Hipertensi Renovaskular

Latar belakang

Hipertensi renovaskular (RVHT) menunjuk pada hubungan sebab-akibat antara penyakit oklusif arterial (yang terbukti secara anatomi) dan peningkatan tekanan darah. Penyakit vaskular arterial ginjal (atau renovaskular) yang terjadi bersamaan dengan hipertensi merupakan penentu dari tipe hipertensi non-esensial ini. Diagnosa yang lebih spesifik ditegakkan secara retrospektif apabila hipertensi membaik setelah dilakukan intervensi intravaskular.

Sejak eksperimen Goldblatt di tahun 1934, RVHT semakin dikenali sebagai salah satu penyebab penting untuk hipertensi atipikal dan penyakit ginjal kronis (penyakit ginjal kronis ditimbulkan karena ischemia ginjal). RVHT merupakan akibat klinis dari aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Seperti ditunjukkan oleh Goldblatt, oklusi arteri ginjal menimbulkan ischemia, yang memicu pelepasan renin dan peningkatan tekanan darah.
Hiperreninemia mempromosikan konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, yang menyebabkan vasokonstriksi parah dan pelepasan aldosteron. Dampak-dampak yang timbul cukup bervariasi, tergantung keberadaan ginjal kontralateral yang berfungsi.

Pada kondisi normal (terdapat 2 ginjal), retensi air dan sodium berperantara-aldosteron dapat diatasi dengan baik oleh ginjal nonstenotik sehingga mencegah pelepasan volume air untuk berkontribusi pada hipertensi yang berperantara angiotensin II. Sebaliknya, ginjal ischemik tunggal memiliki kapasitas yang kecil atau bahkan tidak ada untuk ekskresi sodium dan air; dengan demikian, volume memegang peranan tambahan dalam hipertensi.

Patofisiologi

Mekanisme patofisiologi utama yang mendasari RVHT melibatkan aktivasi kedua bagian sistem renin-angiotensin-aldosteron dan tergantung pada ada tidaknya ginjal kontralateral. Ischemia ginjal unilateral memicu hipersekresi renin, yang mempercepat konversi angiotensin I menjadi angiotensi II dan meningkatkan pelepasan aldosteron dari ginjal. Hasilnya adalah vasokonstriksi berperantara angiotensin dan retensi air dan sodium imbas aldosteron. Pada model 2-ginjal 1-clip, dimana korelasi klinisnya adalah penyakit arteri ginjal unilateral, penanganan sodium dan air melalui diuresis tekanan ginjal kontralateral bisa sudah cukup untuk mencegah kontribusi volume terhadap hipertensi. Pada ginjal tunggal (model 1-ginjal, 1-clip dalam eksperimen), penanganan sodium dan air terganggu, retensi sodium dan air berlangsung, dan hipertensi berperantara volume terjadi.

Pada stenosis arteri ginjal unilateral (RAS), produksi renin ditingkatkan oleh ginjal ischemik tetapi ditekan pada ginjal nonstenotik yang tidak terkena, yang kekurangan stimulus ischemik yang sama. Akibatnya, apabila 2 ginjal mengalami stenosis unilateral (model 2-ginjal 1-clip), hipereninemia terjadi dan tekanan darah tetap meningkat karena efek vasokonstriksi imbas angiotensin II. Produksi renin menurun pada ginjal kontralateral, duresis tekanan terjadi (yakni, kelebihan sodium dan air), dan hipertensi dipertahankan oleh kadar angiotensin II yang tinggi.

Ginjal tunggal mengalami ischemia karena RAS tidak mampu mencapai diuresis tekanan untuk mengatasi retensi sodium dan air berperantara-aldosteron. Ekspansi volume yang dihasilkan berkontribusi bagi peningkatan tekanan darah dan juga menekan produksi renin oleh ginjal stenotik. Skema patofisiologis untuk RVHT ditunjukkan pada Gambar 2.

Patogenesis hipertensi renovaskular

Sistem saraf simfatetik sepertinya tidak memegang peranan dalam mempertahankan peningkatan tekanan darah pada model 2-ginjal 1-clip RVHT. Bukti tentang peranan model 1-ginjal 1-clip RVHT telah dilaporkan tetapi belum jelas atau definitif.

Tahapan-tahapan terjadinya hipertensi renovaskular

Evolusi RVHT telah dilaporkan memiliki 3 tahapan. Peningkatan tekanan darah secara cepat merupakan dampak langsung dari hiperenninemia. Selama beberapa hari sampai beberapa pekan, tekanan darah tetap meningkat, tetapi perjalanan dan keberadaan hiperreninemia bervariasi sesuai dengan keberadaan dan fungsi ginjal kontralateral. Dengan demikian, mekanisme terjadinya hipertensi pada pasien-pasien yang mengalami penyakit renovaskular terus berubah dari waktu ke waktu dan bervariasi sesuai dengan keadaan keseimbangan sodium.

Apabila ginjal kontralateral berfungsi, ekspansi volume dihindari dan kadar renin tetap tinggi. Kedua ginjal ada; ginjal stenotik dengan giat menampung sodium dan menghasilkan renin berlebih sebagai respons terhadap ischemia ginjal, sedangkan ginjal non-stenotik mengekskresikan sodium dan air untuk mempertahankan euvolemia dan produksi renin menurun. Hasil akhirnya adalah hipertensi sistemik yang diperantarai oleh renin dan angiotensin.

Pada kondisi ginjal tunggal ischemik, retensi sodium dan air, bersama dengan efek vasopressor angiotensin II, bekerja untuk mempertahankan tekanan perfusi ginjal. Stimulus untuk menghasilkan renin terhambat, dan kadar renin menurun. Hipertensi menjadi kurang tergantung lagi pada angiotensin II dan ini sebagian besar diakibatkan oleh ekspansi volume. Sehingga, tekanan perfusi menjadi pulih yang diimbangi dengan hipertensi sistemik dan overload volume.

Jika aliran darah dipulihkan selama 2 tahapan pertama dan perfusi ginjal kembali normal, tekanan darah dengan cepat kembali ke kadar normal. Jika hipoperfusi ginjal berlangsung terus menerus dan tahapan 3 dicapai, maka pemulihan aliran darah renal mungkin tidak menormalkan tekanan darah, kemungkinan karena penyakit parenkimal ginjal atau vaskular inreversibel sekunder.

Pada tahapan ke-tiga, hipertensi sering tidak mengalami penrunan, dengan berlangsung terus menerus setelah hilangnya stenosis. Hipertensi yang membandel dalam setting ini kemungkinan mewakili keberadaan nefropati ischemik pada salah satu dari kedua ginjal; pasien dengan stenosis yang tidak signifikan secara hemodinami pada awalnya juga bisa memiliki hipertensi persisten.

Sistem renin-angiotensin dan pengendalian hemodinamika intra-renal pada hipertensi renovaskular

Angiotensi II menimbulkan sebuah efek vasokonstriksi terhadap arteriol aferen dan eferen, tetapi karena arteriol aferen memiliki diameter basal yang lebih kecil, peningkatan resistensi eferen melebihi bagian aferen. Vasokonstriksi aferen lebih lanjut diminimalisir oleh pelepasan prostaglandin vasodilatory berperantara angiotensin-II dan oksida nitrat. Disamping itu, angiotensin II bisa membatasi mesangium glomerular, sehingga mengurangi area permukaan yang tersedia untuk filtrasi.

Efek angiotensin II terhadap filtrasi melibatkan faktor-faktor seperti aliran darah ginjal dan area permukaan mesangial (menyebabkan penurunan filtrasi) dan peningkatan tekanan kapiler glomerular (yang cenderung meningkatkan filtrasi). Hasil akhir tergantung pada setting klinis dimana ia terjadi.

Pada ginjal yang sehat, penurunan tekanan darah sistemik mengaktivasi sistem renin-angiotensin, yang memicu penurunan aliran darah ginjal akibat peningkatan resistensi vaskular ginjal (aferen). Peningkatan resistensi eferen yang diperantarai oleh angiotensin II menghasilkan peningkatan tekanan hidrolik kapiler glomerular, yang mempertahankan laju filtrasi glomerular (GFR).

Pada ginjal ischemik dengan aliran darah aferen yang berkurang, tekanan intraglomerular dan filtrasi glomerular dipertahankan oleh, dan tergantung pada, vasokonstriksi eferen berperantara-angiotensin II. Pada setting ini, hilangnya efek vasokonstriktif eferen oleh pemblokiran angiotensin, seperti yang dicapai dengan inhibitor enzim pengonversi angiotensin (ACE), menghasilkan penurunan tekanan intraglomerular dan GFR. Sehingga, pada pasien yang mengalami penyakit renovaskular, khususnya yang mengalami RAS bilateral atau yang mengalami arteri ginjal stenotik pada satu ginjal, inhibitor ACE bisa menyebabkan pemburukan fungsi ginjal dan azotemia. Perlu diperhatikan penurunan fungsi ginjal dalam setting ini bersifat reversibel ketika inhibitor ACE atau agen pemblokir reseptor angiotensin dihentikan.

Kecenderungan agen perintang reseptor angiotensin untuk mempengaruhi GFR didasarkan pada patofisiologi serupa.

Klasifikasi

Pada orang dewasa, penyakit renovaskular cenderung tampak pada waktu-waktu berbeda dan mengenai laki-laki dan perempuan secara berbeda. Penyakit atherosklerotik mengenai utamanya sepertiga proksimal arteri ginjal utama dan paling umum diantara pria tua. Displasia fibromuskular melibatkan dua pertiga distal dan cabang-cabang arteri ginjal dan paling umum dikalangan wanita muda.

Kerangka Diagnosis untuk Pemeriksaan Stenosis Arteri Ginjal

Standar kriteria untuk menegakkan diagnosis RAS adalah arteriografi ginjal. Pemeriksaan laboratorium pernah diandalkan tetapi tidak lagi dianggap bermanfaat  sebagia uji screening Aktivitas renin plasma
- Aktivitas renin plasma awal (PRA) meningkat pada 50-80% pasien yang mengalami RVHT. Kadar renin bisa ditingkatkan atau dikurangi oleh semua agen anti-hipertensif. Obat-obatan anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) menurunkan kadar renin plasma. Pengukuran peningkatan PRA 1 jam setelah pemberian 35-50 mg kaptopril bisa meningkatkan nilai prediktif dari PRA. Pasien dengan RAS memiliki peningkatan PRA yang signifikan, kemungkinan karena hilangnya efek supresif dari kadar angiotensin II yang tinggi terhadap sekresi renin dalam ginjal stenotik.
- Sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan uji renin kaptopril adalah 75-100% dan 60-95%, masing-masing. Kekurangan-kekurangannya mencakup perlunya menghentikan pemakaian obat anti-hipertensif yang bisa mempengaruhi PRA (seperti inhibitor ACE, beta-blocker, diuretik), sensitifitas yang rendah, dan nilai prediktif yang sedikit menurun jika dibandingkan dengan sebuah renogram setelah inhibisi.

Pengukuran renin vena ginjal
- Pengukuran renin vena ginjal membandingkan pelepasan renin dari masing-masing ginjal dan digunakan untuk memprediksi keberhasilan potensial revaskularisasi bedah. Peningkatan sekresi renin dalam ginjal ischemik yang dibandingkan dengan ginjal kontralatareal, yakni, perbedaan renin vena ginjal 1,5-kali lipat, menjadi hasil tes yang positif dan menandakan bahwa revaskularisasi akan mengobati peningkatan tekanan darah dengan sukses. Sekresi renin dalam ginjal kontralateral tertekan, sebagaimana dibuktikan oleh kadar renin serupa yang diukur dalam arteri ginjal (vena cava interior infrarenal) dan vena ginjal.
- Kurang dari 10% pasien sehat memiliki rasio diatas 1,5 dan kurang dari 20% memiliki rasio dibawah 1,1. Keakuratan ukuran-ukuran ini telah diduga dapat ditingkatkan dengan pemberian inhibitor ACE terlebih dahulu, yang akan meningkatkan sekresi renin pada sisi yang terkena.
- Hasil false-negative dan false-positive cukup umum. Walaupun lebih dari 90% pasien dengan nilai RAS unilateral dan nilai renin lateral memiliki respons positif terhadap angioplasti atau bedah, sekitar 50% yang memiliki temuan non-lateral juga diuntungkan dengan koreksi stenosis. Akibatnya, kebanyakan dokter bergantung pada indeks kecurigaan klinis dan bukan pengukuran renin vena ginjal untuk memperkirakan signifikansi fisiologis lesi stenotik. Pengecualian bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami RAS bilateral, dimana renin vena ginjal bisa digunakan untuk menentukan sisi yang paling berkontribusi bagi hipertensi.

Screening: Panduan-Panduan dari American Colege of Cardiology dan American Hearth Association menyarankan screening untuk RAS hanya bagi pasien-pasien dimana prosedur korektif akan dipertimbangkan jika penyakit renovaskular dideteksi.

Kerangka diagnostik untuk pemeriksaan stenosis arteri ginjal
Apabila riwayat yang ada sangat berhubungan dan tidak ada risiko untuk mengalami cedera ginjal berperantara radiokontras, maka DSNA intra-arterial atau angiogram konvensional (standar kriteria) merupakan uji awal yang cocok. Pada pasien-pasien yang berisiko, angiogram karbon dioksida bisa menentukan keberadaan stenosis, dan risiko angiogram radiokontras hanya mengenai individu yang kemungkinan diuntungkan dengan angiogram radiokontras ini.
Lakukan CT scan spiral, MRA, atau ultrasonografi dupleks (tergantung pada ketersediaan dan pengalaman) apabila ada kecurigaan sedang tentang adanya penyakit renovaskular. Hasil tes negatif menandakan bahwa RAS sangat tidak mungkin, meskipun hasil tes positif bisa ditindaklanjuti dengan arteriografi ginjal.

Perawatan medis

Terapi obat anti-hipertensif diindikasikan

Kontrol tekanan darah optimal memegang peranan penting dalam penatalaksanaan terapeutik RVHT; akan tetapi, kontrol agresif terhadap faktor risiko lain untuk atherosklerosis juga merupakan kunci.
Berhenti merokok cukup penting karena imbas positifnya terhadap profil risiko kardiovaskular pada pasien-pasien yang mengalami hipertensi. Demikian juga, terapi antidislipidemik untuk pasien-pasien yang mengalami hiperlipidemia kemungkinan memberikan manfaat dalam RVHT atherosklerotik.

Perkembangan stenosis atherosklerotik bisa terjadi pada sekitar sepertiga pasien, dan efek samping ischemia yang terus menerus terhadap ginjal stenotik juga mendapatkan pertimbangan. Lebih lanjut, normalisasi tekanan darah bisa terkait dengan penurunan tekanan perfusi ginjal, dan fungsi ginjal bisa memburuk meskipun dengan pengendalian tekanan darah yang baik.
Terapi definitif untuk penyebab pokok harus dipertimbangkan untuk menghindari terjadinya nefropati ischemia. Intervensi stenosis yang signifikan secara hemodinami telah diduga memberikan manfaat klinis; akan tetapi, trial-trial yang membandingkan revaskularisasi arteri ginjal dengan penatalaksanaan medis tidak secara jelas mendukung intervensi bedah ketimbang intervensi medis. Sehingga, keunggulan intervensi bedah berbanding intervensi medis (atau sebaliknya) masih tetap belum terbukti.

Angioplasti ginjal transluminal perkutaneous
- Angioplasti ginjal transluminal perkutaneous (PTRA) merupakan sebuah prosedur non-bedah yang digunakan untuk membuka arteri-arteri ginjal stenotik, lesi yang paling parah adalah lesi tanpa oklusi total. Dampak pada pasien-pasien dengan lesi yang diakibatkan oleh displasia fibromuskular kelihatannya lebih signfiikan dibanding jika terjadi pada orang-orang dengan lesi yang terkait dengan stenosis atherosklerosis, dengan penyembuhan yang dilaporkan pada 50-85% pasien pada kelompok pertama diatas, dan 8-20% pada kelompok kedua.
Restenosis yang memerlukan angioplasti berulang dilaporkan pada kurang dari 10% pasien yang mengalami penyakit fibromuskular dan pada 8-30% dari mereka yang mengalami stenosis atherosklerotik. Perbaikan kontrol tekanan darah dengan lebih sedikit obat antihipertensif dicapai pada 30-35% dan 50-60% pasien yang mengalami lesi fibromuskular atau atherosklerotik, masing-masing.
- Sebuah penelitian di Swedia terhadap 105 pasien yang diobati dengan PTRA melaporkan tingkat kelangsungan hidup 5-tahun sebesar 83% untuk pasien-pasien dengan penyakit renovaskular ateriosklerotik. Sedangkan untuk pasien dengan penyakit vaskular fibromuskular bahkan lebih tinggi, yang mencapai 100%.
- Hasil yang buruk diamati pada pasien-pasien yang mengalami penyakit arteri ginjal bilateral dan menunjukkan bahwa intervensi bedah harus menjadi pertimbangan penting dalam setting ini.
- Stent intravaskular yang ditempatkan selama angioplasti bisa membantu dalam pencegahan restenosis dan penatalaksanaan RVHT. Data yang ada sekarang menunjukkan bahwa penggunaan stent bisa bermanfaat pada pasien-pasien yang mengalami penyakit ostial, mereka yang mengalami restenosis setelah PTRA, atau mereka yang mengalami komplikasi akibat PTRA, seperti diseksi (lihat gambar berikut dan Gambar 4-6). Penggunaan stent untuk arteri ginjal primer pada pasien-pasien yang mengalami RAS atherosklerotik memiliki tingkat keberhasilan teknis yang tinggi dan tingkat komplikasi yang rendah.
- Pada pasien dengan atherosklerosis difus, tingkat komplikasi baik dengan bedah atau angioplasti relatif tinggi. Terapi medis bisa lebih dipilih.

Pengobatan

Semua kelompok obat anti-hipertensi digunakan untuk mengobati RVHT; akan tetapi, terapi yang paling efektif adalah dengan inhibitor ACE, yang meminimalisir peningkatan produksi angiotensin imbas-ischemia. Karena hipertensi bisa tergantung pada angiotensin II, obat-obat antihipertensi yang menghambat renin atau angiotensin II banyak digunakan. Inhibitor ACE sangat menurunkan aliran darah melalui ginjal stenotik; sehingga, pada pasien dengan ginjal tunggal atau penyakit renovaskular bilateral, tekanan darah bisa berkurang dengan cepat, dengan pemburukan fungsi ginjal yang terus terjadi. Ini biasanya reversibel (dapat dipulihkan) jika pengobatan dihentikan.

Walaupun masih sedikit pengalaman klinis dengan perintang reseptor angiotensin yang lebih baru (ARB), obat-obat ini tampaknya sama efektifnya dengan inhibitor ACE dalam model-model eksperimental. Pada pasien-pasien yang tidak mengalami penyakit arteri ginjal yang signifikan secara hemodinami, peningkatan kadar kreatinin serum hingga sampai 35% diatas nilai normal dengan ACE atau ARB dianggap berterima dan tidak menjadi alasan untuk menghentikan pengobatan selama hiperkalemia tidak terjadi. Perintang-beta dan diuretik juga digunakan, diuretik ini sering digabungkan dengan inhibitor ACE. Diuretik meningkatkan diuresis sodium dan air, sehingga menghilangkan komponen RVHT berperantara volume. Perintang saluran kalsium (CCB) bisa memberikan kontrol yang sama baiknya untuk hipertensi, dengan gangguan yang kemungkinan kurang penting dalam hal fungsi ginjal ischemik dibanding inhibitor ACE.

Sebuah inhibitor aldosteron selektif, eplerenon (INSPRA) sekarang ini sudah tersedia untuk pengobatan hipertensi. Obat ini secara selektif menghambat aldosteron pada reseptor-reseptor mineralokortikoid pada jaringan-jaringan epitelium (seperti ginjal) dan nonepitelium (seperti jantung, pembuluh darah, otak), sehingga mengurangi tekanan darah dan penyerapan ulang sodium. Dosis dewasa adalah 50 mg oral 4x sehari dan bisa ditingkatkan setelah 4 pekan, tidak sampai melebihi 100 mg/hari. Kontraindkasi mencakup hipersensitifitas, hipekalemia, pemberian bersama dengan obat-obatan yang menyebabkan peningkatan kalium, diabetes tipe 2 dengan mikroaluminuria, dan insufisiensi ginjal ringan-sampai-sedang (yakni, CrCl <50 mL/menit atau kreatinin serum >2 mg/dL [pria] atau > 1,8 mg/dL [wanita]). Eplerenon merupakan sebuah substrat CYP450 3A4, sehingga inhibitor CYP3A4 kuat (seperti ketokonazol) meningkatkan kadar serum sekitar 5 kali lipat, sedangkan inhibitor CYP3A4 yang kurang kuat (seperti, eritromisin, saquinavir, verapamil, flukonazol) meningkatkan kadar serum sekitar 2 kali lipat. Jus anggur meningkatkan kadar serum sekitar 25%.

Pemberian bersama dengan suplemen potasium, subtituen garam, atau obat-obatan yang diketahui meningkatkan kalium serum (seperti amilorida, spironolakton, triamteren, inhibitor ACE, inhibitor angiotensin II) meningkatkan risiko hiperkalemia. Eplerenon bisa menyebabkan hiperkalemia, sakit kepala, atau kepusingan. Tindakan pencegahan disarankan jika terdapat gangguan hati.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Prosedur dan Alat Diagnostik