Penyakit-Penyakit Medis Jangka-Panjang dan Depresi Berat: Kekuatan Hubungan untuk Penyakit-Penyakit Tertentu dalam Populasi Umum
Penelitian-penelitian epidemiologi telah menemukan prevalensi depresi besar (MD) yang meningkat dalam kaitannya dengan berbagai penyakit medis jangka-panjang. Beberapa dari penelitian ini menggunakan data dari pengamatan-pengamatan skala besar, tetapi tak satupun yang memiliki ukuran sampel yang cukup besar untuk memberikan perbandingan tepat terhadap kekuatan hubungan yang menkaitkan MD dan penyakit-penyakit tertentu. Hubungan antara penyakit-penyakit medis dan MD mencerminkan hasil akhir dari serangkaian faktor mendasar kompleks, yang mencakup kejadian kondisi medis pada orang-orang yang megalamai MD, kejadian MD pada orang yang memiliki penyakit medis, dan efek MD dan penyakit medis terhadap kematian satu sama lain dan prognosis. Pengisolasian faktor-faktor seperti ini biasanya memerlukan penelitian-penelitian klinis khusus, sedangkan eksplorasi prevalensi memerlukan pengumpulan data berbasis populasi skala besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri prevalensi MD dalam kaitannya dengan serangkaian penyakit medis dalam sebuah sampel berskala besar dari populasi umum.
Hubungan antara MD dan beberapa penyakit, seperti sakit kepala migrain, telah dilaporkan secara konsisten, sedangkan hasil negatif yang dominan telah dilaporkan dari penelitian-penelitian berbasis populasi untuk beberapa penyakit lain, utamanya hipertensi dan diabetes. Akan tetapi, apabila hasil-hasil negatif untuk penyakit umum telah dilaporkan dalam penelitian populasi, maka tetap ada kemungkinan bahwa efek lemah atau sedang bisa hilang karena kesalahan tipe II.
Terlepas dari mekanisme sebab-akibat, dampak penyakit depresi terhadap kualitas hidup dan penatalaksanaan klinis menyoroti pentingnya komorbiditas depresif pada berbagai penyakit medis. Beberapa penelitian yang dilaksanakan dalam setting klinis telah mengidentifkasi frekuensi MD yang tinggi. Sebagai contoh, Kovacs dan lain-lain melaporkan prevalensi MD 27,5% selama follow-up 20 tahun pada anak muda yang didiagnosa dengan diabetes mellitus dependen-insulin. Akan tetapi, sampel penelitian ini diperoleh dari rumah sakit tingkat tersier, dan prevalensi yang dilaporkan dari penelitian ini dan penelitian berbasis klinis lainnya mungkin tidak berlaku bagi populasi umum atau bagi populasi yang ditemukan dalam perawatan primer.
Hubungan antara penyakit medis jangka panjang dan MD dalam populasi penting untuk praktek klinis dan untuk perencanaan pelayanan kesehatan. Secara klinis, hubungan-hubugan ini memberikan sebuah indeks kecurigaan ketika pasien dinilai dalam kelompok klinis tertentu. Dan juga, mereka memberikan informasi yang bermanfaat tentang interpretasi screening atau instrumen pencarian kasus dalam kelompok-kelompok ini. Karena nilai prediktif positif dari uji screening atau pencarian kasus tergantung pada jumlah dasar dalam populasi yang discreening, maka nilai prediktif dari sebuah tes pada umumnya akan lebih tinggi dalam kondisi klinis yang ditandai dengan prevalensi lebih tinggi. Untuk tujuan perencanaan pelayanan, informasi tentang prevalensi MD di berbagai kelompok klinis bisa menjadi indikator penting untuk kebutuhan perawatan. Terakhir, pola prevalensi bisa membantu untuk membuat hipotesis tentang hubungan etiologi yang sebelumnya tidak diketahui. Sayangnya, perkiraan-perkiraan prevalensi depresi berbassi populasi pada orang-orang yang mengalami kondisi-kondisi medis sering tidak tersedia.
Beberapa kondisi medis dianggap mampu menyebabkan depresi melalui mekanisme fisiologis. Kondisi-kondisi seperti ini mencakup epilepsi, hipotiroidisme, sclerosis ganda, dan kanker panrekas. Banyak penyakit lain, seperti nyeri kronis dan penyakit kradiovaskular, bisa berkontribusi bagi etiologi depresi melalui mekanisme biologis dan fisiologis, dan untuk kondisi-kondisi ini, juga telah diduga bahwa depresi bisa memberikan kontribusi bagi etiologi penyakit-penyakit medis. Beberapa kondisi bisa memiliki hubungan biologis dengan depresi yang sebelumnya tidak diduga.
Metode dan Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan kumpulan data dari sebuah survei kesehatan nasional Canada skala-besar, yakni CCHS. Sampel terdiri dari 115.071 subjek berusia 18 tahun keatas, diambil secara acak dari populasi Canada. Wawancara survei mencatat diagnosa yang dilaporkan sendiri tentang berbagai kondisi medis jangka panjang dan menggunakan sebuah wawancara prediktif singkat untuk MD. Regresi logistik digunakan untuk menyesuaikan perkiraan hubungan untuk usia dan jenis kelamin.
Penyakit medis yang paling terkait dengan MD adalah sindrom letih kronis (rasio ganjil disesuaikan [AOR] 7,2) dan fibromyalgia (AOR 3,4). Penyakit yang paling rendah hubungannya adalah hipertensi (AOR 1,2), diabetes, penyakit jantung, dan penyakit thyroid (AOR 1,4 pada masing-masing kasus). Kami menemukan hubungan dengan berbagai penyakit gastrointestinal, neurologi, dan penyakit pernafasan.
Pembahasan
Untuk beberapa penyakit jangka panjang yang dievaluasi dalam analisis ini, sebelumnya telah ada laporan yang mendokumentasikan hubungannya dengan MD. Ini benar, misalnya, untuk sclerosis ganda dan stroke. Bukti dari penelitian-penelitan berbasis populasi tidak konsisten atau sebagian besar negatif untuk 2 penyakit yang penting dan umum terjadi yaitu hypertensi dan diabetes. Data yang disajikan disini mengklarifikasi bahwa hubungan-hubungan negatif yang ditemukan sebelumnya antara hypertensi dan diabetes kemungkinan disebabkan oleh kesalahan tipe II. Dengan memanfaatkan ukuran sampel yang sangat besar, ada kemungkinan menunjukkan dalam analisis ini bahwa penyakit-penyakit ini terkait dengan MD dalam populasi umum tetapi kekuatan hubungannya tidak sama kuatnya dengan beberapa penyakit lain. Karena CCHS adalah sebuah survei kesehatan umum dan tidak secara spesifik mengevaluasi semua kondisi medis yang berpotensi terkait dengan MD, maka tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa semua penyakit kronis terkait dengan MD. Akan tetapi, beberapa hubungan ditemukan untuk kebanyakan kondisi yang dievaluasi dalam analisis ini. Selain kelelahan kronis dan “kesensitifan kimia,” hubungan terkuat diamati untuk penyakit gastroenterologikal, neurologiakl, dan penyakit pernafasan, dan juga untuk kondisi-kondisi yang terkait dengan nyeri.
Salah satu kekurangan data yang digunakan dalam analisis ini adalah ketergantungan terhadap pelaporan sendiri. Beberapa data diagnostik mungkin tidak akurat, dan kategori-kategori yang diamati sedikit umum. Sebagai contoh, istilah 'arthritis' tidak membedakan antara arthritis rheumatoid dan osteoarthritis. Dan juga, respon terhadap item-item lain, misalnya, pertanyaan tentang masalah-masalah pinggang, mungkin telah timpang tindih dengan kategori-kategori diagnostik lainnya, seperti arhtritis atau fibromyalgia. Salah satu telaah pustaka terbaru menemukan hubungan yang lebih kuat antara gejala-gejala depresi dengan arthritis rheumatoid dibanding dengan osteoarthritis dan hubungan yang lebih kuat dengan nyeri pinggang dibanding dengan arthritis rheumatoid. Kategori-kategori ini tidak dapat dibedakan dalam kuisioner CCHS.
Ketergantungan terhadap data yang dilaporkan sendiri dengan ketidakmampuan untuk membedakan antara persepsi subjektif terhadap gejala dan tanda objektif. Ini merupakan pertimbangan penting untuk beberapa penyakit. Misalnya pada asma, skor depresi ditemukan brekorelasi dengan gejala-gejala subjektif tetapi tidak dengan ukuran-ukuran objektif.
Instrumen yang mengevaluasi depresi pada CCHS merupakan sebuah instrumen prediktif singkat, yang bisa memiliki spesifitas yang terbatas. Jika ketidakakuratan dalam CIDI-SFMD terjadi sama pada subjek dengan atau tanpa penyakit medis jangka panjang, maka bias terhadap nol bisa terjadi. Sebaliknya, jika CIDI-SFMD kurang spesifik pada orang-orang yang memiliki penyakit medis (misalnya, karena kurangnya kriteria eksklusi untuk efek-efek fisiologis dari kondisi medis umum, yang menghasilkan misklasifikasi banding), maka perkiraan berlebihan terhadap hubungan ini bisa terjadi.
Penting untuk diperhatikan bahwa deskripsi cross-sectional yang disajikan disini tidak mencakup semua penentu epidemiolgi mendasar dalam kelompok-kelompok yang diteliti. Prevalensi MDE pada orang-orang yang memiliki kondisi medis jangka panjang dipengaruhi oleh kejadian episode depresif, tetapi juga oleh durasinya dan mortalitas terkait. Dan juga, pengarahan efek sebab-akibat tidak bisa diklarifikasi oleh data cross-sectional yang disajikan disini. Situasi-situasi dimana depresi mungkin telah menyebabkan atau memperlama sebuah penyakit medis tidak dapat dibedakan pada data cross-sectional dari situasi-situasi dimana kondisi medis terkait dengan etiologi depresi. Pada diabetes misalnya, kejadian MD yang meningkat telah dilaporkan dalam kaitannya dengan diabetes tipe I dan berbagai mekanisme bisa terlibat untuk kejadian diabetes tipe I yang meningkat pada orang-orang yang memiliki rating gejala depresif meningkat dan gangguan-gangguan depresif.
Sakit kepala migrain adalah contoh sebuah penyakit dimana penelitian-penelitian prospektif sebelumnya telah dilakukan dalam upaya untuk mencari hubungan sebab-akibat. Sebuah penelitian terbaru oleh Breslau dan lain-lain melaporkan peningkatan kejadian migrain onset-pertama pada sebuah kohort yang menderita MD (9,3%, dibandingkan dengan 2,9% pada sebuah kelompok kontrol) dan kejadian MD onset pertama yang meningkat (10,5%, dibanding dengan 2,0% pada sebuah kelompok kontrol) pada orang yang menderita migrain dalam sebuah sampel komunitas. Dalam penelitian Breslau, prevalesi MD selama masa hidup, yang dievaluasi dengan CIDI, ditemukan sebesar 42,1%.
Penyakit arteri koroner merupakan situasi klinis lainnya dimana efek ganda dan efek multi-arah bisa bertanggungjawab terhadap hubungan epidemiologi dengan depresi pada data prevalensi. Pada sebuah review terbaru, Joynt dan rekan-rekannya mengusulkan 7 mekanisme yang menjelaskan interaksi antara penyakit kradiovaskular dan depresi: tidak melengkapi pengobatan, penumpukan faktor risiko, aktivasi hypothalamic-pituitary-adrenokortikal, gangguan irama circadian, inflamasi, hyperkoagulabilitas, dan penyakit-penyakit mendasar yang umum.
CCHS hanya mencakup satu item yang mengevaluasi “arthritis atau rheumatisme.” Kebanyakan literatur yang berkaitan dengan hubungan antara osteoarthritis dengan MD telah menekankan peranan penting bagi faktor-faktor fisiologis, utamanya dukungan sosial. Akan tetapi, kondisi-kondisi nyeri secara umum tampaknya terkait dengan depresi, dan pluralitas mekanisme biologis serta fisiologis bisa bertanggungjawab terhadap hubungan ini.
Penelitian-penelitian terdahulu telah melaporkan frekuensi gangguan mood yang meningkat pada subjek-subjek yang melaporkan berbagai kesensitifan kimiawi. Hasil yang dilaporkan disini, berbeda dengan hasil-hasil sebelumnya, diperoleh dari sebuah sampel populasi skala besar. Ini lebih memperbaiki perkiraan dengan mengindikasikan bahwa hubungan bisa lebih kuat pada laki-laki yang melaporkan kondisi ini.
Dalam pengamatan kali ini, tujuannya adalah untuk mencari kekuatan hubungan antara beberapa penyakit jangka panjang. Akan tetapi, CCHS juga memungkinkan untuk perkiraan prevalensi MD pada berbagai kelompok populasi. Untuk tujuan pencarian kasus dan perencanaan pelayanan, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi akan ditemukan pada anak muda dan pada wanita.
Karena penyakit kardiovaskular dan diabetes terkait dengan mortalitas, maka dampak MD terhadap mortalitas yang terkait dengan penyakit-penyakit ini bisa memperlemah hubungan, seperti diamati pada data cross-sectional. Sebuah hubungan antara depresi dan mortalitas pada orang-orang yang menderita penyakit arteri koroner telah dilaporkan secara konsisten. Literatur-literatur ini juga mendukung eksistensi hubungan antara MD dan kejadian-kejadian koroner selanjutnya. Pada kasus penyakit tiroid, hubungan bisa diperlemah oleh dampak pengobatan. Diduga bahwa kebanyakan orang yang telah didiagnosa dengan penyakit tiroid oleh profesional kesehatan juga harus mendapatkan pengobatan, dan dengan mengoreksi gangguan fisiologis, pengobatan hipotiroidisme bisa memperlemah hubungan yang diamati.
Ada kemungkinan bahwa hubungan antara MD dan 2 kondisi yang paling terkait dengan MD dalam analisis ini, fibromyalgia dan sindrom letih kronis, diperburuk karena timpang tindih dari gejala-gejala ini dengan gejala-gejala MD. CIDI-SFMD tidak mencakup kriteria eksklusi yang mengatasi etiologi nonpsikiatrik, seperti yang dimasukkan dalam versi penuh CIDI. Untuk penyakit-penyakit tertentu, seperti katarak, glaukoma, dan penyakit Parkinson, bahkan sampel CCHS yang besar tidak bisa secara layak mendukung perkiraan tepat pada tingkat populasi. Salah satu penelitian sebelumnya, yang menggunakan sampel klinis, gagal mengidentifkasi perbaikan nilai gejala depresif setelah bedah katarak. Penelitian ini melaporkan secara umum tingkat depresi yang rendah pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada populasi komunitas, prevalensi MD berkurang seiring dengan usia, dan rendahnya penyakit ini pada kelompok usia lansia kemungkinan telah berkontribusi sebagai hasil yang tidak signifikan. Literatur-literatur yang menghubungkan glaukoma dengan MD menekankan peranan obat-obat antiglaukoma (termasuk pemblokir beta topikal) sebagai pemicu potensial untuk episode-episode depresi, tetapi literatur tidak mengandung penelitian-penelitian yang berbasis populasi. Prevalensi penyakit Parkinson dalam survei CCHS adalah 0,12% (95% CI, 0,09 sampai 0,15), yang konsisten dengan perkiraan terbaru lainnya, tetapi sedikit subjek dengan penyakit Parkinson yang tidak mengalami analisis tambahan.
Terkahir, salah satu peranan analisis epidemiologi explanatory adalah menghasilkan hipotesis baru untuk penelitian. Beberapa temuan mengejutkan dalam analisis ini menunjukkan sebuah kebutuhan akan penelitian tambahan. Misalnya, meskipun tingginya hubungan antara stroke dan MD dalam literatur, kekuatan hubungan yang diamati disini cukup sedang dalam kaitannya dengan penyakit lain. Penelitian tentang kejadian depresi dalam konteks penyakit medis mungkin perlu diperluas mencakup sekumpulan penyakit yang sudah lazim dianggap paling terkait dengan depresi.
Hubungan antara MD dan beberapa penyakit, seperti sakit kepala migrain, telah dilaporkan secara konsisten, sedangkan hasil negatif yang dominan telah dilaporkan dari penelitian-penelitian berbasis populasi untuk beberapa penyakit lain, utamanya hipertensi dan diabetes. Akan tetapi, apabila hasil-hasil negatif untuk penyakit umum telah dilaporkan dalam penelitian populasi, maka tetap ada kemungkinan bahwa efek lemah atau sedang bisa hilang karena kesalahan tipe II.
Terlepas dari mekanisme sebab-akibat, dampak penyakit depresi terhadap kualitas hidup dan penatalaksanaan klinis menyoroti pentingnya komorbiditas depresif pada berbagai penyakit medis. Beberapa penelitian yang dilaksanakan dalam setting klinis telah mengidentifkasi frekuensi MD yang tinggi. Sebagai contoh, Kovacs dan lain-lain melaporkan prevalensi MD 27,5% selama follow-up 20 tahun pada anak muda yang didiagnosa dengan diabetes mellitus dependen-insulin. Akan tetapi, sampel penelitian ini diperoleh dari rumah sakit tingkat tersier, dan prevalensi yang dilaporkan dari penelitian ini dan penelitian berbasis klinis lainnya mungkin tidak berlaku bagi populasi umum atau bagi populasi yang ditemukan dalam perawatan primer.
Hubungan antara penyakit medis jangka panjang dan MD dalam populasi penting untuk praktek klinis dan untuk perencanaan pelayanan kesehatan. Secara klinis, hubungan-hubugan ini memberikan sebuah indeks kecurigaan ketika pasien dinilai dalam kelompok klinis tertentu. Dan juga, mereka memberikan informasi yang bermanfaat tentang interpretasi screening atau instrumen pencarian kasus dalam kelompok-kelompok ini. Karena nilai prediktif positif dari uji screening atau pencarian kasus tergantung pada jumlah dasar dalam populasi yang discreening, maka nilai prediktif dari sebuah tes pada umumnya akan lebih tinggi dalam kondisi klinis yang ditandai dengan prevalensi lebih tinggi. Untuk tujuan perencanaan pelayanan, informasi tentang prevalensi MD di berbagai kelompok klinis bisa menjadi indikator penting untuk kebutuhan perawatan. Terakhir, pola prevalensi bisa membantu untuk membuat hipotesis tentang hubungan etiologi yang sebelumnya tidak diketahui. Sayangnya, perkiraan-perkiraan prevalensi depresi berbassi populasi pada orang-orang yang mengalami kondisi-kondisi medis sering tidak tersedia.
Beberapa kondisi medis dianggap mampu menyebabkan depresi melalui mekanisme fisiologis. Kondisi-kondisi seperti ini mencakup epilepsi, hipotiroidisme, sclerosis ganda, dan kanker panrekas. Banyak penyakit lain, seperti nyeri kronis dan penyakit kradiovaskular, bisa berkontribusi bagi etiologi depresi melalui mekanisme biologis dan fisiologis, dan untuk kondisi-kondisi ini, juga telah diduga bahwa depresi bisa memberikan kontribusi bagi etiologi penyakit-penyakit medis. Beberapa kondisi bisa memiliki hubungan biologis dengan depresi yang sebelumnya tidak diduga.
Metode dan Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan kumpulan data dari sebuah survei kesehatan nasional Canada skala-besar, yakni CCHS. Sampel terdiri dari 115.071 subjek berusia 18 tahun keatas, diambil secara acak dari populasi Canada. Wawancara survei mencatat diagnosa yang dilaporkan sendiri tentang berbagai kondisi medis jangka panjang dan menggunakan sebuah wawancara prediktif singkat untuk MD. Regresi logistik digunakan untuk menyesuaikan perkiraan hubungan untuk usia dan jenis kelamin.
Penyakit medis yang paling terkait dengan MD adalah sindrom letih kronis (rasio ganjil disesuaikan [AOR] 7,2) dan fibromyalgia (AOR 3,4). Penyakit yang paling rendah hubungannya adalah hipertensi (AOR 1,2), diabetes, penyakit jantung, dan penyakit thyroid (AOR 1,4 pada masing-masing kasus). Kami menemukan hubungan dengan berbagai penyakit gastrointestinal, neurologi, dan penyakit pernafasan.
Pembahasan
Untuk beberapa penyakit jangka panjang yang dievaluasi dalam analisis ini, sebelumnya telah ada laporan yang mendokumentasikan hubungannya dengan MD. Ini benar, misalnya, untuk sclerosis ganda dan stroke. Bukti dari penelitian-penelitan berbasis populasi tidak konsisten atau sebagian besar negatif untuk 2 penyakit yang penting dan umum terjadi yaitu hypertensi dan diabetes. Data yang disajikan disini mengklarifikasi bahwa hubungan-hubungan negatif yang ditemukan sebelumnya antara hypertensi dan diabetes kemungkinan disebabkan oleh kesalahan tipe II. Dengan memanfaatkan ukuran sampel yang sangat besar, ada kemungkinan menunjukkan dalam analisis ini bahwa penyakit-penyakit ini terkait dengan MD dalam populasi umum tetapi kekuatan hubungannya tidak sama kuatnya dengan beberapa penyakit lain. Karena CCHS adalah sebuah survei kesehatan umum dan tidak secara spesifik mengevaluasi semua kondisi medis yang berpotensi terkait dengan MD, maka tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa semua penyakit kronis terkait dengan MD. Akan tetapi, beberapa hubungan ditemukan untuk kebanyakan kondisi yang dievaluasi dalam analisis ini. Selain kelelahan kronis dan “kesensitifan kimia,” hubungan terkuat diamati untuk penyakit gastroenterologikal, neurologiakl, dan penyakit pernafasan, dan juga untuk kondisi-kondisi yang terkait dengan nyeri.
Salah satu kekurangan data yang digunakan dalam analisis ini adalah ketergantungan terhadap pelaporan sendiri. Beberapa data diagnostik mungkin tidak akurat, dan kategori-kategori yang diamati sedikit umum. Sebagai contoh, istilah 'arthritis' tidak membedakan antara arthritis rheumatoid dan osteoarthritis. Dan juga, respon terhadap item-item lain, misalnya, pertanyaan tentang masalah-masalah pinggang, mungkin telah timpang tindih dengan kategori-kategori diagnostik lainnya, seperti arhtritis atau fibromyalgia. Salah satu telaah pustaka terbaru menemukan hubungan yang lebih kuat antara gejala-gejala depresi dengan arthritis rheumatoid dibanding dengan osteoarthritis dan hubungan yang lebih kuat dengan nyeri pinggang dibanding dengan arthritis rheumatoid. Kategori-kategori ini tidak dapat dibedakan dalam kuisioner CCHS.
Ketergantungan terhadap data yang dilaporkan sendiri dengan ketidakmampuan untuk membedakan antara persepsi subjektif terhadap gejala dan tanda objektif. Ini merupakan pertimbangan penting untuk beberapa penyakit. Misalnya pada asma, skor depresi ditemukan brekorelasi dengan gejala-gejala subjektif tetapi tidak dengan ukuran-ukuran objektif.
Instrumen yang mengevaluasi depresi pada CCHS merupakan sebuah instrumen prediktif singkat, yang bisa memiliki spesifitas yang terbatas. Jika ketidakakuratan dalam CIDI-SFMD terjadi sama pada subjek dengan atau tanpa penyakit medis jangka panjang, maka bias terhadap nol bisa terjadi. Sebaliknya, jika CIDI-SFMD kurang spesifik pada orang-orang yang memiliki penyakit medis (misalnya, karena kurangnya kriteria eksklusi untuk efek-efek fisiologis dari kondisi medis umum, yang menghasilkan misklasifikasi banding), maka perkiraan berlebihan terhadap hubungan ini bisa terjadi.
Penting untuk diperhatikan bahwa deskripsi cross-sectional yang disajikan disini tidak mencakup semua penentu epidemiolgi mendasar dalam kelompok-kelompok yang diteliti. Prevalensi MDE pada orang-orang yang memiliki kondisi medis jangka panjang dipengaruhi oleh kejadian episode depresif, tetapi juga oleh durasinya dan mortalitas terkait. Dan juga, pengarahan efek sebab-akibat tidak bisa diklarifikasi oleh data cross-sectional yang disajikan disini. Situasi-situasi dimana depresi mungkin telah menyebabkan atau memperlama sebuah penyakit medis tidak dapat dibedakan pada data cross-sectional dari situasi-situasi dimana kondisi medis terkait dengan etiologi depresi. Pada diabetes misalnya, kejadian MD yang meningkat telah dilaporkan dalam kaitannya dengan diabetes tipe I dan berbagai mekanisme bisa terlibat untuk kejadian diabetes tipe I yang meningkat pada orang-orang yang memiliki rating gejala depresif meningkat dan gangguan-gangguan depresif.
Sakit kepala migrain adalah contoh sebuah penyakit dimana penelitian-penelitian prospektif sebelumnya telah dilakukan dalam upaya untuk mencari hubungan sebab-akibat. Sebuah penelitian terbaru oleh Breslau dan lain-lain melaporkan peningkatan kejadian migrain onset-pertama pada sebuah kohort yang menderita MD (9,3%, dibandingkan dengan 2,9% pada sebuah kelompok kontrol) dan kejadian MD onset pertama yang meningkat (10,5%, dibanding dengan 2,0% pada sebuah kelompok kontrol) pada orang yang menderita migrain dalam sebuah sampel komunitas. Dalam penelitian Breslau, prevalesi MD selama masa hidup, yang dievaluasi dengan CIDI, ditemukan sebesar 42,1%.
Penyakit arteri koroner merupakan situasi klinis lainnya dimana efek ganda dan efek multi-arah bisa bertanggungjawab terhadap hubungan epidemiologi dengan depresi pada data prevalensi. Pada sebuah review terbaru, Joynt dan rekan-rekannya mengusulkan 7 mekanisme yang menjelaskan interaksi antara penyakit kradiovaskular dan depresi: tidak melengkapi pengobatan, penumpukan faktor risiko, aktivasi hypothalamic-pituitary-adrenokortikal, gangguan irama circadian, inflamasi, hyperkoagulabilitas, dan penyakit-penyakit mendasar yang umum.
CCHS hanya mencakup satu item yang mengevaluasi “arthritis atau rheumatisme.” Kebanyakan literatur yang berkaitan dengan hubungan antara osteoarthritis dengan MD telah menekankan peranan penting bagi faktor-faktor fisiologis, utamanya dukungan sosial. Akan tetapi, kondisi-kondisi nyeri secara umum tampaknya terkait dengan depresi, dan pluralitas mekanisme biologis serta fisiologis bisa bertanggungjawab terhadap hubungan ini.
Penelitian-penelitian terdahulu telah melaporkan frekuensi gangguan mood yang meningkat pada subjek-subjek yang melaporkan berbagai kesensitifan kimiawi. Hasil yang dilaporkan disini, berbeda dengan hasil-hasil sebelumnya, diperoleh dari sebuah sampel populasi skala besar. Ini lebih memperbaiki perkiraan dengan mengindikasikan bahwa hubungan bisa lebih kuat pada laki-laki yang melaporkan kondisi ini.
Dalam pengamatan kali ini, tujuannya adalah untuk mencari kekuatan hubungan antara beberapa penyakit jangka panjang. Akan tetapi, CCHS juga memungkinkan untuk perkiraan prevalensi MD pada berbagai kelompok populasi. Untuk tujuan pencarian kasus dan perencanaan pelayanan, hasil-hasil ini menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi akan ditemukan pada anak muda dan pada wanita.
Karena penyakit kardiovaskular dan diabetes terkait dengan mortalitas, maka dampak MD terhadap mortalitas yang terkait dengan penyakit-penyakit ini bisa memperlemah hubungan, seperti diamati pada data cross-sectional. Sebuah hubungan antara depresi dan mortalitas pada orang-orang yang menderita penyakit arteri koroner telah dilaporkan secara konsisten. Literatur-literatur ini juga mendukung eksistensi hubungan antara MD dan kejadian-kejadian koroner selanjutnya. Pada kasus penyakit tiroid, hubungan bisa diperlemah oleh dampak pengobatan. Diduga bahwa kebanyakan orang yang telah didiagnosa dengan penyakit tiroid oleh profesional kesehatan juga harus mendapatkan pengobatan, dan dengan mengoreksi gangguan fisiologis, pengobatan hipotiroidisme bisa memperlemah hubungan yang diamati.
Ada kemungkinan bahwa hubungan antara MD dan 2 kondisi yang paling terkait dengan MD dalam analisis ini, fibromyalgia dan sindrom letih kronis, diperburuk karena timpang tindih dari gejala-gejala ini dengan gejala-gejala MD. CIDI-SFMD tidak mencakup kriteria eksklusi yang mengatasi etiologi nonpsikiatrik, seperti yang dimasukkan dalam versi penuh CIDI. Untuk penyakit-penyakit tertentu, seperti katarak, glaukoma, dan penyakit Parkinson, bahkan sampel CCHS yang besar tidak bisa secara layak mendukung perkiraan tepat pada tingkat populasi. Salah satu penelitian sebelumnya, yang menggunakan sampel klinis, gagal mengidentifkasi perbaikan nilai gejala depresif setelah bedah katarak. Penelitian ini melaporkan secara umum tingkat depresi yang rendah pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada populasi komunitas, prevalensi MD berkurang seiring dengan usia, dan rendahnya penyakit ini pada kelompok usia lansia kemungkinan telah berkontribusi sebagai hasil yang tidak signifikan. Literatur-literatur yang menghubungkan glaukoma dengan MD menekankan peranan obat-obat antiglaukoma (termasuk pemblokir beta topikal) sebagai pemicu potensial untuk episode-episode depresi, tetapi literatur tidak mengandung penelitian-penelitian yang berbasis populasi. Prevalensi penyakit Parkinson dalam survei CCHS adalah 0,12% (95% CI, 0,09 sampai 0,15), yang konsisten dengan perkiraan terbaru lainnya, tetapi sedikit subjek dengan penyakit Parkinson yang tidak mengalami analisis tambahan.
Terkahir, salah satu peranan analisis epidemiologi explanatory adalah menghasilkan hipotesis baru untuk penelitian. Beberapa temuan mengejutkan dalam analisis ini menunjukkan sebuah kebutuhan akan penelitian tambahan. Misalnya, meskipun tingginya hubungan antara stroke dan MD dalam literatur, kekuatan hubungan yang diamati disini cukup sedang dalam kaitannya dengan penyakit lain. Penelitian tentang kejadian depresi dalam konteks penyakit medis mungkin perlu diperluas mencakup sekumpulan penyakit yang sudah lazim dianggap paling terkait dengan depresi.
Comments
Post a Comment