IRIS Mycobacterium tuberculosis

Epidemiologi
   
Mycobacterium tuberculosis (TB) merupakan salah satu patogen yang paling sering dilaporkan terkait dengan IRIS. Narita dkk. melakukan penelitian prospektif pertama untuk mengevaluasi kejadian respons paradoksikal pada pasien-pasien yang sedang menjalani terapi TB dan selanjutnya memulai perawatan ART. Dari 33 pasien yang terinfeksi ganda HIV/TB yang mengalami terapi ganda, sebanyak 12 (36%) mengalami gejala-gejala paradoksikal. Frekuensi gejala pada kelompok ini lebih besar dibanding yang diamati pada kontrol terinfeksi HIV yang mendapatkan terapi TB saja, sehingga mendukung peranan respons sistem imun yang bertambah dalam patogenesis sindrom ini. Penelitian-penelitian retrospektif menguatkan temuan bahwa banyak pasien terinfeksi ganda HIV/TB yang mengalami HAART memiliki gejala-gejala yang konsisten dengan IRIS, dengan perkiraan antara 7 sampai 45%.
   
Hubungan antara tundaan yang lebih singkat antara dimulainya perawatan TB dengan dimulainya ART masih diperdebatkan. Meskipun beberapa peneliti tidak menemukan perbedaan waktu mulai dari terapi TB sampai dimulainya ART antara subjek IRIS dan non-IRIS, yang lainnya telah melaporkan perbedaan signifikan diantara kedua kelompok. Secara umum, IRIS terjadi pada subjek-subjek yang memulai ART dalam dua bulan sejak dilakukannya terapi TB. Berdasarkan ini dan data lain, analisis keputusan penentuan awal terapi ART pada pasien TB menemukan jumlah IRIS tertinggi yang terjadi pada pasien-pasien yang memulai perawatan ART dalam dua bulan setelah dimulainya terapi TB. Akan tetapi, menunda atau menangguhkan ART sampai dua hingga enam pekan terapi TB terkait dengan angka kematian yang lebih tinggi dimana angka kematian terkait IRIS kurang dari 4,6%. Laporan-laporan di masa mendatang dari studi-studi kohort observasional prospektif skala besar bisa membantu dalam mengatasi masalah sulit ini.
   
Walaupun sebagian besar terdiri dari laporan kasus, TB-IRIS yang mengenai sistem saraf pusat menimbulkan masalah yang unik. Ketika ketersediaan ART meningkat di negara-negara endemik, kejadian TB-IRIS sistem saraf pusat bisa meningkat. Sehingga, para dokter harus waspada dalam menegakkan diagnosis.

Gambaran klinis
   
Manifestasi klinis yang paling umum dari TB-IRIS adalah demam, limfadenopati dan gejala-gejala respirasi yang memburuk. Penyakit-penyakit paru, seperti infiltrat paru, limfadenopati mediastinal, dan efusi pleural juga umum. Presentasi ekstrapulmonary juga mungkin, termasuk tuberkulosis diseminata dengan gagal ginjal akut terkait, respons inflammatory sistemik (SIRS), dan tuberkuloma intrakranial. TB-IRIS paru bisa didiagnosa melalui pemburukan sementara dengan radiografi dada, khususnya jika radiograf lama tersedia untuk dijadikan perbandingan. Gejala-gejala lain tidak spesifik, dan mencakup demam terus menerus, penurunan berat badan, dan gejala-gejala respirasi yang memburuk. TB-IRIS abdominal bisa terjadi dengan nyeri abdominal non-spesifik dan ikterus obstruktif.
   
Pada kebanyakan penelitian, TB-IRIS terjadi dalam dua bulan setelah dimulainya ART. Diantara 43 kasus IRIS yang terkait MTB, onset rata-rata IRIS adalah 12-15 hari (rentang 2-114 hari), dengan hanya empat dari kasus ini yang terjadi lebih dari empat pekan setelah dimulainya terapi antiretorival. Penelitian-penelitian ini menunjukkan onset IRIS yang terkait mycobakterial relatif cepat setelah dimulainya ART, dan dokter harus tetap waspada selama periode ini.
   
Reaksi-reaksi TB sistem saraf pusat paradoksikal telah ditemukan pada pasien negatif HIV, dan mencakup perluasan tuberkuloma intrakranial, meningitis tuberkulous, dan lesi spinal cord. IRIS sistem saraf pusat yang terkait TB telah dilaporkan pada pasien-pasien positif HIV. Jika dibandingkan dengan IRIS-TB non-sistem-saraf-pusat, gejala-gejala cenderung terjadi lambat, mengalami limfadenopati servikal setelah lima pekan ART. Lima bulan kemudian, gejala-gejala sistem saraf pusat terkait dengan perluasan tuberkuloma intrakranial setelah dimulainya terapi antituberkulosis. Morbiditas signifikan pada kasus ini mengilustrasikan pentingnya memiliki kecurigaan yang tinggi untuk penyakit ini, khususnya di daerah-daerah endemik.

Pengobatan
   
Pengobatan untuk IRIS yang terkait mycobakterial tergantung pada  manifestasi dan keparahan penyakit. Kebanyakan pasien mengalami manifestasi yang tidak berbahaya yang merespon terhadap terapi anti-tuberkulosis yang sesuai. Akan tetapi berbagai manifestasi yang membahayakan nyawa pasien, seperti gagal ginjal akut dan sindrom disters respirasi akut (ARDS), telah ditemukan dan memiliki mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Morbiditas dan mortalitas juga bisa lebih besar pada daerah yang kekurangan sumber daya dimana opsi manajemen yang tersedia cukup terbatas. Karena patogenesis sindrom adalah inflamasi, maka kortikosteroid sistemik atau obat anti-inflammatory nonsteroid (NSAIDS) bisa menghilangkan gejala-gejala. Pada penelitian-penelitian dimana terapi untuk IRIS digunakan, penggunaan kortikosteroid tidak begitu efektif. Terapi-terapi yang digunakan berskiar mulai dari metilprednisolon intravena 40 mg setiap 12 jam sampai prednison 20-70 mg/hari selama 5-12 pekan. Praktik-praktik ini mencerminkan kurangnya bukti dari trial-trial terkontrol untuk penggunaan agen-agen anti-inflamasi dalam IRIS. Sebuah trial terkontrol plasebo yang meneliti dosis prednison 1,5 mg/kg/hari selama dua pekan diikuti dengan 0,75 mg/kg/hari selama 2 pekan pada IRIS-TB ringan sampai sedang saat ini sedang dilakukan di Afrika Selatan. Sebelum data dari penelitian ini dipublikasikan, cukup wajar untuk memberikan kortikosteroid bagi kasus-kasus IRIS yang parah seperti kompresi trakea akibat limfadenopati, limfadenitis, atau gejala respirasi parah, seperti stridor dan ARDS. Penghentian ART jarang diperlukan tetapi bisa dipertimbangkan jika membahayakan keselamatan pasien.
   
Pada pasien negatif HIV, penggunaan kortikosteroid pembantu dalam meningitis tuberkulosis memberikan bukti tentang kelangsungan hidup yang meningkat dan dampak neurologis yang berkurang dibanding terapi standar saja. Jika etiologi infeksi lainnya telah dipastikan tidak terlibat, terapi antituberkulosis standar harus dimulai atau dihentikan sesuai situasi klinis, dan pemberian terapi kortikosteroid harus dipertimbangkan untuk IRIS-TB sistem saraf pusat. Kelanjutan ART diperlukan, walaupun penghentiannya mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang tidak merespon atau pada kasus yang mengalami gejala-gejala neurologis.
   
Sindrom inflamasi rekonstitusi imun (IRIS) atau sindrom rekonstitusi imun (IRS) merupakan sebuah kondisi yang ditemukan pada beberapa kasus AIDS atau imunosupresi, dimana sistem imun mulai pulih, tetapi kemudian merespon terhadap infeksi oportunis yang didapatkan sebelumnya dengan respons inflammatory yang menjadikan gejala infeksi semakin buruk.
   
Penekanan sel T CD4 oleh HIV (atau oleh obat-obat imunosupresif) menyebabkan menurunnya respons normal tubuh terhadap infeksi tertentu. Hal ini menjadikan infeksi lebih sulit dilawan; ini bisa berarti bahwa tingkat infeksi yang normalnya menghasilkan gejala tidak terdeteksi (infeksi sub-klinis). Jika jumlah CD4 meningkat cepat (akibat pengobatan HIV yang efektif, atau penghentian penyebab imunosupresi lainnya), peningkatan respons inflamasi secara tiba-tiba menghasilkan gejala-gejala non-spesifik seperti demam, dan pada beberapa kasus pemburukan kerusakan jaringan yang terinfeksi.
   
Ada dua skenario IRIS yang umum. Yang pertama adalah “penampakan (unmasking)” sebuah infeksi oportunis laten. Yang kedua adalah kekambuhan simptomatik “paradoksikal” dari sebuah infeksi terdahulu meskipun pengobatan mikrobiologis telah berhasil dilakukan. Seringkali pada IRIS paradoksikal, kultur-kultur mikrobiologi steril. Pada kedua skenario ini, dihipotesiskan terjadi rekonstitusi imunitas berperantara sel T spesifik antigen dengan aktivasi sistem imun setelah terapi HIV terhadap antigen yang ada, apakah terdapat sebagai organisme utuh, organisme mati, atau debris.
   
Meskipun gejala-gejala ini bisa berbahaya, namun gejala-gejala ini juga menandakan bahwa tubuh mungkin memiliki peluang yang lebih besar untuk melawan infeksi. Pengobatan terbaik untuk kondisi ini belum diketahui. Pada reaksi IRIS paradoksikal, gejala-gejala biasanya akan menjadi lebih baik seiring dengan waktu tanpa adanya terapi tambahan. Pada IRIS laten yang tampak (unmasking), pengobatan yang paling umum adalah memberikan sebuah antibiotik atau obat antiviral terhadap organisme infeksi, pada beberapa kasus parah obat anti-inflamasi, seperti kortikosteroid diperlukan untuk menekan inflamasi sampai infeksi dihilangkan.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders