatologist ahli, atau sekurang-kurangnya, dengan ahli psikoterapi yang tertarik dengan bidang penatalaksanaan pasien kulit, bisa menghasilkan penatalaksanaan pasien secara optimal.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders