Kesensitifan Terhadap Luka Sengatan Matahari (Sunburn) Terkait dengan Kerentanan Terhadap Penekanan Imunitas berperantara-Sel Kutaneous yang Ditimbulkan Radiasi Ultraviolet

Abstrak

Kejadian kanker kulit paling tinggi pada orang yang berkulit putih. Pada populasi ini, kulit tipe I/II (sensitif matahari/tersamak buruk) memiliki risiko lebih besar dibanding kulit tipe III/IV (toleran matahari/tersamak baik). Penelitian-penelitian pada mencit menunjukkan bahwa penekanan fungsi imunitas berperantara-sel yang ditimbulkan radiasi ultraviolet (UVR) memegang peranan penting dalam terjadinya kanker kulit dan menimbulkan kerentanan terhadap penyakit infeksi. Peranan serupa diduga terjadi pada manusia, tetapi masih sedikit data yang tersedia untuk melakukan penilaian risiko keterpaparan matahari lingkungan pada kesehatan manusia. Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar UVR matahari lingkungan, biasanya yang dialami dalam 1 jam keterpaparan terhadap sinar-matahari di tengah hari musim panas, bisa menekan respon hipersensitifitas kontak (CHS) pada orang-orang berkulit putih yang sehat secara in vivo (n = 93). Ada hubungan linear antara peningkatan eritema dan penekanan CHS (P < 0,001), dan sengatan matahari (sunburn) sedang (dua dosis eritema minimal [2 MED]) sudah cukup untuk menekan CHS sebesar 93% pada semua relawan dalam penelitian ini. Akan tetapi, keterpaparan suberitema tunggal sebesar 0,25 MED atau 0,5 MED menekan respon CHS sebesar 50 dan 80%, masing-masing, pada kulit tipe I/II, sedangkan 1 MED hanya menekan CHS sebesar 40% pada kulit tipe III/IV. Kesensitifan kulit tipe I/II yang dua atau sampai tiga kali lipat lebih besar untuk tingkat sengatan matahari tertentu bisa memegang peranan dalam kesensitifannya yang lebih besar terhadap kanker kulit.

Kata kunci: manusia, imunosupresi, hipersensitiftas kontak, musim, sunscreen.

Pendahuluan
   
Radiasi ultraviolet matahari (UVR: ~295-400 nnm) merupakan karsinogen lingkungan utama dan penyebab mendasar untuk kanker kulit, kanker paling umum di seluruh dunia. Kejadian semua jenis kanker kulit terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, dan ini banyak dikaitkan dengan perubahan gaya hidup yang telah menghasilkan peningkatan keterpaparan terhadap UVR lingkungan. Peningkatan keterpaparan UVR lebih lanjut diduga sebagai akibat dari penipisan lapisan ozon stratosfer.
   
Keterpaparan UVR juga menghasilkan sengatan matahari (eritema), penuaan kulit, dan penekanan imun. Penekanan imun ini memegang peranan penting dalam terjadinya kanker kulit pada mencit yang telah diteliti, dan peranan yang serupa diduga terjadi juga pada manusia. Lebih lanjut, sebuah korelasi positif antara kejadian limfoma non-Hodgkin dan UVR lingkungan/normal, bersama dengan risiko limfoma non-Hodgkin yang meningkat pada pasien kanker kulit, menunjukkan kemungkinan adanya peran UVR dalam terjadinya tumor ganas non-kutaneous.
   
Keterpaparan terhadap UVR juga meningkatkan kejadian dan/atau keparahan infeksi pada mencit yang diperlakukan dengan agen-agen bakteri, jamur, viral, atau parasit dan dengan demikian memiliki implikasi penting untuk kerentanan terhadap penyakit-penyakit infeksi dan efektifitas vaksin pada manusia. UVR menekan kekebalan yang diperantarai sel (Th1), dan tidak mempengaruhi respon humoral (Th2). Karena respon Th1 dan Th2 saling bertentangan (antagonis), maka UVR bisa memiliki potensi untuk menekan atau memperburuk patogenesis beberapa kondisi imunopatologi, termasuk beberapa keadaan hipersensitifitas yang didominasi oleh respon kekebalan Th1 (seperti gangguan autoimun spesifik-organ) atau Th2 (seperti alergi atopik). Program Lingkungan PBB telah menunjukkan kekhawatiran terhadap efek kesehatan potensial yang bisa dihasilkan dari keterpaparan yang meningkat terhadap  UVR, tetapi mereka menyatakan bahwa saat ini belum ada data kuantitatif tentang imunosupresi imbas UVR pada manusia untuk membuat penilaian tentang risiko keterpaparan UVR lingkungan/normal terhadap kesehatan manusia.
   
Tujuan dari penelitian kali ini, yang dilakukan terhadap orang-orang berkulit putih, adalah untuk menentukan hubungan dosis–respons UVR untuk penekanan fungsi imun berperantara sel secara in vivo dengan menggunakan satu kali keterpaparan UVR yang intensitasnya sama seperti intensitas UVR yang bisa ditemukan pada sinar-matahari musim panas di Inggris. Kami juga meneliti hubungan antara eritema imbas UVR dan imunosupresi pada tipe-tipe kulit berbeda untuk menentukan apakah proteksi terhadap eritema, misalnya dengan sunscreen, merupakan indikasi proteksi terhadap imunosupresi. Karena telah disepakati bahwa latar belakang genetik yang berbeda mempengaruhi kerentanan terhadap kanker kulit pada manusia, maka kami juga meneliti apakah kerentanan terhadap imunosupresi imbas UVR tergantung pada tipe kulit.

Bahan dan Metode
   
Relawan. Sebanyak 39 relawan Kaukasoid yang sehat dan berkulit putih (18-35 tahun) direkrut dari staf di Rumah Sakit Gyu's and St. Thomas, London. Penelitian ini disetujui oleh komite etis setempat, dan para relawan memberikan izin untuk berpartisipasi. Tipe kulit dinilai melalui wawancara dan pemeriksaan eritema. Sebanyak 93 relawan menyelesaikan penelitian ini; 62 relawan memiliki kulit tipe I/II (sensitif matahari/tersamak buruk), 44 wanita dan 18 pria. 31 relawan sisanya termasuk tipe kulit III/IV (toleran matahari/tersamak baik), 23 wanita dan 8 pria. Kriteria eksklusi adalah pengobatan selain pil kontrasepsi oral, keterpaparan kulit bokong sebelumnya (tempat uji) terhadap sinar matahari, riwayat atopi, atau keterpaparan sebelumnya terhadap alergen kontak 2,4-dinitroklorobenzen (DNCB; Sigma-Aldrich Co. Ltd). Wanita yang sedang hamil atau laktasi juga dikeluarkan.
   
Sumber sinar UVR dan Dosimetri. Radiasi terstimulasi surya (SSR) dihasilkan dengan instrumen 1-kW xenon arc solar simulator (Oriel Corp.) dengan bidang radiasi yang merata (290-400 nm) sekitar 15 mW/cm2 pada permukaan kulit ketika berjarak 11 cm dari sumber. Radiasi ditentukan secara rutin dengan radiometer termopil berkas lebar (Medical Physics) yang dikalibrasi terhadap spektroradiometer monokromator ganda DM150 (Bentham Instruments, Ltd.). Output spektral dari simulator surya, yang dinormalkan pada 320 nm, dibandingkan dengan spektrum surya dari sinar matahari musim panas di siang hari (Londin, 51o LU) yang sebelumnya telah dilaporkan.
   
Protokol penyinaran. Dosis SSR minimal yang diperlukan untuk menimbulkan eritema yang tepat dapat dilihat setelah 24 jam (dosis eritema minimal [MED]) ditentukan pada kulit bokong masing-masing relawan dengan enam dosis keterpaparan geometris dengan peningkatan √2. Para relawan dimasukkan secara acak ke dalam kelompok perlakuan SSR yang berbeda dan mendapatkan satu kali keterpaparan SSR pada daerah seluas 5 x 5 cm2 di daerah bokong dengan dosis 0, 0,25, 0,5, 1,0, 2,0, atau 3,0 MED. Masing-masing kelompok dosis mengandung delapan relawan berkulit tipe I/II dan delapan berkulit tipe III/IV, kecuali untuk dosis 0,25 dan 3 MED, yang tidak diberikan untuk relawan berkulit tipe III/IV. Pengukuran kuantitatif terhadap eritema (unit-unit bebas) dilakukan tiga kali sebelum dan 24 jam setelah keterpaparan SSR menggunakan sebuah meter reflektansi (Diastron). Untuk masing-masing individu, peningkatan eritema dihitung dengan mengurangi kulit tidak diradiasi disekitarnya dengan nilai mean pembacaan pertama.
   
Sensitisasi. Para relawan disensitisasi pada kulit bokongnya dengan DNCB 24 jam setelah radiasi. Ini dilakukan pada tempat yang diradiasi menggunakan disk filter 12-mm yang telah diisi dengan petrolatum, direndam dengan 50 μl DNCB 0,0625% dalam etanol (31,2 μg/50μ). Disk kertas saring dipasang di dalam ruang Finn aluminium 12-mm (Biodiagnostics Ltd.) dan ditahan di tempatnya selama 48 jam. Dua kelompok kontrol (kulit tipe I/II) disensitisasi dengan etanol saja untuk menentukan efek-efek iritan perlakuan DNCB. Tempat-tempat yang disensitisasi adalah tempat yang tidak disinari (n = 6) atau yang mendapatkan keterpaparan SSR 3 MED (n = 6) 24 jam sebelum pengaplikasian etanol.
   
Penimbulan Respon Hipersensitifitas Kontak. 3 pekan setelah sensitisasi, para relawan diperlakukan pada bagian lengan dalam atas yang biasanya terlindungi dari UVR. Disk kertas saring 8 mm ditempatkan dalam ruang Finn 8-mm dan direndam dengan 20 μml larutan hapten dengan beberapa tingkat konsentrasi. Lima tambalan ditempatkan pada tempat tes; salah satunya direndam hanya dengan etanol, dan empat lainnya direndam dengan DNCB yang dosisnya terus ditingkatkan (3,125, 6,25, 12,5, dan 25,0 μl). Tempat-tempat yang akan ditentukan respon hipersensitifas kontak nya diberi tanda pada lengan dengan penanda kulit. Tambalan diplaster pada tempatnya selama 48 jam. Setelah 48 jam, tambalan dilepaskan dan kulit dibiarkan pulih selama periode 1 jam. 49 jam dan 72 jam setelah perlakuan, tempat-tempat yang akan ditentukan respon hipersensitifitasnya dihitung sebagaimana dijelaskan berikut.
   
Perhitungan Respons Hipersensitifitas Kontak. Rincian lengkap sebelumnya telah dipublikasikan. Ringkasnya, ketebalan dermal dari masing-masing tempat dihitung dengan menggunakan scanner ultrasound berfrekuensi tinggi 20 MHz (Quality Medical Instruments Ltd.). Citra-citra ultrasound dari masing-masing tempat dicatat seketika sebelum dan 49 dan 72 jam setelah perlakuan, karena perjalanan waktu untuk timbulnya respons hipersensitifitas kontak (CHS) secara maksimum berbeda-beda antara setiap orang. Titik waktu dimana respon terbesar diukur digunakan untuk menghitung persentase peningkatan ketebalan dermal sebagai berikut:

[(Ketebalan dermal pada 48 atau 72 jam – Ketebalan dermal pada 0 jam)/ ketebalan dermal pada 0 jam)] x 100%.
   
Persentase peningkatan ketebalan dermal untuk masing-masing tempat penimbulan respon diplotkan terhadap dosis perlakuan DNCB (aksis-x), dan hubungan dosis–respons ditentukan dengan menggunakan analisis regresi linear. Respons CHS individu tertentu diwakili dengan kemiringan garis regresi linear. Semakin curam kemiringan, semakin kuat respon.
   
Perhitungan Imunosupresi Imbas UVR. Kemiringan respon penimbulan untuk masing-masing individu yang diperlakukan dengan SSR kemudian digunakan dalam rumus berikut untuk menghitung persentase supresi dari CHS:

[1-[(kemiringan respon penimbulan pada subjek IR)/Kemiringan rata-rata respon penimbulan pada kelompok UR]] x 100%.

dimana IR = teradiasi dan UR = tidak teradiasi.
   
Analisis Statistik. Eritema dianalisis menggunakan analisis regresi berganda terhadap respon eritema yang diukur, dan lama interaksi digunakan untuk memungkinkan respon-respon berbeda oleh tipe kulit berbeda disamping meghilangkan konstanta untuk mendorong garis kurva ke nol. Respon imun (CHS) dianalisis dengan menggunakan regresi interval pada log10 kemiringan, dengan mengambil nilai dibawah 0,02 (sedikit di bawah nilai ril terendah yang diamati). Model-model regresi berganda yang dicocokkan disesuaikan untuk perbedaan musiman. Pengamatan dilakukan pada lima kelompok menurut bulan pada tahun dimana kelompok tersebut terbentuk: April/Mei, Juli/Agustus, Oktober, atau Desember/Januari. Perbandingan dilakukan dengan bulan Juni (bulan yang memiliki respon tertinggi). Teknik regresi ganda standar digunakan untuk membandingkan eritema atau respons CHS antara periode-periode waktu ini dan untuk membuat penyesuaian buat tipe-tipe kulit dan dosis SSR. Data dianalisis, berdasarkan masing-masing relawan, dengan software analisis data/statistik Stata (Stata Corp.). SE ketat digunakan untuk mengoreksi non-normalitas dan varians yang tidak seimbang.

Hasil
   
Eritema Imbas UVR. Keterpaparan terhadap 2 atau 3 MED dari SSR menimbulkan sengatan matahari yang jelas tetapi tidak melepuh pada semua relawan tanpa memperhitungkan tipe kulit. Pencoklatan (tanning) tidak dapat dideteksi dengan penglihatan pada relawan-relawan yang memiliki kulit tipe I, tetapi keterpaparan terhadap 2 dan 3 MED menimbulkan warna coklat yang sangat sedikit pada relawan berkulit tipe II dan warna coklat sedang pada relawan yang berkulit tipe III dan IV.
   
Keterpaparan terhadap UVR menimbulkan peningkatan eritema tergantung-dosis pada semua tipe kulit (Gbr. 1a), tetapi untuk setiap 1 J.cm-2 SSR, respons eritema dari kulit tipe I/II secara signifikan lebih besar dibanding untuk kulit tipe III/IV sebesar 14,5 unit eritema acak (P<0,0001; 95% CI 9,3-19,7). Dosis SSR fisik rata-rata yang diperlukan untuk menginduksi MED pada tipe kulit I/II adalah sekitar dua kali lipat lebih rendah dibanding untuk kulit tipe III/IV: 3,2 dan 5,5 J.cm-2, masing-masing (P < 0,001).
   
Apabila respon eritema dinyatakan dalam dosis biologis (yakni MED; Gbr. 1b), kedua kurva dosis-respon  hampir sejajar. Akan tetapi, tipe kulit I/II memiliki respon eritema yang kecil tetapi secara signifikan lebih besar bagi masing-masing perlakuan MED (16,0 unit eritema; P < 0,004; 95% CI 5,2-26,6) dibanding dengan kulit tipe III/IV, tetapi ini berada di bawah batas pendeteksian visual (~50 unit eritema).
   
Respon CHS. Relawan yang tidak disinari: semua relawan yang tidak disinari, tanpa memperhitungkan tipe kulit, berhasil disensitisasi dan mengalami respon CHS tergantung-dosis terhadap keempat dosis perlakuan tambahan dari DNCB. Relawan kontrol yang disensitisasi dengan etanol saja, dengan atau tanpa keterpaparan pendahuluan terhadap SSR 3 MED, tidak mengalami respon CHS terhadap dosis perlakuan manapun dari DNCB.
   
Kulit Tipe I/II lebih Sensitif terhadap Imunosupresi Imbas-VR dibanding Kulit Tipe III/IV. Hubungan antara supresi supresi CHS dan keterpaparan SSR dinilai menggunakan tiga ukuran keterpaparan yang berbeda: (a) dosis fisik (J.cm-2) dan dosis biologis dinyatakan sebagai (b) MED ganda dan (c) unit eritema. Bagaimanapun data dinyatakan, keterpaparan terhadap supresi CHS tergantung dosis pada kedua kelompok tipe kulit. Kulit tipe I/II 5,3 kali lebih sensitif (95% CI 2,9 – 9,6, P < 0,001) dibanding kulit tipe III/IV ketika respon CHS diplotkan terhadap dosis SSR (Gbr. 2). Penggunaan indikator-indikator biologis untuk keterpaparan SSR mengurangi perbedaan ini, tetapi respon CHS dari kulit tipe I/II ini masih jauh lebih rendah dibanding kulit tipe III/IV (P < 0,01) dengan faktor 2,8 (95% CI 1,4-5,6) pada rentang dosis MED yang diteliti (data tidak ditunjukkan). Untuk menentukan apakah perbedaan ini disebabkan oleh respon eritema yang lebih tinggi dari kulit tipe I/II per perlakuan MED, respons CHS dibandingkan dengan dosis yang dinyatakan sebagai unit-unit eritema (sebagaimana dinilai tepat sebelum sensitisasi). Analisis ulang menguatkan bahwa respon CHS kulit tipe I/II secara signifikan lebih rendah dibanding kulit tipe III/IV (P<0,03) dengan faktor 2,2 (95% CI 1,07-4,6).
   
Persentase imunosupresi dihitung dari data CHS, sebagaimana disebutkan dalam bagian Bahan dan Metode, untuk membandingkan kurva-kurva dosis–respons untuk imunosupresi dengan eritema (Gbr. 3). Luka sengatan matahari yang sedang tetapi jelas (2 MED) secara lengkap menekan CHS (93%) pada semua relawan tanpa memperhitungkan tipe kulit, tetapi kulit tipe I/II lebih sensitif terhadap keterpaparan suberitema.
   
Variasi Musiman. Karena penelitian ini memerlukan waktu 14 bulan untuk selesai, kami mengamati pengaruh musim terhadap CHS dan respons eritema kuantitatif. Kedua respon bervariasi sesuai dengan musim, tanpa memperhitungkan tipe kulit atau perlakuan SSR. Respons eritema paling tinggi di bulan Juni dan lebih rendah dari kadar bulan Juni mulai dari Juli sampai Oktober dengan 15 unit eritema (P < 0,01). Respons CHS juga paling tinggi pada bulan Juni dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Antara Juli sampai Oktober, respons CHS adalah 50% dari yang diamati pada bulan Juni (CI 39-64%, P < 0,0001). Antara Desember dan April, respons CHS adalah 29% dari respon pada bulan Juni (CI 10-83%, P = 0,021). Gbr. 1 dan 2 disesuaikan untuk variasi musiman.

Pembahasan
   
Tipe kulit, yang didefinisikan sebagai kesensitifan seseorang terhadap sengatan matahari dan kemampuan untuk menyamak, merupakan faktor risiko utama untuk kanker kulit pada populasi kulit putih. Sehingga, populasi Celtic (tipe kulit I/II) berisiko lebih besar dibanding populasi Mediterania (kulit tipe III/IV). Pada penelitian ini, kami menilai apakah kulit tipe I/II yang sensitif matahari, yang tersamak buruk, dan kulit tipe III/IV yang toleran matahari dan tersamak baik, juga bisa berbeda kerentanannya terhadap imunosupresi yang ditimbulkan UVR. Untuk menghilangkan efek-efek pembaur dari keterpaparan UVR sebelumnya, kami mengekspos semua subjek penelitian kami terhadap SST pada sedikit bagian kulit bokong yang sebelumnya tidak terpapar, dimana tingkat konstitutif pigmentasi cukup mirip.
   
Kerentanan terhadap imunosupresi jelas tergantung pada tipe kulit. Kulit tipe I/II lebih mudah tertekan sistem kekebalannya dibanding kulit tipe III/IV, yang memerlukan dosis SSR fisik yang lima kali lebih rendah dibanding kulit tipe III/IV untuk menghasilkan jumlah imunosupresi yang sama (Gbr. 2). Perbedaan dua kali lipat juga ditemukan ketika kedua kelompok diperlakukan dengan dosis SSR efektif eritema yang sama intensitasnya. Kesensitifan kulit tipe I/II ini terhadap imunosupresi imbas SSR cukup menarik. Keterpaparan tunggal terhadap 0,25 MED menekan CHS sebesar 50%, dan 0,5 MED menekan fungsi imun sebesar 80%. Saat dibandingkan, kulit tipe III/IV hanya tertekan dengan keterpaparan UVR eritemal (1 MED atau lebih; Gbr. 3).
   
Pelepasan mediator-mediator terlarut dari kulit yang terpapar UVR, khususnya TNF-α dan IL-10, memegang peranan penting dalam menimbulkan imunosupresi pada mencit. Baru-baru ini kami telah menunjukkan bahwa pelepasan TNF-α dan IL-10 secara in vivo pada kulit manusia secara signifikan lebih besar pada kulit tipe I/II dibanding kulit tipe III/IV setelah dosis fisik UVR yang sama atau perlakuan MED yang ekivalen. Kami mengusulkan bahwa pelepasan mediator yang berbeda ini bisa mendasari perbedaan kerentanan terhadap imunosupresi pada kedua kelompok tipe kulit. Karena imunosupresi imbas UVR memegang sebuah peranan penting dalam terjadinya kanker kulit pada mencit, ada kemungkinan bahwa kesensitifan yang lebih besar terhadap imunosupresi imbas UVR pada kulit tipe I/II bisa berkontribusi bagi risiko kanker kulit yang meningkat. Akan tetapi, kita harus menekankan bahwa meskipun ada perbedaan kesensitifan terhadap imunosupresi, namun luka sengatan matahari (sunburn) yang jelas dan tidak melepuh (2 MED) sudah cukup untuk menekan fungsi imun pada semua tipe kulit sebesar 93%. Dengan demikian, penting agar semua ras kulit putih melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi keterpaparan terhadap sinar matahari dan menghindari luka sengatan matahari untuk mengurangi risiko kanker kulit.
   
Penelitian-penelitian terdahulu pada populasi kulit putih, dengan menggunakan protokol radiasi lebih agresif yang diberikan selama beberapa hari, telah menunjukkan bahwa hanya 40% (12/32) dari populasi normal yang rentan terhadap imunosupresi imbas UVR. Hasil-hasil serupa, dengan protokol penyinaran yang sama, diamati pada populasi berkulit coklat/hitam yang toleran sinar matahari, sehingga menunjukkan tidak ada hubungan antara respon eritemal dan imunosupresi. Sampai sekarang, belum ada basis genetika atau imunologi yang ditemukan untuk fenotip manusia rentan UVR dan kebal UVR. Penelitian-penelitian serupa oleh kelompok yang sama mengidentifikasi turunan-turunan mencit yang rentan dan kebal UVR, tetapi hasil penelitian ini ditolak oleh peneliti lain, yang menunjukkan bahwa semua turunan mencit rentan terhadap imunosupresi imbas UVR ketika dosis hapten yang rendah digunakan untuk sensitisasi mencit. Peneliti lain juga telah menunjukkan bahwa kadar imunosupresi imbas UVR tergantung pada dosis pemeka (sensitizer) yang diaplikasikan ke kulit sehingga lebih sedikit penekanan CHS ketika dosis pemeka yang tinggi digunakan. Dosis pemeka (sensitizer) yang digunakan dalam penelitian kami ini 64-kali lebih rendah dibanding yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dan kemungkinan merupakan cara yang lebih sensitif untuk mendeteksi imunosupresi imbas UVR.
   
Kemampuan dosis UVR sedang sampai rendah untuk merubah respon CHS menunjukkan sebuah peranan yang mungkin untuk keterpaparan matahari dalam regulasi fungsi imun kutaneous yang normal. Tidak hanya UVR dosis-rendah yang menekan respons CHS lokal, tetapi penelitian kami sebelumnya menunjukkan bahwa SSR 3 MED menekan respon CHS sebesar 93% (12/12 relawan) ketika pemeka (sensitizer) diaplikasikan pada kulit yang diradiasi dan juga menekan respons CHS dengan jumlah yang sama (10/12 relawan) ketika pemeka diaplikasikan pada tempat jauh dari tempat keterpaparan 24 jam setelah radiasi. Kemampuan UVR untuk menekan respon CHS secara sistemik menunjukkan bahwa hasil kami bisa dipengaruhi oleh variasi keterpaparan matahari lingkungan selama periode penelitian 14 bulan. Kami mengamati kemungkinan ini dan menemukan bahwa, berbeda dengan apa yang diperkirakan, respon CHS sebenarnya lebih tinggi pada musim kemarau dibanding pada musim dingin, walaupun di Inggris UVR lingkungan/normal adalah ~40-kali lipat lebih tinggi pada musim kemarau dibanding pada musim dingin. Lebih lanjut, trend musiman yang serupa ditemukan untuk eritema. Alasan adanya variasi musiman ini tidak diketahui, tetapi banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengaruh musiman terhadap tatanan neuroendokrin memegang sebuah peranan dalam modulasi respon kekebalan sistemik dan pelepasan sitokin. Akan tetapi, kami menekankan bahwa data kami secara jelas menunjukkan bahwa efek imunosupresif dari keterpaparan UVR akut pada sebuah situasi eksperimental cukup dominan terhadap fungsi imun di sepanjang musim.
   
Data kami menunjukkan bahwa respons eritema ekivalen pada tipe kulit berbeda menghasilkan tingkat imunosupresi yang berbeda pula. Akibatnya, respons eritema bukan indikator yang tepat untuk imunosupresi, khususnya pada kulit tipe I/II, dimana imunosupresi terlihat dengan keterpaparan suberitema. Sunscreen banyak dianjurkan untuk mengurangi risiko kanker kulit, tetapi telah muncul kekhawatiran tentang kemampuan untuk melindungi terhadap imunosupresi. Supresi CHS secara signifikan oleh keteraparan suberitemal pada kulit tipe I/II menunjukkan bahwa pencegahan eritema dengan sunscreen tidak berarti melindungi terhadap imunosupresi. Sebagai contoh, sebuah sunscreen dengan SPF 10 (faktor proteksi matahari) mengurangi UVR yang mencapai kulit sampai 1/10. Dosis 3 MED dapat dicapai pada kulit tipe I/II di Inggris setelah 1-2 jam keterpaparan terhadap sinar matahari, sehingga memungkinkan pemakai sunscreen SPF 10 untuk mendapatkan 0,3 MED (3 MED/10). Pada kondisi-kondisi ini, akan ada perlindungan terhadap eritema tetapi tidak terhadap imunosupresi, tetapi waktu keterpaparan yang lebih singkat bisa menghasilkan perlindungan dari kedua jenis penyakit ini. Imbas ril dari keterpaparan UVR bisa lebih besar dari yang diprediksikan oleh penelitian kami. Kami meradiasi bagian tubuh yang tidak luas, tetapi penelitian pada mencit menunjukkan bahwa dosis UVR tertentu per unit area lebih imunosupresif dibanding area kulit lebih besar yang diradiasi, seperti dengan berjemur dibawah sinar matahari. Data ini menunjukkan pentingnya kampanye kesehatan yang menekankan bahwa bahwa sunscreen harus digunakan sebagai bagian dari strategi menyeluruh untuk mengurangi keterpaparan UVR, yang mencakup pemakaian pakaian protektif dan penghindaran keluyuran di siang hari saat panas terik, ketika kadar UVR mencapai tingkat yang paling tinggi.
   
Penelitian tentang efek imunosupresif dari UVR sejauh ini telah berfokus pada kanker kulit dan penyakit infeksi. Penelitian kami juga menunjukkan bahwa vaksinasi kurang efektif jika diberikan di musim kemarau atau setelah berlibur di bawah terik matahari. Akan tetapi, karena vaksin biasanya diberikan secara intradermal ketimbang secara epikutaneous, seperti antigen yang digunakan dalam penelitian kami, maka penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi hal ini. Terakhir, karena potensi UVR untuk memodulasi fungsi imun pada manusia, data kami menunjukkan bahwa efek UVR terhadap penyakit alergi dan autoimun harus diselidiki. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan kita tentang efek-efek yang mungkin dari imunosupresi imbas UVR dan kerentanan orang-orang yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda terhadap penyakit-penyakit ini.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders