Pendeteksian Faktor-Faktor Pelepas Histamin Serum Pada Seorang Pasien yang Mengalami Anafilaksis Idiopatik dan Sindrom Alergi Multi Obat

Abstrak

Disini kami menyajikan kasus seorang wanita 30 tahun yang melaporkan beberapa episode anafilaksis dengan angioedema dan urtikaria kambuh. Beberapa dari episode ini terkait dengan pemakaian obat anti-inflammatory nonsteroid dan salah satu episode diikuti dengan konsumsi alkohol, tetapi pada kebanyakan episode tidak ada pemicu yang bisa diidentifikasi. Penentuan imunoglobulin E spesifik menunjukkan hasil negatif untuk alergen makanan dan obat, C3 dan C4 memiliki rentang normal, inhibitor C1 sedikit berkurang dan triptase serum tidak dapat dideteksi. Uji kulit serum autolog in vivo dan uji pelepasan histamin basofil memberikan hasil positif sehingga menunjukkan adanya faktor-faktor pelepasan histamin yang bersirkulasi. Ketika uji toleransi oral dilakukan, hanya doksisiklin yang ditolerir sedangkan levofloksasin, klarithromisin, nimesulida dan tramadol menyebabkan urtikaria ringan. Pramedikasi dengan cetirizin memungkinkan pasien mentrolerir levofloksasin, klarithromisin dan nimesulida. Penunjukan faktor-faktor pelepas-histamin yang bersirkulasi pada seorang pasien yang mengalami anafilaksis idiopatik dan sindrom alergi multi-obat memberikan pengetahuan baru dan bisa membuka jalan untuk pendekatan-pendekatan terapeutik yang baru.

Kata kunci: Uji kulit serum autolog, Urtikaria kronis, Faktor pelepas-histamin, Anafilaksis Idiopatik, Sindrom alergi multi-obat.

Pendahuluan
   
Anafilaksis idiopatik merupakan sebuah kondisi berbahaya ditandai dengan episode anafilaksis rekuren yang dipicu oleh stimuli-stimuli yang tidak diketahui. Walaupun perbedaan klinis dan fungsional telah ditemukan diantara pasien-pasien yang mengalami anafilaksis idiopatik, namun mekanisme patologinya tetap sukar untuk dipahami dan pengobatan yang dilakukan hanya simptomatik. Beberapa mekanisme telah diusulkan untuk menjelaskan anafilaksis idiopatik, termasuk mastositosis sistemik (meningkatnya daya pelepasan basofil dan sel-sel mast), pelepasan faktor-faktor pelepas-histamin dari limfosit, kesensitifan terhadap hormon endogen dan eksogen dan pemakaian obat tertentu, seperti agen pemblokir-β, inhibitor enzim pengkonversi angiotensin dan bahkan inhibitor siklo-oksigenase. Akan tetapi, apabila mastositosis sistemik okulta dipastikan tidak terjadi, maka  tidak ada mekanisme definitif yang diidentifikasi sebagai penyebab mendasar anafilaksis idiopatik. Pada beberapa tahun terakhir, telah ditunjukkan bahwa 30-50% pasien yang mengalami urtikaria kronis memiliki autoantibodi pelepas-histamin bersirkulasi yang diarahkan baik terhadap subunit α dari FcERIα (reseptor imunoglobulin E afinitas tinggi) maupun terhadap IgE. Keberadaan autoantibodi pelepas antihistamin ini bisa ditunjukkan secara in vivo melalui injeksi serum autolog intradermal (uji kulit serum autolog [ASST]) dan secara in vitro melalui pengukuran pelepasan histamin dari basofil-basofil yang distimulasi dengan sera pasien (uji pelepasan histamin basofil [BHRA]).
   
Telah diduga bahwa autoantibodi-autoantibodi yang melepaskan histamin bisa terlibat dalam anafilaksis idiopati, tetapi bukti definitif dari dugaan ini masih kurang. Disini kami menyajikan sebuah kasus pasien yang mengalami episode-episode anafilaksis rekuren yang dipicu oleh obat atau stimuli yang tidak diketahui, yang memiliki hasil tes positif untuk ASST dan BHRA.

Deskripsi Kasus
   
Seorang wanita 30 tahun datang ke klinik kami karena dia mengalami beberapa episode anafilaksis disertai angioedema yang terjadi sejak usia 16 tahun dan hendak mencari pengobatan antibiotik dan anti-inflammatory yang bisa ditolerirnya. Dalam riwayat keluarganya tidak ada penyakit alergi atau episode-episode angioedema. Sejak usia 20 tahun dia merokok dengan menghabiskan 5 batang per hari dan dia telah menggunakan kontrasepsi oral selama 5 tahun terakhir. Episode anafilaksis pertama yang disertai angioedema terjadi ketika dia masih berumur 16 tahun, setelah memakan mi dan ikan dan setelah meminum sebuah tabel asam asetilsalisilat. Setelah menjalani perawatan inap di unit perawatan intensif dan pengobatan dengan epinefrin, antihistamin H1 dan steroid, dia mengalami pemulihan dengan cepat. Selanjutnya, dia kembali melaporkan 15 episode anafilaksis menyeluruh disertai angioedema sampai pada usia 28 tahun, sekurang-kurangnya 2 dari episode tersebut memerlukan perawatan inap di unit perawatan intensif. Salah satu episode anafilaksis terjadi setelah mengkosumsi minuman beralkohol; dan pada semua episode yang lain, tidak ada hubungan yang dilaporkan dengan asupan makanan atau obat, olahraga atau gigitan serangga. Disamping itu, pasien melaporkan ruam urtikaria yang sering tetapi sementara yang bisa dikontrol dengan antihistamin H1. Pada beberapa kasus, ruam urtikaria terjadi setelah meminum asetaminofen atau pyrazolon, tetapi paling sering tidak ada faktor-faktor pemicu yang bisa diidentifikasi. Dalam 2 tahun terakhir, pasien menghindari meminum obat apapun kecuali kontrasepsi oral dan dia hanya mengalami urtikaria ringan yang rekuren. Uji cucuk kulit untuk hirupan dan alergen makanan dilakukan ketika dia berusia 26 tahun dan hasilnya negatif. Sebuah diet bebas zat aditif dicoba sebelum pasien datang ke klinik, tetapi tidak ada efek apapun terhadap urtikaria. Pencarian antibodi IgE spesifik untuk hirupan, makanan, obat dan bisa serangga hymenoptera dilakukan dengan UniCAP RAST (Phadia, Uppsala, Swedia) dan hasilnya sedikit positif untuk Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae (masing-masing 0,56 dan 0,61 kUA/L, dengan nilai negatif di bawah 0,35 kUA/L) dan hasilnya juga sedikit positif untuk tawon kuning (0,48 kUA/L). Kadar IgE total adalah 158 kU/L (nilai normal < 100 kU/L). Pengamatan laboratorium secara umum menunjukkan hasil normal, termasuk uji hemositometri, uji fungsi ginjal dan hati, dan elektroforesis serum. Inhibitor C1 esterase fungsional, yang diukur dengan reagen Immuno (Vienna Australia) sedikit di bawah rentang normal (60% dengan nilai normal yang berkisar antara 70 sampai 120%). Inhibitor C1 antigenik diuji dengan imunodifusi radial (Dade Behring, Monburg, Jerman) dan juga sedikit berkurang (60% dengan rentang normal antara 70 sampai 120%). Kadar fraksi C3 dan C4 komplemen dalam serum ditentukan dengan imunodifusi radial (Dade Behring) dan hasilnya normal, walaupun C4 memiliki batas rentang normal yang lebih rendah. Triptase serum diukur dengan imunoasai enzim yang tersedia di pasaran (Phadia, Uppsala, Swedia) dan tidak dapat dideteksi (<1 μg/L). ASST dilakukan dengan injeksi intradermal 0,05 mL serum autolog segar yang steril dalam aspek volar lengan bawah, sesuai dengan teknik Sabroe dkk. Uji ini memberikan respon positif yang tegas (setelah 30 menit terbentuk bintul (wheal) seluas 4 x 3 mm dan suar seluas 25 x 25 mm). Injeksi larutan garam secara intradermal (0,9% berat/volume natrium klorida) digunakan sebagai kontrol negatif (tidak ada bintul atau suar setelah 30 menit) dan uji cucuk kulit dengan 10 mg/L histamin digunakan sebagai kontrol positif (bintul 4 x 3 mm dan suar 20 x 25 mm). Uji BHRA dilakukan dengan menggunakan basofil dari seorang donor non-atopik normal dengan total kadar IgE 8 kU/L. Konsentrasi histamin dalam supernatan sel diukur dengan teknik fluorometri otomatis dan hasilnya dinyatakan sebagai persentase pelepasan histamin. Pelepasan histamin yang ditimbulkan oleh sera kontrol dari 20 subjek normal adalah di bawah 5%, dan nilai ini digunakan sebagai batas, juga dengan mempertimbangkan pengalaman kali sebelumnya. Pelepasan histamin yang ditimbulkan oleh serum pasien adalah 7%, sehingga menandakan adanya faktor-faktor pelepasan histamin yang bersirkulasi.
   
Dalam pencarian antibiotik dan obat-obat anti-inflammatory yang bisa dia tolerir, pasien setuju untuk menjalani uji toleransi elektif oral, yang dilakukan dengan menggunakan rancangan samar tunggal. Ringkasnya, setelah diberikan plasebo, dosis obat yang digandakan diberikan dengan interval 30 menit sampai dosis yang aktif-terapeutik dicapai. Diantara antibiotik-antibiotik yang digunakan (levofloksasin, klarithromisim dan doksisiklin), hanya doksisiklin yang ditolerir. Sebaliknya, ruam urtikaria ringan diamati setelah pemberian levofloksasin dan klaritromisin. Demikian juga, pemberian nimesulida dan tramadol disertai dengan nuasea dan muntah. Reaksi urtikaria yang diamati cukup ringan, tetapi pasien sangat khawatir tentang kemungkinan pemakaian antibiotik dan obat antibiotik jika diperlukan. Dengan demikian, dia memutuskan untuk mengulangi uji toleransi oral setelah pramedikasi dengan cetirizin 10 mg satu tablet, yang diminum pada semua uji toleransi di malam hari sebelum tes dilakukan. Setelah pramedikasi dengan cetirizin, pasien bisa mentolerir levofloksasin, klaritromisin dan nimesulida.

Pembahasan
   
Pasien menyebutkan mengalami episode-episode anafilaksis rekuren disertai angioedema, urtikaria kambuh, dan reaksi hipersensitifitas terhadap NSAID. Beberapa kejadian terkait dengan pemakaian obat dan salah satu episode anafilaksis terjadi setelah minum minuman beralkohol, tetapi pada kebanyakan episode anafilaksis tidak ada pemicu anafilaksis dan urtikaria yang bisa diidentifikasi dengan jelas. Ketika pasien bebas gejala, triptase serum tidak dapat dideteksi  dan ini memungkinkan mastositosis okulta dikesampingkan sebagai penyebab anafilaksis. Sindrom bocor kapiler idiopatik juga dikesampingkan berdasarkan gambaran klinis dan tidak adanya gammopati monoklonal pada elektroforesis serum. Inhibitor C1 sedikit berkurang sampai nilai yang tidak konsisten dengan angioedema bawaan atau agioedema yang didapat tetap justru menunjukkan konsumsi kronis karena aktivasi komplemen yang kronis tetapi sedang, kemungkinan dengan autoantibodi-autoantibodi pelepas histamin. Pada pasien yang mengalami urtikaria kronis, autoantibodi-autoantibodi pelepas histamin telah terbukti mengikat komplemen, yang selanjutnya meningkatkan pelepasan histamin. Akan tetapi, dalam penelitian kami, keterlibatan sistem komplemen yang penting bisa dikesampingkan karena kadar C4 masih berada dalam rentang normal. Ini berbeda dengan temuan umum pada pasien yang memiliki defisiensi inhibitor C1 bawaan atau non-bawaan dimana konsentrasi C4 sangat berkurang. Lebih lanjut, penyakit hati tidak dapat menjelaskan pengurangan kadar C1 esterase karena uji fungsi hati menunjukkan hasil normal.
   
Hasil paling menarik yang didapatkan dari penelitian-penelitian in vivo dan in vitro adalah kepositivan ASST dan HRA, yang mengindikasikan adanya faktor-faktor pelepasan histamin yang bersirkulasi, kemungkinan autoantibodi anti-FcERIα dan/atau autoantibodi anti-IgE. Uji in vitro rutin yang mampu mendeteksi autoantibodi anti-FcERIα dan/atau anti-IgE yang aktif secara fungsional dan bersirkulasi masih kurang. AAST dianggap sebagai sebuah uji screening in vivo untuk autoantibodi-autoantibodi pelepasan hsitamin yang diarahkan terhadap reseptor IgE afinitas tinggi atau terhadap IgE. BHRA dianggap sebagai sebuah uji konfirmasi yang menunjukkan keberadaan autoantibodi pelepas histamin yang aktif secara fungsional.
   
Dua episode anafilaksis pada pasien kami terkait dengan asam asetilsalisilat dan asupan alkohol, tetapi kami menduga bahwa ini hanya faktor pemicu sehingga mekanisme-patologi yang bersangkutan dan paling penting adalah adanya faktor-faktor pelepas-histamin. Telah diketahui bahwa banyak pasien dengan urtikaria kronis yang mengalami pemburukan penyakit setelah pemakaian obat NSAID. Fenomena ini juga telah ditemukan pada pasien yang urtikaria kronisnya bersifat autoimun, yakni ditandai dengan uji ASST positif dan keberadaan autoantibodi pelepas-histamin yang bersirkulasi. Disisi lain, sebuah ASST positif telah diamati pada kebanyakan pasien yang memiliki intoleransi ganda terhadap NSAID tetapi tidak memiliki urtikaria kronis dan sekitar pada sepertiga pasien yang intoleran terhadap NSAID tunggal. Disamping itu, kebanyakan pasien yang mengalami sindrom alergi multi obat dan lebih dari sepertiga subjek yang memiliki riwayat hipersensitifitas terhadap obat antibakteri tunggal memiliki ASST yang positif. Telah dihipotesiskan bahwa obat-obat pengganggu bisa meningkatkan atau memfasilitasi aktivitas faktor-faktor pelepas-histamin yang bersirkulasi (atau autoantibodi-autoantibodi) mengarah pada episode urtikaria akut, sedangkan faktor-faktor seperti ini saja tidak cukup efisien untuk melakukan hal tersebut.
   
Zat-zat aditif pada makanan (seperti sulfit atau benzoat) tidak memiliki kemungkinan untuk berperan dalam menimbulkan reaksi anafilaksis dan urtikaria, karena pada kebanyakan kasus pasien kami melaporkan tidak ada hubungan antara makanan, minuman beralkohol atau asupan obat dengan anafilaksis. Lebih daripada itu, sebuah diet yang bebas aditif telah dicoba oleh pasien sebelum datang ke klinik kami, tetapi tidak memiliki efek terhadap rekurensi urtikaria. Perlu dicatat bahwa penelitian ekstensif yang dilakukan oleh peneliti di Spanyol gagal menunjukkan adanya peran zat aditif makanan dalam urtikaria kronis. Setelah 1110 uji provokasi oral pada pasien yang mengalami urtikaria kronis, para peneliti menemukan bahwa hanya 0,63% uji provokasi yang menghasilkan pemburukan urtikaria dan tidak ada yang terulang setelah provokasi ulang dilakukan. Dengan memperhatikan peranan yang mungkin dari alkohol, hanya satu episode anafilaksis yang terjadi setelah minum alkohol. Kami menduga bahwa alkohol terlibat sebagai faktor pemicu sepintas, tetapi tidak bertanggungjawab untuk episode-episode anafilaksis dan urtikaria rekuren. Telah diketahui bahwa alkohol bisa menyebabkan reaksi urtikaria dan anafilaktoid yang tidak diperantarai IgE dan bisa memfasilitasi reaksi-reaksi terhadap makanan dan/atau zat aditif.
   
Dari sudut pandang praktis, menarik untuk digarisbawahi bahwa pasien yang memiliki kerentanan tinggi untuk bereaksi terhadap obat-obat yang tidak terkait secara kimiawi, seperti nimesulida, tramadol, levofloksasin dan klaritromisin, mampu mentolerir obat-obat ini ketika dipramedikasi dengan cetirizin. Dengan demikian, pasien bisa meminum obat nimesulida dan dua antibiotik (levofloksasin dan klaritromisin) dengan terapi antihistamin H1 yang bersamaan. Berdasarkan hasil ini, kami berpendapat bahwa ketika reaksi berlangsung ringan dan tidak membahayakan, perlu menelusuri kemungkinan pemberian obat-obat terpilih dengan pengobatan antihistamin H1 yang bersamaan pada pasien yang memiliki sindrom alergi multi obat.
   
Hingga kini, keberadaan faktor-faktor pelepas histamin yang bersirkulasi belum dievaluasi secara sistematis pada pasien-pasien yang mengalami anafilaksis idiopatik, dan kami menyarankan agar pengamatan seperti ini harus dilakukan. Obat-obat imunosupresif seperti siklosporin, sangat efektif pada kebanyakan pasien yang mengalami urtikaria kronis, dan penemuan mekanisme autoreaktif bisa membuka jalan untuk pendekatan-pendekatan terapeutik baru yang juga relevan digunakan pada anafilaksis idiopatik.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders