Peranan Ion-Ion Kalsium dalam Regulasi Homeostasis Sawar Kulit

6.1 PENDAHULUAN
   
Gejala-gejala kulit kering sering dikaitkan dengan fungsi skin barrier yang terganggu, seperti yang terjadi pada psoriasis, ichtyosis, kulit hipersensitif (atopic skin), dan ekzema kontak. Lebih khusus, fungsi skin barrier (pertahanan kulit) ini terkait dengan kondisi kimiawi dan fisik dari stratum korneum, lapisan teratas dari epidermis. Stratum korneum memberikan perlindungan dari terhadap dehidrasi dan gangguan lingkungan dengan meregulasi aliran dan penyimpanan air. Kadar air optimal yang dipertahankan pada stratum korneum sangat tergantung pada tiga komponen, yang secara terus menerus diregenerasi dalam lapisan kulit ini, yaitu (1) lipid lamela interseluler, sebagai sebuah barrier efektif untuk aliran air; (2) korneosit (sel stratum korneum), yang menyediakan  jalur difusi yang kompleks, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan stratum korneum dan sampul korneosit (corneocyte envelope), yang menghambat pengeluaran air, dan (3) faktor pelembab alami (NMF), sebuah campuran kompleks antara senyawa-senyawa larut-air berberat molekul rendah yang pertama kali terbentuk dalam korneosit melalui degradasi protein kaya-histidin yang dikenal sebagai filaggrin. Gangguan pada proses regenerasi komponen-komponen ini menghasilkan kondisi kulit kering dan terkelupas.
   
Peranan kalsium dalam regulasi homeostasis skin barrier cukup jelas karena kalsium terlibat dalam proses regenerasi komponen-komponen skin barrier. Dengan demikian, keseimbangan kadar kalsium dalam kulit sangat terkait dengan hidrasi kulit. Selain pada kulit, ion ini memegang peranan penting dalam berbagai proses dalam tubuh, termasuk pertumbuhan, kematian, diferensiasi, dan fungsi sel-sel imun. Peranan kalsium dalam kulit lebih kompleks dibanding yang diduga sebelumnya. Penelusuran mekanisme regulasi kalsium pada kulit bisa bermanfaat untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kulit.

6.2 MEKANISME KOMUNIKASI SEL KALSIUM
   
Dalam tubuh, kalsium, dalam bentuk ion Ca2+, merupakan ion logam yang paling melimpah dan merupakan unsur ke-lima yang paling melimpah dalam tubuh (setelah H, O, C, dan N), baik berdasarkan atom maupun berdasarkan bobotnya. Lebih dari 90% kalsium terdapat dalam tulang dan email gigi. Sisanya, yang disebut sebagai Ca2+ mobile, ditemukan dalam cairan tubuh dan turut andil dalam berbagai proses, termasuk kontraksi otot, pembekuan darah, komunikasi interseluler, transport molekul dalam membran, eksositosis respons hormonal, penggabungan, adhesi dan pertumbuhan sel.
   
Kalsium mobile merupakan sebuah duta umum untuk makhluk hidup, bahkan pada organisme dan tanaman yang sederhana sekalipun. Kombinasi unik antara radius ionik dan muatan gandanya memungkinkana Ca2+ untuk dikenali secara spesifik dan untuk menghasilkan pengikatan yang lebih kuat ke reseptor-reseptor untuk menyingkirkan ion-ion lain, sehingga mengarah pada pengikatan yang spesifik struktur. Spesifitas ini memungkinkan sel membentuk reseptor-reseptor khusus untuk menilai sinyal-sinyal dari kalsium. Untuk berbagai bagian tubuh, Ca2+ sering bertindak sebagai duta kedua dengan cara yang serupa dengan cAMP. Peningkatan sementara konsentrasi Ca2+ sistolik memicu berbagai respons seluler termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter, dan penguraian glikogen (glikogenolisis), juga bertindak sebagai sebuah pengaktivasi penting untuk metabolisme oksidatif. Ca2+ tidak perlu disintesis dan didegradasi dengan masing-masing transmisi pesan, sehingga merupakan komunikasi yang efisien energi dalam sel.
   
Pada kulit, kalsium bisa memberikan sinyal untuk sel-sel, baik ekstraseluler maupun intraseluler (dalam sitosol). Komunikasi ekstraseluler dan intraseluler bisa dihubungkan satu sama lain, tetapi juga bisa beraksi secara terpisah. Pada keratinosit-keratinosit yang dikulturkan, kadar kalsium ekstraseluler mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kadar kalsium ekstraseluler yang rendah (< 0,1 mM) menginduksi pertumbuhan keratinosit sebagai sebuah ekalapis (monolayer) dengan laju proliferasi tinggi, cepat menjadi berhimpit. Pada kondisi ini keratinosit memiliki banyak karakteristik seperti yang dimiliki oleh sel-sel basal: mensintesis protein keratin dan dihubungkan oleh gap junction tetapi tidak oleh desmosom. Kadar kalsium ekstraseluler yang tinggi (> 1 mM) menginduksi diferensiasi keratinosit. Keratinosit dengan cepat menjadi rata, membentuk desmosom dan berdiferensiasi dengan stratifikasi. Disamping itu, cornified envelopes terbentuk pada lapisan-lapisan teratas.
   
Respons terhadap sinyal juga ditunjukkan terjadi secara progresif. Keratinosit yang ditumbuhkan dalam medium kalsium berproliferasi. Ca2+ ekstraseluler yang meningkat menghambat proliferasi, disamping menginduksi diferensiasi. Disisi lain, diferensiasi keratinosit menyebabkan menurunnnya daya-respons terhadap kalsium ekstraseluler, yang bisa mempermudah penjagaan kadar kalsium intraseluler tinggi yang diperlukan untuk diferensiasi.
   
Ca2+ intraseluler meningkat seiring dengan meningkatnya Ca2+ ekstraseluler. Ini menunjukkan bahwa Ca2+ intraseluler yang meningkat merupakan sinyal aktual untuk memicu diferensiasi keratinosit. Sinyal Ca2+ intraseluler dinilai melalui protein-protein pengikatan kalsium untuk menginduksi respons. Protein pengikat kalsium utama dalam kulit adalah calmodulin. Calmodulin meregulasi banyak enzim, sebagai contoh, adenin dan guanil siklase, fosfodiesterase, ornitin dekarboksilase, kinase protein yang dependen kalsium-calmodulin, transglutaminase, dan fosfolipase, yang juga ditemukan dalam kulit.
   
Pelepasan intraseluler dan aliran transmembran keduanya berkontirbusi terhadap peningkatan kadar Ca2+ intraseluler. Peningkatan kadar Ca2+ intraseluler keratinosit sebagai respon terhadap kadar Ca2+ ekstraseluler yang meningkat memiliki dua tahapan: (a) puncak awal, tidak tergantung pada kadar Ca2+ ekstraseluler dan (b) fase akhir yang memerlukan Ca2+ ekstraseluler. Sebuah respons awal dari keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler. Respons awal keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler diikuti dengan peningkatan Ca2+ intraseluler. Penambahan Ca2+ ekstraseluler secara bertahap ke dalam keratinosit manusia diikuti dengan peningkatan progresi Ca2+ intraseluler, dimana tahap awal peningkatan Ca2+ intraseluler diikuti dengan puncak Ca2+ intraseluler yang lebih tinggi. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit dihilangkan oleh Ca2+ ekstraseluler 2,0 mM. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit menyerupai respons pada sel-sel paratiroid, dimana peningkatan Ca2+ yang cepat dan sementara diikuti dengan peningkatan Ca2+ yang lama di atas tingkat dasar. Respons multitahap ini dikaitkan dengan pelepasan awal Ca2+ dari bagian-bagian intraseluler diikuti dengan influks Ca2+ yang meningkat melalui saluran kation yang independen voltase. Keratinosit sel paratiroid mengandung sebuah reseptor kalsium membran sel serupa yang dianggap memperantarai respons ini terhadap Ca2+ ekstraseluler. Reseptor ini bisa mengaktivasi jalur C-fosfolipase, yang mengarah pada peningkatan kadar inositol 1,4,5-trifospat (IP3) dan sn-1,2-diasilgliserol (DAG) – keduanya merupakan duta yang penting – serta menstimulasi influks Ca2+ dan arus klorida. IP3 menyebabkan pelepasan Ca2+ dari bidang-bidang internal, seperti retikulum endoplasmik, yang lebih lanjut meningkatkan kadar intraseluler mendahului beberapa kejadian seluler yang terstimulasi kalsium. DAG membentuk sebuah kompleks kuartener dengan fosfatidilserin, kalsium, dan protein kinase C untuk mengaktivasi kinase. Ini akan mempercepat diferensiasi terminal (Hennings dkk., 1983). Transduksi sinyal yang diperantarai melalui calmodulin menginduksi protein-protein lain, misalnya, desmoclamin, yang terkait dengan pembentukan desmosom.
   
Keratinosit-keratinosit yang tumbuh dalam medium berkalsium rendah (0,02 mM) menjaga kadar kalsium intraseluler yang memadai untuk metabolisme asam arachidonat dan menunjukkan produksi prostaglandin yang meningkat (utamanya PGE2 dan PGF2) hingga sampai 4,5 kali dibanding dengan sel-sel yang tumbuh pada kadar kalsium normal (1,2 mM). Jika ini benar untuk kondisi in vivo, maka kadar kalsium ekstraseluler yang rendah – misalnya, akibat skin barrier yang cacat – bisa menyebabkan peningkatan sintesis prostaglandin, menyebabkan gangguan-gangguan epidermal hiperproliferatif, seperti psoriasis, yang sering terkait dengan abnormalitas-abnormalitas pada produksi prostaglandin.

6.3 REGULASI KALSIUM
   
Regulasi kalsium dalam kulit menunjukkan adaptasi makhluk hidup yang cermat terhadap keberadaan ion-ion. Karena Ca2+ tidak dimetabolisasi seperti molekul-molekul duta-kedua lainnya, sel-sel dengan ketat mengatur kadar-kadar intraseluler melalui berbagai protein dan protein pengikatan dan protein ekstrusi khusus. Konsentrasi kalsium dalam ruang-ruang ekstraseluler (umumnya ~1,5 mM) memiliki jumlah yang empat kali lebih tinggi dibanding dalam sitosol (~0,1 µM). Pada sel-sel yang bisa dieksitasi, misalnya sel-sel otot, konsentrasi ekstraseluler dari kalsium harus diregulasi dengan ketat untuk menjaganya agar tetap pada kadar normal yakni ~1,5 mM, sehingga tidak bisa secara tidak sengaja memicu kontraksi otot, transmisi impuls-impuls saraf, dan pembekuan darah. Pada sel-sel lain, termasuk keratinosit, kadar ekstraseluler dipertahankan dalam kesetimbangan yang spesifik dengan konsentrasi intraseluler.
   
Apa fungsi menjaga kadar kalsium intraseluler agar tetap rendah? Konsentrasi kalsium yang rendah menjadikan penggunaan ion sebagai duta intraseluler tidak menggunakan banyak energi. Perpindahan ion kalsium melintasi membran memerlukan energi, biasanya disuplai oleh ATP. Jika kadar istirahat dari kalsium dalam sel cukup tinggi, banyak ion yang perlu ditransport ke dalam sitoplasma untuk meningkatkan konsentrasi dengan faktor 10 yang biasanya diperlukan untuk mengaktivasi sebuah enzim; setelah itu kalsium yang berlebih harus dikeluarkan dari sel. Normalnya kadar kalsium rendah berarti bahwa relatif sedikit pengeluaran energi, untuk meregulasi sebuah enzim. Berbeda dengan itu, pemakaian energi dari regulasi oleh duta intraseluler penting lainnya, yakni AMP siklik, cukup tinggi; ini harus disintesis dan diuraikan setiap waktu dia membawa sebuah pesan, dan kedua tahapan ini memerlukan investasi energi yang signifikan. Lebih lanjut, kalsium intraseluler yang rendah, merupakan sebuah kondisi yang diperlukan untuk karakteristik metabolisme yang dikendalikan fosfat pada organisme tingkat tinggi. Bahan bakar kaya energi untuk kebanyakan proses seluler adalah adenosin trifosfat (ATP). Penguraiannya melepaskan fosfat anorganik. Jika konsentrasi kalsium dalam sel cukup tinggi, fosfat dan kalsium akan bergabung membentuk sebuah endapan kristal hidroksipatit – zat sama yang ditemukan dalam tulang. Terakhir kalsifikasi akan mematikan sel. Ini kemungkinan terjadi dengan keterpaparak kerja jangka panjang terhadap kadar kalsium terlarut yang tinggi, misalnya, pada penambang, pekerja pertanian, dan pekerja lahan tanah, yang bisa menghasilkan kalsinosis cutis, sebuah pengerasan ringan dan reversibel pada kulit yang terpapar.
   
Gradien konsentasi yang luas antara ruang-ruang ekstraseluler dan sitosol dipertahankan oleh transport aktif Ca2+ melintasi membran plasma, retikulum endoplasma (atau retikulum sarkoplasmik pada otot), dan membran dalam mitokondria. Secara umum, membran plasma dan retikulum endoplasmik masing-masing mengandung Ca2+-ATPase yang secara aktif memompa Ca2+ keluar dari sitosol dengan disertai hidrolisis ATP. Mitokondria bertindak sebagai sebuah “buffer” untuk Ca2+ sitosolik: Jika konsentrasi sitosolik dari kalsium meningkat, maka laju influks Ca2= mitokondrial meningkat sedangkan efluks Ca2+ tetap konstan, sehingga menyebabkan konsentrasi kalsium dalam mitokondria meningkat meskipun konsentrasi kalsium dalam sitosol berkurang seperti semula. Sebaliknya, pengurangan konsentrasi kalsium dalam sitosol mengurangi laju influks mitokondria, sehingga menyebabkan efluks kalsium dari mitokondria dan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sitosol kembali ke titik semula.
   
Disamping  Ca2+-ATPase yang disebutkan sebelumnya, transport Ca2+ diregulasi oleh serangkaian pompa kalsium, sistem transport, dan saluran ion. Ketersediaan sistem-sistem regulatory tertentu tergantung pada aktivitas sel. Pada sel-sel yang bisa dieksitasi seperti oto kardiak, influks Ca2+ ke dalam sitosol diregulasi oleh saluran-saluran yang tergantung voltase (atau potensial) sedangkan efluks (keluar dari sitosol) diregulasi oleh penukar kation, seperti penukar Na+-Ca2+. Keratinosit-keratinosit yang tidak berdiferensiasi dalam lapisan basal memiliki kumpulan sistem transport Ca2+ yang berbeda dibanding sel-sel diferensial dalam lapisan teratas. Pada lapisan basal, sistem ini terdiri dari saluran kation non-spesifik 14-pS (NSCC) dan tidak memiliki saluran Ca2+ sensitif voltase fungsional. Keratinosit-keratinosit yang berdiferensiasi kemungkinan memiliki sekurang-kurangnya dua dan kemungkinan tiga jalur influks Ca2+: (a) saluran nikotinat, (b) saluran Ca2+ sensitif voltase (VSCC, yang bias diblokir oleh nifedipin atau verapamil); dan (c) NSCC, yang tidak diaktivasi oleh nikotin.
   
Permeabilitas kulit terhadap ion-ion Ca2+ telah diketahui dari beberapa dermatosa, seperti kalsinosis cutis dan kolagenoma verrucifomis yang berperforasi. Dalam jangka pendek, kalsinosis cutis terjadi setelah 24 jam (sekurang-kurangnya) pengapliaksian topikal sebuah pasta elektroda yang mengandung larutan kalsium klorida jenuh, bentonit, dan gliserin, yang digunakan untuk pemeriksaan dengan elektrosefalografi atau elektromiografi. Permeabilitas kulit manusia terhadap ion-ion Ca2+ secara in vitro menunjukkan sbuah ketergantungan besar terhadap anatomik. Sesuai dengan data yang ditemukan untuk nonelektrolit, permeasi berkurang sesuai dengan urutan berikut: foreskin > mammary > kulit kepala > paha. Mencit dan babi guinea akan menunjukkan permeabilitas yang sebanding dengan kulit kepala manusia. Trasport Ca2+ dari dermis melintasi epidermis lebih tinggi dibanding dari epidermis ke dermis.
   
Sebuah teknik dikembangkan untuk secara terus menerus memantau kadar fluks Ca2+ pada manusia secara in vitro. Penelitian menunjukkan bahwa fluks melalui stratum korneum manusia yang tidak diperlakukan adalah berbentuk sigmoidal. Fluks tetap memiliki rata-rata 7 x 10-12 mol/cm2/detik. Setelah stratum korneum diperlakukan dengan aseton dan sodium lauril sulfat, bentuk kurva cukup mirip tetapi fluks Ca2+ secara signifikan lebih tinggi.

6.4  GRADIEN KALSIUM
   
Seperti yang disebutkan sebelumnya, terdapat gradien kalsium yang tinggi antara domain ekstraseluler dan intraseluler dari keratinosit, yang memerlukan regulasi ketat. Disamping itu, sebuah gradien kalsium terdapat dalam epidermis, dengan kuantitas Ca2+ yang lebih besar pada bagian atas di banding pada bagian bawah epidermis. Konsentrasi Ca2+ meningkat secara tetap dari daerah basal ke stratum korneum, meskipun ini tidak terjadi dengan ion-ion lain. Gambar 6.1 mengilustrasikan gradien kalsium pada kulit manusia yang dibandingkan dengan data literatur aktual. Gradien seperti ini tidak diamati pada abnormalitas-abnormalitas kulit yang terkait dengan pembentukan fungsi barier abnormal, seperti pada psoriasis. Penelitian-penelitian pada mencit menunjukkan bahwa gradien ini terdapat pada saat yang sama dengan pembentukan barier kulit yang sedang matang pada akhir kehamilan. Gradien ini kemudian dipertahankan mulai dari lahir sampai dewasa.
   
Masih belum jelas apakah gradien kalsium mengarah pada pembentukan barier matang atau barier menyebabkan gradien. Bahkan bisa keduanya, jika regulasi menggunakan sebuah mekanisme umpan-balik, karena diferensiasi pada akhirnya membentuk sebuah barier yang engarah pada akumulasi kalsium dalam epidermis atas. Kadar kalsium yang tinggi ini pada gilirannya akan menjamin proses diferensiasi yang terus menerus sampai pembentukan korneosit (horny cells dalam SC). Mekanisme ini hampir sepenuhnya otonom, terus menerus, dan jika berjalan mulus, memerukan sedikit koreksi dari tubuh.

6.5  KALSIUM DAN MEKANISME REPARASI BARIER
   
Gangguan barier dengan perlakuan aseton atau tape stripping mengurangi Ca2+ dari epidermis atas, yang menghasilkan kehilangan gradien Ca2+. Ini disebabkan oleh transit air yang mengarah pada meningkatnya kehilangan Ca2+ secara pasif ke dalam dan di sepanjang stratum korneum. Salah satu penelitian in vivo menunjukkan bahwa permeabilitas SC manusia terhadap Ca2+ meningkat drastis setelah stratum korneum diperlakukan dengan aseton atau larutan sodium lauril sulfat. Penurunan kadar Ca2+dalam epidermis luar terkait dengan sekresi badan lamellar yang meningkat dan sintesis lipid (komponen-komponen penting dalam respons reparasi). Akan tetapi, jika gradien Ca2+ dilindungi dengan penambahan Ca2+ ke dalam medium, sekresi badan lamellar, sintesis lipid, dan recovery barier terhambat. Inhibisi yang ditimbulkan oleh konsentrasi kalsium ekstraseluler yang tinggi dipotensiasi oleh kadar K+ ekstraseluler yang tinggi. Penelitian lain menguatkan bahwa recovery barier dipercepat oleh konsentrasi kalsium yang rendah dan juga kalium selama kehilangan air yang meningkat, karena kehilangan kehilangan air bisa menyebabkan penurunan konsentrasi Ca2+ pada epidermis atas, yang selanjutnya bisa menstimulasi sekresi badan lamelar dan reparasi barier. Lebih lanjut, inhibisi yang ditimbulkan oleh konsentasi kalsium ekstraseluler yang tinggi dibaikkan oleh nifedpipin atau verapamil, yang merupakan pemblokir asluran kalsium. Pada penelitian lain, pemberian larutan bebas Ca2+ dengan sonoforesis menghasilkan penurunan kandungan Ca2+ pada epidermis atas, dan selanjutnya kehilangan gradien Ca2+ disertai dengan sekresi badan lamellar yang terpicu (sebuah tanda reparasi barier kulit).
   
Proses reparasi barier dalam kaitannya dengan kehilangan air transepidermal dan gradien kalsium diilustrasikan pada Gambar 6.2. Eksperimen pada mencit menunjukkan bahwa gradien kalsium hilang setelah gangguan barier permeabilitas akut, dan kembali setela 6 jam seiring dengan recovery barier, fungsi barier (melalui restriksi pergerakan air transkutaneous) bisa meregulasi pembentukan gradien kalsium epidermal.
   
Perlu diperhatikan bahwa reparasi barier sebagai respons terhadap gangguan barier kulit tidak sama dengan proses regenerasi barier normal. Respons ini merupakan sebuah tahapan darurat untuk mengurangi kehilangan air transepidermal secara cepat ke titik awal dan sehingga mengembalikan gradien kalsium ke kondisi alaminya. Ketika gradien kalsium ternomalkan, pembentukan barier kulit normal terjadi. Ditemukan bahwa penambahan konsentrasi kalsium tinggi selama proses penggangguan barier akan menginduksi influks kalsium yang lebih tinggi kedalam keratinosit epidermal yang menunda proses reparasi barier darurat. Akan tetapi, selama penundaan ini dan jika konsentrasi kalsium yang diaplikasikan berada dalam rentang fisiologis yang tepat, maka proses regenerasi kulit normal bisa terjadi dan fungsi batas nirmal direstorasi tanpa pembentukan barier emergensi intermediet. Ini diindikasikan dalam sebuah penelitian tentang keratinosit-keratinosit kultur bahwa kalsium ekstraseluler dalam rentang konsentrasi fisiologis tidak merupakan sinyal yang cukup untuk penghambatan pertumbuhan ketika kondisi-kondisi pertumbuhan lain dioptimalkan. Restorasi fungsi barier normal selama pengaplikasian konsentrasi kalsium yang tinggi terbukti dari efek ketika mandi di perairan Laut Mati yang kaya kalsium untuk menyembuhkan penyakit kulit yang terkait dengan gangguan barier kulit serta untuk meningkatkan hidrasi kulit dan mengurangi inflamasi pada kulit kering sensitif.

6.6  KESIMPULAN
   
Ion-ion kalsium memegang sebuah peranan penting dalam homeostasis barier kulit. Perubahan barier akan merubah gradien ion kalsium dalam kulit dan mengarah pada proses regenerasi barier kulit. Perubahan parah bisa mengarah pada tingkat pensinyalan kalsium yang tinggi, yang bisa menginduksi aktivasi berbagai proses, mulai sintesis komponen kulit yang meningkat sampai reaksi-reaksi inflamasi. Semua ini merupakan faktor penting yang mengarah pada kondisi kulit kering. Regulasi kalsium dalam kulit dengan demikian diperlukan untuk mempertahankan fungsi barier kulit dan menghindari gejala-gejala kulit kering.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders