Konsentrasi cystatin C serum sebagai penanda disfungsi ginjal akut pada pasien yang sakit kritis

 Abstrak

Pendahuluan: Pada pasien yang sakit kritis, perubahan laju filtrasi glomerular (GFR) secara tiba-tiba tidak langsung diikuti oleh kreatinin serum. Tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk menganalisis pemanfaatan cystatin C serum sebagai penanda fungsi ginjal pada pasien-pasien ini.

Metode: Kreatinin serum, cystatin C serum dan pembersihan kreatinin 24-jam (Ccr) ditentukan pada 50 pasien yang sakit kritis (usia antara 21-86 tahun; skor rata-rata Acute Physiology and Chronic Health Evaluation adalah 20 ± 9). Mereka tidak mengalami gagal ginjal kronis tetapi berisiko untuk mengalami disfungsi ginjal. Cystatin C serum diukur dengan menggunakan imunonefelometri dipertingkat. Ccr 24-jam tersesuaikan permukaan tubuh diukur digunakan sebagai kontrol karena ini merupakan “standar baku” untuk menentukan GFR.

Hasil: Kreatinin serum, cystatin C serum dan Ccr (nilai mean ± standar deviasi [rentang]) masing-masing adalah 1,00 ±0,85 mg/dl (9,40-5,62 mg/dl), 1.19 ± 0.79 mg/l (0.49–4.70 mg/l), dan 92.74 ± 52.74 ml/menit per 1.73 m2 (8.17–233.21 ml/menit per 1.73 m2). Data kami menunjukkan bahwa cystatin C berkorelasi lebih baik dengan GFR dibanding kreatinin (1/cystatin C berbanding CCr: r = 0,832, P < 0,001; 1/kreatinin berbanding CCr: r = 0,426, P = 0,002). Cystatin C secara diagnostik lebih baik dibanding kreatinin (daerah di bawah kurva [AUC] untuk cystatin C 0,927, 95% interval kepercayaan 86,1-99,4; AC untuk kreatinin 0,694, 95% interval kepercayaan 54,1-84,6). Setengah pasien mengalami disfungsi ginjal akut. Hanya lima (20%) dari 25 pasien ini yang mengalami peningkatan kadar kreatinin serum, sedangkan 76% memiliki peningkatan kadar cystatin C serum (P = 0,032).

Kesimpulan: Cystatin C merupakan penanda akurat untuk perubahan GFR yang kecil, dan bisa lebih baik dibanding kreatinin ketika menilai parameter ini dalam praktek klinis pada pasien yang sakit kritis.

PENDAHULUAN
  
Laju filtrasi glomerular (GFR) dianggap sebagai penanda terbaik untuk fungsi ginjal, dan kreatinin serum merupakan parameter biokimia yang paling umum digunakan untuk memperkirakan GFR dalam praktek rutin. Akan tetapi, ada beberapa kekurangan penggunaan parameter ini. Faktor-faktor seperti massa tulang dan asupan protein bisa mempengaruhi kreatinin serum, mengarah pada estimasi GFR yang tidak akurat. Kreatinin serum normal bisa diamati pada individu-individu yang memiliki GFR yang terganggu signifikan. Lebih daripada itu, pada pasien sakit kritis yang tidak stabil, perubahan fungsi ginjal secara akut bisa menjadikan evaluasi GFR secara real-time dengan menggunakan kreatinin serum menjadi sulit.
  
Cystatin C merupakan sebuah protein non-glikosilasi yang termasuk ke dalam kelompok inhibitor cystein protease, superfamili dari cystatin. Protein-protein ini memegang peranan penting dalam regulasi kerusakan proteolitik pada cystein protease. Cystatin C dihasilkan dengan laju konstan oleh sel-sel berinti. Protein ini ditemukan dengan konsentrasi relatif tinggi dalam berbagai cairan tubuh, khususnya dalam cairan seminal, cairan serebrospinal dan cairan synovial. Berat molekulanya yang rendah (13,3 kDa) dan muatan positif pada tingkat pH fisiologis mempermudah fultrasi glomerularnya. Selanjutnya, protein ini diserap ulang dan hampir dikatabolisme sempurna dalam tubula ginjal proksimal. Dengan demikian, karena laju produksinya yang konstan, konsentrasinya dalam serum ditentukan dengan filtrasi glomerular. Lebih dari pada itu, konsentrasinya tidak dipengaruhi oleh infeksi, penyakit hati, atau penyakit inflammatory. Penggunaan cystatin C serum sebagai penanda GFR telah diketahui, dan beberapa peneliti telah menyarankan bahwa penanda ini bisa lebih akurat dibanding kreatinin serum untuk GFR.
  
Kesulitan-kesulitan yang terkait dengan pemantauan dan evaluasi GFR pada individu yang sakit kritis juga telah diketahui. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengevaluasi cystatin C serum sebagai penanda GFR pada pasien-pasien ini. Tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk menentukan keakuratan konsentrasi cystatin C serum sebagai sebuah penanda GFR pada pasien yang sakit kritis.

METODE
  
Sebanyak 50 pasien, berusia 21-86 tahun (rata-rata 54 tahun), yang dirawat di unit perawatan intensif Rumah Sakit Universitario La Paz di Madrid, Spanyol antara Januari sampai September 2001, dimasukkan dalam penelitian ini. Semua pasien yang berisiko untuk mengalami gagal ginjal (pasien yang tidak stabil secara hemodinamil, pasien septik, individu yang sedang mendapatkan obat nefrotoksik dan obat lainya). Pasien yang sedang mendapatkan terapi kortikoid atau yang mengalami penyakit tiroid dikeluarkan. Karakteristik demografi pasien dan kondisi-kondisi klinis ditunjukkan pada tabel 1.
  
Sebuah sampel serum diambil dari masing-masing pasien di pagi hari (antara pukul 7 sampai pukul 10 pagi) untuk menentukan kreatinin darah dan cystatin C serum. Sampel urin 24 jam didapatkan tepat sebelum sampel serum untuk menghitung pembersihan kreatinin (CCr) dengan menggunakan rumusberikut: CCr (ml/menit) = (volume urin x kreatinin urin)/(kreatinin serum x 1440).
  
Nilai-nilai kreatinin serum diperoleh menurut metode laboratorium standar. CCr disesuaikan dengan permukaan tubuh (ml/menit per 1,73 m2). Nilai cystatin C didapatkan dengan menggunakan imunonefelometri tertingkat partikel. Nilai kreatinin serum normal berkisar antara 0,6 sampai 1,3 mg/dL, dan nilai cystain C serum normal berkisar antara 0,6 sampai 1 mg/L. Disfungsi ginjal didefinisikan sebagai CCr di bawah 80 ml/menit per 1,73 m2.

Analisis statistik
  
Data dinyatakan dalam nilai mean ± standar deviasi (rentang). Korelasi antara data kuantitatif ditentukan dengan menggunakan uji pearson. P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Nilai diagnostik dari cystatin C serum dan kreatinin serum untuk mengidentifikasi disfungsi ginjal dievaluasi dengan menggunakan analisis kurva karakteristik, dan data dinyatakan sebagai daerah di bawah kurva (AUC; 95% interval kepercayaan). Untuk analisis statistik, SPSs R 9.0 digunakan.

HASIL
  
Nilai mean konsentrasi kreatinin serum adalah 1.00 ± 0.85 mg/dl (0.40–5.61 mg/dl) dan nilai mean konsentrasi cystatin C serum adalah 1.19 ± 0.79 mg/l (0.49–4.70 mg/l). Nilai mean CCr yang disesuaikan untuk permukaan tubuh adalah 92.74 ± 52.74 ml/menit per 1.73 m2 (8.17–233.21 ml/menit per 1.73 m2).
  
Penurunan CCr diikuti dengan peningkatan kadar kreatinin serum dan cystatin C serum (Gbr. 1). Invers cystatin C serum dan kadar kreatinin serum diplotkan terhadap CCr untuk menentukan hubungan parameter-parameter ini dengan penanda fungsi ginjal (Gbr. 2A,b). Ada korelasi signifikan  antara CCr dan 1/kreatinin serum (r = 0,426, P = 0,002) dan antara CCr dan 1/cystatin C serum (r = 0,832, P < 0,001).
  
Sebanyak 25 dari 50 pasien yang mendaftar dalam penelitian ini mengalami disfungsi ginjal (CCr <80 ml/menit per 1,73 m2). Lima (20%) dari 25 pasien yang mengalami disfungsi ginjal memiliki konsentrasi kreatinin serum yang meningkat, sedangkan 19 (76%) dari mereka memiliki kadar cystatin C serum yang meningkat pada saat disfungsi ginjal (P = 0,032). Di sisi lain, kadar kreatinin serum berada dalam rentang normal pada semua pasien yang memiliki CCr normal (>80 ml/menit per 1,73 m2) sedangkan 23 (92%) dari mereka memiliki konsentrasi cystatin C serum yang normal.
  
Plot karakteristik non-parameterik dari sensitifitas dan spesifitas kreatinin serum dan cystatin C untuk pendeteksian disfungsi ginjal ditunjukkan pada Gbr. 3. AUC untuk kreatinin serum adalah 0,694 (95% interval kepercayaan 54,1 – 84,6) dan AUC untuk cystatin C serum adalah 0,927 (95% interval kepercayaan 86,1 – 99,4).

PEMBAHASAN
  
Pemantauan fungsi ginjal sangat penting dalam penatalaksanaan pasien yang sakit kritis. GFR, yang bisa diukur dengan menentukan tingkat pembersihan berbagai zat, adalah parameter “standar” untuk memantau fungsi ginjal. Penanda endogen yang ideal ditandai dengan tingkat produksi yang stabil, kadar yang bersirkulasi stabil (tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan patologi), kurangnya pengikatan protein, filtrasi glomerular bebas, dan kurangnya absorpsi-ulang atau sekresi; sampai sekarang, belum ada penanda seperti ini yang diidentifikasi. Beberapa zat seperti kreatinin, urea, β2-mikroglobulin dan protein pengikat retinol telah digunakan sebagai penanda endogen untuk GFR, dengan mengukur kadarnya dalam plasma atau pembersihannya dalam ginjal. Diantaranya, penanda yang paling bermanfaat untuk menilai GFR adalah kreatinin serum dan CCr ginjal. Ini disebabkan karena korelasinya dengan pembersihan beberapa zat eksogen dari ginjal (inulin, kreatinin-EDTA, iothalamat) sehingga dianggap sebagai “standar baku” untuk menentukan GFR.
  
Produksi kreatinin berubah signifikan menurut massa otot tubuh dan faktor dietetik. Kreatinin disaring melalui glomeruli, tetapi juga disekresikan oleh tubula-tubula ginjal. Sekresi tubular ini menyumbangkan sekitar 20% dari total ekskresi kreatinin oleh ginjal, dan bisa meningkat ketika GFR berkurang. Semua faktor ini menjelaskan mengapa konsentrasi kreatinin serum tidak menjadi parameter yang baik untuk penentuan GFR secara akurat, khususnya pada tingkat yang lebih rendah.
  
Produksi cystatin C dalam tubuh merupakan sebuah proses stabil yang tidak dipengaruhi oleh kondisi-kondisi ginjal, katabolisme protein yang meningkat, atau faktor-faktor dietetik. Lebih daripada itu, produksi ini tidak berubah seiring dengan usia atau massa tulang seperti pada kreatinin. Karakteristik biokimianya memungkinkan filtrasi bebas dalam glomerulus ginjal, dan metabolisme dan reabsorpsi selanjutnya oleh tubula proksimal. Untuk alasan-alasan inilah, cystatin C serum telah disarankan sebagai penanda endogen yang ideal untuk GFR.
  
Kebanyakan penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi apakah ada peranan cystatin C serum dalam menentukan GFR melibatkan pengukuran pembersihan zat-zat eksogen seperti kreatinin-EDTA, inlin, Tc-DTPA dan I-iothalamat. Meski demikian, CCr masih merupakan penanda yang paling terpercaya untuk menentukan GFR dalam praktek rutin, dan banyak penelitian yang telah menggunakan CCr sebagai kontrol untuk mengevaluasi peranan cystatin C serum sebagai sebuah tolak ukur GFR. Uji ini juga sederhana dan murah, dan, seperti disebutkan di atas, keakuratannya cukup untuk menentukan GFR. Akan tetapi, pengukuran CCr bisa menghasilkan temuan yang keliru pada beberapa kondisi, khususnya ketika digunakan teknik pengambilan urin yang buruk. Karena penelitian kali ini dilakukan pada individu yang sakit kritis, yang menggunakan kateter kandung kemih, maka kesalahan-kesalahan seperti ini kecil kemungkinannya terjadi.
  
Penelitian-penelitian terdahulu telah menemukan banyak korelasi antara 1/kreatinin serum dan pembersihan zt-zat eksogen (r = 0.50–0.89). Dalam penelitian kali ini kami menemukan koefisien korelasi 0,426 (P = 0,002) antara CCr dan 1/kreatinin serum. Perbedaan angka korelasi ini diantara pemeriksaan-pemeriksaan bisa dijelaskan secara lebih baik degan karakteristik pasien dibanding metode-metode yang digunakan. Kebanyakan penelitian dalam literatur dilakukan pada individu-individu yang memiliki kondisi klinis stabil (individu sehat, pasien dengan berbagai penyakit ginjal, dan pasien onkologi yang sedang mengalami kemoterapi). GFR pada pasien yang sakit kritis bisa berubah dengan cepat karena, misalnya, hipoperfusi ginjal akibat syok atau penggunaan agen-agen nefrotoksik. Meski demikian, tidak umum menemukan perubahan kreatinin serum selama sampai beberapa hari hingga fase stabilisasi dicapai. Ini juga bisa menjelaskan manfaat diagnostik yang buruk dari kreatinin serum sebagaimana ditemukan dalam penelitian kami (AUC 0,694) dibanding pada penelitian lain. Hanya lima dari 25 (20%) pasien dalam penelitian kami yang mengalami disfungsi ginjal menunjukkan adar kreatinin serum yang tinggi pada saat ketika CCr diuji. Tundaan yang biasanya terjadi antara penurunan GFR dan penurunan kreatinin serum menjadikan tes kreatinin tidak dapat diandalkan untuk membuat keputusan terapeutik pada pasien yang sakit kritis, keputusan ini misalnya merubassh agen nefrotoksik atau meningkatkan perfusi ginjal.
  
Kami menemukan korelasi kuat antara konsentrasi cystatin C serum dan CCr dalam penelitian ini (r = 0.832, P < 0.001). Ini mirip dengan temuan yang dilaporkan oleh peneliti lain (r = 0.73–0.91). Kegunaan diagnostik dari Cystatin C dalam penelitian kami (AUC = 0,927) mirip dengan yang dilaporkan sebelum oleh peneliti lain. Fakta bahwa kebanyakan pasien kami (76%) yang mengalami disfungsi ginjal akut memiliki kadar cystatin C serum tinggi pada waktu evaluasi CCr menunjukkan bahwa cystatin C adalah penanda yang bak untuk pengaplikasian secara real-time, dan menunjukkan bahwa cystatin C serum merupakan penanda yang lebih baik untuk GFR dibanding kreatinin serum pada pasien yang sakit kritis dan tidak stabil (20% pasien dengan disfungsi ginjal akut memiliki kadar cystatin C serum yang tinggi).

KESIMPULAN
  
Dalam penelitian ini kami mengevaluasi dan membandingkan kreatinin serum dan cystatin C serum sebagai penanda GFR pada pasien sakit kritis yang tidak stabil. Data kami menunjukkan bahwa cystatin C serum merupakan penanda GFR real-time yang baik pada pasien seperti ini. Jika temuan ini dikuatkan oleh penelitian-penelitian selanjutnya, maka kesederhanaan pendeteksian cystatin C dan biayanya yang murah menunjukkan bahwa uji ini tidak lama lagi akan menggantikan CCr sebagai penanda biokimia untuk memantau GFR dalam praktek rutin.

POIN-POIN PENTING

Dalam penelitian ini, cystatin C serum ditemukan sebagai penanda yang baik untuk GFR
Cystatin C serum lebih baik dalam mendeteksi perubahan-perubahan GFR dibanding kreatinin serum pada pasien yang sakit kritis.

Penentuan kadar cystatin C serum bermanfaat dalam penatalaksanaan pasien yang sakit kritis.

SINGKATAN-SINGKATAN

AUC = daerah di bawah kurva; CCr = pembersihan kreatinin; GFR = laju filtrasi glomerular.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders