Reaksi-Reaksi Abnormal Terhadap Radiasi Ultraviolet: Fotosensitifitas yang Ditimbulkan Oleh Agen-Agen Eksogen

Fotosensitifitas (kepekaan terhadap sinar matahari) bisa disebabkan oleh agen eksogen dan endogen. Ini terjadi ketika sebuah senyawa, lazimnya senyawa yang memiliki ikatan rangkap tak-jenuh dalam sebuah cincin yang terdiri dari 6 atom karbon, menyerap energi radiasi pada spektrum aksinya, biasanya pada panjang gelombang ultraviolet A (UVA). Fotosensitizer (pemekacahaya) eksogen bisa berupa agen-agen yang diberikan secara sistemik atau diaplikasikan secara topikal. Contoh dari fotosensitifitas yang disebabkan oleh fotosensitizer endogen adalah porfiria, yang terkait dengan gangguan enzimatis pada jalur biosintesis heme yang menghasilkan meningkatnya kadar porfirin, yang dikenal sebagai agen-agen fototoksik.
   
Fotosensitifias yang ditimbulkan oleh agen-agen eksogen bisa dibagi menjadi dua, yaitu fototoksisitas dan fotoalergi. Fototoksisitas adalah akibat dari cedera jaringan langsung yang disebabkan oleh agen fototoksik dan radiasi. Ini bisa terjadi pada semua orang yang terpapar terhadap dosis agen yang cukup dan panjang gelombang radiasi pengaktivasi (Tabel 91-1). Sebaliknya, fotoalergi adalah respon hipersensitifitas tertunda tipe IV terhadap sebuah molekul yang telah dimodifikasi melalui absorpsi energi cahaya. Kondisi ini memiliki fase sensitisasi (pemekaan), yang hanya terjadi pada orang yang peka, dan hanya memerlukan sedikit konsentrasi fotoalergen (lihat Tabel 91-1).

KEJADIAN
   
Hampir 400 obat di Amerika Serikat telah dilaporkan menyebabkan fotosensitifitas. Akan tetapi, hanya sedikit diantaranya yang menimbulkan reaksi yang sering atau telah diteliti dengan baik (Tabel 91-2, 91-3, 91-4, dan 91-5). Dalam evaluasi-evaluasi yang dilakukan di pusat-pusat fotodermatologi di Kota New York, Melbourne, Singapura, dan Detroit, fotosensitifitas yang ditimbulkan oleh obat sistemik terjadi pada mulai dari 5 persen hingga 15 persen pasien yang dirujuk. Dalam penelitian-penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Inggris, Eropa dan Australia, persentase pasien yang diuji dengan foto-patch yang mengalami reaksi-reaksi yang relevan secara klinis dan mengarah pada diagnosis dermatitis kontak fotoalergi berkisar antara 1,4 persen sampai 12,0 persen, dengan nilai yang paling umum adalah 10 persen pada kebanyakan seri kasus.


FOTOTOKSISITAS

Patofisiologi
   
Beberapa jalur berujung pada terjadinya kerusakan jaringan fototoksik dan untuk beberapa agen fototoksik, ada lebih dari satu jalur yang bertanggungjawab.
Proses-proses fotodinami
   
Pada saat terjadi penyerapan energi radiasi oleh fotosensitizer (P) pada keadaan normalnya, pembentukan molekul dalam keadaan tereksitasi (biasanya triplet) (3P) terjadi. Molekul yang tereksitasi ini selanjutnya bisa berpartisipasi dalam proses yang tergantung oksigen (yaitu, proses-proses fotodinami) melalui dua jalur utama, reaksi tipe I dan tipe II, yang keduanya menghasilkan cedera sitotoksik.
   
Reaksi tipe I melibatkan transfer sebuah elektron atau sebuah atom hidrogen ke fotosensitizer yang tereksitasi (3P), yang menghasilkan pembentukan radikal bebas (pers. 1). Ini selanjutnya bisa berpartisipasi dalam sebuah reaksi oksidasi-reduksi yang menghasilkan pembentukan peroksida dan kerusakan sel selanjutnya (pers. 2 dan 3).

3P + RH → PH• + R (1)
PH• + PH → P + PH2 (2)
PH2 + O2 → P + H2O2 (3)

   
Atau, interaksi 3P dengan oksigen normal bisa menghasilkan pembentukan anion superoksida (O2-), yang selanjutnya bisa dikonversi menjadi radikal-radikal hidroksil yang sangat reaktif dan sitotoksik (OH•).
   
Reaksi tipe II juga dikenal sebagai proses transfer energi. Transfer energi ke oksigen normal menghasilkan pembentukan oksigen tunggal (1O2), yang sangat reaktif dan memiliki waktu paruh 50 nano-detik (Pers. 4):

3P + O2 → P + 1O2 (4)

   
Cedera sitotoksik terjadi selama oksidasi asam-asam amino dan asam-asam lemak tak-jenuh imbas oksigen tunggal; interaksi dengan yang terakhir ini menghasilkan pembentukan hidroperoksida, yang memicu oksidasi lipid dan protein.
   
Fototoksisitas yang ditimbulkan oleh porfirin, quinolon, agen anti-inflammatory non-steroid, tetrasiklin, amitryptilin, sulfonylurea, hidroklorothiazida, furosemida, dan kloropromazin adalah contoh-contoh reaksi fototoksik fotodinami.

Pembentukan fotoproduk

Keterpaparan terhadap radiasi bisa menghasilkan pembentukan fotoproduk stabil yang bertanggung jawab terhadap cedera jaringan. Produk-produk fototoksik telah ditemukan pada radiasi fenotiazin, klorpromazin, tetrasiklin, kuinolon, dan agen-agen anti-inflammatory non-steroid.

Pengikatan ke substrat
   
Mekanisme fototoksisitas lainnya adalah pengikatan fotosensitizer ke substrat biologisnya yang diperantarai oleh radiasi. Reaksi fotoadisi terjadi ketika molekul dalam keadaan tereksitasi terikat secara kovalen ke sebuah molekul keadaan normal. Contohnya adalah pengikatan 8-metoksipsoralen secara kovalen ke basa-basa pyrimidin dari molekul DNA, yang menghasilkan pembentukan ikatan-silang antara rantai-rantai DNA.

Perantara inflammatory
   
Perantara inflamasi dan sel-sel inflammatory terpicu pada cedera jaringan fototoksik. Produk-produk aktivasi komplemen yang aktif secara biologis, perantara-perantara yang didapatkan dari sel mast, eikosanoid, protease, dan leukosit-leukosit polimorfonuklear berkontribusi bagi terjadinya fototoksisitas yang ditimbulkan porfirin, demeklosiklin, dan klorpromazin.

Apoptosis
   
Terapi fotodinami (PDT) melibatkan penggunaan sebuah fotosensitizer dan radiasi elektromagnetik untuk mengobati kondisi-kondisi kulit yang ganas dan pra-ganas. Disamping menghasilkan spesies oksigen yang reaktif, yang menghasilkan sitotoksisitas, PDT juga merupakan sebuah pemicu apoptosis yang potensial.

Manifestasi Klinis

Fototoksisitas akut (lihat Tabel 91-1)
   
Fototoksisitas akut biasanya terjadi dalam beberapa jam keterpaparan terhadap agen fototoksik dan radiasi UV. Gejala-gejalanya tergantung pada dosis-obat dan dosis-UV, tetapi pada dosis yang memadai, keluhan pasien tentang sensasi terbakar dan sensasi sengatan pada daerah yang terpapar, seperti dahi, hidung, daerah V pada leher, dan dorsa tangan. Eritema dan edema bisa tampak dalam beberapa jam keterpaparan; pada kasus parah, vesikular dan bula bisa terjadi. Bagian-bagian tubuh yang terlindungi, seperti lipatan-lipatan nasolabial, daerah postaurikular dan daerah submental, dan bagian-bagian yang tertutup pakaian, tidak terkena. Yang termasuk pengecualian adalah fototoksisitas yang ditimbulkan psoralen, dimana respon akut sering pertama kali terlihat setelah 24 jam, dan mencapai puncak setelah 48 sampai 72 jam, yang merupakan pertimbangan untuk memberikan dosis fotokemoterapi psoralen plus UVA (PUVA) 48 sampai 72 jam terpisah. Respon fototoksisitas biasanya sembuh disertai hiperpigmentasi yang berbeda-beda, yang bisa berlangsung selama berbulan-bulan. Pada dosis obat/UV yang rendah, hanya penyamakan (tanning) perlahan yang bisa diamati, tanpa reaksi berupa sunburn yang mendahului.

Foto-onycholisis
   
Pemisahan kuku distal dari pangkal kuku merupakan manifestasi dari fototoksisitas akut, dengan plat kuku yang berfungsi sebagai lensa untuk memfokuskan energi UV ke pangkal kuku. Ini telah dilaporkan bersama dengan doksisiklin dan tetrasiklin lain, fluorokuinolon, psoralen, benoxaprofen, klozepat dipotasium, dan kuinin (Gbr. 91-2).
Pigmentasi biru–abu-abu
   
Pigmentasi biru–abu-abu saat terpapar sinar matahari telah ditemukan terkait dengan keterpaparan terhadap beberapa agen. Sekitar satu persen sampai 10 persen pasien yang memakai maiodaron mengalami efek samping ini (Gbr. 91-3). Klorpromazin bisa menimbulkan perubahan yang serupa. Antidepresan trisiklik imipramin dan despramin juga telah dilaporkan menyebabkan pigmentasi biru–abu-abu. Sebuah kompleks metabolit-melanin telah dipostulasikan sebagai penyebab perubahan ini. Keterpaparan kronis terhadap dilatiazem, sebuah pemblokir saluran kalsium benzothiazepin, telah menghasilkan pigmentasi biru–abu-abu yang disebabkan sinar matahari (Gbr. 91-4). Pembesaran pigmentasi dan kompleks melanosom merupakan temuan histologis dan mikroskop elektron yang paling menonjol. Pigmentasi biru–abu-abu yang ditemukan pada argyria melibatkan lunula kuku, membran mukosa, dan sklera. Sebuah reaksi fotokimia dimana granula-granula perak terdeposisi dalam dermis menghasilkan perubahan-perubahan pigmen ini.

Erupsi lichenoid
   
Erupsi lichenoid telah dilaporkan tetapi masih kontroversial.

Pseudoporfiria
   
Perkembangan perubahan-perubahan kutaneous mirip porfiria kutanea tarda berupa kerapuhan kulit, vesikula, dan lepuh sub-epidermal terkait dengan beberapa agen fototoksik. Walaupun temuan histologis dan imunofluoresensi cukup mirip dengan yang ditemukan pada porfiria kutanea tarda, profil forfirin cukup normal atau berada di atas rentang normal pada pasien-pasien ini. Naproxen merupakan agen kausatif yang paling umum dilaporkan. Obat lain yang dicurigai mencakup amiodaron, antibiotik β-laktam, selekoksib, siklosporin, diflunisal, etretinat, furosemida, nabumeton, asam nalidiksat, kontrasepsi oral, oksaprozin, ketoprofen, asam mefenamat, rofecoksib (ditarik dari peredaran di Amerika Serikat pada September 2004), tetrasiklin, asam tiaprofenat, dan voriconazol.

Telangiectasia cahaya
   
Telangiektasia pada daerah-daerah yang terpapar matahari telah dilaporkan terjadi dengan pemblokir saluran kalsium, termasuk nifedipin, amlodipin, felodipin, dan diltiazem, dan dengan cefotaksim antibiotik. Pada beberapa dari pasien ini, provokasi dengan UVA menghasilkan terjadinya telangiektasia.
Persistensi fotosensitifitas dan evolusi dermatitis aktinik kronis
   
Walaupun fototoksisitas biasanya sembuh setelah penghentian pemakaian agen kausatif, ada beberapa laporan tentang bertahannya fotosensitifitas selama beberapa tahun setelah penghentian keterpaparan, yang menghasilkan terjadinya dermatitis aktinik kronis. Ini telah dilaporkan paling sering dengan deksametaheksaklorin, sebuah komponen yang sebelumnya ditemukan pada beberapa produk spa, disamping juga dengan thiazida, quinidin, quinin, dan amiodoran.

Efek-efek kronis
   
Efek-efek cedera jaringan fototoksik yang berulang dan jangka-panjang  terhadap kulit dapat ditunjukkan dengan manifestasi-manifestasi pada pasien yang telah mendapatkan fotokemoterapi PUVA jangka panjang, yang diketahui mempengaruhi DNA. Efek-efek ini mencakup penuaan kulit secara dini, lentigo, karsinoma sel skuamus dan karsinoma sel basal, dan melanoma.

Agen-Agen Fototoksik

Agen-agen topikal
   
Tabel 91-2 memuat agen-agen fototoksik topikal utama. Keterpaparan terapeutik atau keterpaparan kerja terhadap agen-agen ini merupakan jalur kontak yang umum. Spektrum aksinya berada pada kisaran UVA atau sinar tampak.
   
Furokumarin. Keterpaparan topikal terhadap furokumarin bisa terjadi pada individu-individu yang memiliki pekerjaan tertentu seperti karyawan bar, tukang masak sayur salada, tukang kebun dan pada pasien-pasien yang mendapatkan fotokemoterapi topikal dengan psoralen, keterpaparan seperti ini dilaporkan di masa lalu diantara para pemakai produk tanning atau farfum yang mengandung 5-metoksipsoralen (bergapten), tetapi preparasi-preparasi ini telah ditarik dari peredaran.
   
Tar. Tar batu bara mentah yang digunakan dalam terapi dermatologi adalah produk distilasi batubara yang merusak. Ini merupakan campuran kompleks antara lebih dari 10.000 senyawa, termasuk banyak hidrokarbon poliaromatik fototoksik yang menghasilkan sensasi luka bakar dan sengatan pada saat terpapar terhadap UVA. Keterpaparan di tempat kerja terhadap tar terkait dengan risiko kanker kulit non-melanoma yang meningkat, disamping fototoksisitas, walaupun karsingenisitas dari tar batu-bara yang digunakan dalam terapi dermatologi masih tetap kontroversial.
Agen-agen sistemik
   
Tabel 91-3 memuat agen-agen fototoksik sistemik utama. Agen-agen ini umumnya menghasilkan reaksi luka-bakar yang semakin buruk tetapi seperti kebanyakan fototoksin lainnya juga bisa memicu respon fotoalergi eczematosa pada beberapa persen pemakai, khususnya setelah keterpaparan topikal. Seperti yang diketahui, spektra aksinya adalah pada rentang UVA; terkecuali sulfonamida dan rantidin, yang spektra aksinya dalam rentang UVB, dan profirin, fluorescein, dan zat-zat warna lainnya, yang spektra aksinya berada dalam rentang sinar tampak.

Histopatologi
   
Fototoksisitas akut ditandai dengan keratinosit-keratinosit nekrotik individual dan, pada kasus-kasus yang parah, nekrosis epidermal (lihat Tabel 91-1). Kemungkinan ada spongiosis epidermal, edema dermal, dan infiltrat ringan yang terdiri dari neutrofil-neutrofil, limfosit, dan makrofage. Pigmentasi biru–abu-abu terkait dengan melanin dermal yang meningkat dan deposit-deposit dermal dari obat atau metabolit-metabolitnya. Gambaran histologis dari erupsi-erupsi lichenoid cukup mirip dengan lichen planus idiopatik; akan tetapi, terdapat lebih banyak spongiosis dan eosinofilik dermal dan infiltrat sel plasma, dan lebih banyak keratinosit nekrotik dan badan-badan sitoid. Pada pseudoporfiria, seperti pada porfiria kutanea tarda, terdapat pemisahan dermal-epidermal pada lamina lucida dan deposit-deposit imunoglobulin pada pertemuan dermal-epidermal dan dinding-dinding pembuluh darah di sekitarnya.

Penatalaksanaan
   
Pengidentifikasian dan penghindaran agen-agen fototoksik kausatif merupakan tahapan yang paling penting dalam penatalaksanaan. Selain ini, penghindaran sinar matahari juga penting. Karena spektrum aksi untuk kebanyakan agen adalah dalam rentang UVA, maka sunscreen dengan nilai SPF yang tinggi dan spektrum luas yang mengandung filter-filter UVA efisien harus digunakan. Fototoksisitas akut bisa ditangani dengan kortikosteroid topikal dan kompres; kortikosteroid topikal hanya boleh digunakan pasien yang paling parah. Penatalaksanaan pasien-pasien yang mengalami pigmentasi biru–abu-abu, erupsi lichenoid, pseudoporfiria, dan telangiektasia matahari hanya bersifat simptomatik, dan pasien harus diingatkan bahwa diperlukan waktu beberapa bulan setelah penghentian pemakaian agen kausatif untuk sembuhnya penyakit. Pasien-pasien yang mengalami pseudoporfiria imbas NSAID yang memerlukan NSAID harus diganti dengan agen berbeda atau yang kurang daya fotosensitisasinya, seperti indomethacin atau sulindac.

FOTOALERGI

Patofisiologi
   
Fotoalergi adalah respons hipersensitifitas tertunda tipe IV yang memerlukan keberadaan fotoalergen dan panjang gelombang radiasi pengaktivasi, yang bagi kebanyakan agen adalah panjang gelombang dalam rentang UVA. Setelah absorpsi energi UV, sebuah fotoalergen bisa dikonversi menjadi molekul tereksitasi, yang selanjutnya kembali ke keadaan normal dengan melepaskan energi. Dalam proses ini, molekul bisa berkonyugasi dengan sebuah protein karier untuk membentuk sebuah antigen lengkap. Ini dianggap sebagai mekanisme fotoalergi yang ditimbulkan oleh salisilanilida terhalogenasi, klorpromazin, dan asam paraaminobenzoat (PABA). Atau, sebuah fotoalergen bisa membentuk sebuah fotoproduk stabil pada saat terpapar terhadap radiasi, yang selanjutnya bisa berkonyugasi dengan sebuah protein karier membentuk antigen lengkap. Sulfanilamida dan klorpromazin keduanya telah terbukti berpartisipasi dalam reaksi ini.
   
Ketika antigen utuh terbentuk, mekanisme fotoalergi identik dengan mekanisme pada alergi kontak. Antigen ditangkap dan diproses oleh sel-sel Langerhans, yang kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening regional untuk menampakkan antigen ke limfosit-limfosit T. Lesi-lesi kutaneous terjadi ketika limfosit-limfosit T teraktivasi bersirkulasi ke tempat yang terpapar untuk memulai respon inflammatory.

Manifestasi Klinis
   
Pada individu yang peka, keterpaparan terhadap fotoalergen dan sinar matahari menghasilkan terjadinya erupsi-erupsi pruritus, eczematosa dalam waktu 24 sampai 48 jam setelah keterpaparan (lihat Tabel 91-1, Gbr. 91-5). Walaupun morfologi tidak dapat dibedakan secara klinis dari dermatitis kontak alergi, namun distribusi erupsi pada fotoalergi sebagian besar terbatas pada daerah yang terkena sinar matahari; akan tetapi, pada kasus-kasus parah, ini bisa menyebar ke daerah-daerah yang tertutupi, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. Berbeda dengan lesi-lesi fototoksisitas, lesi-lesi pada fotoalergi biasanya sembuh tanpa hiperpigmentasi pasca-inflammatory yang signifikan. Erupsi lichenoid juga telah dilaporkan.
   
Sekarang ini, di Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, filter-filter UV pada produk-produk sunscreen (khususnya benzophenon-3) adalah penyebab fotoalergi yang paling umum, sedangkan NSAID adalah fotoalergen topikal terkemuka di Jerman,

Austria dan Switzerland.
   
Seperti halnya fototoksisitas, persistensi fotosensitifitas dan evolusi menjadi dermatitis aktinik kronis telah dilaporkan setelah keterpaparan terhadap fotoalergen, termasuk salisilanilida terhalogenasi, musk ambrette, ketoprofen, dioksoprometzin, olaquindoks, dan quinidin. Mekanismenya belum diketahui secara lengkap. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa radiasi UV merubah protein karier yang pada awalnya mengikat fotoalergen; ini menghasilkan pembentukan neoantigen yang menstimulasi sistem imun selama jangka waktu yang lama. Hipotesis ini didukung oleh pengamatan bahwa gugus histidin pada albumin bisa mengalami oksidasi dengan adanya salisilanilida, yang terikat ke albumin.

Fotoalergen

Agen topikal
   
Keterpaparan topikal adalah rute sensitisasi (pemekaan) yang paling umum bagi fotoalergen. Tabel 91-4 memuat kelompok-kelompok fotoalergen yang umum.

Agen-agen sistemik
   
Fotoalergi yang disebabkan oleh agen-agen sistemik jauh lebih tidak sering dibanding yang ditimbulkan oleh agen-agen topikal. Semua kecuali satu dari agen-agen fotoalergen ini (pyridoksin) juga bersifat fototoksik dan telah dibahas sebelumnya dalam bab ini.

Histopatologi
   
Gambaran histologi dari fotolaergi mirip dengan gambaran dermatitis kontak alergi. Ada spongiosis epidermal yang terkait dengan infiltrat sel-sel mononuklear dalam dermis (lihat Tabel 91-1).

Penatalaksanaan
   
Penatalaksanaan identik dengan penatalaksanaan fototoksisitas: identifikasi dan penghindaran fotoalergen, tindakan-tindakan yang protektif sinar matahari, dan terapi simptomatik.

EVALUASI PASIEN YANG MENGALAMI FOTOTOKSISITAS DAN FOTOALERGI
   
Evaluasi pasien yang mengalami fototoksisitas dan fotoalergi mirip dengan evaluasi pasien yang mengalami penyakit fotosensitifitas lainnya. Riwayat keterpaparan terhadap fotosensitizer (pemekacahaya) yang diketahui paling penting. Juga membantu jika kita bisa memastikan apakah sinar matahari yang tersaring oleh kaca jendela bisa menimbulkan erupsi kutaneous, karena UVB dan UVA2 (320 sampai 340 nm) disaring oleh kaca jendela. Distribusi erupsi kutaneous merupakan petunjuk yang cukup membatu untuk mengetahui tipe fotosensitizer apa yang bertanggung jawab. Erupsi yang tersebar menunjukkan keterlibatan fotosensitizer sistemik, sedangkan fotosensitizer topikal menghasilkan lesi-lesi hanya pada daerah yang terpapar terhadap sensitizer dan radiasi. Erupsi-erupsi vesikular dan bulosa paling umum terkait dengan fototoksisitas, sedangkan erupsi-erupsi eczematosa menunjukkan fotoalergi; biasanya erupsi vesikular dan bulosa terkait dengan sensasi luka bakar, sedangkan erupsi eczematosa terkait dengan pruritus. Temuan biopsi kulit juga bisa membantu dalam membedakan kedua kondisi ini: keratinosit nekrotik umum ditemukan pada fototoksisitas, sedangkan dermatitis spongiotik terkait dengan fotoalergi (lihat Tabel 91-1).
   
Fototes dan uji foto-patch merupakan bagian menyeluruh dari evaluasi fotosensitifitas. Sekitar 10 persen pasien yang menjalani uji foto-patch memiliki hasil positif yang relevan secara klinis, yang mengarah pada diagnosis dermatitis kontak fotoalergi.
   
Prosedur-prosedur untuk foto-tes dan uji foto-patch pada umumnya dilakukan sebagai berikut, meskipun ada variasi metode pengujian. Pada hari ke-1, dilakukan keterpaparan terhadap UVB dan UVA untuk menentukan dosis eritema minimal (MED), dan set alergen dua kali diaplikasikan secara sistemik ke tempat lain pada punggung dan ditutupi dengan pita buram. Pada hari ke-2, MED ditentukan. Salah satu dari set ganda fotoalergen dipaparkan terhadap 10 J/cm2 UVA atau 50 persen MED ke UVA, yang lebih rendah. Setelah radiasi, tempat yang terpapar ditutupi kembali dengan pita buram. Pada hari ke-3, tempat yang disinari dan yang tidak disinari, dan jenis reaksi ditentukan. Pada hari ke-5 atau ke-8, tempat-tempat yang disinari dan tidak disinari dievaluasi untuk yang mengalami reaksi-reaksi jenis tertunda. Reaksi pada tempat yang disinari hanya menandakan fotoalergi. Reaksi dengan intensitas sama pada tempat yang disinari dan tempat yang ditutupi menandakan dermatitis kontak alergi. Reaksi pada kedua tempat, tetapi dengan intensitas lebih tinggi pada tempat yang disinari, menunjukkan fotoalergi dan dermatitis kontak alergi. Eritema yang sembuh dengan segera menunjukkan dermatitis pengiritasi.

DIAGNOSIS BANDING FOTOTOKSISITAS DAN FOTOALERGI
   
Dermatitis kontak yang berasal dari udara ditandai dengan keterlibatan lipatan-lipatan kulit pada daerah-daerah yang terpapar, seperti lipatan-lipatan nasolabial, dan kelopak mata yang mendapatkan sinar matahari langsung minimal. Ini juga melibatkan daerah terpapar yang relatif terlindungi dari sinar matahari, seperti daerah-daerah postaurikular dan daerah di bawah dagu. Dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak pengiritasi terjadi pada daerah yang terpapar dan terlindungi dari sinar matahari.
   
Fotodermatosis lainnya bisa dibedakan dari fototoksisitas atau fotoalergi berdasarkan perjalanan waktunya yang khas dan morfologi serta kurangnya riwayat keterpaparan yang terkait. Erupsi akibat cahaya polimorf timbul dengan sendirinya dalam beberapa jam keterpaparan sinar matahari sebagai papula-papula pruritus, plak, dan vesikula-vesikula pada tempat-tempat yang terpapar sinar matahari dan sembuh dalam beberapa hari. Dermatitis aktinik kronis tampak sebagai plak-plak lichenifikasi pada daerah-daerah yang terpapar sinar matahari. Lesi-lesi urtikaria surya tampak dalam beberapa menit keterpaparan sinar matahari sebagai urtikaria pruritus ringan dan sembuh dalam beberapa jam.

FOTODERMATOSIS IMBAS AGEN EKSOGEN LAINNYA DAN DERMATOSIS YANG DIPERBURUK CAHAYA

Porfiria Kutanea Tarda
   
Pencernaan gandum yang diperlakukan dengan heksaklorobenzen (HCB) sebagai sebuah preservatif menghasilkan perjangkitan sindrom mirip kutanea tarda di Turki pada tahun 1950an. Inhibisi enzim uroporfirinogen dekarboksilase oleh HCB dianggap bertanggung jawab untuk manifestasi-manifestasi klinis tersebut. Akan tetapi, sebuah penelitian terhadap beberapa orang dewasa yang terpapar dengan intensitas tinggi terhadap HCB di Catalonia, Spanyol, tidak menunjukkan adanya peningkatan porfiria kutanea tarda atau peningkatan konsentrasi porfirin dalam urin.

Lupus Eritematosus
   
Walaupun banyak obat yang terkait dengan lupus eritematosus imbas obat, namun hubungannya dapat dilihat dengan jelas pada prokainamida, hidralazin, dan minosiklin. Arthralgia dan gejala-gejala sistemik cukup umum; fotosensitifitas merupakan manifestasi yang jarang. Kebanyakan pasien memiliki antibodi terhadap histon. Individu yang memiliki sistem N-asetiltrasferase hepatik mengekspresikan sebuah fenotip “asetilator lambat” atau yang positif untuk antigen leukosit manusia DR4 paling rentan.

Pellagra
   
Perubahan-perubahan kulit dalam bentuk pellagra (dari bahasa Italia pelle agra, yang berarti “kulit kasar”) terkait dengan isoniazid, 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, kloramfenikol, sulfapyridin, antikonvulsan, dan antidepresan. Patogenesis pellagra imbas obat kemungkinan terkait dengan inhibisi konversi niasin menjadi nikotinamida adenin dinukleotida dan nikotinamida adenin dinukleotida fosfat.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders