Masalah-masalah ilmiah fotosensitifitas

Ringkasan

Reaksi-reaksi kulit fotosensitif terjadi ketika kulit manusia bereaksi dengan radiasi ultraviolet atau sinar tampak secara abnormal. Bentuk-bentuk fotosensitifitas mencakup fototoksik dan fotoalergi. Penyakit fototoksik memiliki tingkat kejadian yang tinggi, sedangkan reaksi fotoalergi jauh lebih tidak sering pada populasi manusia. Ada ratusan zat, bahan kimia, atau obat-obatan yang bisa memicu reaksi fototoksik dan fotoalergi. Untuk menghindari reaksi-reaksi fotosensitiftas perlu menentukan kapasitas fotosensitifitas dari zat-zat seperti ini sebelum obat diberikan dalam terapi atau sebelum sebuah produk tersedia di pasaran. Artikel ini menelaah mekanisme-mekanisme fotosensitisasi, menjelaskan perbedaan yang paling penting antara reaksi fototoksik dan fotoalergi, merangkum fotosensitizer yang paling umum, dan memaparkan gambaran-gambaran klinis dan prosedur diagnostik dari reaksi-reaksi fototoksik dan fotoalergi.

Sejarah
   
Reaksi-reaksi fotosensitif telah dikenali selama ribuan tahun. Pada masyarakat Mesir Kuno, India, dan Yunani, ekstrak-ekstrak tanaman yang mengandung psoralen dikombinasikan dengan keterpaparan terhadap sinar matahari untuk mengobati penyakit-penyakit kulit.
   
Pada tahun 1897, laporan-laporan terjadinya dermatitis setelah kontak dengan tanaman dari spesies parsnips (sejenis wortel) dan/atau angelica (sejenis tanaman sup) dilaporkan dari Amerika Serikat dan Inggris, dan pada tahun 1916, E. Freud mengamati lesi-lesi hiperpigmentasi khas yang dia kaitkan dengan  larutan farfum yang mengandung minyak bergamot. Sayangnya, tak satupun dari peneliti ini yang mengetahui peranan radiasi ultraviolet (UVR) untuk terjadinya reaksi kulit tersebut.
   
Pada tahun 1938, H. Kuske menunjukkan bahwa senyawa furokumarin tanaman menyebabkan fotosensitisasi, dan tidak lama setelah itu, T. Jensen dan K. G. Hansen melaporkan bahwa UVR antara 320 dan 380 nm menyebabkan reaksi maksimal. Pada tahun 1967, beberapa peneliti Inggris menemukan bahwa minyak kayu cendana yang ada dalam sunscreen dan kosmetik menyebabkan fotoalergi. Tidak berapa lama berselang, ilmuwan di Perancis menunjukkan bahwa minyak bergamot dalam sunscreen menyebabkan gangguan fotosensitifitas, dan peneliti Jerman berhasil mengisolasi agen-agen fotoreaktif dari minyak kelonye, farfum, dan kontrasepsi oral.
   
Berbagai peneliti mempublikasikan daftar agen-agen fotoreaktif yang ditemukan dalam ratusan zat, bahan kimia, dan obat-obatan. Untuk menghindari reaksi-reaksi fotosensitif, para ilmuwan mencoba menentukan sifat-sifat fotosensitisasi dari zat-zat seperti ini sebelum diberikan dalam terapi atau sebelum produk dikomersialkan. Belakangan ini penelitian difokuskan untuk mengidentifikasi agen-agen fotoreaktif apa yang dapat ditemukan dalam produk dan bagaimana mencegah atau mengontrol penyakit fotosensitifitas.

Reaksi-Reaksi Fotosensitifitas
   
Fotosensitifitas merupakan sebuah reaksi kutaneous berbahaya yang terjadi apabila bahan kimia atau obat tertentu diaplikasikan secara topikal atau secara sistemik pada saat yang bersamaan dengan terapaparnya orang yang bersangkutan ke sinar ultraviolet (UVR) atau sinar tampak. Reaksi-reaksi fotosensitifitas bisa dikelompokkan sebagai reaksi fototoksik atau fotoalergi. Fototoksisitas jauh lebih umum dibanding fotoalergi.
   
Reaksi-reaksi fotosensitifitas susah diprediksi. Reaksi seperti ini bisa terjadi pada orang usia berapapun tetapi lebih umum pada dewasa dibanding anak-anak, kemungkinan karena orang dewasa biasanya mengalami lebih banyak pengobatan dan agen topikal. Derajat fotosensitifitas bervariasi diantara individu sehingga tidak setiap orang akan mengalami fotoreaksi. Seseorang yang mengalami fotoreaksi setelah satu keterpaparan tunggal terhadap sebuah agen bisa jadi tidak bereaksi terhadap agen yang sama setelah keterpaparan berulang; disisi lain, orang yang alergi terhadap salah satu bahan kimia bisa mengalami fotosensitifitas dengan bahan-bahan kimia terkait lainnya.
    Beberapa faktor, seperti kuantitas dan lokasi bahan kimia atau obat pada/di kulit; kuantitas, spektrum, dan penetrasi radiasi pengaktivasi; ketebalan lapisan horny; derajat pigmentasi melanin; status imunologi orang yang terkena, bisa mempengaruhi sifat-sifat reaksi fotosensitifitas. Status imunologi seseorang sangat penting karena reaksi-reaksi fotosensitifitas sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV. Jika pasien menunjukkan masalah-masalah kulit imbas cahaya yang tidak diketahui asal usulnya, maka kemungkinan infeksi HIV harus dicurigai.
   
Fototoksisitas merupakan sebuah bentuk fotosensitifitas yang tidak tergantung pada respon imunologi. Reaksi-reaksi fototoksik tergantung pada dosis radiasi dan akan terjadi pada hampir setiap orang yang sedang mengkonsumsi atau mengaplikasikan agen penyebab dan UVR dalam jumlah yang cukup, tetapi dosis yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi seperti ini berbeda-beda diantara individu. Reaksi-reaksi fototoksik bisa tampak pada keterpaparan pertama terhadap agen penyebab dan menunjukkan tidak ada sensitifitas silang terhadap agen-agen yang terkait secara kimiawi.
   
Fotoalergi merupakan sebuah bentuk fotosensitifitas yang diperantarai oleh sistem kekebalan. Reaksi-reaksi fotoalergi hanya terjadi pada orang-orang yang peka dan tidak tergantung dosis, walaupun orang yang peka kemungkinan mendapatkan reaksi yang lebih kuat pada dosis yang jauh lebih tinggi. Agen-agen yang terkait secara kimiawi melalui sensitifitas-silang atau alergenitas-silang bisa menyebabkan erupsi-erupsi. Pada reaksi-silang seperti ini, fotosensitifitas terhadap salah satu bahan kimia meningkatkan kecenderungan seseorang untuk mengalami fotosensitifitas terhadap agen kimiawi selajutnya.

Pemekacahaya (fotosensitizer)
   
Agen-agen fotoreaktif atau pemekacahaya (fotosensitizer) adalah bahan-bahan kimia yang menimbulkan fotoreaksi. Zat-zat kimia bisa berupa obat, kosmetik, produk industri, atau agrikultur. Reaksi-reaksi fotosensitif bisa disebabkan oleh fotosensitizer kimia yang dinjeksikan, yang digunakan lewat mulut, atau yang diaplikasikan secara topikal. Pada kebanyakan kasus, mekanismenya adalah melalui fototoksisitas, tetapi beberapa agen menyebabkan fotoalergi, dan untuk beberapa agen mekanismenya belum pasti, atau kedua mekanisme ini bisa terlibat. Kebanyakan reaksi fototoksik disebabkan oleh pemberian agen secara sistemik; reaksi-reaksi fotoalergi bisa disebabkan oleh pemberian secara topikal atau sistemik.
   
Bahan-bahan yang digunakan setiap hari seperti parfum, sabun, deodoran, losion, semprot rambut dan krim, pemanis buatan, produk-produk petorleum, tato, dan makanan-makanan tertentu bisa mengandung agen-agen fotoreaktif.
   
Banyak obat yang umum digunakan terkait dengan reaksi-reaksi fotosensitifitas, tetapi frekuensi kondisi yang dipicu oleh penggunaan obat sangat bervariasi. Obat-obatan mengandung agen fotoreaktif yangn lebih umum digunakan antara lain antibiotik (tetrasiklin, fluorokuinolon, sulfonamida, dll), obat-obatan anti-inflamatory non-steroid (NSAID), obat-obatan kardivoaskular, antipsikotik, antihistamin, agen-agen kulit, dan lain-lain. Beberapa obat umum dan mekanisme patologinya ditunjukkan pada Tabel.
   
Fotosensitizer (pemekecahaya) yang diaplikasikan secara topikal, salisilanilida terhaogenasi, benzokain dalam sabun dan produk-produk rumah tangga lainnya, atau zat aktif dalam losion cukur; dan stilbena (zat warna) dalam pemutih merupakan penyebab erupsi fotoalergi yang paling sering.
   
Efek-efek berbahaya yang umum dari beberapa agen anti-infeksi dan turunan-turunannya adalah reaksi fotosensitifitas. Kebanyakan diantaranya adalah hidrokarbon siklik dan trisiklik, sering mengandung isoprena berikatan-rangkap alternatif atau nukleus naftiridin. Fluorokuinolon, agen-agen antibakteri, juga diketahui menyebabkan fotosensitiftas sebagai sebuah efek berbahaya, dan reaktifitas-silangnya telah ditemukan secara klinis. Penelitian-penelitian empiris menunjukkan pefloksasin dan fleroksasin sebagai fotosensitizer yang paling potensial sedangkan enoksasin, norfloksasin, dan ofloksasin kurang potensial. Tetrasiklin adalah contoh bahaya fototoksik dari antibiotik. Diantara, turunan-turunan klorin paling sering menyebabkan fototoksisitas.
   
Obat-obatan turunan sulfa (antibakteir sulfonamida, hipoglikemia, diuretik) merupakan penyebab reaksi fotosensitiftas yang telah dikenal sejak 1993 ketika S. Epstein pertama kali melaporkan dermatitis kontak alergi setelah injeksi sulfanilamida intradermal.
   
Sunscreen membantu mengurangi efek UVR, tetapi beberapa sunscreen mengandung komponen yang menyebabkan fotosensitifitas itu sendiri. Diantaranya, asam para-aminobenzoat (PABA) paling sering menyebabkan reaksi fotosensitifitas; benzofenon berada di urutan kedua dalam menyebabkan reaksi-reaksi kulit.
   
Penggunaan produk-produk yang mengandung agen-agen fotoreaktif bisa memperburuk penyakit kulit yang telah diderita sebelumnya (eczema, herpes, dll) dan juga memicu penyakit autoimun yang lebih buruk (lupus eritematosus, reumatoid arthritis).

Mekanisme fototoksisitas dan fotoalergi
   
Sinar matahari memegang peranan penting dalam proses fotobiologis. Akan tetapi, sinar matahari yang telah memberikan kita kehidupan juga menyebabkan morbiditas yang signifikan dalam bentuk sunburn (luka bakar matahari), reaksi obat, penyakit fotosensitif, dan fotoaging (penuaan kulit akibat sinar matahari). Episode fototrauma yang rekure selama masa hidup bisa menyebabkan terjadinya kanker kulit.
   
Transformasi H menjadi He pada bagian interior sinar matahari melepaskan banyak energi yang mencapai permukaan bumi dalam bentuk radiasi elektromagnetik (EMR): sinar-x, sinar kosmik, gelombang listrik, gelombang radio, inframerah, sinar tampak, dan UVR. Reaksi-reaksi fotosensitiftas bisa ditimbulkan oleh berbagai spektrum EMR terbatas yang mencakup UVR (200-400 nm) dan sinar tampa (400-800 nm). Spektrum UVR dibagi menjadi UVB=290-300 nm, UVA=320-400 nm (UVA II=320-340 nm dan UVAI I=340-400 nm), dan UVC=200-290 nm. Hanya UVA dan UVB yang terlibat dalam reaksi fotosensitifitas karena UVC diblokir oleh lapisan ozon dari atmosfir.
   
Gelombang spektrum yang menyebabkan luka bakar surya, adalah faktor utama dalam fotoaging dan fotokarsinogenesis; UVA utamanya bertanggungjawab untuk reaksi-reaksi fotosensitifitas karena penetrasinya yang lebih dalam ke dalam kulit dan memberikan kontribusi bagi fototrauma. UVB hanya menembus sampai lapisan epidermis dan dermis papillary, sedangkan UVA menembus sampai ke dalam dermis retikular. Sinar UVB tidak menembus kaca jendela, sedangkan sinar UVA dan sinar tampak menembusnya. Sinar UVA tidak berbeda intensitasnya jika dibandingkan dengan UVB selama siang hari atau selama sebuah musim.
   
Reaksi-reaksi fotosensitiftas bisa terjadi pada keterpaparan terhadap UVA dan UVB, tetapi lebih besar kemungkinannya terjadi dalam rentang UVA.
   
EMR merambat dalam bentuk gelombang yang mengandung foton. Absorpsi foton cahaya sangat penting bagi fototoksisitas dan fotoalergi. Absorpsi mencakup perpindahan elektron ke kulit elektron terluar yang tidak terisi dan menyebabkan sebuah kondisi yang disebut sebagai keadaan tereksitasi. Setelah ini, salah satu dari dua tipe reaksi terjadi (dijelaskan berikut).
   
Pada reaksi fototoksik zat kimia yang teraktivasi cahaya (photoactivated) menyebabkan kerusakan langsung pada sel; tidak ada periode pemekaan (sensitisasi) yang diperlukan, dan mekanisme ini tidak diperantarai sistem kekebalan, sehingga bisa terwujud selama keterpaparan awal. Reaksi ini tergantung pada jumlah senyawa, kadar radiasi pengaktivasi, dan kuantitas kromofor-kromofor lain dalam kulit.
   
Absorpsi UVR menghasilkan zat kimia tereksitasi atau metabolit, yang selanjutnya bisa mengikuti salah satu dari dua jalur yang mengarah pada fotosensitisasi. Jalur pertama terjadi melalui pembentukan sebuah radikal bebas dan jalur kedua melalui pembentukan oksigen tunggal, yang pada gilirannya menghasilkan oksidasi biomolekul, sehingga merusak komponen-komponen seluler penting dan memulai pelepasan mediator-mediator eritrogenik.
   
Reaksi yang kedua, fotoalergi bisa tidak dapat diprediksi. Reaksi-reaksi ini diperantarai oleh sistem kekebalan dan ditentukan oleh respons hipersensitifitas yang tertunda, atau, yang lebih umum, reaksi hipersensitif yang tertunda akibat respons IgE terhadap UVR. Masa inkubasi untuk terjadinya memori imunologi setelah kontak pertama dengan fotosensitizer diperlukan, sehingga tidak reaksi yang terjadi pada keterpaparan pertama. Pada keterpaparan selanjutnya, munculnya respons memerlukan waktu yang lebih singkat.
   
Bukti pertama tentang jalur fotosensitifitas yang diperantarai sistem kekebalan berasal dari penelitian-penelitian terhadap senyawa 3,3',4',5-tetraklorosalisilanilida, sebuah agen fotosensitizer kontak alergik. Tipe fotoalergi tertunda lebih sering. Mekanisme-mekanisme patogenetik dari reaksi-reaksi fotoalergi cukup mirip dengan dermatitis alergi: fotoantigen (hapten) ditampilkan oleh sel-sel Langerhans epidermal ke limfosit T disertai sifat-sifat respons hipersensitiftas kulit tertunda dari infiltrasi limfosit, pelepasan limfokin, aktivasi sel-sel mast, dan ekspresi sitokin yang meningkat.
   
Akan bermanfaat jika kita menentukan mekanisme pasti dari reaksi fotosensitiftas karena fototoksisitas tergantung dosis, dan penurunan dosis atau jumlah radiasi bisa membantu meminimalisir reaksi. Reaksi-reaksi fotoalergi tidak secara signifikan berubah dengan berubahnya parameter-parameter ini. Sayangnya, beberapa agen memiliki mekanisme fototoksik sekaligus fotoalergi, dan kemungkinan sulit secara klinis untuk membedakan antara kedua tipe reaksi ini.

Gambaran klinis dan diagnosis fototoksisitas dan fotoalergi
   
Fotosensitifitas merupakan sebuah gejala kulit yang merupakan kelompok penyakit berbeda, termasuk khususnya  fotodermatosis dimana fotosensitifitas merupakan manifestasi klinis utama dan juga penyakit-penyakit lain dimana fotosensitifitas merupakan sebuah gejala yang terkait. Fotodermatosis dikelompokkan menjadi lima kelompok umum:
Fotodermatosis idiopati (erupsi sinar polimorfis, prurigo aktinik, hidroa vaksiniformis, dermatitis aktinik kronis, dan urtikaria matahari);

Fotodermatosis yang terjadi setelah agen-agen eksogen (reaksi fototoksik dan fotoalergi);
Fotodermatosis yang terjadi setelah agen-agen endogen (utamanya porfiria);
Fotoexacerated dermatosis (penyakit autoimun, kondisi infeksi, dan kekurangan gizi);

Genodermatosis

Riwayat pribadi dan riwayat keluarga, morfologi erupsi, temuan histologis, temuan imunologi, fototes, pada beberapa pasien uji foto-patch penting dalam memfokuskan diagnosis.
   
Reaksi fototoksik dan fotoalergi terjadi pada bagian kulit yang terpapar sinar matahari, termasuk wajah, leher, dan permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah, tetapi kulit kepala yang berambut jarang, daerah postaurikular  dan periorbital, dan bagian submental dari dagu biasanya tidak terkena. Reaksi fotosensitifitas bisa berfluktuasi mulai dari ringan sampai kronis tergantung pada sensitifitas individu. Erupsi lokal menandakan sebuah reaksi terhadap fotosensitizer yang diaplikasikan secara topikal, sedangkan erupsi yang menyebar menandakan keterpaparan terhadap sebuah fotosensitizer sistemik.
   
Reaksi fototoksik akut biasanya memiliki onset yang cepat dan tampak sebagai reaksi sunburn yang berlebihan disertai eritema dan edema yang terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah keterpaparan sinar matahari dengan intensitas yang meningkat dengan cara yang tergantung dosis. Vesikula bisa terjadi pada reaksi-reaksi yang parah. Gejala-gejala biasnaya mencapai puncak 24 jam sampai 48 jam setelah keterpaparan pertama. Tanda klinis yang paling penting adalah gejala yang terjadi hanya pada daerah kulit yang terpapar terhadap sinar matahari. Perbaikan klinis sering terjadi dalam waktu 48 sampai 96 jam, dan lesi sering sembuh disertai dengan hiperpigmentasi.
   
Manifestasi kulit yang kurang umum dari fototoksisitas adalah perubahan pigmen; pigmentasi biru–abu-abu terkait dengan amiodaron, klorpromazin, dan beberapa antidepresan trisiklik; perubahan warna kecoklatan terkait dengan obat dan tanam-tanaman yang mengandung psoralen. Obat-obat pemekacahaya (photosensitizing) juga bisa menyebabkan erupsi mirip lichen-planus dan pseudofiria pada daerah-daerah yang terpapar sinar matahari.
   
Efek fototoksik dari beberapa obat (tetrasiklin, psoralen, kloramfenikol, fluorokuinolon, kontrasepsi oral, quinin, merkaptopurin) pada kuku merupakan sebuah fenomena yang telah dikenal yang disebut sebagai foto-onycholysis; ini bisa menjadi satu-satunya manifestasi fotosensitifitas.
   
Secara histologi, fototoksisitas ditandai dengan edema dermal, diskeratosis, dan nekrosis keratinosit. Untuk reaksi yang parah, nekrosis terjadi pada panepidermal. Spongiosis epidermal disertai edema dermal dan infiltrat bercampur yang terdiri dari limfosit, makrofage, dan neutorfil bisa ditemukan.
   
Reaksi-reaksi fotoalergi utamanya terjadi pada daerah-daerah kulit yang terpapar UVR tetapi bisa menyebar ke bagian-bagian yang lain., menurut model pemberian fotosensitizer, reaksi-reaksi fotoalergik bisa berupa dermatitis fotoalergi kontak atau fotoalergi yang ditimbulkan agen-agen sistemik.
   
Onset reaksi-reaksi fotoalergi biasanya tertunda selama 24 jam atau bahkan tujuh hari, dan penyembuhan sering lebih lambat dibanding reaksi fototoksik, dengan reaksi yang terkadang berlangsung terus menerus selama beberapa kali setelah produk pemicu dihentikan. Reaksi ini tampak sebagai erupsi eczematosa disertai eritema, papula dan vesikula, pruritis, weeping, oozing dan pengerakan, dan selanjutnya, scaling dan lichenifikasi. Hiperpigmentasi tidak terjadi pada reaksi-reaksi fotoalergi. Reaksi-reaksi fotoalergi juga bisa berupa lesi makular, bulosa, atau lesi urtikaria akut dan bisa terjadi dalam beberapa menit setelah keterpaparan terhadap UVR.
   
Reaksi-reaksi fotoalergi yang dibuktikan secara histologis mirip dengan dermatitis kontak. Spongiosis epidermal dengan infiltrat limfosit dermal merupakan sebuah ciri yang utama. Keberadaan keratinosit nektoik merupakan tanda fotoalergi dan bukan tanda dermatitis kontak alergi.
   
Foto-tes. Untuk menunjukkan sebuah agen, tempat-tempat uji dipaparkan terhadap dosis UVA yang terus ditingkatkan (reaksi fototoksik hampir seluruhnya disebabkan oleh UVA) disamping pasien sedang memakai obat yang dicurigai. Dosis minimum cahaya yang diperlukan untuk menghasilkan eritema seragam pada tempat yang disinari setelah 24 jam disebut sebagai dosis eritema minimum (MED). MED UVA akan jauh lebih rendah dibanding untuk individu normal yang memiliki fototipe kulit yang sama. Setelah obat diekskresikan dan kemudian dihilangkan dari kulit. Pengulangan foto-tes VA menunjukkan peningkatan MED UVA.
   
Kegunaan uji patch dan fotopatch (PPT) membantu mendiagnosa reaksi-reaksi fotoalergi. Indikasi untuk PPT adalah dermatitis yang sebagian besar mengenai daerah yang terpapar dengan atau tanpa riwayat reaksi sunscreen, dermatitis aktinik kronis, dan erupsi fotosensitif yang belum jelas diagnosisnya.
   
Daftar agen yang digunakan untuk uji fotopatch sangat berbeda-beda di setiap negara. Selama beberapa tahun yang lalu, sebuah review terhadap alergen-alergen yang relevan untuk pengujian fotopatch menunjukkan bahwa hampir semua uji fotopatch positif disebabkan oleh komponen sunscreen. Belakangan ini,  uji fotopatch telah difokuskan pada sunscreen organik dan juga mencakup pengujian dengan produk masing-masing pasien yang dicurigai. Fotoalergen-fotoalergen sebelumnya seperti 6-metil kumarin dan musk ambrette telah dihentikan oleh industri parfum di Eropa karena ditemukannya sensitisasi yang sering.
   
PPT tidak boleh dilakukan apabila daerah uji kulit masih aktif. Untuk menghindari efek sindrom yang memburuk dianjurkan agar PPT dilakukan pada kulit yang telah normal secara klinis selama dua pekan sebelumnya. Fotoalergen yang dicurigai diaplikasikan pada punggung dalam dua set; salah satu set dilepaskan setelah 24 jam dan disinari dengan UVA 5-10 J/cm2. Setelah 48 jam, kedua set uji patch dievaluasi unutk reaksi positif; eritema, edema, dan/atau vesikulasi pada tempat yang disinari menandakan adanya reaksi positif. Uji-uji fotopatch dilakukan dua kali karena fotoalergen juga bisa menyebabkan hipersensitifitas kontak. Reaksi positif yang terjadi pada kedua tempat diinterpretasi sebagai dermatitis kontak alergi; reaksi positif pada tempat yang tidak disinari dengan reaksi yang lebih kuat pada tempat yang disinari diinterpretasi sebagai dermatitis alergi dan dermatitis kontak alergi.

Kesimpulan

1.Prevalensi fotosensitifitas pada populasi umum masih belum pasti. Diperlukan penelitian-penelitian yang acak dan terkontrol terhadap strategi-strategi pencegahan, pengendalian, dan pengobatan penyakit-penyakit fotosensitifitas.

2.Data tambahan masih diperlukan untuk penilaian yang lebih baik terhadap risiko fotosensitifitas yang terkait dengan banyak obat. Fotosensibilisasi obat merupakan sebuah masalah utama karena reaksi-reaksi abnormal secara serius membatasi atau menghilangkan kegunaan obat.

3.Risiko fotobiologis yang terkait dengan penggunaan obat tergantung pada faktor lingkungan dan faktor individu. Jika efek fotosensitisasi dari sebuah zat kimia atau obat diketahui sebelum keterpaparan pasien, penatalaksanaan klinis yang tepat bisa membantu mengontrol reaksi-reaksi fotosensitifitas. Proteksi sinar matahari sering mencegah reaksi-reaksi fotosensitiftas. Penghindaran sinar matahari langsung dan fasilitas penyamakan matahari, pemanfaatan pakaian protektif dan sunscreen yang tepat (jika tidak menjadi agen pemicu), dan strategi pengaturan dosis di malam hari adalah faktor-faktor yang bisa meminimalisir risiko efek fotosensitifitas dari kebanyakan obat. Pasien-pasien seperti ini harus diperingatkan tentang tempat tidur tanning dan tentang reaksi-reaksi silang dari obat-obat pemicu.
4.Beberapa fotosensitifitas bisa bermanfaat untuk obat dan sains. Terapi fotodinami merupakan sebuah pengobatan yang menggunakan sebuah obat, fotosensitizer, dan tipe cahaya tertentu. Terapi fotodinami melibatkan penggunaan reaksi-reaksi fotokimia yang diperantarai melalui interaksi agen-agen pemekecahaya, cahaya, dan oksigen untuk pengobatan penyakit ganas atau penyakit jinak.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders