Dermatitis Atopik (Ekzema Atopik)

Dermatitis atopik merupakan sebuah penyakit kulit kronis yang terjadi paling umum selama masa bayi dan anak-anak. Penyakit ini sering terkait dengan abnormalitas-abnormalitas fungsi skin barrier dan pemekaan (sensitisasi) alergen. Tidak ada satu ciri khusus atau uji laboratorium diagnostik yang dapat membedakan AD. Sehingga, diagnosis didasarkan pada interpertasi gambaran klinis seperti yang disebutkan oleh Hanifin dan Rajka pada Tabel 14-1.

EPIDEMIOLOGI
  
Sejak tahun 1960an, terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik lebih dari tiga kali lipat. Disamping itu, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak mencapai 10 persen hingga 20 persen di Amerika Serikat, Eropa utara dan barat, Afrika perkotaan, Jepang, dan negara-negara maju. Prevalensi dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sekitar 1 persen sampai 3 persen. Menariknya, prevalensi dermatitis atopik jauh lebih rendah di negara-negara pertanian seperti Cina dan di Eropa Timur, Afrika Pedesaan, dan Asia Tengah. Juga terdapat kecenderungan pada wanita, dengan rasio 1,3:1,0.
  
Dasar dari prevalensi dermatitis atopik yang meningkat ini belum dipahami dengan baik. Akan tetapi, variasi prevalensi yang luas telah diamati di negara-negara yang dihuni oleh kelompok-kelompok etnis yang sama, sehingga menandakan bahwa faktor lingkungan penting dalam menentukan ekspresi penyakit. Beberapa faktor risiko potensial yang telah mendapatkan perhatian terkait dengan peningkatan penyakit atopik mencakup ukuran keluarga yang kecil, pendapatan dan pendidikan yang meningkat baik pada kulit putih maupun kulit hitam, migrasi dari lingkungan pedesaan ke perkotaan, dan penggunaan antibiotik. Ini melahirkan “hipotesis higiene” bahwa penyakit alergi bisa diecegah melalui “infeksi pada awal masa anak-anak yang ditransmisikan oleh kontak tidak higienis dengan saudara yang lebih tua”.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
  
Dermatiatis atopik merupakan sebuah penyakit kulit yang sangat pruritus yang dihasilkan oleh interaksi kompleks antara gen-gen kerentanan genetik yang menghasilkan gangguan skin barrier dalam sistem imun alami dan respons imunologi yang meningkat terhadap alergen dan antigen mikroba.

Fungsi Skin Barrier yang Menurun
  
Dermatitis atopik terkait dengan penurunan fungsi skin barrier yang signifikan akibat berkurangnya gen cornified envelope (falggrin dan loricrin), kadar ceramida yang berkurang, kada enzim proteolitik yang meningkat, dan kehilangan air trans-epidermal yang meningkat. Pengaplikasian sabun dan deterjen ke dalam kulit meningkatkan pH kulit, sehingga ikut meningkatkan aktivitas protease endogen, mengarah pada rusaknya fungsi barier epidermal. Barier epidermal juga bisa dirusak oleh keterpaparan terhadap protease eksogen dari tungau debu di rumah dan Staphylococcus aureus. Ini diperburuk oleh kurangnya inhibitor protease endogen tertentu pada kulit atopik (hipersensitif). Perubahan-perubahan epidermal ini kemungkinan berkontribusi bagi meningkatnya absorpsi alergen ke dalam kulit dan kolonisasi mikroba. Karena terjadi pada epikutaneous, yang berbeda dengan penyakit sistemik atau gangguan pada saluran udara, pemekaan terhadap alergen menghasilkan kadar respons imun alergik yang lebih tinggi, fungsi skin barrier yang menurun bisa bertindak sebagai tempat untuk pemekaan alergen dan menyebabkan anak-anak seperti ini rentan terhadap terjadinya elergi pernapasan kelak dalam hidupnya.

Imunopatologi Dermatitis Atopik
  
Kulit yang tidak terkena secara klinis pada pasien dermatitis atopik memanifestasikan hiperplasia epidermal ringan dan infiltrat sel-T perivaskular yang jarang. Lesi-lesi kulit ekzematosa ditandai dengan edema interseluler yang meningkat (spongiosis) pada epidermis. Sel-sel penampil antigen [seperti sel-sel Langerhans, makrofage] pada kulit lesi dan non-lesi dari dermatitis atopik menunjukkan adanya molekul imunoglobulin E (IgE) yang terikat ke permukaan. Infiltrat epidermal yang jarang, yang utamanya terdiri atas limfosit-limfosit T juga sering ditemukan. Dalam dermis lesi akut, terdapat influks sel T dengan makrofage monosit yang jarang. Infiltrat limfosit sebagian besar terdiri dari sel-sel T memori teraktivasi yang membawa CD3, CD4, dan CD5 RO (sehingga menunjukkan pertemuan sebelumnya dengan antigen). Eosinofil jarang terdapat pada dermatitis atopik akut. Sel-sel mast ditemukan dalam jumlah normal pada tahapan-tahapan degranulasi berbeda.
  
Lesi-lesi lichenifikasi kronis ditandai dengan epidermis hiperplastis dengan pemanjangan rete ridges, hiperkeratosis menonjol, dan spongiosis minimal. Terdapat peningkatan jumlah LC pembawa IgE dalam epidermis, dan makrofage mendominasi infiltrat sel mononuklear dermal. Sel-sel mast meningkat jumlahnya tetapi umumnya bergranulasi penuh. Neutrofil-neutrofil  tidak terdapat pada lesi kulit dermatitis atopik bahkan jika terjadi peningkatan S. aureus baik kolonisasi maupun infeksinya. Jumlah eosinofil yang meningkat diamati pada lesi kulit dermatitis atopik kronis. Eosinofil ini mengalami sitolisis dengan pelepasan kandungan protein granula ke dalam dermis atas dari kulit lesi. Protein utama ekstraseluler yang berasal dari eosinofil bisa dideteksi dalam pola fibrilar yang terkait dengan distribusi serat-serat elastis dalam dermis atas. Eosinofil dianggap berkontribusi bagi inflamasi alergik melalui sekresi sitokin dan mediator yang mengaugmentasi inflamasi alergik dan menginduksi cedera jaringan pada dermatitis atopik melalui produksi intermediet oksigen reaktif dan pelepasan protein-protein granula toksik.

Sitokin dan Chemokin
  
Inflamasi kulit atopik ditandai dengan ekspresi sitokin dan chemokin pro-inflammatory lokal. Sitokin seperti TNF-α dan IL-1 dari sel-sel residen (keratinosit, sel mast, sel dendritus) terikat ke reseptor-reseptor pada endotelium vaskular, mengaktivasi jalur-jalur sinyal seluler, yang mengarah pada induksi molekul adhesi sel endotelium. Kejadian-kejadian ini memulai proses pelekatan, aktivasi, dan adhesi ke endotelium vaskular diikuti dengan ekstravasi sel-sel inflammatory ke dalam kulit. Ketika sel-sel inflammatory telah berinfiltrasi ke dalam kulit, mereka merespons terhadap gradien-gradien kemotaktis yang dihasilkan oleh chemokin yang berasal dari tempat cedera atau infeksi.
  
Dermatitis atopik akut terkait dengan produksi sitokin tipe T helper 2 (Th2), utamanya IL-4 dan IL-13, yang memperantarai perubahan isotipe imunoglobulin menjadi sintesis IgE, dan meningkatkan ekspresi molekul-molekul adhesi pada sel-sel endotelium. Berbeda dengan itu, IL-5, terlibat dalam perkembangan eosinofil dan kelangsungannya, dan mendominasi dalam dermatitis atopik kronis. Peranan penting yang dimiliki sitokin Th2 dalam respons inflammatory kulit didukung oleh pengamatan bahwa mencit transgenik yang direkayasa genetika untuk mengekspresikan IL-4 secara berlebih pada kulitnya mengalami lesi-lesi kulit pruritus inflammatory yang mirip dengan dermatitis atopik, sehingga menandakan bahwa ekspresi sitokin Th2 pada kulit memiliki peranan yang penting dalam dermatitis atopik. Kulit yang peka alergen dari mencit defisien IL-5 telah ditemukan tidak memiliki eosinofil dan menunjukkan penebalan yang berkurang, sedangkan kulit dari mencit yang kekurangan IL-4 menunjukkan penebalan lapisan kulit secara normal, tetapi memiliki pengurangan eosinofil. Produksi  faktor penstimulasi koloni makrofage granulosit dalam dermatitis atopik dilaporkan dapat menghambat apoptosis monosit, sehingga berkontribusi bagi kelanjutan dermatitis atopik. Penjagaan dermatitis atopik kronis juga melibatkan produksi sitokin mirip Th1 yakni IL-12 dan IL-18, serta beberapa sitokin yang terkait dengan pemodelan ulang, termasuk IL-11 dan TGF-β1.
  
Chemokin yang spesifik kulit, chemokin yang menarik sel T kutaneous [CTACK; ligan chemokin CC 27 (CCL27)], sangat meningkat pada dermatitis atopik dan secara spesifik menyerang kulit yang memiliki reseptor chemokin CC (CLA)+ antigen limfoid kutaneous 10+ (CCR10+) sel T ke dalam kulit. CCR4 diekspresikan pada kulit yang mengandung sel-sel T CLA+ dan juga bisa terikat ke CCL17 pada endotelium vaskular venula kutaneous. Perekrutan selektif sel-sel Th2 yang mengekspresikan CCF4 diperantarai oleh chemokin asal makrofage dan timus dan sitokin teregulasi aktivasi, keduanya meningkat pada dermatitis atopik. Keparahan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan besarnya timus dan kadar sitokin teregulasi teraktivasi. Disamping itu, chemokin seperti fraktalkin, protein 10 terinduksi IFN-γ, dan monokin yang diinduksi oleh IFN-γ sangat meningkat dalam keratinosit dan menghasilkan migrasi sel Th1 ke dalam epidermis, khususnya pada dermatitis atopik kronis. Ekspresi yang meningkat dari chemokin CC, makrofage, protein-4 kemoatraktan, eotaksin, dan RANTES (yang diregulasi pada sel-T normal aktivasi diekspresikan dan disekresikan) berkontribusi bagi infiltrasi makrofage, eosinofil, dan sel-sel T menjadi lesi kulit dermatitis atopik akut dan kronis.

Tipe-Tipe Sel Kunci dalam Kulit Dermatitis Atopik
  
Sel-se penampil antigen. Kulit dermatitis atopik mengandung dua tipe sel dendritus myeloid pembawa reseptor Ig-E yang berafinitas tinggi: (1) LC dan (2) sel epidermal dendritus inflammatory (IDEC), LC pembawa IgE yang tampak memegang peranan penting dalam presentasi alergen kutaneous ke sel-sel Th2 penghasil TL-4. Dalam hal ini, LC yang membawa IgE dari lesi kulit dermatitis atopik (bukan LC yang kekurangan IgE permukaan) mampu pempresentasikan alergen-alergen hirupan ke sel T. Ini menunjukkan bahwa IgE terikat-sel pada LC mempermudah penangkapan dan internalisasi alergen ke dalam LC sebelum pemrosesannya dan presentasi antigen ke sel-sel T. LC pembawa IgE yang telah menangkap alergen kemungkinan mengaktivasi sel Th2 memori pada kulit atopik, tetapi mereka juga bisa bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk menstimulasi sel-sel T naif disana untuk lebih lanjut memperluas kelompok sel Th2 sistemik. Stimulasi FcεRI pada permukaan LC oleh alergen menginduksi pelepasan sinyal-sinyal kemotaktis dan perekrutan sel-sel prekursor IDEC dan sel T secara in vitro. Stimulasi FcεR pada IDEC mengarah pada pelepasan jumlah sinyal pro-inflammatory yang tinggi, yang berkontribusi bagi amplifikasi respons imun alergik.
  
Berbeda dengan penyakit kulit inflammatory, seperti dermatitis kontak alergi atau psoriasis vulgaris, jumlah sel dendritus plasmasitoid (pDC) yang  sangat rendah, yang memegang peranan penting dalam pertahanan host terhadap infeksi virus, bisa dideteksi dalam lesi kulit AD. pDC dalam daerah perifer pasien yang mengalami dermatitis atopik telah ditunjukkan mengandung varian trimerik dari FcεRI pada permukaan selnya, yang ditempati oleh molekul-molekul IgE. Fungsi imun termodifikasi dari pDC pada pasien dengan dermatitis atopik setelah stimulasi alergen berperantara FcεEI bisa berkontribusi bagi defisiensi lokal IFN tipe I, sehingga berkontribusi bagi kerentanan yang meningkat dari pasien dermatitis atopik terhadap infeksi kulit yang ditimbulkan virus seperti ekzema herpeticum.
  
Sel T. Kulit yang mengandung sel T memori memegang peranan penting dalam patogenesis dermatitis atopik, khususnya selama fase penyakit akut. Konsep ini didukung oleh pengamatan bahwa gangguan-gangguan imunodefisiensi sel-T primer sering terkait dengan lesi-lesi kulit ekzematosa yang bersih setelah transplantasi sumsum tulang dilakukan dengan sukses. Lebih lanjut, pada model dermatitis atopik hewan, ruam ekzematosa tidak terjadi tanpa adanya sel T. Disamping itu, pengobatan dengan inhibitor kalsineurin topikal, yang secara spesifik menargetkan sel T, secara signifikan mengurangi ruam kulit klinis dari dermatitis atopik.
  
Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya sel T mirip Th2 pada dermatitis atopik akut yang menghasilkan sitokin-sitokin yang meningkatkan inflamasi kulit alergik. Selama fase kronis dari dermatitis atopik, terjadi perubahan sel-sel mirip Th1 yang sebagian besar menghasilkan IFN-              γ. Sel-sel mirip Th2 ini menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit. Baru-baru ini, sel-sel regulatory T (Treg) telah dilaporkan sebagai sebuah subtipe lain dari sel T yang memiliki fungsi imunosupresif dan profil sitokinnya berbeda dari sel Th1 dan Th2. Sel Treg mampu menghambat terjadinya respons Th1 dan Th2. Mutasi pada faktor nuklear yang diekspresikan pada sel Treg, FoxP3, menghasilkan sindrom IPEX (immune dysregulation, polyendocrinopathy, enteropathy, X-linked) yang ditandai dengan IgE serum yang meningkat, alergi makanan, dan ekzema. Menariknya, superantigen staphylococcal menghilangkan fungsi sel Treg dan bisa memperparah inflamasi kulit.
  
Keratinosit. Keratinosit memegang peranan penting dalam augmentasi inflamasi kulit atopik. Keratinosit dermatitis atopik mensekresikan profil chemokin dan sitokin yang unik setelah keterpaparan terhadap sitokin pro-inflammatory. Ini mencakup kadar RANTES yang tinggi setelah stimulasi dengan TNF-α dan IFNγ. Ini juga merupakan sumber limfoproietin stromal thymic yang penting (TSLP), yang mengaktivasi sel dendritus untuk melengkapi sel-sel T naif agar dapat menghasilkan IL-4 dan IL-13 (yakni, diferensiasi sel Th2). Peranan TSLP dalam patogenesis dermatitis atopik didukung oleh pengamatan bahwa mencit yang direkayasa genetika untuk mengekspresikan TSLP secara berlebih pada kulit mengalami inflamasi kulit yang mirip dengan dermatitis atopik.
  
Keratinosit juga memegang peranan penting dalam respons imun alami kulit melalui ekspresi reseptor-reseptor Toll-like, produksi sitokin pro-inflammatory dan peptida-peptida antimikroba (seperti defensi β manusia dan cathelicidins) sebagai respons terhadap cedera jaringan atau mikroba yang menginvasi. Beberapa penelitian sekarang ini telah menunjukkan bahwa keratinosit dermatitis atopik menghasilkan pengurangan jumlah peptida antimikroba dan ini bisa menyebabkan individu seperti ini rentan terhadap kolonisasi kulit dan infeksi dengan S. aureus, virus, dan jamur. Akan tetapi, gangguan ini tampaknya didapatkan sebagai akibat dari inhibisi pembentukan peptida antimikroba imbas TNF-γ dan IFN-γ yang berperantara sitokin Th2 (IL-4, IL-10, dan IL-13).

Genetika
  
Dermatitis atopik diwariskan dengan pengaruh ibu yang kuat. Screen genom dari keluarga-keluarga yang mengalami dermatitis atopik memiliki daerah-daerah kromosom yang timpang tindih dengan penyakit kulit inflammatory seperti psoriasis. Bersama dengan kajian gen kandidat, ini telah memberikan wawasan menarik tentang patogenesis dermatitis atopik. Walaupun banyak gen yang kemungkinan terlibat dalam perkembangan dermatitis atopik, beberapa peneliti telah menyelidiki peranan potensial gen diferensiasi skin barrier/depidermal dan gen respons imun/pertahanan host.
  
Mutasi kehilangan fungsi dari protein barier epidermal, filaggrin, telah ditunjukkan sebagai faktor predisposisi utama untuk dermatitis atopik serta ichthyosis vulgaris, sebuah gangguan keratinisasi umum yang terkait dengan dermatitis atopik. Yang perlu diperhatikan, gen filaggrin ditemukan pada kromosom 1q21 yang mengandung gen-gen (termasuk loricrin dan protein pengikat kalsium S100) dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang diketahui diekspresikan selama diferensiasi terminal dari epidermis. Analisis microarray telah menunjukkan penambahan protein pengikat kalsium S100 dan penurunan loricrin dan filaggrin pada dermatitis atopik. Pendekatan-pendekatan gen kandidat juga telah berdampak pada varian-varian dalam gen SPINK5, yang diekspresikan pada epidermis teratas, dimana produknya, PEKT1, menghambat dua protease serin yang terlibat dalam deskuamasi dan inflamasi (enzim tryptic stratum korneum dan enzim cymotryptik stratum korneum). Enzim tryptic stratum korneum dan ekspresi enzim tryptic stratum korneum meningkat pada dermatitis atopik, sehingga menunjukkan bahwa ketidakseimbangan protease dan aktivitas inhibitor protase bisa berkontribusi bagi inflamasi kulit atopik. Fakta-fakta ini memiliki peranan penting untuk fungsi skin barrier yang terganggu dalam patogenesis dermatitis atopik, karena pembentukan skin barrier yang terganggu memungkinkan peningkatan kehilangan air transepidermal dan, yang lebih penting, meningkatkan masuknya alergen, antigen, dan bahan kimia dari lingkungan yang menghasilkan respons inflammatory kulit. Penting untuk ditekankan bahwa mutasi-mutasi filaggrin ini, dan kemungkinan mutasi-mutasi lain yang mengenai skin barrier, bisa terjadi pada orang-orang yang tidak terkena, pasien dengan ichtyosis vulgaris yang tidak mengalami dermatitis atopik, dan sehingga kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik meningkat penyakit kulit inflamasinya. Sehingga, produk-produk gen lain juga harus terlibat dalam patologi dermatitis atopik.
  
Kromosom 5q31-33 mengandung famili gen sitokin terkait (IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan faktor penstimulasi koloni makrofage granulosit) yang diekspresikan oleh sel-sel Th2. Sebuah perbandingan kasus kontrol telah menunjukkan adanya hubungan genotip antara alel T dari polimorfisme 590C/T pada daerah promoter gen IL-4 yang mengalami dermatitis atopik. Karena alel T terkait dengan aktivitas promoter gen IL-4 yang meningkat ketika dibandingkan dengan alel C, ini menunjukkan bahwa perbedaan genetis untuk aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi predisposisi dermatitis atopik. Disamping itu, hubungan antara dermatitis atopik dengan mutasi penambahan-fungsi (gain-of-function) pada subunit α dari reseptor IL-4 telah dilaporkan, sehingga memberikan dukungan lebih lanjut tentang konsep bahwa ekspresi gen IL-4 memegang peranan dalam dermatitis atopik. Mutasi-mutasi fungsional dalam daerah promoter dari chemokin C-C, RANTES dan eotaksin, serta varian pada IL-13, subunit β dari reseptor permukaan sel berafinitas tinggi untuk IgE (FcεR1) yang ditemukan pada basofil dan sel-sel mast, menunjukkan basis genetika yang mirip dengan penyakit atopik lainnya. Keterlibatan imunoglobulin sel-T dan gen IL-18 dan molekul-1 yang mengandung domain mucin mendukung peranan sel T CD4+ dan disregulasi gen Th1 dalam patofisiologi dermatitis atopik. Demikian juga, laporan-laporan tentang hubungan antara dermatitis atopik dengan polimorfisme gen NOD1, yang mengkodekan reseptor pengenal patogen dan reseptor Toll-like dalam sitosol, menunjukkan sebuah peranan penting bagi gen pertahanan host dalam patogenesis dermatitis atopik.

Peranan Pruritus dalam Dermatitis Atopik
  
Pruritus merupakan sebuah ciri utama dari dermatitis atopik, yang dimanifestasikan sebagai hipersensitifitas kutaneous dan penggarukan setelah keterpaparan terhadap alergen, perubahan kelembaban, keringat berlebih, dan pengiritasi dalam konsentrasi rendah. Pengendalian pruritus penting karena cedera mekanis akibat penggarukan bisa menimbulkan pelepasan chemokin dan sitokin pro-inflammatory, yang menghasilkan gatal-gatal sehingga ruam kulit dermatitis atopik tetap terjadi. Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik belum dipahami dengan baik. Pelepasan histamin dari sel mast kulit yang dipengaruhi oleh alergen bukan merupakan penyebab satu-satunya untuk pruritus pada dermatitis atopik, karena antihistamin tidak efektif dalam mengontrol gatal-gatal dermatitis atopik. Penemuan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin efektif dalam mengurangi pruritus menunjukkan bahwa sel-sel inflammatory memegang peranan penting dalam pruritus. Molekul-molekul yang telah diketahui terlibat dalam pruritus mencakup sitokin-sitokin asal sel-T seperti IL-31, neuropeptida imbas stress, protease seperti protease yang bisa beraksi pada reseptor-reseptor teraktivasi-protease, eikosanoid, dan protein-protein asal eosinofil.

GAMBARAN KLINIS
  
Diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada beberapa gambaran klinis seperti ditunjukkan pada Tabel 14-1. Dermatitis atopik lazimnya dimulai selama masa bayi. Sekitar 50 persen pasien mengalami penyakit ini pada tahun pertama masa hidup dan 30 persen lainnya mengalaminya antara usia 1 sampai 5 tahun. Antara 50 persen dan 80 persen bayi dengan dermatitis atopik mengalami rhinitis alergi atau asma pada masa anak-anak kelak. Banyak dari pasien ini yang bertambah parah dermatitis atopik yang dideritanya ketika mengalami alergi pernapasan.

Lesi-Lesi Kutaneous
  
Pruritus intens dan kereaktifan kutaneous merupakan ciri umum dari dermatitis atopik. Pruritus bisa terjadi sesekali dalam satu hari tetapi biasanya memburuk di awal sore dan malam. Konsekuensinya adalah penggarukan, papula prurigo (Gbr. 14-1), lichenifikasi (Gbr. 14-2), dan lesi-lesi kulit ekzema. Lesi-lesi kulit akut ditandai dengan papula-papula eritematosa pruritus intens yang terkait dengan eksoriasi, vesikel di atas kulit eritemtosa, dan eksudat serosa (Gbr. 14-3). Dermatitis subakut ditandai dengan papula-papula sisik, yang eritemtosa dan bereksoriasi (Gbr. 14-4). Dermatitis atopik kronis ditandai dengan plak-plak kulit yang menebal, bercak-bercak pada kulit yang meningkat (lichenifikasi), dan papula-papula fibrotik (prurigo nodularis; Gbr. 14-5). Pada dermatitis atopik kronis, ketiga tahapan reaksi kulit sering terjadi bersamaan pada individu yang sama. Pada semua tahapan dermatitis atopik, pasien biasanya memiliki kulit yang kering dan pucat (Gbr. 14-5).
  
Distribusi dan pola reaksi kulit berbeda-beda berdasarkan usia pasien dan aktivitas penyakit. Selama masa janin, dermatitis atopik pada umumnya lebih akut dan sebagian besar melibatkan wajah, kulit kepala, dan permukaan ekstensor dari ekstremitas. Area diaper biasanya tidak terkena. Pada anak-anak yang lebih tua, dan pada mereka yang mengalami penyakit kulit yang sudah lama, pasien mengalami bentuk dermatitis atopik kronis dengan lichenifikasi dan lokalisasi ruam pada lipatan-lipatan fleksural ekstremitas (Gbr. 14-8). Dermatitis atopik reda seiring pasien tumbuh lebih tua, yang menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap gatal-gatal dan inflamasi ketika terpapar terhadap pengiritasi eksogen. Ekzema lengan kronis bisa menjadi manifestasi utama pada banyak orang dewasa yang mengalami dermatitis atopik. Karakteristik yang terkait lainnya dari dermatitis atopik ditunjukkan pada Tabel 14-1.

Tes Laboratorium
  
Tes laboratorium tidak diperlukan dalam pemeriksaan dan perawatan rutin dermatitis atopik yang tidak parah. Kadar IgE serum meningkat pada sekitar 70 persen sampai 80 persen pasien dermatitis atopik. Ini terkait dengan pemekaan terhadap alergen makanan dan pernapasan dan/atau rhinitis alergi dan asma yang bersamaan. Berbeda dengan itu, 20 persen sampai 30 persen pasien dermatitis atopik memiliki kadar IgE serum yang normal. Sub-tipe dermatitis atopik ini memiliki pemekaan IgE yang kurang terhadap alergen makanan atau pernapasan. Akan tetapi, beberapa dari pasien ini bisa memiliki pemekaan IgE terhadap antigen-antigen mikroba seperti toksin S. aureus, dan Candida albicans atau Malassezia sympodialis. Demikian juga, beberapa dari pasien ini menunjukkan reaksi positif dengan menggunakan uji tempel atopik meskipun negatif untuk uji kulit langsung.
  
Kebanyakan pasien dengan dermatitis atopik juga memiliki eosinofilia darah perifer. Pasien dengan dermatitis atopik memiliki pelepasan histamin spontan yang meningkat dari basofil. Temuan-temuan ini kemungkinan mencerminkan sebuah respons imun Th2 sistemik pada dermatitis atopik khususnya pasien-pasien yang memiliki kadar IgE serum meningkat. Yang lebih penting, darah perifer kulit yang membawa sel CLA+ T pada dermatitis atopik yang tidak mengekspresikan CD4 atau CD8 secara spontan mensekresikan IL-5 dan IL-13, yang secara fungsional memperpanjang kelangsungan eosinofil dan menginduksi sintesis IgE.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
  
Tabel 14-1 memuat ciri-ciri klinis dari dermatitis atopik. Dari sifat-sifat utama, pruritus dan dermatitis ekzematosa kronis atau yang kambuh dengan morfologi dan distribusi tipikal, penting untuk diagnosis. Sifat-sifat lain, termasuk alergi eksogen atau IgE yang meningkat, cukup bervariasi, dan beberapa sifat terkait pada tabel tidak menjadi pembeda yang bermanfaat untuk membedakan individu yang mengalami dermatitis atopik dengan populasi umum yang tidak terkena. Berbagai kriteria diagnostik telah diusulkan untuk membantu dalam diagnosis klinis, definisi pasien untuk penelitian klinis, dan kajian populasi epidemiologik. Daftar revisi dari kriteria diagnostik yang cocok untuk kajian epidemiologi telah dibuat dan divaludasi oleh di Inggris.
  
Box 14-1 memuat beberapa penyakit kulit inflammatory, imunodefisiensi, keganasan kulit, gangguan-gangguan genetis, penyakit infeksi, dan infestasi yang memiliki tanda dan gejala yang sama dengan dermatitis atopik. Ini harus dipertimbangkan dan dipastikan sebelum diagnosis dermatitis atopik ditegakkan. Bayi-bayi yang menunjukkan gejala pada tahun pertama masa hidup dengan kegagalan untuk tumbuh, diare, dan ruam eritematosa scaling menyeluruh, dan infeksi sistemik dan/atau kutaneous harus dievaluasi untuk sindrom imunodefisiensi gabungan yang parah. Sindrom Wiskott-Aldrich merupakan sebuah gangguan resesif terkait-X yang ditandai dengan temuan kutaneous yang hampir tidak bisa dibedakan dengan dermatitis atopik. Ini terkait dengan trombositopenia, abnormalitas yang bervariasi pada imunitas humoral dan seluler, dan infeksi bakteri parah rekuren. Sindrom hiper-IgE ditandai dengan kadar IgE serum yang meningkat, fungsi sel-T yang terganggu, infeksi bakteri rekuren, termasuk abses kutaneous akibat S. aureus dan/atau kulit pruritus akibat pustulosis S. aureus, atau akibat dermatofitosis yang resisten terapi. Sebuah erupsi papulopustular pada wajah dan kulit kepala bisa ditemukan pada masa bayi. Walaupun S. aureus merupakan sebuah patogen penting pada penyakit ini, infeksi dengan bakteri lain, virus, dan jamur bisa terjadi, khususnya ketika pasien sedang menjalani terapi profilaksis antibiotik anti-stafilokokal. Ciri-ciri lain dari sindrom hiper-IgE mencakup pneumonia dengan pembentukan pneumatosel, kelainan gigi dengan gigi sulung yang tetap utuh, fraktur tulang, dan osteopenia.
  
Penting untuk mengenali bahwa seorang dewasa yang mengalami dermatitis ekzematous tanpa riwayat ekzema anak, alergi pernapasan, atau riwayat keluarga atopik bisa memiliki dermatitis kontak alergik. Sebuah alergen kontak harus dipertimbangkan pada pasien manapun yang memiliki dermatitis atopik yang tidak merespon terhadap terapi yang sesuai. Perlu diperhatikan, alergi kontak terhadap glukokortikoid dan inhibitor kalsineurin topikal telah dilaporkan pada pasien-pasien yang mengalami dermatitis kronis. Disamping itu, limfoma sel-T kutaneous harus diselidiki pada orang dewasa yang menunjukkan dermatitis kronis yang tidak merespon baik terhadap terapi glukokortikoid topikal. Idealnya, biopsi-biopsi harus didapatkan dari tiga tempat terpisah, karena histologi bisa menunjukkan spongiosis dan infiltrat seluler yang mirip dengan dermatitis atopik. Dermatitis ekzematosa juga telah dilaporkan dengan virus imunodefisiensi manusia serta dengan berbagai infestasi seperti skabies. Kondisi-kondisi lain yang bisa disalahartikan sebagai dermatitis atopik mencakup psoriasis, ichtiosis, dan dermatitis seborheik.

KOMPLIKASI

Masalah-masalah okular
  
Komplikasi mata yang terkait dengan dermatitis atopik parah bisa mengarah pada morbiditas yang signifikan. Dermatitis kelopak mata dan nefritis kronis umumnya terkait dengan dermatitis atopik dan bisa menghasilkan gangguan penglihatan karena scarring kornea. Keratikonjungtivitis atopik biasanya bilateral dan bisa memiliki gejala-gejala yang menyebabkan kecacatan serpti gatal, luka bakar, keluar air mata, dan cairan mukoid yang banyak. Konjungtivitis vernal merupakan sebuah proses inflamasi kronis rekuren bilateral parah yang terkait dengan hipertropi papillary, atau tonjolan pada konjungtiva kelopak atas. Ini biasanya terjadi pada pasien muda dan memiliki kejadian musiman, sering pada musim semi. Pruritus intens-terkait diperburuk oleh keterpaparan terhadap pengiritasi, cahaya, atau keringat. Keratikonus merupakan sebuah deformitas konikal pada kornea yang diyakini disebabkan oleh penggarukan mata secara terus menerus oleh pasien yang mengalami dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Katarak dilaporkan terjadi pada sampai 21 persen pasien yang mengalami dermatitis atopik parah. Akan tetapi, masih belum jelas apakah ini merupakan manifestasi utama dari dermatitis atopik atau akibat dari penggunaan glukokortikoid topikal dan sistemik, khususnya di sekitar mata. Meski demikian, penelitian-penelitian lebih baru menunjukkan bahwa screening rutin untuk katarak pada pasien dengan dermatitis atopik mungkin tidak produktif selama efek samping potensial dari terapi steroid tidak dipertimbangkan.
Infeksi
  
Dermatitis atopik bisa diperparah oleh infeksi virus pada kulit yang bisa mencerminkan cacat lokal pada fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah herpes simpleks, yang bisa mengenai pasien usia berapa pun, menghasilkan erupsi Kaposi variselliformis atau ekzema herpeticum. Setelah masa inkubasi 5 sampai 12 hari, lesi-lesi ganda, gatal vesikulopustular muncul dengan pola yang menular; lesi-lesi vesikular mengalami umbilikasi, cenderung terkikis dan membentuk perdarahan atau berkerak (Gbr. 14-10). Erosi yang sangat nyeri akan dihasilkan. Lesi-lesi bisa bergabung menjadi area perdarahan yang luas dan bisa mengenai seluruh tubuh.
  
Walaupun infeksi cacar telah diberantas di seluruh dunia sejak akhir 1970an, namun ancaman bioterorisme (dengan cacar dan agen infeksi lainnya) telah menjadikan beberapa negara mempertimbangkan kebijakannya terhadap inisiasi program vaksin. Pada pasien demartitis atopik, vaksinasi penyakit cacar (atau bahkan keterpaparan terhadap individu yang divaksinasi) bisa menyebabkan erupsi parah yang tampak sangat mirip dengan ekzema herpetikum. Sehingga, pada pasien yang mengalami dermatitis atopik, vaksinasi dikontraindikasikan selama tidak ada risiko cacar yang jelas. Disamping itu, keputusan tentang vaksinasi anggota keluarga harus mempertimbangkan potensial vaksinatum ekzema dalam kontak rumah tangga.
  
Infeksi jamur superfisial juga lebih umum pada individu atopik dan bisa berkontribusi bagi pemburukan dermatitis atopik. Pasien-pasien dengan dermatitis atopik memiliki prevalensi yang meningkat untuk infeksi Trichophyton rubrum dibanding dengan kontrol yang non-atopik. Telah banyak yang meneliti peranan M. Furfur (Pityrosporum ovale atau P. orbiculare) pada dermatitis atopik. M. Furfur umum ditemukan dalam daerah-daerah seborheik kulit. Antibodi IgE terhadap M. Furfur cukup umum ditemukan pada pasien dermatitis atopik dan paling sering pada pasien yang mengalami dermatitis kepala dan leher. Berbeda dengan itu, pemekaan IgE terhadap M. Furfur jarang diamati pada kontrol normal dan pasien asma. Reaksi uji tempel alergen positif terhadap jamur ini juga telah ditunjukkan. Peranan potensial dari M. Furfur serta infeksi dermatofita lainnya lebih lanjut didukung oleh pengurangan keparahan dermatitis atopik pada pasien-pasien seperti ini setelah pengobatan dengan agen-agen antijamur.
  
S. aureus ditemukan pada lebih dari 90 persen lesi kulit dermatitis atopik. Pengerakan yang berwarna seperti madu, folikulitis, dan pyoderma adalah indikator dari infeksi kulit bakterial sekunder, biasanya karena S. aureus, yang memerlukan terapi antibiotik. Limfadenopati regional cukup umum pada pasien seperti ini. Pentingnya S. aureus dalam dermatitis atopik didukung oleh pengamatan bahwa pasien yang mengalami dermatitis atopik parah, bahkan yang tidak mengalami infeksi berlebihan, bisa menunjukkan respons klinis terhadap pengobatan gabungan dengan antibiotik antistafilokokal dan glukokortikoid topikal. Walaupun pustulosis stafilokokal rekuren bisa menjadi masalah signifikan pada dermatitis atopik, infeksi S. aureus dalam jarang terjadi dan akan menimbulkan kemungkinan sindrom imunodefisiensi seperti sindrom hiper-IgE. Stafilokokus yang resisten methicillin bisa menjadi patogen penting pada beberapa pasien.

Dermatitis Tangan
  
Pasien-pasien yang mengalami dermatitis atopi sering mengalami dermatitis tangan non-spesifik dan mengiritasi. Ini biasanya diperburuk oleh pembasahan yang berulang dan dengan pencucian tangan menggunakan sabun kasar, deterjan, dan disinfektan. Individu atopik dengan pekerjaan yang melibatkan pekerjaan basah rentan untuk mengalami dermatitis tangan pada tempat kerja. Ini merupakan penyebab umum kecacatan kerja.
Dermatitis Eksfoliatif
  
Pasien-pasien yang memiliki keterlibatan kulit ekstensif bisa mengalami dermatitis eksfoliatif. Ini terkait dengan kemerahan menyeluruh, scaling, weeping, pengerakan, toksisitas sistemik, limfadenopati, dan demam. Walaupun komplikasi ini jarang, tetapi berpotensi membahayakan keselamatan pasien. Ini biasanya disebabkan oleh superinfeksi, misalnya, dengan S. aureus penghasil toksin atau infeksi herpes simpleks, iritasi kulit yang terus menerus, atau terapi yang tidak cocok. Pada beberapa kasus, penghentian glukokortikoid yang digunakan untuk mengendalikan dermatitis atopik parah bisa menjadi faktor pemicu untuk eritroderma eksfoliatif.

PROGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS
  
Riwayat alami dermatitis atopik tidak diketahui seluruhnya karena penelitian memiliki kekurangan dalam hal ukuran sampel yang tidak memadai, definisi yang tidak jelas untuk kesembuhan, lama follow up yang tidak cukup, bias seleksi pada kohort awal, dan pengunduran diri pasien untuk follow up. Meski demikian, walaupun hasil dari dermatitis atopik mungkin sulit diprediksikan pada individu tertentu, penyakit pada umumnya cenderung lebih parah dan lebih persisten pada anak-anak kecil. Periode remisi tampak lebih sering ketika pasien menjadi lebih tua. Penyembuhan spontan dari dermatitis atopik telah dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun pada 40 persen hingga 60 persen pasien yang terkena selama masa bayi, khususnya jika penyakit mereka ringan. Walaupun penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sekitar 84 persen anak sembuh dari dermatitis atopik pada usia remaja, namun penelitian yang lebih terbaru telah melaporkan bahwa dermatitis atopik hilang pada sekitar 20 persen anak setelah masa bayi sampai remaja, tetapi menjadi kurang parah pada 65 persen. Disamping itu, lebih dari setengah remaja yang diobati untuk dermatitis ringan bisa mengalami kekambuhan penyakit ketika dewasa.
  
Yang lebih penting, untuk konseling kerja, orang dewasa yang dulunya mengalami dermatitis atopik pada masa anak-anak yang telah mengalami remisi selama beberapa tahun bisa mengalami dermatitis tangan, khususnya jika aktivitas harian memerlukan pembasahan tangan yang berulang-ulang. Faktor-faktor prediktif berikut berkorelasi dengan prognosis yang buruk untuk dermatitis atopik: dermatitis atopik menyeluruh pada masa anak-anak, rhinitis dan asma alergik terkait, riwayat dermatitis atopik keluarga ada orang tua atau saudara, usia dini pada saat onset dermatitis atopik, merupakan anak satu-satunya, dan kadar IgE serum yang sangat tinggi.

PENGOBATAN
  
Pengobatan dermatitis atopik yang berhasil memerlukan pendekatan yang sistematis dan multidisiplin yang memadukan hidrasi kulit, terapi farmakologi, dan identifikasi dan penghilangan faktor-faktor pemicu seperti pengiritasi, alergen, agen-agen penginfeksi, dan tekanan emosional (Gbr. 14-11). Banyak faktor yang megnarah pada kompleks gejala yang menandai dermatitis atopik. Sehingga, rencana pengobatan harus dikhususnya untuk mengatasi pola reaksi penyakit kulit pasien masing-masing, termasuk akuitas ruam, dan faktor-faktor pemicu yang unik bagi pasien tertentu. Pada pasien yang tidak mempan terhadap terapi konvensional, agen-agen anti-inflammatory dan imunomodulatory mungkin diperlukan.

Terapi Topikal
  
Hidrasi kutaneous. Pasien dengan dermatitis atopik memiliki fungsi skin barier yang berkurang dan kulit kering (xerosis) yang berkontribusi bagi morbiditas penyakit melalui terjadinya mikro-fisur dan retakan dalam kulit, yang berfungsi sebagai lubang masuk untuk patogen kulit, pengiritasi, dan alergen. Masalah ini bisa menjadi lebih besar selama bulan-bulan musim dingin kering dan pada lingkungan kerja tertentu. Mandi air hangat selama sekurang-kurangnya 20 menit diikuti dengan pengaplikasian emolien oklusif untuk mempertahankan kelembaban bisa memberikan meredakan gejala. Penggunaan emolien efektif dikombinasikan dengan terapi hidrasi membantu mengembalikan dan melindungi barier stratum korneum, dan bisa mengurangi kebutuhan akan glukokortikoid topikal. Pelembab tersedia dalam bentuk losion, krim, atau salep. Beberapa losion dan krim bisa menyebabkan iritasi karena preservatif, pelarut, dan zat parfum yang ditambahkan. Losion yang mengandung air bisa menjadi kering karena efek evaporatif. Salep-salep hidrofilik bisa didapatkan dalam berbagai tingkat viskositas menurut keinginan pasien. Salep-salep oklusif terkadang tidak ditolerir dengan baik karena interferensi dengan fungsi duktus keringat ekrin dan induksi folikulitis. Pada pasien-pasien ini, agen-agen yang kurang oklusif harus digunakan.
  
Terapi topikal untuk menggantikan lipid epidermal abnormal, memperbaiki hidrasi kulit, dan mengurangi disfungsi skin barier, bisa bermanfaat secara terapeutik. Penelitian telah menunjukkan manfaat dari preparasi-preparasi topikal dengan komposisi-komposisi lipid berbeda dan ceramida, serta krim non-steroidal yang mengandung palmitamida MEA, sebuah asam lemak yang penting, dan sebuah krim hidrofilik dengan asam glisirrhetinat (MAS063ADP). Studi klinis lebih lanjut untuk menentukan manfaat relatif terhadap pelembab tradisional dan agen antiinflamasi lokal akan sangat membantu.
  
Hidrasi, melalui mandi atau pakaian basah, mempromosikan penetrasi glukokortikoid topikal transepidermal. Balutan/pakaian juga bisa berfungsi sebagai pembatas efektif terhadap penggarukan yang terus menerus, sehingga memungkinkan penyembuhan lesi yang lebih cepat. Pakaian/balutan basah direkomendasikan untuk digunakan pada bagian-bagian dermatitis yang terkena parah atau kronis yang kebal terhadap terapi. Akan tetapi, penggunaan balutan basah yang berlebihan bisa menghasilkan maserasi kulit yang dihasilkan oleh infeksi sekunder. Pakaian basah atau mandi juga memiliki potensi untuk mempromosikan kekeringan dan fisur kulit jika tidak diikuti dengan penggunaan emolien topikal. Sehingga, terapi balutan basah dipersiapkan untuk dermatitis atopik yang tidak dapat dikontrol dengan baik dan harus dipantau secara dekat oleh dokter.
  
Terapi glukokortikoid topikal. Glukokortikoid topikal adalah batu loncatan pengobatan untuk lesi-lesi kulit ekzematosa anti-inflamasi. Karena efek samping potensial, kebanyakan dokter menggunakan glukokortikoid topikal hanya untuk mengontrol pemburukan akut  dermatitis atopik. Akan tetapi, penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa jika kontrol dermatitis atopik dicapai dengan resimen glukokortikoid topikal harian, maka kontrol jangka panjang bisa dipertahankan pada beberapa pasien dengan pengaplikasian flutikason topikal dua kali sepekan ke bagian-bagian yang telah sembuh tetapi rentan terhadap ekzema.
  
Pasien-pasien harus diinstruksikan secara cermat tentang penggunaan glukokortikoid topikal untuk menghindari efek-efek samping potensial. Glukokortikoid berfluorin potensial harus dihindari pada wajah, genitalia, dan daerah-daerah intertriginous. Preparasi glukokortikoid  yang berpotensi rendah pada umumnya direkomendasikan untuk bagian-bagian tubuh ini. Pasien harus selalu diinstruksikan untuk mengaplikasikan glukokortikoid topikal pada lesi-lesi kulit mereka dan menggunakan emolien pada kulit yang tidak terlibat. Kegagalan pasien untuk merespon terhadap glukokortikoid topikal terkadang disebabkan sebagian oleh suplai yang tidak memadai. Penting untuk diingat bahwa diperlukan sekitar 30 g krim atau salep untuk menutupi seluruh permukaan kulit orang dewasa pada satu kali pengaplikasian. Untuk mengobati seluruh tubuh dua kali sehari selama 2 pekan memerlukan sekitar 840 g glukokortikoid topikal.
  
Ada tujuh golongan glukokortikoid topikal, yang diurutkan berdasarkan potensinya menurut uji-uji vasokonstriktor. Karena efek samping potensial yang ditimbulkan, glukokortikoid yang berpotensi sangat tinggi hanya boleh digunakan selama periode yang sangat singkat dan pada bagian yang terlichenifikasi tetapi bukan pada wajah atau daerah intertriginous. Tujuannya adalah menggunakan emolien untuk meningkatkan hidrasi kulit dan glukokortikoid potenis-rendah untuk terapi penjagaan (maintenance therapy). Glukokortikoid yang berpotensi sedang bisa digunakan selama periode waktu yang lebih lama untuk mengobati dermatitis kronis yang melibatkan trunkus dan ekstremitas. Glukokortikoid pada sel sering dalam bentuk glikol propilen dan bisa mengiritasi kulit disamping menyebabkan kekeringan, sehingga membatasi penggunaannya pada kulit kepala dan daerah-daerah yang ditumbuhi rambut.
  
Faktor-faktor yang mempengaruhi potensi glukokortikoid topikal dan efek sampingnya mencakup struktur molekuler dari senaywa, wahana, jumlah obat yang diaplikasikan, durasi pengaplikasian, oklusi, serta faktor-faktor host, seperti usia, luas permukaan tubuh dan berat badan, inflamasi kulit, lokasi anatomi dari kulit yang diobati, dan perbedaan individu dalam hal metabolisme kutaneous dan sistemik. Efek-efek samping dari glukokortikoid topikal terkait langsung dengan potensi senyawa dan lama penggunaan, sehingga adalah tugas dokter untuk menyeimbangkan kebutuhan akan steroid yang lebih potensial dengan potensi untuk efek samping. Disamping itu, salep-salep memiliki potensi yang lebih besar untuk mengoklusi epidermis, menghasilkan absorpsi sistemik yang meningkat jika dibandingkan dengan krim. Efek-efek samping dari glukokortikoid topikal bisa dibagi menjadi efek samping lokal dan efek samping sistemik yang dihasilkan oleh penekanan aksis hipotalamus-pituitary-adrenal. Efek samping lokal mencakup terjadinya striae, atropi kulit, dermatitis perioral, dan acne rosacea. Potensi untuk glukokortikoid topikal kuat untuk menyebabkan supresi adrenal paling tinggi pada bayi dan anak-anak kecil. Yang perlu diperhatikan, sebuah penelitian pada anak-anak usia 3 bulan menemukan bahwa flutikason propionat 0,05 persen, sebuah formulasi dengan kekuatan sedang, cukup aman dan efektif bahkan ketika diaplikasikan pada wajah dan daerah signifikan dari tubuh selama sampai 1 jam dan krim flutikason 0,05 persen telah disetujui penggunaannya pada anak-anak yang berusia 2 tahun keatas.

Karena kulit yang tampak normal pada dermatitis atopik menunjukkan bukti disregulasi imunologik, penggunaan kortikosteroid topikal sebagai terapi penjagaan (maintenance therapu) telah dilaporkan pada beberapa penelitian terkontrol. Jika pengendalian dermatitis atopik dengan resimen sekali sehari telah dicapai, pengendalian jangka panjang bisa dipertahankan dengan pengapliaksian flutikason dua kali sehari pada bagian-bagian yang sebelumnya terlibat.
  
Inhibitor kalsineurin topikal. Takrolimus topikal dan pimekrolimus telah dikembangkan sebagai imunomodulator nonsteroidal. Salep takrolimus 0,03 persen telah disetujui untuk pengobatan dermatitis atopik sedang sampai parah dengan frekuensi sesekali pada anak-anak yang berusia 2 tahun keatas, dengan salep takrolimus 1 persen yang disetujui untuk pengobatan pasien yang berusia 2 tahun ke atas dengan dermatitis atopik ringan sampai sedang. Kedua obat ini telah terbukti efektif dengan profil keamanan yang baik untuk pengobatan hingga sampai 4 tahun dengan salep takrolimus dan sampai 2 tahun dengan krim pimekrolimus. Efek samping yang sering ditemukan dengan inhibitor kalsineurin topikal adalah sensasi terbakar pada kulit yang bersifat sementara, yang lebih penting, pengobatan dengan inhibitor kalsineurin topikal tidak terkait dengan atropi, sehingga sangat bermanfaat untuk pengobatan bagian-bagian seperti wajah dan daerah intertriginous. Surveilans kontinyu dan laporan terbaru belum menunjukkan kecenderungan untuk frekuensi superinfeksi virus yang meningkat khususnya ekzema herpetikum. Keamanan jangka panjang dari inhibitor kalsineurin topikal belum dibuktikan. Beberapa kasus keganasan kulit dan limfoma telah dilaporkan dengan takrolimus topikal, meskipun tingkat kualitas data dan keteraplikasian dari laporan-laporan ini dianggap rendah.

Pengidentifikasian Dan Eliminasi Faktor-Faktor Pemicu
  
Pertimbangan umum. Pasien-pasien dengan dermatitis atopik sering lebih rentan terhadap pengiritasi dibanding individu yang tidak terkena. Sehingga, penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang memperburuk kondisi, yang memicu gatal-gatal. Ini mencakup sabun atau deterjen, kontak dengan bahan kimia, asap, pakaian yang kasar, dan keterpaparan terhadap suhu dan kelembaban yang ekstrim. Alkohol dan astringent ditemukan dalam toiletries menyebabkan kekeringan. Jika sabun digunakan, harus memiliki aktivitas pengawalemakan (defatting) yang minimal dan pH netral. Pakaian baru bisa dilaundry sebelum dikenakan untuk mengurangi kadar formaldehida dan bahan-bahan kimia tambahan lainnya. Deterjen-deterjen laundry pada pakaian bisa menyebabkan iritasi. Dengan menggunakan cairan dan bukan deterjen bubuk dan menambahkan siklus pencucian kedua mempermudah penghilangan deterjen.
  
Rekomendasi-rekomendasi tentang kondisi-kondisi hidup lingkungan harus mencakup pengendalian suhu dan kelembaban untuk menghindari masalah-masalah yang terkait dengan panas, kelembaban dan perspirasi. Upaya harus dilakukan untuk memungkinkan anak-anak menjadi seaktif mungkin. Olahraga tertentu, seperti berenang, bisa ditolerir secara lebih baik dibanding olahraga lain yang melibatkan perspirasi intensif, kontak fisik, atau pakaian olahraga dan peralatan yang berat, tetapi klorin harus dicuci dengan cepat setelah berenang dan kulit dilumasi. Walaupun sinar utlraviolet (UV) bisa bermanfaat bagi beberapa pasien yang mengalami dermatitis atopik, sunscreen harus digunakan untuk menghindari sunburn. Akan tetapi, karena sunscreen bisa menjadi pengiritasi, kita perlu berhati-hati dengan mengidentifikasi produk yang tidak mengiritasi.
  
Alergen-alergen spesifik. Makanan dan alergen asal udara seperti debu, debu dari badan hewan, cendawan, dan polen telah ditemukan memperburuk dermatitis atopik. Alergen-alergen potensial bisa diidentifikasi dengan mengambil riwayat pasien dan melakukan uji cucuk kulit selektif atau berdasarkan kadar IgE serum spesifik. Tes kulit negatif atau tes serum untuk IgE yang spesifik alergen memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk menetapkan alergen yang diduga. Akan tetapi, total kadar IgE serum normal tidak mengeluarkan kemungkinan adanya IgE spesifik alergen. Uji kulit positif atau uji in vitro, khususnya terhadap makanan, sering tidak berkorelasi dengan gejala-gejala klinis dan harus dikuatkan dengan uji makanan terkontrol dan diet eliminasi. Penghindaran mekanan yang terlibat dalam uji terkontrol menghasilkan perbaikan klinis. Diet eliminasi ekstensif, yang pada beberapa kasus bisa kekurangan gizi, cukup jarang diperlukan karena bahkan dengan uji kulit positif, kebanyakank pasien bereaksi dengan tiga atau lebih makanan pada uji terkontrol. Pada pasien alergi debu yang mengalami dermatitis atopik, penghindaran debu telah ditemukan menghasilkan perbaikan penyakit kulit. Tindakan-tindakan penghindaran mencakup penggunaan sarung anti-debu pada bantal, kasur, dan tempat tidur; mencuci kamar mandi dengan air panas setiap pekan; pemindahan alas untuk kamar mandi beralasl dan mengurangi tingkat kelembaban dalam ruangan dengan AC. Karena ada banyak pemicu yang berkontribusi bagi suar dermatitis atopik, perhatian harus difokuskan pada pengidentifikasian dan pengendalian faktor-faktor suar (flare) yang penting bagi pasien individual. Bayi dan anak-anak kecil lebih besar kemungkinannya mengalami alergi makanan, sedangkan anak-anak yang lebih tua dan dewasa lebih besar kemungkinannya sensitif terhadap aeroalergen lingkungan.
  
Penekanan emosional. Walaupun tekanan emosional tidak menyebabkan dermatitis atopik, ini sering memperburuk penyakit. Pasien dermatitis atopik sering mengalami frustrasi, merasa malu, atau tekanan lain dengan pruritus dan aktivitas menggaruk yang meningkat. Pada beberapa kasus, penggarukan hanya merupakan kebiasaan dan tidak sering terkait dengan keparahan penyakit. Evaluasi psikologis atau konseling harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang memiliki kesulitan dengan pemicu emosional atau masalah-masalah psikologis, yang berkontribusi bagi kesulitan dalam mengatasi penyakitnya. Juga bisa bermanfaat pada remaja dan dewasa muda yang mempertimbangkan penyakit kulit yang merusak penampilan. Relaksasi, modifikasi perilaku, atau bio-feedback bisa membantu pada pasien yang memiliki kebiasaan menggaruk.
  
Agen-agen penginfeksi. Antibiotik anti-staphylococcal sangat bermanfaat dalam pengobatan pasien yang terinfeksi berat oleh S. aureus. Sefalosporin atan penicillin yang resisten penicillinase (dicloxacillin, oxacillin, atau cloxacillin) biasanya bermanfaat untuk pasien-pasien yang tidak terinfeksi turunan S. aureus yang resisten. Karena stafilokokus yang resisten eirtormisin cuku[p umum, eritromisin dan antibiotik makrolida yang lebih baru biasanya memiliki manfaat yang terbatas. Mupicorin topikal cukup bermanfaat dalam pengobatan lesi-lesi impetiginasi: akan tetapi, pada pasien dengan superinfeksi ekstensif, antibiotik sistemik paling praktis. Stafilokokus yang resisten meticillin mungkin memerlukan kultur dan pengujian sensitifitas untuk membantu dalam pemilihan antibiotik yang sesuai.
  
Herpes simpleks bisa memicu dermatitis rekuren dan bisa salah didiagnosa sebagai infeksi S. aureus. Keberadaan erosi-erosi, vesikel, dan/atau kulit yang terkena yang tidak merespon terhadap antibiotik oral harus diselidiki untuk keterlibatan herpes simpleks. Ini bisa didiagnosa dengan hapusan Giemsa-stained Tzanck dari sel-sel yang diambil dari basis vesikel, uji imunofluoresensi langsung, identifikasi material genetis herpes dengan PCR, atau dengan kultur virus. Untuk infeksi yang diduga disebabkan oleh herpes simpleks, agen-agen anti-inflammatory topikal bisa dihentikan, sekurang-kurangnya untuk sementara. Pengobatan antiviral untuk infeksi herpes simpleks kutaneous pada pasien yang mengalami dermatitis atopik menyeluruh karena penularan yang membahayakan telah dilaporkan. Acy6clovir, 400 mg tiga kali sehari selama 10 hari atau 200 mg empat kali sehari selama 10 hari lewat oral (atau dosis ekivalen dari salah satu obat antiherpetik terbaru), cukup bermanfaat pada orang dewasa yang mengalami herpes simpleks pada kulit. Pengobatan intravena mungkin diperlukan untuk ekzema herpetikum diseminata. Dosis harus disesuaikan berdasarkan bobot pada anak.
  
Infeksi dermatofita bisa memperparah dermatitis atopik dan bisa berkontribusi bagi memburuknya aktivitas penyakit. Pasien-pasien dengan infeksi dermatofita atau antibodi IgE terhadap Malassezia bisa dibantu dengan sebuah trial terapi antijamur sistemik atau topikal.
  
Pruritus. Pengobatan pruritus pada dermatitis atopik harus diarahkan utamanya pada penyebab mendasar. Pengurangan inflamasi dan kekeringan kulit dengan glukokortikoid topikal dan hidrasi kulit, masing-masing, sering secara simptomatik mengurangi pruritus. Alergen-alergen yang tertelan atau terhirup harus dihilangkan jika ditemukan menyebabkan ruam kulit pada tes yang dilakukan. Antihistamin sistemik beraksi utamanya dengan memblokir reseptor H1 dalam dermis, sehingga meredakan pruritus imbas histamin. Akan tetapi, histamin merupakan satu-satunya dari berbagai mediator yang bisa mengindnuksi pruritus kulit. Dengan demikian, pasien tertentu bisa mendapatkan manfaat minimal dari terapi antihistamin. Beberapa antihistamin juga bisa bersifat anksiolitik ringan dan bisa memberikan peredaan simptomatik melalui efek sedatif dan penenangan. Penelitian-penelitian terhadap antihistamin yang lebih baru dan non-sedatif menunjukkan hasil yang beragam dalam hal efektifitas pengendalian pruritus  pada dermatitis atopik, walaupun bisa bermanfaat dalam sub-kelompok pasien dermatitis atopik yang mengalami urtikaria bersamaan atau rhinitis alergik.
  
Karena pruritus biasanya lebih buruk di malam hari, antihistamin sedasi, misalnya, hidroksin atau difenhidramin, bisa memberikan manfaat dengan efek samping soporifitnya ketika digunakan pada saat tidur. Eoksepin hidroklorida memiliki efek antidepresean dan pemblokir reseptor histamin H1 dan H2. Ini bisa digunakan dalam dosis 10 sampai 75 mg lewat mulut di malam hari atau hingga sampai 75 mg dua kali sehari pada pasien dewasa. Jika pruritus nokturnal tetap parah, penggunaan sedatif jangka pendek untuk memungkinkan istirahat yang memadai bisa digunakan. Pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin topikal pada umumnya tidak direkomendasikan karena pemekaan kutaneous potensial. Akan tetapi, pengaplikasian krim doksepin 5 persen topikal jangka pendek (1 pekan)  telah dilaporkan dapat mengurangi pruritus tanpa pemekaan. Yang perlu diperhatikan, sedasi merupakan sebuah efek samping dari pengaplikasian krim doksepin secara luas, dan dermatitis kontak alergi telah dilaporkan.

Preparasi Tar
  
Preparasi tar batubara bisa memiliki efek anti-pruritus dan anti-inflammatory terhadpa kulit walaupun biasanya tidak seperti yang ditemukan pada glukokortikoid topikal. Preparasi-preparasi tar bisa bermanfaat dalam mengurangi potensi glukokortikoid kronis yang diperlukan pada terapi penjagaan (maintenance therapy) untuk dermatitis atopik. Produk-produk tar batubara yang lebih baru telah dikembangkan yang lebih berterima dalam hal bau dan staining pada kain dibanding beberapa produk lama. Sampo tar bisa bermanfaat untuk dermatitis kulit kepala dan sering membantu dalam mengurangi konsetnrasi dan frekuensi aplikasi glukokortikoid topikal. Preparasi-preparasi tar tidak boleh digunakan pada kulit yang mengalami inflamasi akut, karena ini sering menghasillkan iritasi kulit. Efek-efek samping yang terkait dengan tar mencakup folliculitis dan fotosensitifitas. Ada risiko untuk berubahnya tar menjadi karsinogen berdasarkan penelitian-penelitian observasional pada para pekerja yang menggunakan komponen tar dalam pekerjaannya.
Fototerapi
  
Sinar matahari alami sering bermanfaat bagi pasien yang mengalami dermatitis atopik. Akan tetapi, jika sinar matahari terlalu panas atau terdapat kelembaban tinggi, dapat memicu keringat dan pruritus, ini bisa berbahaya bagi pasien. UVB berkas-lebar, UVA berkas-lebar, UVA-1 (340 sampai 400 nm), dan fototerapi UVA-B gabungan bisa menjadi terapi pembantu yang bermanfaat dalam pengobatan dermatitis atopik. Pengamatan tentang mekanisme-mekanisme fotoimunologi yang bertanggung jawab bagi efektifitas terapeutik menandakan bahwa LC epidermal dan eosinofil bisa menjadi target fototerapi UVA dengan dan tanpa psoralen, sedangkan UVB menimbulkan efek imunosupresif melalui pemblokiran fungsi LC penampil antigen dan produksi sitokin keratinosit yang berubah. Fotokemoterapi dengan psoralen dan sinar UVA bisa diindikasikan pada pasien-pasien yang mengalami dermatitis atopik parah dan menyeluruh, meskipun penelitian yang membandingkannya dengan metode fototerapi lain masih terbatas. Efek berbahaya jangka pendek dengan fototerapi bisa mencakup eritema, nyeri kulit, pruritus, dan pigmentasi. Efek-efek berbahaya jangka penjang mencakup penuaan kulit prematur dan keganasan kutaneous.

Perawatan Rumah Sakit
  
Pasien dermatitis atopik yang tampak eritrodermik atau yang memiliki penyakit kuit parah menyeluruh dan kebal terhadap terapi rawat jalan, harus dirawat inap sebelum mempertimbangkan terapi-terapi alternatif sistemik. Pada banyak kasus, memindahkan pasien dari alergen lingkungan atau tekanan emosional, penyuluhan pasien secara intensif, dan jaminan pemenuhan dengan terapi menghasilkan perbaikan berlanjut untuk dermatitis atopik mereka. Pembersihan kulit pasien selama perawatan rumah sakit juga memungkinkan pasien mengalami uji kulit alergen dan perlakuan-perlakuan terkontrol untuk mengidentifikasi atau memastikan tidak adanya alergen potensial.

Terapi Sistemik
  
Glukokortikoid sistemik. Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednison oral. Jarang diindikasikan dalam pengobatan dermatitis atopik kronis. Beberapa pasien dan dokter lebih memilih menggunakan glukokortikoid sistemik untuk menghindari perawatan kulit yang yang memakan banyak waktu, yang melibatkan hidrasi dan terapi topikal. Akan tetapi, perbaikan klinis dramatis yang bisa terjadi dengan glukokortikoid sistemik sering terkait dengan kekambuhan parah dari dermatitis atopik sebelum penghentian glukokortikoid sistemik. Durasi singat dari glukokortikoid oral bisa cocok untuk pemburukan dermatitis atopik akut disamping pengobatan lain diberikan. Jika durasi singkat glukokortikoid diberikan, penting untuk mengurangi dosis dan memulai perawatan kulit intensif, khususnya dengan glukokortikoid topikal dan bathing yang sering diikuti dengan aplikasi emolien, untuk mencegah kekambuhan dermatitis atopik.
  
Siklosporin. Siklosporin merupakan sebuah obat imunosupresif kuat yang berakhis utamanya pada  sel-sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Obat ini terikat ke siklofilin, sebuah protein intraseluler, dan kompleks ini selanjutnya menghambat kalsineurin, sebuah molekul yang diperlukan untuk memulai transkripsi gen sitokin. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan dewasa yang mengalami dermatitis atopik parah, yang kebal terhadap pengobatan konensional, bisa dibantu dengan pengobatan siklosporin jangka pendek. Berbagai resimen penentuan dosis oral telah direkomendasikan: 5 mg/kg pada umumnya berhasil digunakan pada penggunaan jangka panjang dan jangka pendek (1 tahun), sedangkan beberapa pemerintah menganjurkan penentuan dosis harian tanpa tergantung pada berat badan untuk dewasa dengan mikroemulsi siklosporin 150 mg (dosis rendah) atau 300 mg (dosis tinggi) setiap hari. Pengobatan dengan siklosporin terkait dengan pengurangan penyakit kulit dan kualitas hidup yang membaik. Penghentian pengobatan bisa menghasilkan kekambuhan penyakit kulit dengan cepat, walaupun beberapa pasien mungkin telah mengalami kesembuhan. Kreatinin serum yang meningkat atau gangguan ginjal yang lebih signifikan dan hipertensi merupakan efek samping yang spesifik dari penggunaan siklosporin.
  
Antimetabolit. Mikofenolat mofetil merupakan sebuah inhibitor biosintesis yang digunakan sebagai sebuah imunosupresan pada transplantasi organ, yang telah digunakan untuk pengobatan gangguan-gangguan kulit inflamatory parah. Penelitian-penelitian terbuka melaporkan baha mikofenolat mofetil oral, 2 g setiap hari, sebagai terapi-tunggal menghasilkan pembersihkan lesi kulit pada orang dewasa yang mengalami dermatitis atopi yang kebal terhadap pengobatan lain, termasuk steroid topikal dan steroid oral dan terapi PUVA. Obat ini pada umumnya dapat ditolerir dengan pengecualian pasien yang mengalami herpes retinitis yang mungkin telah disebabkan oleh agen imunosupresif ini. Supresi sumsum tulang terkait dosis juga telah ditemukan. Hasil-hasil serupa sebelumnya dilaporkan pada penelitian lain terhadap 10 pasien dengan pengurangan rata-rata skor SCORAD 68 persen pada kesepuluh pasien. Yang perlu diperhatikan, tidak semua pasien diuntungkan dengan pengobatan ini. Dengan demikian obat ini harus dihentikan jika pasien tidak merespon dalam empat sampai 8 pekan. Penelitian penentuan dosis dan terkontrol diperlukan untuk obat ini.
  
Metotreksat merupakan sebuah antimetabolit dengan efek inhibitory kuat terhadap sintesis sitokin inflamasi dan kemotaksis sel. Metotreksat telah digunakan untuk pasien dermatitis atopik dengan penyakit membandel, walaupun trial-trial terkontrol masih kurang. Pemberian dosis lebih sering dibanding dosis mingguan yang digunakan untuk psoriasis. Azatioprin merupakan sebuah analog purin yang memiliki efek anti-inflamasi dan anti-proliferatif; azatriprin telah digunakan untuk dermatitis atopik parah, walapun belum ada trial terkontrol yang telah dilaporkan. Myelosupresi merupakan efek berbahaya yang signifikan, dan kadar tiopurinmetil transferase bisa memprediksikan individu-individu yang berisiko.

Terapi-Terapi yang Tidak Terbukti
  
Interferon-γ. IFN-γ diketahui menekan respons IgE dan mengurangi proliferasi dan fungsi sel Th2. Beberapa penelitian pasien dengan dermatitis atopik, termasuk trial-trial multi-senter, samar ganda, dan terkontrol plasebo serta dua trial terbuka jangka panjang, telah menunjukkan bahwa pengobatan dengan IFN-γ manusia rekombinan menghasilkan perbaikan klinis. Pengurangan keparahan klinis dermatitis atopik berkorelasi dengan kemampuan IFN-γ untuk mengurangi jumlah total eosinofil yang bersirkulasi. Gejala-gejala mirip influenza merupakan efek samping yang umum diamati pada awal pengobatan.
  
Omalizumab. Pengobatan pasien yang mengalami dermatitis atopik parah dan kadar IgE meningkat dengan ant-IgE monoklonal telah menunjukkan kurangnya efikasi pada tiga pasien dewasa dan perbaikan signifikan pada tiga pasien remaja.
  
Imunoterapi alergen. Berbeda dengan rhinitis alergi dan asma ekstrinsik, imunoterapi dengan aeroalergen belum terbukti ampuh dalam pengobatan dermatitis atopik. Ada beberapa laporan tentang pemburukan penyakit dan perbaikan. Sebuah penelitian terbaru terhadap imunoterapi spesifik selama periode 12 bulan pada orang dewasa dengan dermatitis atopik yang dipekakan terhadap alergen debu menunjukkan perbaikan skor SCORAD serta pengurangan penggunaan steroid topikal. Akan tetapi, penelitian-penelitian terkontrol masih diperlukan untuk menentukan peranan untuk imunoterapi dengan penyakit ini.
  
Fototerapi ekstrakorporeal. Fotoferesis ekstrakorporeal terdiri dari leukosit-leukosit yang mengandung psoralen melalui sistem sinar UVA ekstrakorporeal. Perbaikan klinis pada lesi kulit terkait dengan kadar IgE yang berkurang telah dilaporkan pada beberapa pasien yang mengalami dermatitis atopik parah resisten yang diobati dengan fotoferesis ekstrakorporeal dan glukokortikoid topikal.
  
Probiotik. Pemberian turunan Lactobacillus rhamnosus GG probiotik telah dibuktikan mengurangi kejadian dermatitis atopik pada anak-anak yang berisiko selama 2 tahun pertama masa hidupnya. Para ibu diberikan olasebo atau lactobacilus GG setiap hari selama 4 pekan sebelum melahirkan dan kemudian ibu (jika menyusui) atau bayi dilanjutkan dengan terapi setiap hari selama 6 bulan. Dalam sebuah studi follow-up, keloompok yang sama menilai persistensi potensial untuk mencegah dermatitis atopik setelah 4 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek preventif dari Lactobacillus GG terhadap dermatitis atopik bisa dihasilkan selain pada masa bayi. Pada sebuah penelitian kedua, anak-anak dengan dermatitis atopik yang diobati dengan dua turunan Lactobacillus selama 6 pekan mengalami perbaikan dari ekzema dibanding dengan pasien yang diobati dengan plasebo, walaupun indeks SCORAD tidak berubah signifikan. Respons pengobatan ditemukan lebih besar pada pasien dengan yang positif uji cucuk kulit dan kadar IgE meningkat. Penelitian lain terhadap anak-anak yang mengalami dermatitis atopik sedang sampai parah selama 8 pekan dengan L. Fermentum pada sebuah penelitian terkontrol plasebo menunjukkan perbaikan konsisten untuk indeks SCORAD pada 16 pekan. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa probiotik, atau sekurang-kurangnya beberapa turunan lactobacillus, bisa memiliki efek preventatif terhadap kejadian dermatitis atopik pada sekelompok kecil pasien. Masih banyak penelitian yang diperlukan untuk meneliti kelompok-kelompok pasien yang merespon, terapi optimal (rute (yakni, secara langsung pada bayi atau melalui ASI ibu); lama pengobatan, turunan lactobacillus], serta mekanisme-mekanisme yang terlibat.
  
Obat herbal Cina. Beberapa trial klinis terkontrol plasebo telah menunjukkan bahwa pasien dengan dermatitis atopik parah bisa dibantu dengan pengobatan terapi herbal Cina tradisional. Obat-obat ini secara signifikan meredakan penyakit kulit dan mengurangi pruritus. Akan tetapi, respons terapi herbal Cina sering bersifat sementara, dan efektifitasnya bisa hilang meski terus dilakukan pengobatan. Kemungkinan toksisitas hepatik, efek samping kardiak, atau reaksi idiosyncratic tetap menjadi pertimbangan. Komponen spesifik dari herbal-herbal ini juga tetap harus dicair dan beberapa preparasi telah ditemukan terkontaminasi dengan kortikosteroid. Sekarang ini, terapi herbal Cina untuk dermatitis atopik masih dipertimbangkan untuk penelitian.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders