VITAMIN D

Lazimnya, vitamin D dianggap memiliki peran pasif dalam metabolisme kalsium yakni keberadaannya dalam konsentrasi yang layak dianggap memungkinkan absorpsi kalsium makanan secara efisien dan memungkinkan  pelaksanaan aksi PTH secara sempurna. Telah diketahui bahwa vitamin D memiliki peranan yang lebih aktif dalam homeostasis kalsium. Walaupun disebut “vitamin” D, namun dia sebenarnya adalah sebuah hormon, yang bersama dengan PTH, merupakan regulator utama untuk konsentrasi Ca2+ dalam plasma. Karakteristik vitamin D berikut konsisten dengan sifat hormonalnya: disintesis dalam kulit dan dibawah kondisi-kondisi ideal kemungkinan tidak diperlukan dalam makanan; ditransport dalam darah ke tempat-tempat yang jauh dalam tubuh, dimana dia diaktivasi oleh enzim yang teregulasi ketat; bentuk aktifnya terikat ke reseptor-reseptor spesifik pada jaringan target, yang akhirnya menghasilkan peningkatan konsentrasi Ca2+ dalam plasma. Lebih daripada itu, sekarang ini telah diketahui bahwa reseptor-reseptor untuk bentuk vitamin D yang teraktivasi diekspresikan dalam banyak sel di seluruh tubuh, termasuk sel-sel hematopoietik, limfosit, sel-sel epidermal, islet pankreatis, otot, dan neuron; reseptor-reseptor ini memediasi berbagai aksi yang tidak terkait dengan homeostasis Ca2+.

Sejarah. Vitamin D adalah nama yang diberikan untuk dua zat terlarut-lemak yang terkait, yaitu kolekalsiferol dan ergokalsiferol, yang umumnya memiliki kemampuan untuk mencegah atau mengobati penyakit rakhitis. Sebelum ditemukannya vitamin D, persentase anak-anak perkotaan yang tinggal di kawasan-kawasan bersuhu tinggi semakin meningkat yang mengalami penyakit rakhitis. Beberapa peneliti meyakini bahwa penyakit ini disebabkan oleh kurangnya udara segar dan sinar matahari; sementara yang lainnya mengklaim faktor makanan yang menyebabkan penyakit ini. Mellanby (1919) dan Huldschinsky (1919) menunjukkan bahwa kedua gagasan ini benar; penambahan minyak ikan ke dalam diet atau keterpaparan terhadap sinar matahari mencegah atau menyembuhkan penyakit ini. Pada tahun 1924, ditemukan bahwa radiasi ultraviolet terhadap rangsum hewan sama efikasinya dalam menyembuhkan rakhitis seperti radiasi pada hewan itu sendiri (Hess dan Weinstock, 1924; Steenbock dan Balck, 1924). Pengamatan-pengamatan ini mengarah pada penemuan struktur kolekalsiferol dan ergokalsiferol dan pada akhirnya ditemukan bahwa senyawa-senyawa ini memerlukans pemrosesan lebih lanjut dalam tubuh untuk menjadi aktif, penemuan aktivasi metabolik sebagian besar dihasilkan penelitian-penelitian yang dilakukan di laboratorium DeLuca di Amerika Serikat dan Kodicek di Inggris.

Sifat Kimia dan Kejadian. Radiasi ultraviolet terhadap beberapa sterol tanaman dan hewan menghasilkan perubahan menjadi senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas vitamin D. Pemutusan ikatan karbon-karbon antara C9 dan C10 merupakan perubahan esensial yang dihasilkan oleh proses fotokimia, tetapi tidak semua sterol yang mengalami pemutusan ini memiliki aktivitas antirakhitis. Provitamin dasar yang ditemukan dalam jaringan hewan adalah 7-dehidrokolesterol, yang disintesis dalam kulit. Keterpaparan kulit terhadap sinar matahari merubah 7-dehidrokolesterol menjadi kolekalsiferol (vitamin D3) (lihat Gambar 62-4). Holick dan rekan-rekannya telah menemukan sebuah senyawa intermediet dalam reaksi foptolisis – pra-vitamin D3, sebuah isomer 6,7-cis yang berakumulasi dalam kulit setelah keterpaparan terhadap radiasi ultraviolet (lihat Holick, 1981). Isomer ini secara perlahan terkonversi secara spontan menjadi vitamin D3 dan bisa menjadi sumber D3 yang terus menerus untuk beberapa waktu kemudian.
   
Ergosterol, yang terdapat dalam tanaman, adalah provitamin untuk vitamin D2 (ergokalsiferol). Ergosterol dan vitamin D2 berbeda dari 7-dehidrokolesterol dan vitamin D3, masing-masing, yang membedakan adalah masing-masing memiliki ikatan rangkap antara C22 dan C23 dan sebuah gugus metil pada C24. Vitamin D2 merupakan konstituen aktif pada beberapa preparasi vitamin komersial serta roti dan susu yang diradiasi. Material yang secara historis disebut sebagai vitamin D1 selanjutnya ditunjukkan sebagai campuran dari zat-zat antirakhitis. Pada beberapa spesies, potensi anti-rakhitis dari vitamin D2 dan vitamin D3 berbeda satu sama lain. Pada manusia tidak ada perbedaan sederhana antara keduanya, dan pada pembahasan berikut vitamin D akan digunakan sebagai istilah gabungan untuk kedua jenis vitamin ini (Gbr. 62-5).

Aktivasi Metabolik
   
Vitamin D yang disintesis dari makanan dan yang berasal dari tubuh memerlukan aktivasi sebelum menjadi aktif secara biologis. Metabolit aktif utama dari vitamin ini adalah kalsitrol (1,25-dihidroksi-vitamin D), produk dari dua hidrolisis vitamin D secara berturut-turut. Jalur aktivasi ditunjukkan pada Gambar 62-6). Subjek ini direview oleh Horst dan Reinhardt (1997).
   
25-Hidroksilasi vitamin D. Tahap awal dalam aktivasi vitamin D terjadi dalam hati, dan produknya adalah 25-hidroksiklasiferol (25-OHD, atau kalsifediol). Sistem enzim hati yang bertanggungjawab untuk 25-hidroksilasi vitamin D terkait dengan fraksi-fraksi mikrosomal dan fraksi-fraksi mitokondrial dari homogenat-homogenat dan memelrukan NADPH dan oksigen molekuler.
   
1-Hidroksilasi 25-OHD. Setelah produksi dalam hati. 25-OHD memasuki sirkulasi, dimana dia dibawa oleh globulin pengikat vitamin D. Aktivasi akhir menjadi kalsitriol terjadi utamanya dalam ginjal meski juga terjadi pada tempat-tempat lain, termasuk makrofage (Reichel dkk., 1989). Ginjal merupakan sumber kalsitriol bersirkulasi yang utama. Sistem enzim yang bertanggungjawab untuk 1-hidroksilasi 25-OHD terkait dengan mitokondria dalam tubula-tubula proksimal. Ini merupakan sebuah oksidasi dengan fungsi campuran dan memerlukan oksigen molekuler dan NADPH sebagai kofaktor. Sitokrom P450, sebuah flavoprotein, dan ferredoksin adalah komponen dari kompleks enzim.
   
1Α-Hidroksilase mendapatkan kontrol regulatory yang ketat yang menghasilkan perubahan sekresi kalsitriol yang sesuai untuk homeostasis kalsium optimal. Aktivitas enzim meningkat pada defisiensi vitamin D, kalsium, dan fosfat pada makanan; ini distimulasi oleh PTH, dan kemungkinan juga oleh prolaktin dan estrogen. Sebaliknya, aktivitasnya ditekan oleh asupan kalsium, fosfat, dan vitamin D yang tinggi. Regulasi bersifat kronis, sehingga menunjukkan perubahan-perubahan sintesis protein enzim, serta bersifat akut (Gbr. 62-6). Untuk PTH, peningkatan produksi kalsitriol yang cepat dimediasi oleh AMP siklik, utamanya melalui stimulasi fosfoprotein fosfatase secara tidak langsung yang beraksi pada komponen ferredoksin dari hidroksilase (Siegel dkk., 1986). Ada bukti yang menunjukkan bahwa hipokalsemia bisa mengaktivasi hidroksilase secara langsung disamping mempengaruhinya secara tidak langsung dengan menimbulkan sekresi PTH. Hipofosfatemia sangat meningkatkan aktivitas hidroksilase. (Haussler dan McCian, 1997; Fraser, 1980; Rosen dan Chesney, 1983). Kalsitriol menimbulkan kontrol umpan-balik negatif dari enzim yang mencerminkan aksi langsung terhadap ginjal serta inhibisi produksi PTH. Sifat mekanisme-mekanisme regulatori dari estrogen dan prolaktin terhadap 1α-hidroksilase belum diketahui.

Fungsi Fisiologis, Mekanisme Kerja, dan Sifat Farmakologi
   
Vitamin D paling tepat disebut sebagai regulator positif homeostasis Ca2+. Metabolisme fosfat dipengaruhi oleh vitamin dengan cara yang sejalan dengan metabolisme Ca2+. Walaupun regulasi homestasis Ca2+ dianggap sebagai fungsi utamanya, bukti semakin banyak yang menunjukkan bahwa vitamin D penting pada beberapa proses lain (lihat berikut).
   
Mekanisme-meanisme yang digunakan vitamin D beraksi untuk mempertahankan konsentrasi normal Ca2+ dan fosfat dalam plasma adalah dengan memfasilitasi absorpsi zat-zat ini dalam usus ekcl, untuk berinteraksi dengan PTH agar dapat meningkatkan mobilisasinya dari tulang, dan mengurangi ekskresinya oleh ginjal. Peranan langsung dari vitamin dalam mineralisasi tulang masih sulit diabsahkan; justru, pendapat yang dominan adalah bahwa pembentukan tulang normal terjadi ketika konsentrasi Ca2+ dan fosfat dalam plasma memadai. Akan tetapi, sekarang ini sudah jelas bahwa vitamin D memiliki efek langsung da tidak langsung terhadap sel-sel yang terlibat dalam pemodelan ulang tulang.
   
Mekanisme aksi kalsitriol menyerupai mekanisme hormon steroid dan hormon tiroid. Kalsitriol terikat ke reseptor-reseptor sitostolik dalam sel-sel target, dan kompleks reseptor-hormon berinteraksi dengan DNA untuk memodifikasi transkripsi gen. Reseptor kalsitriol termasuk ke dalam famili supergen yang sama seperti reseptor hormoan steroid dan tiroid. Kalsitriol juga menimbulkan efek yang terjadi begitu cepat sehingga mekanisme-mekanisme ini diinterpretasi sebagai aksi nongenomik.
   
Absorpsi Kalsium dalam Usus. Gangguan dalam absorpsi Ca2+ dalam usus mencit-mencit yang kekurangan vitamin D telah ditunjukkan lebih dari 50 tahun yang lalu. Pengobatan hewan seperti ini dengan hormon teraktivasi mengarah pada peningkatan perpindahan Ca2+ dari mukosa ke permukaan serosal usus dalam waktu 2 sampai 4 jam. Mekanisme kompleks yang mendasari aksi ini belum dipahami dengan baik (lihat Wasserman, 1997). Salah satu proses yang relatif cepat terjadi adalah induksi salah satu famili protein pengikat -Ca2+ kecil (CaBP, atau calbindin). Beberapa peneliti mengusulkan bahwa CaBP beraksi untuk memfasilitasi pelewatan Ca2+ melalui batas brush dan difusinya ke membran basolateral dari sel-sel mukosa; yang lainnya berpendapat bahwa akumulasi CaBP berkorelasi buruk dengan transport Ca2+ (Nemere dan Norman, 1986 dan 1988) dan mengusulkan bahwa kalsitriol meningkatkan penangkaan Ca2+ secara endositotik dari lumen usus ke dalam vesikula-vesikula di dalam batas brush sel mukosa. Vesikula-vesikula ini bergabung dengan lisosom, yang menyalurkan Ca2+ ke membran basolateral untuk ekstrusi. Mekanisme yang digunakan kalsitriol untuk mempromosikan transport berperantara vesikula ini belum diketahui. Ekstrusi kalsium dari sel usus dicapai melalui sebuah pompa kalsium membran plasma, yang jumlahnya meningkat dengan kalsitriol. Walaupun waktu onset efek pada hewan yang defisien vitamin D menunjukkan keterlibatan mekanisme-mekanisme genomik, kalsitriol juga menyebabkan stimulasi transport Ca2+ berperantara reseptor yang cepat (dalam beberapa menit) pada hewan yang kekurangan vitamin D.
   
Mobilisasi Mineral Tulang. Walaupun hewan-hewan yang defisien vitamin D menunjukkan kekurangan mineral tulang yang jelas, masih sedikit bukti bahwa vitamin D secara langsung mempromosikan mineralisasi; sehingga, dianggap bahwa deposisi mineral normal dipertahankan oleh penjagaan konsentrasi Ca2+ yang optimal dalam plasma dan fosfat melalui promosi absorpsinya dalam usus. Tentunya, anak-anak yang menderita rakhitis tipe II kebal vitamin D telah berhasil diobati dengan infusi Ca2+ intravena dan fosfat (lihat berikut). Berbeda dengan itu, dosis fisiologis dari vitamin D mempromosikan mobilisasi Ca2+ dari tulang, dan dosis besar menyebabkan turnover tulang yang berlebihan. Walaupun resorpsi tulang imbas kalsitriol bisa dikurangi pada hewan-hewan percobaan, namun respon dipulihkan ketika hiperfosfatemia terkoreksi. Sehingga, PTH dan kalsitriol beraksi independen untuk meningkatkan resorpsi tulang.
   
Mekanisme-mekanisme yang digunakan kalsitriol untuk meningkatkan turnover tulang masih sedikit dipahami dan melibatkan interaksi berbagai faktor. Osteoklas dewasa sendiri kelihatannya beraksi secara langsung dengan kalsitriol, tidak juga mengandung reseptor-reseptor kalsitriol. Justru, kalsitriol mempromosikan perekrutan sel-sel prekursor osteoklas untuk tempat-tempat resoprsi serta perkembangan fungsi-fungsi berbeda yang menandai osteoklas dewasa (Mimura dkk., 1994). Osteoporosis merupakan sebuah penyakit yang ditandai dengan resorpsi tulang yang berkurang, dimana daya respon osteoklas terhadap kalsitriol atau agen peresorpsi tulang lainnya sangat terganggu. Sel-sel yang bertanggungjawab untuk pembetukan tulang (osteoblast) mengandung reseptor-reseptor kalsitriol, dan kalsitriol menyebabkannya memperpanjang beberapa protein, termasuk osteokalsin, sebuah protein yang dependen vitamin K yang mengnadung residu-residu asam γ-karboksiglutamat, dan interleukin-1, sebuah limfokin yang mempromosikan resorpsi tulang (Spear dkk., 1988).
   
Retensi Kalsium dan Fosfat dalam Ginjal. Efek vitamin D terhadap penanganan Ca2+ dan fosfat belum diketahui secara pasti. Vitamin D meningkatkan retensi Ca2+ tanpa tergantung pada fosfat dan kemungkinan meningkatkan reabsorpsi masing-masing oleh tubula-tubula proksimal.
   
Efek-efek kalsitriol lainnya. Sekarang ini telah diketahui bahwa efek kalsitriol lebih dari efek terhadap homestasis kalsium. Reseptor-reseptor untuk kalsitriol tersebar luas dalam tubuh. Kalsitriol mempengaruhi pematangan dan diferensiasi sel-sel mononuklear dan mempengaruhi produksi sitokin. Efeknya terhadap sistem imun telah direview oleh Amento (1987). Salah satu fokus dari penelitian sekarang ini adalah pengaplikasian terapeutik yang potensial dari kemampuan kalsitriol untuk menghambat proliferasi dan untuk menginduksi diferensiasi sel-sel ganas. Kemungkinan memisahkan efek hiperglikemik kalsitriol dari aksinya terhadap diferensiasi sel telah mendorong mencarial analog-analog yang bisa bermanfaat dalam terapi kanker. Kalsitriol menghambat proliferasi epidermal dan mempromosikan diferensiasi epidermal, sehingga menjadi sebuah basis untuk mengevaluasinya sebagai sebuah pengobatan potensial untuk psoriasis vulgaris (lihat Kragballe, 1997).
   
Hubungan vitamin D dengan fungsi otot skeletal telah direview oleh Boland (1986), dan efek vitamin D dalam otak telah dibahas oleh Carswell (1997).
   
Tanda dan Gejala Defisiensi. Defisiensi vitamin D menghasilkan penyerapan Ca2+ dan fosfat yang tidak memadai. Pengurangan Ca2+ plasma yang ditimbulkan menstimulasi sekresi PTH, yang beraksi untuk merestorasi Ca2+ plasma dengan mengimbangi kehilangan tulang; konsentrasi fosfat dalam plasma tetap tidak normal karena efek fosfaturat dari PTH bersirkulasi yang meningkat. Pada anak-anak, hasilnya adalah kegagalan untuk memineralisasi tulang dan matriks kartilago yang baru terbentuk, menyebabkan cacat pertumbuhan yang dikenal sebagai rakhitis. Sebagai dampak klasifikasi yang tidak memadai, tulang orang yang mengalami rakhitis menjadi lunak, dan tekanan beban bisa menimbulkan deformitas khas.
   
Pada dewasa, kekurangan vitamin D menghasilkan osteomalasia, sebuah penyakit yang ditandai dengan akumulasi matrik tulang yang tidak terdemineralisasi secara menyeluruh . Osteomalasia yang parah bisa terkait dengan nyeri otot parah dan kelunakan. Kelemahan otot, khususnya otot-otot proksimal besar, cukup lazim. Prinsip-prinsipnya belum diketahui secara lengkap tetapi bisa mencerminkan hipofosfatemia dan aksi vitamin D yang tidak memadai terhadap otot. Deformitas tulang terjadi hanya pada tahapan-tahapan lanjut dari penyakit. Konsentrasi OHD yang bersirkulasi di bawah 8ng/ml merupakan ciri dari osteomalasia.
   
Hipervitaminosis D. Pemberian vitamin D jangka panjang atau akut yang berlebihan atau daya respon yang meningkat terhadap jumlah vitamin normal mengarah pada perombakan metabolisme kalsium. Respon terhadap vitamin D mencerminkan produksi vitamin D endogen, reaktivitas jaringan, dan asupan vitamin D. Beberapa bayi mungkin bisa hiperreaktif terhadap dosis vitamin D yang sedikit. Pada dewasa, hipervitaminosis D disebabkan oleh pengobatan hipoparatiroidisme berlebihan dan disebabkan oleh penggunaan dosis yang berlebihan. Toksisitas pada anak juga bisa terjadi setelah mendapatkan dosis dewasa secara tidak sengaja.
   
Jumlah vitamin D yang diperlukan untuk menyebabkan hipervitaminosis sangat berbeda-beda diantara individu. Sebagai perkiraan kasar, konsumsi 50.000 unit secara kontinyu atau lebih setiap hari oleh seseorang yang memiliki fungsi paratiroid normal dan kesensitifan terhadap vitamin D bisa menyebabkan keracunan. Hipervitaminosis D khususnya berbahaya pada pasien yang sedang memakai obat digitalis, karena efek toksik dari glikosida kardiak meningkat dengna hiperkalsemia.
   
Tanda dan Gejala. Tanda dan gejala awal toksisitas vitamin D adalah yang terkait dengan hiperkalsemia. Hiperkalsemia dengan hipervitaminosis D umumnya disebabkan oleh kadar 25-OHD bersirkulasi yang sangat tinggi, dan konsentrasi PTH dan kalsitriol dalam plasma biasanya tertekan.
   
Pada anak-anak, episode tunggal hyperkalsemia parah bisa menghambat pertumbuhan selam lengkap selama 6 bulan atau lebih, dan kekurangan tinggi bisa tidak terkoreksi sempurna.
   
Toksisitas vitamin D bisa dimanifestasikan pada janin. Ada hubungan antara asupan vitamin D ibu yang berlebihan atau kesensitifan ekstrim dengan stenosis aortik supravalvular kongenital. Pada bayi, kelainan ini sering terkait dengan stigmata hiperkalsemia lainnya. Hiperkalsemia ibu juga  bisa menghasilkan penekanan fungsi paratiroid pada anak yang baru lahir, dengan hipokalsemia, tetani, dan seizure yang dihasilkan.

   
Pengobatan. Pengobatan hipervitaminosis D terdiri dari penghentian konsumsi vitamin, diet yang rendah kalsium, pemberian glukokortikoid, dan dukungan cairan. Dengan resimen ini kadar Ca2+ dalam plasma berkurang menjadi normal dan Ca2+ pada jaringan halus cenderung termobilisasi. Perbaikan fungsi ginjal yang mencolok terjadi selama kerusakan ginjal tidak parah.
   
Absorpsi, Perjalanan, dan Ekskresi. Vitamin D biasanya diberikan lewat mulut, dan serapannya dalam usus memadai pada kebanyakan kondisi. Vitamin D2 dan D3 diserap dari usus kecil, walaupun vitamin D3 bisa diserap lebih efisien. Bagian dari usus yang paling efektif dalam absorpsi vitamin D menjadi sebuah sarana dimana vitamin dilarutkan. Kebanyakan dari vitamin ini tampak pertama kali dalam chylomikron pada limfa.
   
Empedu penting untuk penyerapan vitamin D yang layak; asam deoksikolat merupakan konstituen utama empedu dalam hal ini. Sehingga, disfungsi hati atau empedu secara serius mengganggu absorpsi vitamin D.
   
Vitamin D yang diserap bersirkulasi dalam darah dalam kaitannya dengan protein pengikat vitamin D, sebuah α-globulin spesifik. Vitamin hilang dari plasma dengan waktu paruh 19 sampai 25 jam tetapi tersimpan dalam tempat-tempat lemak untuk periode yang lama.
   
Seperti dibahas di atas, hati adalah tempat pengubahan vitamin D menjadi 25-OHD, yang bersirkulasi dengan protein pengikat yang sama. Dan sebenarnya 25-OHD memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk protein dibanding untuk senyawa induk. Turunan-turunan 25-hidroksi memiliki waktu paru biologis 19 hari dan menjadi bentuk vitamin D bersirkulasi yang utama. Normal 25-OHD pada manusia adalah 15 sampai 50 ng/ml, walaupun konsentrasi dibawah 25 ng/ml bisa terkait dengan PTH bersirkulasi yang meningkat dan turnover tulang yang lebih besar. Waktu paruh kalsitriol dalam plasma diperkirakan antara 3 sampai 5 hari pada manusia, dan 40% dari dosis yang diberkan diekskresikan dalam jangka 10 hari (Mawer dkk., 1976). Kalsitriol dihidroksilasi menjadi 1,24,25-(OH)3D dengan sebuah hidroksilase ginjal yang ditimbulkan oleh kalsitriol dan ditekan oleh faktor-faktor yang menstimulasi 25-OHD-1α-hidroksilase. Enzim ini juga menghidroksilase 25-OHD utnuk membentuk 24,25-(OH)2D. Kedua senyawa yang terhidroksilasi-24 ini kurang aktif dibanding kalsitriol dan kemungkinan merupakan metabolit-metabolit yang dikhususkan untuk ekskresi. Oksidasi rantai samping dari kalsitriol juga terjadi.
   
Rute ekskresi yang utama dari vitamin D adalah empedu: hanya sedikit dari dosis yang diberikan ditemukan dalam urin. Vitamin D dan metabolit-metabolitnya mengalami mengalami resirkulasi enteropatik ekstensif, dan pasien yang telah mengalami bedah bypass usus atau yang memiliki pemendekan parah atau infamasi pada usus kecil gagal menyerap ulang vitmain D yang cukup untuk mempertahankan kadar vitamin D normal.
   
Interaksi penting telah ditunjukkan antara vitamin D dan fenitoin atau fenobarbital. Rakhitis dan osteomalasia telah dilaporkan pada pasien-pasien yang sedang mendapatkan terapi antikonvulsan kronis. Lebih sering, obat-obat ini menimbulkan sebuah keadaan osteoporosis turn-over tinggi setelah pengurangan absorpsi Ca2+ usus (Weinstein dkk., 1984). Konsentrasi 25-OHD dalam plasma berkurang pada pasien yang sedang mendapatkan obat-obatan ini, dan diusulkan bahwa fenitoin dan fenobarbital mempercepat metabolisme vitamin D untuk menonaktifkan produk (hahn dkk., 1972). Akan tetapi, konsentrasi kalsitriol pada plasma tetapi normal pada kebanyakan pasien yang sedang mendapatkan terapi antikonvulsant (Jubiz dkk., 1977). Obat ini juga mempercepat metabolisme hepatik vitamin K dan mengurangi sintesis protein yang dependen vitamin K, seperti osteokalsin.
   
Kebutuhan pada manusia. Ringkasan kebutuhan profilaksis untuk vitamin D telah dibuat oleh Komite Gizi Akademi Anak Amerika. Banyak waktu yang telah dilalui sejak 1919, ketika Mellanby menunjukkan efikasi minyak ikan dalam pencegahan rakhitis, sebuah penyakit yang semakin jarang di Amerika Serikat. Walaupun sinar matahari memberikan profilaksis yang memadai pada daerah tropis, namun pada iklim dingin radiasi surya kutaneous yang tidak memadai bisa mengharuskan suplementasi vitamin D pada makanan.
   
Sebelumnya, ambang batas yang direkomendasikan untuk vitamin D hanya bisa dicapai dengan menambahkan suplemen vitamin D oral ke diet normal. Sejak penemuan penambahan vitamin ke makanan (khususnya susu, produk susu, sereal, dan permen), individu semua usia mendapatkan vitamin D yang bervariasi dan bahkan berlebih tapa penambahan khusus ke diet. Sehingga, persyaratan suplemental bervariasi tidak hanya dengan usia, kehamilan, dan laktasi tetapi juga dengan kualitas makanan. Toksisitas serius bisa terjadi akibat pencernaan vitamin D yang berlebihan, dan bahkan sesedikit 1800 unit USP per hari pada bayi bisa menghambat pertumbuhan. Dengan demikian, setiap rekomendasi untuk suplementasi vitamin D harus diberikan hanya setelah melakukan penelitian dengan cermat terhadap makanan.
    Pada bayi permatur dan bayi normal, total 400 unit vitamin D per hari memastikan profilaksis antirakhitis lengkap dan pertumbuhan lengkap tanpa mempertimbangkan bagaimana ini dicapai. Selama masa remaja dan dewasa, jumlah ini kemungkinan juga sudah cukup. Ada beberapa bukti bahwa persyaratan vitamin D meningkat selama kehamilan dan laktasi, walaupun asupan harian 400 unit sudah cukup pada kondisi-kondisi ini juga (lihat Tabel XIII-I).
   
Unit USP identik dengan unit internasional (IU) dan ekivalen dengan aktivitas biologis spesifik 0,025 μg vitamin D3 (yakni 1 mg yang sebanding dengan 40.000 unit).
   
Prosedur uji biologis yang digunakan dalam penghindaran keadaan rakhitis. Ini juga masih sedangkan digunakan untuk tujuan eksperimental.
   
Bentuk-bentuk vitamin D yang termodifikasi. Beberapa turunan vitamin D dianggap menarik secara terapeutik. Dihidrotachysterol (DHT) merupakan sebuah analog vitamin D yang bisa dianggap sebagai produk reduksi dari vitamin D2 (dan terkadang disebut DHT2). DHT sekitar 1/450 seaktif vitamin D pada uji antirakhitis, tetapi pada dosis tinggi jauh lebih efektif dibanding vitamin D dalam memobilisasi mineral tulang. Efek yang terakhir ini adalah basis untuk penggunaan DHT dalam mempertahankan konsentrasi Ca2+ normal dalam plasma pada kondisi hipoparatiroidisme.
   
DHT mengalami 25-hidroksilasi menghasilkan 25-hidroksi-dihidrotachysterol (25-OHDHT), yang tampak sebagai bentuk aktif pada usus dan tulang. 25-OHDHT aktif pada mencit percobaan, sehingga menunjukkan bahwa dia tidak memerlukan 1-hidroksilasi dalam ginjal. Sebuah perbandingan struktur DHT dan 1,25-(OH)2D menunjukkan bahwa cincin A dari DHT berotasi untuk menggantikan gugus 3-hidroksilnya  pada posisi geometris yang hampir sama seperti gugus 1-hidroksil dari 1,25-(OH)2D. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa 25-OHDHT bisa berinteraksi dengan tempat-tempat reseptor utuk 1,25-(OH)2D tanpa mengalami 1-hidroksilasi. Sehingga, DHT membypass mekanisme kontrol metabolik dalam ginjal.
   
1α-Hidroksikolekalsiferol (1-OHD3) merupakan sebuah turunan sintetik dari vitamin D3 yang dihidroksilasi pada posisi 1α. Ini dihidroksilasi dalam posisi 25 dengan sistem mikrosomal hepatik untuk membentuk 1,25-(OH)2D dan dengan demikian diperkenalkan sebagai sebuah pengganti untuk senyawa selanjutnya. Pada sebuah penelitian pada hewan untuk simulasi absorpsi Ca2+ dalam usus dan mineralisasi tulang, obat ini sama aktivitasnya dengan kalsitriol. Karena tidak memerlukan hidroksilasi pada ginjal, obat ini telah digunakan untuk mengobati osteodistropi ginjal. Obat ini tersedia di Amerika Serikat untuk tujuan eksperimental.
Analog-analog Kalsitriol. Kalsipotriol (kalsipotriena) mengandung 22-23 ikatan rangkap, sebuah gugus fungsional 24(S)-hidroksi, dan karbon 25-27 yang tergabung dalam sebuah cincin siklopropana. Senyawa ini memiliki afinitas reseptor yang mirip dengan kalsitriol, tetapi kurang dari 1% dibanding kalsitriol dalam hal keaktifan dalam meregulasi metabolisme kalsium. Kalsipotriol telah diteliti secara ekstensif sebagai pengobatan untuk psoriasis, dan preparasi topkal (DOVONEX) tersedia untuk tujuan tersebut. Pada trial-trial klinis, kalsipotriol topikal telah ditemukan sebagai pengobatan yang efektif dan aman, sedikit lebih efektif dibanding glukokortikoid. Mekanisme kerja kalsipotriol pada psoriasis tidak diketahui.
   
Parikalsitriol (ZEMPLAR) merupakan sebuah turunan kalsitriol sintetik yang mengurangi produksi PTH tanpa menghasilkan hiperkalsemia, kecuali pada overdosis. Obat ini telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan hiperparatiroidisme sekunder pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronis.
   
22-Okakalsitrol juga merupakan supresor potensial untuk ekspresi gen PTH dan menunjukkan aktivitas yang sangat terbatas pada usus dan tulang. Dengan demikian, ini merupakan senyawa yang menarik untuk digunakan pada pasien-pasien yang memiliki produksi PTH berlebihan pada gagal ginjal  kronis atau bahkan pada hipertiroidisme primer (Finch dkk., 1993).
Kegunaan Terapeutik
   
Banyak preparasi yang mengandung vitamin D sudah dipasarkan. Ergokalsiferol (kalsiferol; DRISDOL) adalah vitamin D2 murni. Obat ini tersedia untuk pemberian oral, intramuskular, atau intravena. Dihidrotachysterol (DHT; HYTAKEROL) merupakan senyawa kristalin murni yang didapatkan dengan reduksi vitamin D2 dan tersedia untuk pemberian lewat oral. Kalsifediol (25-hidroksikolekalsiferol; KALDEROL)  juga tersedia untuk penggunaan oral. Kalsitriol (1,25-dihidroksikolekalsiferol; CALCIJEX, ROCALTROL) tersedia untuk pemberian lewat oral atau injeksi.
   
Kegunaan terapeutik yang utama dari vitamin D bisa dibagi menjadi empat kategori, yaitu: (1) profilaksis dna penyembuhan rakhitis gizi; (2) pengobatan rakhitis metabolik dan osteomalasia, khususnya dalam setting gagal ginjal kronis; (3) pengobatan hipoparatiroidisme; dan (4) pencegahan dan pengobatan osteoporosis.
   
Rakhitis nutrisional. Rakhitis nutrisional terjadi karena keterpaparan yang tidak memadai terhadap sinar matahari atau kekurangan vitamin D makanan. Kondisi ini sangat jarang di Amerika Serikat dan negara-negara lain dimana fotifikasi makanan dengan vitamin dipraktekkan. Bayi dan anak-anak yang mendapatkan jumlah makanan kaya vitamin D yang memadai tidak memerlukan vitamin D tambahan; akan tetapi, bayi yang menyusui atau mereka yang memakan susu formula yang tidak diperkaya harus mendapatkan 400 unit vitamin D setiap hari sebagai suplemen. Praktek yang biasa dilakukan adalah memberikan vitamin A bersama dengan vitamin D. Beberapa preparasi vitamin A dan D yang seimbang tersedia untuk tujuan ini. Bayi-bayi prematur khususnya rentan terhadap rakhitis dan bisa memerlukan vitamin D suplemen. Karena janin memerlukan lebih dari 85% simpanan kalsiumnya selama trimester ketiga.
   
Dosis kuratif dari vitamin D untuk pengobatan rakhitis sempurna lebih besar dibanding dosis profilaksis. Sekitar 1000 uni setiap hari akan menormalkan Ca2+ dan konsentrasi fosfat dalam plasma pada sekitar 10 hari, dan bukti radiografi dari penyembuhan terlihat dalam waktu 3 pekan. Akan tetapi, dosis harian 3000 sampai 4000 unit sering diresepkan untuk penyembuhan yang lebih cepat; ini khususnya penting pada kasus-kasus rakhitis thorakik yang parah ketika respirasi terganggu.
   
Kondisi-kondisi tertentu diketahui mengarah pada absorpsi vitamin D yang buruk. Jika ini tidak diobati dengan suplementasi vitamin, kekurangan bisa terjadi. Vitamin D bisa memiliki manfaat profilaksis pada penyakit seperti diare, steatorhea, gangguan empedu, dan kelainan lain pada fungsi gastrointestinal dimana absorpsi berkurang. Pemberian parenteral bisa digunakan pada kasus-kasus seperti ini.
   
Rakhitis metabolik dan osteomalasia. Kelompok penyakit ini ditandai dengan kelainan-kelainan sintesis atau respon terhadap kalsitriol.
   
Rakhitis resisten-vitamin D hipofospatemia, dalam bentuknya yang paling khas, merupakan sebuah gangguan metabolisme fosfat dan kalsium terkait X (XLH). Walaupun kadar kalsitriol normal, bisa diprediksikan lebih tinggi untuk tingkat hipofosfatemia yang diamati. Pasien-pasien mengalami perbaikan klinis ketika diobati dengan dosis vitamin D yang banyak, biasanya dikombinasikan dengan fosfat-fosfat anorganik. Akan tetapi, bahkan dengan pengobatan vitamin D, konsentrasi kalsitriol bisa tetap lebih rendah dari yang diharapkan. Sebuah mutas spesifik yang menghasilkan bentuk XLH paling umum telah ditemukan. Protein yang terkena, yang disebut PEX, merupakan sebuah endoprotease netral. Substrat spesifik untuk enzim ini belum diklarifikasi, tetapi dianggap kemungkinan terlibat dalam transport fosfor ginjal. Sindrom yang terkait dengan dengan XLH telah ditemukan, termasuk rakhitis hipofosfatemia bawaan dengan hiperklasiuria (HHRH) dan rakhitis hipofosfatemia dominan autosomal. Mekanisme pasti untuk transmisi dan patofisiologi dari kondisi-kondisi varian ini juga tidak diketahui.
   
Rakhitis dependen-vitamin D merupakan sebuah penyakit resesif autosomal yang disebabkan oleh kesalahan metabolisme sejak lahir yang melibatkan gangguan konversi 25-OHD menjadi kalsitriol. Kondisi ini merespon terhadap dosis-dosis fisiologis dari kalsitriol (Fraser dkk., 1973).
   
Kekebalan 1,25-dihidroksivitamin D bawaan (yang juga disebut rakhitis dependen-vitamin D tipe II) merupakan sebuah penyakit resesif autosomal yang ditandai dengan hipokalsemia, osteomalasia dan rakhitis, dan alopecia lengkap. Penelitian-penelitian fibroblast kulit yang berasal dari pasien-pasien ini telah mengidentifikasi mutasi-mutasi pada reseptor kalsitriol yang mengarah pada pengikatan hormon defektif atau pengikatan kompleks hormon-reseptor deefektif ke DNA. Mutasi yang terakhir ini dihasilkan oleh substitusi-substitusi asam amino tunggal pada bagian zink dari domain pengikatan DNA reseptor vitamin D. Anak-anak yang terkena tidak merespon terhadap dosis vitamin D yang berlebihan dan kalsitriol, dan mereka mungkin memerlukan pengobatan lama dengan Ca2+ parenteral. Beberapa pemulihan gejala telah diamati selama masa remaja, tetapi basis untuk perbaikan belum dikethaui.
   
Osteodistropi ginjal (rakhitis ginjal) terkait dengan gagal ginjal kronis dan ditandai dengan menurunnya konversi 25-OHD menjadi kalsitriol. Retensi fosfat menurunkan konsentrasi Ca2+ dalam plasma, mengarah pada hipertiroidisme sekunder. Disamping itu, kekurangan kalsitriol mengganggu penyerapan Ca2+ dalam usus dan mobilisasinya dari tulang. Hipokalsemia umum terjadi (walaupun pada beberapa pasien, hiperparatiroidisme lama dan parah yang pada akhirnya mengarah pada hiperkalsemia). Deposisi aluminium dalam tulang juga memegang sebuah peranan penting dalam terjadinya penyakit skeletal.
   
Secara patologi, lesi-lesi adalah tipikal dari hipertiroidisme (osteitis fibrosa), kekurangan vitamin D (osteomalasia), atau campuran keduanya. Pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronis yang tidak sedang mendapatkan dialisis, penekanan diberikan pada pengobatan hiperfosfatemia dengan pengikat fosfat dan supplementasi kalsium; sasaran ini bisa dicapai dengan dengan pemberian kalsium karbonat lewat mulut, dikombinasikan dengan pembatasan fosfat dari makanan (Coburn dan Salusky, 1989). Penggunaan analog-analog vitamin D pada pasien pra-dialisis masih bersifat eksperimental, tetapi manfaatnya jelas untuk pasien yang sedang mengalami dialisis. Pemberian kalsitriol meningkatkan konsentrasi Ca2+ dalam plasma, mengurangi konsentrasi PTH, dan membantu mempertahankan remineralisasi tulang dan pertumbuhan pada anak-anak (Berl dkk., 1978; Chesney dkk., 1978). Kalsitriol intravena bisa efektif pada pasien yang sulit disembuhkan dengan terapi oral (Andress dkk., 1989). DHT dan -OHD3 juga bisa digunakan secara efektif, karena hidroksilasi ginjal tidak diperlukan untuk aktivitasnya. Walaupun 25-OHD juga bisa efektif, dosis tinggi harus digunakan.
   
Hipoparatiroidisme. Hipoparatiroidisme ditandai dengan hipokalemia dan hiperfosfatemia. DHT telah lama digunakan untuk mengobati kondisi ini, karena memiliki onset yang lebih cepat, durasi aksi yang lebih singkat, dan efek yang lebih besar terhadap mobilisasi dibanding vitamin D. Kalsitriol efektif dalam penatalaksanaan hipoparatiroidisme dan sekurang-kurangnya bentuk pseudohipoparatiroidisme tertentu dimana kadar kalsitriol endogen rendah. Akan tetapi, kebanyakan pasien hipoparatiroid merespon terhadap bentuk vitamin D manapun. Kalsitriol bisa menjadi agen yang dipilih untuk pengobatan hipokalsemia temporer disamping menunggu efektifnya  bentuk vitamin D yang beraksi lambat.
   
Macam-macam kegunaan vitamin D. Ini mencakup pengobatan hipofospatemia. Penggunaan dosis vitamin D yang besar (lebih dari 10.000 unit/hari) pada pasien osteoporosis tidak bermanfaat dan bisa berbahaya. Akan tetapi, pemberian 400 sampai 800 unit/hari vitamin D ke laki-laki dan wanita tua telah terbukti dapat menekan pemodelan-ulang tulang, melindungi massa tulang, dan mengurangi kejadian fraktur. Trial-trial klinis menunjukkan bahwa kalsitriol bisa menjadi sebuah agen penting untuk pengobatan psoriasis. Karena kegunaan lazim dari vitamin D telah ditemukan, penting untuk mengembangkan analog-analog nonkalsemik dari kalsitriol yang mencapai efek terhadap diferensiasi seluler tanpa risiko hiperkalemia.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders