Peranan Laju Endapan Darah dalam Prediksi Dini Keparahan Stroke

Abstrak

Latar belakang dan tujuan. Indikator awal untuk imbas fungsional setelah stroke diperlukan untuk perencanaan perawatan dan pengobatan yang lebih baik. 

Metode. Kami mengevaluasi secara prospektif indikator-indikator klinis awal untuk imbas fungsional jangka-pendek pada sekelompok pasien dengan infarksi serebral ischemik dan menyelidiki apakah intensitas respons fase-akut dapat memberikan informasi tambahan tentang imbas fungsional jangka-pendek. Kami mengevaluasi sekelompok 208 pasien stroke ischemik dengan menggunakan skala Mathew. Semua pasien menjalani pemeriksaan neuroimaging dan uji darah rutin, termasuk laju endapan darah (LED), dalam 72 jam sejak onset klinis. Saat dikeluarkan dari rumah sakit, imbas fungsional diberi nilai menurut skala Stroke Outcome Scale. 

Hasil. Infark yang lebih besar, infark yang lebih embolik, dan infark yang kurang lacunar diamati pada kelompok imbas-buruk. Faktor-faktor risiko vaskular, temuan-temuan radiologis yang tidak terkait dengan stroke pertama, waktu sampai perujukan, dan perawatan cukup mirip pada kedua kelompok imbas. Variabel-variabel dengan perbedaan yang signifikan menurut statistik antara kedua kelompok imbas mencakup: usia >65 tahun, jenis kelamin perempuan, skor Mathew saat perujukan >75, pemburukan kondisi pada saat presentasi klinis, volume infark, tipe presentasi klinis, dan LED yang tetap berada dalam model prediktif imbas stroke, dengan sensitifitas dan spesifitas 89,91% dan 85,71%, masing-masing. Setelah menghilangkan informasi CT dari model variabel-variabel yang sama tetap tidak berubah, dengan sensitifitas dan spesifitas masing-masing 83,05% dan 94,29%. 

Kesimpulan. Ukuran infark dan keparahan klinis saat perujukan adalah indikator yang lebih kuat untuk imbas fungsional jangka-pendek. TIpe presentasi klinis, evolusi klinis selama hari pertama stroke, dan LED juga merupakan indikator independen untuk imbas stroke jangka-pendek. Temuan-temuan ini bisa menjadi indikasi profil kolateral yang tidak memadai dan/atau keadaan protrombotik yang lebih parah. 

Kata kunci: Gangguan serebrovaskular, eritrosit, prognosis


Pendahuluan

Walaupun perawatan yang efektif terhadap stroke ischemik belum ditemukan, namun semakin disepakati bahwa tindakan-tindakan terapeutik harus diberikan sesegera mungkin setelah onset stroke untuk meningkatkan peluang keefektifan perawatan tersebut. Diperlukannya keputusan terapeutik yang cepat menekankan pentingnya indikator dini untuk imbas fungsional. Pengetahuan yang lebih baik tentang penanda imbas fungsional (klinis dan laboratorium) akan menghasilkan pendekatan yang lebih spesifik dan kemungkinan lebih baik untuk penatalaksanaan pasien yang mengalami stroke. 

Telah disepakati bahwa ukuran infark yang dideteksi pada pemeriksaan neuroimaging menjadi sebuah prediktor kuat untuk imbas klinis. Akan tetapi, CT scan atau informasi dari MRI otak tentang besarnya infarksi serebral biasanya terlalu lambat tersedia setelah onset klinis sehingga tidak begitu membantu dalam tahap pengambilan keputusan penatalaksanaan. Manfaat prediktif teknik neuroimaging ini selanjutnya terbatas pada fase jangka-panjang dari stroke. Akibatnya, prediksi imbas stroke pada dasarnya bergantung pada temuan-temuan klinis. Diantaranya, keparahan defisit klinis saat perujukan ke rumah sakit dianggap sebagai penentu utama imbas fungsional. 

Sejauh pengetahuan kami, belum ada penelitian sebelumnya yang secara prospektif telah menilai respons fase akut dalam kaitannya dengan  ischemik otak menggunakan kriteria radiologis dan klinis yang jelas, untuk tujuan prognostik. Pada pasien-pasien yang mengalami infarksi myokardial, peningkatan respons fase-akut berkorelasi baik dengan besarnya kerusakan jaringan. Pada pasien yang mengalami infarksi serebral, respons fase-akut ini belum ditentukan dengan baik. 

Setelah data pendahuluan kami menunjukkan bahwa laju endapan darah (LED) bisa membantu dalam prediksi dini imbas stroke, maka tujuan utama dari penelitian kali ini adalah untuk menghitung parameter ini dalam sebuah kohort pasien yang lebih besar dengan stroke akut dan untuk mengevaluasi kontribusi independennya dalam prediksi imbas fungsional. Pengetahuan yang lebih baik tentang respons fase-akut yang terkait dengan stroke ischemik akan meningkatkan pemahaman kita tentang abnormalitas rheologi yang dilaporkan pada pasien-pasien ini. 

Subjek dan Metode

Dari Oktober 1992 sampai Oktober 1993, sebanyak 273 pasien yang mengalami stroke ischemik atau serangan ischemik sementara dirujuk ke Stroke Unit of Neurology Service, yang mencakup 208 pasien dengan stroke ischemik yang dirujuk dalam 72 jam sejak onset klinis. Lima puluh tiga pasien dikeluarkan dari analisis karena alasan-alasan berikut: stroke non-ischemik, waktu mulai dari onset stroke sampai perujukan ke rumah sakit >72 jam, atau pemeriksaan tidak lengkap. Sebanyak 12 pasien lagi juga dikeluarkan dari analisis karena potensi gangguan terhadap respons fase akut. Daftar kondisi-kondisi ini mencakup: riwayat infarksi myokardial terbaru (<1 bulan), sepsis, infeksi bakteri, keganasan, kehamilan, gagal ginjal dan gagal hati parah, penyakit kolagen, trombositopenia, trombositosis, atau trombosis vena dalam. Kami memberi skor  kondisi neurologi pasien pada hari perujukan dengan menggunakan skala Mathew dkk., yang selanjutnya dibagi dua menjadi <75 dan ≥75 dari nilai maksimum 100. 

Semua pasien menjalani sekurang-kurangnya satu pemeriksaan CT scan otak, dan 150 pasien (72%) juga menjalani pemeriksaan MRI otak. Karena CT scan pertama biasanya dilakukan terlalu cepat setelah onset stroke, maka pemeriksaan pencitraan diulangi seperlunya untuk gambaran yang lebih baik tentang ukuran infark dan topografi vaskular. Area vaskular dipetakan dengan atlas CT Damasio, dan volume infark diukur menurut atlas Gado, Hanaway, dan Frank. Infark lebih lanjut dikelompokkan menjadi infark kecil dan infark besar (masing-masing ≤6 atau >6 cm3 volumenya), dan keberadaan lesi-lesi lama, infark halus, atau penyakit putih juga dipertimbangkan. Mekanisme stroke yang paling mungkin, mengklasifikasikan infark menjadi infark kradioembolik, atherosklerotik, lacunar, dan infark dengan penyakit yang tidak diketahui, menurut kriteria yang digunakan oleh Stroke Data Bank. Cara presentasi gejala dan evolusi klinis yang dialami oleh pasien selama 24 jam pertama dicatat baik dengan riwayat atau dengan pemeriksaan klinis langsung. Informasi ini dibagi menjadi dua kategori yaitu “ada perbaikan” atau “tidak ada perbaikan”, kategori “tidak ada perbaikan” menunjuk pada gejala-gejala yang meningkat, berfluktuasi, atau mencapai maksimum sejak dari onset dan tidak mengalami perubahan signifikan selama 24 jam pertama. Uji invasif dan non-invasif yang ditujukan untuk menentukan sub-jenis stroke dilakukan jika memungkinkan, dan keputusan-keputusan terapeutik dibuat oleh dokter yang bertanggung jawab untuk itu. Pada saat perujukan, kami melakukan uji darah rutin pada semua pasien. Kenampakan infeksi-infeksi yang rumit dievaluasi dengan pemeriksaan klinis harian, jumlah leukosit, uji urin, sinar-X dada, atau uji-uji lain (seperti echografi) jika memungkinkan. Variabel-variabel laboratorium yang diinginkan mencakup kadar glukosa non-fasting (<130 berbanding ≥ 130 mg), kadar glukosa fasting (<100 berbanding ≥110 mg), hematokrit, dan LED (dalam milimeter per jam) yang diukur dengan metode Westergren dalam 72 jam sejak onset klinis. Menurut nilai-nilai LED normal yang ditentukan dalam laboratorium kami, kami mendefinisikan “kelompok LED rendah” pada pria yang memiliki LED ≤ 13 mm/jam atau wanita dengan LED ≤20 mm/jam dan “kelompok LED tinggi” pada pria dengan LED >13 mm/jam atau wanita dengan LED >20 mm/jam. Variabel-variabel lain yang diinginkan mencakup tekanan darah sistolik dan diastolik saat perujukan, infeksi-infeksi yang mempersulit, dan tipe perawatan (antiagregat berbanding antikoagulan). 

Imbas fungsional diukur pada hari pasien dikeluarkan dari rumah sakit (rata-rata, 103 hari) berdasarkan skala SOS (Stroke Outcome Scale) yang diberi nilai mulai dari 1 sampai 6. Kategori “imbas fungsional baik” mencakup skor antara nilai 1 (pasien dengan gejala neurologi tetapi tanpa tanda dan tanpa gangguan aktivitas) dan nilai 3 (ada gejala dan tanda, tanpa gangguan aktivitas); “Imbas fungsional buruk” mencakup skor antara nilai 4 (gangguan pada satu tungkai atau gangguan berbicara) dan nilai 6 (gangguan pada dua tungkai dan gangguan berbicara, atau kematian). Dalam skala ini, gangguan lengan menunjuk pada ketidakmampuan untuk makan, berpakaian, atau menggunakan toilet tanpa bantuan alat mekanik atau orang lain; gangguan kaki menunjuk pada ketidakmampuan untuk berjalan tanpa bantuan dari orang lain atau bantuan mekanis; dan gangguan berbicara menunjuk pada ketidakmampuan untuk berkomunikasi pada situasi-situasi yang tidak lazim atau situasi-situasi dimana pasien harus berupaya sendiri. 

Analisis Statistik

Untuk analisis statistik, data-data kontinyu dinyatakan sebagai nilai meanSD. Kami melakukan analisis univariat dengan menggunakan uji x2 dengan koreksi kontinuitas dan uji t untuk variabel kontinyu. Ini memungkinkan kami untuk menentukan kategori-kategori bagi variabel-variabel kontinyu sebagai berikut: usia (<65 berbanding 65 tahun), riwayat hipertensi (diobati atau >160 mm Hg sistolik atau >90 mm Hg distolik), diabetes (diobati atau kadar glukosa fasting >110 mg), dan hiperkolelsterolemia (diobati atau >240 mg). Variabel-variabel epidemiologi lainnya yang dipertimbangkan mencakup jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat infarksi myokardial, angina, atrial fibrillation, gagal jantung kongestif, dan serangan atau stroke ischemik sementara. Regresi logistik bertahap juga digunakan untuk menilai kontribusi independen variabel-variabel yang signifikan menurut statistik pada analisis univariat dalam prediksi imbas fungsional. Nilai P < 0,05 dianggap signifikan menurut statistik. 

Hasil

Seratus tiga puluh pria dan 78 wanita (usia rata-rata 6712 tahun; kisaran 20 sampai 94 tahun) dirujuk dalam 2318 jam setelah onset stroke (16% dalam 6 jam, 54% dalam 24 jam, dan 82% dalam 48 jam). Skor Mathew saat perujukan adalah 78,419,5. Skor Mathew saat dikeluarkan dari rumah sakit adalah 80,128,4, dan rata-rata volume infark adalah 3354 cm3. Cara presentasi klinis dan evolusi awal menunjukkan bahwa 35% pasien membaik selama 24 jam pertama, 25% memburuk, 36% memiliki defisit maksimal sejak dari onset, 4% berfluktuasi, dan sisanya 1% tidak diketahui inforamsinya. Antiagregants digunakan pada 48% pasien, antikoagulan pada 51%, dan tidak ada agen antitrombotik pada 1% pasien. Infeksi yang menyertai ditemukan pada 16% pasien. Pasien yang tidak memiliki infeksi memiliki skor Mathew 82,416 saat perujukan dibanding dengan 56,821,1 pada pasien yang mengalami infeksi (P < 0,0001). 

Imbas fungsional yang baik (SOS 1 sampai 3) diamati pada 76 pasien (37%), sedangkan 132 pasien (63%) memiliki imbas fungsional yang buruk (SOS 4 sampai 6). Pada kelompok yang terakhir ini, sub-kelompok SOS menunjukkan bahwa 63 pasien (30%) memiliki nilai 4, 34 pasien (16%) memiliki nilai 5, dan 35 pasien (17%), termasuk 16 kematian selama perawatan rumah sakit, memiliki nilai 6. Faktor-faktor risiko vaskular, serta temuan-temuan radiologis yang tidak terkait langsung dengan stroke pertama, tidak berbeda antara kelompok-kelompok imbas (Tabel 1). Waktu sampai perujukan ke rumah sakit (2418 berbanding 2218 jam), tipe perawatan, dan waktu sampai dimulainya perawatan (2939 berbanding 3550 jam) tidak menjelaskan perbedaan antara kelompok-kelompok imbas. Berbeda dengan itu, dalam kaitannya dengan mekanisme stroke dan ukuran infark, infark yang lebih besar, stroke yang lebih kardioembolik, dan stroke yang kuranglacunar diamati pada kelompok imbas buruk (Tabel 1). 

Pada analisis univariat, variabel-variabel yang membedakan antara kelompok-kelompok imbas mencakup usia >65 tahun, jenis kelamin perempuan, skor Mathew saat perujukan <75, pemburukan saat presentasi klinis, volume infarksi >6 cm3, infeksi yang menyertai, kadar glukosa fasting >100 mg, kadar glukosa non-fasting >130 mg, dan LED yang meningkat (Tabel 2). 

Kontribusi independen variabel-variabel yang ditemukan signifikan dalam prediksi imbas fungsional dievaluasi dengan menggunakan regresi logistik. Keparahan klinis saat perujukan, tipe presentasi klinis, volume infark, dan LED yang meningkat tetap dalam model (Tabel 3), dengan kesensitifan dan spesifitas 89,91% dan 85,71%, masing-masing. Untuk mengevaluasi seberapa banyak prediksi yang meningkat ketika LED ditambahkan ke prediktor lain, model regresi logistik bertahap digunakan. Sensitifitas model meningkat dari 85,32% menjadi 89,91%, spesifitas berkisar mulai dari 90,4% sampai 85,71%, dan nilai prediktif total meningkat dari 87,21% menjadi 88,37%. Sehingga, dengan menambahkan LED ke model lebih banyak pasien dengan imbas buruk yang diklasifikasikan secara tepat. 

Karena informasi yang berkaitan dengan ukuran infarksi biasanya diperoleh setelah keputusan perawatan dibuat, maka analisis ke-dua dilakukan setelah ukuran infark telah dikeluarkan dari model (Tabel 3). Variabel-variabel yang sama tetap berada dalam model, yang mana memiliki sensitifitas dan spesifitas masing-masing 83,05% dan 94,29%. 

Pembahasan

Hasil kami menguatkan hipotesis bahwa disamping ukuran infark dan keparahan klinis saat perujukan, LED merupakan sebuah indikator independen untuk imbas stroke jangka-panjang. Sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya, kami juga menemukan bahwa CT scan memiliki kegunaan yang terbatas untuk tujuan prognostik dini. CT scan wajib untuk menunjukkan diagnosis alternatif, tetapi menurut temuan kami imbas fungsional lebih dapat diprediksi tanpa bantuan CT scan. Walaupun dimasukkannya CT scan dalam model prediktif imbas fungsional yang berfungsi untuk meningkatkan kesensitifan agar dapat mendiagnosa pasien-pasien yang akan memiliki imbas fungsional buruk, namun ini juga akan mengurangi spesifitas model karena CT scan normal awal tidak memastikan tidak adanya kenampakan infark besar pada pemeriksaan-pemeriksaan selanjutnya. 

Usia juga telah dilaporkan sebagai sebuah prediktor signifikan untuk imbas stroke. Akan tetapi, kami sependapat dengan penelitian-penelitian terdahulu yang telah menyebtkan bahwa hubungan ini bisa dijelaskan secara lebihbaik dengan keberadaan faktor-faktor lain, seperti keparahan gangguan neurologi saat perujukan. Dalam kasus-kasus kali ini, penjelasan lain untuk interaksi antara usia dan prognosis adalah bahwa pasien-pasien yang lebih tua menunjukkan infark yang jauh lebih besar. 

Penelitian-penelitian terdahulu telah menentukan bahwa pria memiliki prognosis yang lebih buruk untuk sembuh. Walaupun pada analisis univariat kami menemukan bahwa wanita lebih buruk, namun pada analisis multivariat jenis kelamin tidak tetap berada dalam model. Usia yang lebih tua, skor Mathew yang lebih rendah saat perujukan, dan ukuran lesi yang lebih besar pada kelompok perempuan dapat menjelaskan perbedaan yang ditemukan untuk imbas fungsional antara laki-laki dan perempuan. 

Baru-baru ini, respons fase-akut ditemukan tidak terkait dengan besarnya infarksi serebral tetapi terkait dengan infeksi-infeksi bakteri selama bulan sebelum infarksi serebral. Hasil kami menentang temuan-temuan ini, karena pasien dengan infeksi terbaru dikeluarkan dan sehingga sampel-sampel darah diambil sebelum kebanyakan infeksi pasca-stroke biasanya cenderung terjadi. Walaupun kami menemukan nilai LED yang lebih tinggi pada pasien-pasien yang selanjutnya mengalami infeksi rumit, yang menandakan bahwa pada beberapa kasus infeksi yang tidak didiagnosa bisa menjelaskan beberapa peningkatan dini ini, namun tidak infeksi tidak juga interaksi antara infeksi dan LED yang tetap menjadi indikator independen untuk imbas stroke ketika dimasukkan dalam sebuah analisis multivariat. Hubungan yang kami temukan antara infeksi dan imbas yang buruk pada analisis univariat bisa dijelaskan oleh fakta bahwa pasien yang mengalami infeksi memiliki skor Mathew yang jauh lebih buruk pada hari perujukan. Pasien dengan defisit neurologi yang lebih buruk lebih besar kemungkinannya memiliki komplikasi, termasuk infeksi. 

Temuan utama dalam penelitian kali ini adalah hubungan antara LED pada saat perujukan, tipe presentasi klinis, evolusi awal, dan imbas stroke. Sehingga, kami menemukan hubungan signifikan antara LED yang lebih tinggi pada saat perujukan dan pemburukan klinis selama 24 jam pertama onset stroke. Karena pemburukan klinis pada fase awal stroke seperti ini paling sering disebabkan oleh trombosis, maka bisa dispekulasikan bahwa pengukuran LED kami merupakan sebuah penanda tidak langsung untuk pembentukan trombus. Hipotesis ini lebih didukung oleh oleh temuan bahwa kadar LED yang lebih tinggi ditemukan pada pasien lebih tua dengan lesi lebih besar dan defisit yang lebih parah saat perujukan: semua faktor ini menunjukkan kapasitas yang kurang untuk sirklasi kolateral, yang akan mempermudah stasis darah dan perkembangan trombus sekunder. 

Baru-baru ini, sebuah hubungan erat antara LED, fibrinogen, dan aliran darah serebral telah ditemukan. Begitu juga, peningkatan LED pada fase akut stroke bisa menandakan peningkatan konsentrasi fibrinogen yang lebih besar dan pengurangan aliran darah serebral yang lebih parah, yang akan menghasilkan lesi yang lebih luas. Hubungan terbalik antara LED dan imbas stroke juga bisa menandakan penggantian konsentrasi normal antikoagulan alami. Baru-baru ini, sebuah korelasi kuat ditemukan antara LED dan protein C4b-BP, sebuah protein berbobot molekul tinggi yang memiliki satu tempat pengikatan untuk protein S dependen vitamin K, sebuah inhibitor koagulasi. Walaupun protein C4b-BP bisa berperilaku sebagai sebuah reaktan fase akut, diketahui bahwa ketika protein S terikat ke C4b-BP, maka protein S tidak memiliki aktivitas antikoagulan. Sehingga, perubahan akut pada protein C4b-BP bisa menyebabkan rentan terhadap trombosis. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi hubungan potensial antara LED, protein C4b-BP, dan protein S pada pasien-pasien yang mengalami stroke ischemik. 

Walaupun desain penelitian ini tidak memungkinkan kami untuk menentukan apakah abnormalitas hematologik mendahului onset stroke atau semata-mata menunjukkan perubahan pasca-ischemik yang tidak spesifik, namun kami bisa menyimpulkan bahwa peningkatan dini LED merupakan sebuah penanda yang baik untuk imbas  stroke jangka-pendek yang buruk. Apabila informasi yang diperoleh dari uji yang sederhana ini dipertimbangkan bersama dengan keparahan stroke pada saat perujukan dan tipe onset klinis, maka model prediktif yang sangat spesifik dan sensitif untuk imbas fungsional jangka-pendek bisa diperoleh. Dimasukkannya pengukuran LED dalam orde perujukan standar untuk pasien yang menderita stroke akut dapat menjadi uji yang murah dan bermanfaat bagi para dokter pada waktu dimana uji radiologi biasanya terlalu mengabaikan luasan sebenarnya infarksi otak dan mengurangi spesifitas model-model yang memprediksikan imbas fungsional setelah stroke ischemik. Dengan pengetahuan yang lebih tepat tentang prediktor-prediktor imbas dini, maka inklusi pasien dalam trial-trial terapeutik bisa distratifiksi menurut rasio ganjil untuk mengalami evolusi klinis yang berbahaya.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Prosedur dan Alat Diagnostik