Fotosensitifitas Kimiawi: Alasan Lain Untuk Mewaspadai Aktivitas di Bawah Sinar Matahari

oleh Craig D. Reid, Ph.D.

Sejak masa kanak-kanak, saudara saya Blair selalu mengalami pencoklatan kulit yang berwarna gelap tanpa adanya luka bakar matahari (sunburn). Sekarang ini, setelah menjadi pelatih sepakbola kampus di Iowa, dia rutin berada di luar ruangan terkena sinar matahari. Baru-baru ini, Blair mengalami luka lecur matahari (sunburn) yang parah setelah hanya 45 menit terpapar sinar matahari di pagi hari yang dingin dan sedikit cerah. Setelah berkonsultasi dengan dokter, dia mempelajari bahwa obat colitis yang umum diberikan, yakni Azulfidin (sulfasalazin), yang dia gunakan pada saat terjadi infeksi usus, merupakan penyebab masalah yang dialaminya.
   

Azuldifin merupakan salah satu dari berbagai obat yang dianggap oleh FDA sebagai obat yang meningkatkan kesensitifan terhadap sinar matahari dan bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang dikenal sebagai gangguan fotosensitifitas. Pada beberapa individu, obat-obat ini bisa menghasilkan efek-efek berbahaya jika seseorang dipaparkan terhadap sinar matahari dan tipe sinar ultraviolet lainnya dengan intensitas atau durasi yang biasanya tidak menimbulkan masalah bagi orang tersebut. Beberapa produk lebih besar kemungkinannya menyebabkan reaksi dibanding yang lainnya. Dan tidak semua orang yang menggunakan produk tersebut akan terkena.

Fotoreaksi
   
Bahan-bahan kimia yang menghasilkan fotoreaksi (reaksi disertai keterpaparan terhadap sinar UV) disebut agen fotoreaktif, atau lebih umum disebut sebagai fotosenzitizer (pemekacahaya). Setelah keterpaparan terhadap radiasi UV baik dari sinar matahari alami maupun sumber buatan seperti kamar tanning atau bahkan penolak nyamuk yang berwarna ungu, fotosensitizer-fotosensitizer ini menyebabkan perubahan kimia yang meningkatkan kesensitifan seseorang terhadap cahaya, dengan menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap cahaya. Obat, zat aditif makanan, dan produk-produk lain yang mengandung agen-agen fotoreaktif disebut sebagai produk pemekacahaya.
   
FDA telah melaporkan bahwa agen-agen fotoreaktif telah ditemukan dalam deodoran, sabun antibakteri, pemanis buatan, agen penerang fluoresensi untuk selulosa, nilon dan serat wool, naftalen (mothballs), produk petroleum, dan dalam kadmium sulfida, sebuah bahan kimia yang diinjeksikan ke dalam kulit selama pembuatan tato.
   
Agen-agen fotoreaktif, seperti Azulfidin, bisa menyebabkan efek akut dan kronis. Efek-efek akut, dari keterpaparan jangka pendek, mencakup kondisi kulit mirip lecur-surya (sunburn) yang meluas, lecur mata, reaksi alergi ringan, gatal-gatal, kulit memerah abnormal, dan ruam-ruam mirip eczema disertai gatal-gatal, pembengkakan, pelepuhan, oozing, dan scaling kulit. Efek-efek kronis dari keterpaparan jangka-panjang mencakup penuaan kulit prematur, reaksi alergi yang lebih kuat, katarak, kerusakan pembuluh darah, sistem imun melemah, dan kanker kulit. Obat yang banyak digunakan mengandung agen-agen fotoreaktif termasuk antihistamin, yang digunakan pada obat flu dan alergi; obat anti-inflammatory non-steroid, yang digunakan untuk meredakan nyeri dan inflamasi pada arthritis; dan antibiotik, seperti tetrasiklin dan sulfonamida, atau obat “sulfa”.
   
Terkadang ini dimasukkan dalam penggunaan obat yang baik. Sebagai contoh, dua bahan kimia fotoreaktif yang telah dikenal, psoralen dan krim zat warna tar batu-bara, digunakan bersama dengan lampu UV untuk mengobati psoriasis, sebuah kondisi kulit kronis yang ditandai dengan bercak-bercak merah terang yang ditutupi dengan sisik-sisik berwarna perak.

Penelitian-penelitian terdahulu
   
Para ilmuwan di Eropa merintis penelitian tentang gangguan fotosensitifitas selama tahun 1960an. Pada tahun 1967, para peneliti Denmark mengkaitkan lesi-lesi kulit yang unik (setiap perubahan abnormal di kulit) pada wanita dengan sabun berfarfum. Pada tahun 1967, para peneliti di Inggris menemukan bahwa minyak kayu cendana dalam sunscreen dan kosmetik wajah menyebabkan fotoalergi dan selanjutnya melaporkan bahwa quindoksin, sebuah aditif makanan pada pakan hewan juga menyebabkan bercak-bercak kulit eritema fototoksik pada para petani di Inggris yang berurusan dengan pakan. Beberapa saat setelah itu, para ilmuwan di Perancis menunjukkan bahwa minyak bergamot dalam sunscreen menyebabkan gangguan fotosensitifitas. Peneliti Jerman mengisolasi agen-agen fotoreaktif dalam minyak wangi, parfum dan kontrasepsi oral.
   
Pada tahun 1972, ilmuwan di Amerika mengkaitkan senyawa-senyawa anilin yang teraktivasi sinar matahari (yang ditemukan dalam obat, pernis, parfum, semir sepatu, dan karet vulakanisasi) dengan gatal-gatal dan kondisi kulit seperti dermatitis dan dandruff.
   
Para ilmuwan tidak lama kemudian mempublikasikan daftar agen-agen fotoreaktif yang ditemukan dalam zat-zat ini serta yang ditemukan pada zat perwarna rambut, krim gaya rambut, dan produk-produk rumah tangga seperti semir sepatu dan kapur barus. Penelitian terbaru berfokus pada pengidentifikasian agen-agen fotoreaktif yang ditemukan dalam produk-produk obat dan bagaimana menanggulangi gangguan-gangguan fotosensitifitas.
   
Fotosensitizer bisa menyebabkan reaksi fotoalergi atau reaksi fototoksik.

Fotoalergi
   
Pada reaksi-reaksi fotoalergi, yang umumnya terjadi karena obat yang diaplikasikan ke kulit, sinar UV bisa merubah obat secara struktur, dengan menyebabkan kulit menghasilkan antibodi. Hasilnya adalah reaksi alergi. Gejala-gejala bisa hilang dalam waktu 20 detik setelah keterpaparan sinar matahari, dengan menghasilkan kondisi-kondisi kulit mirip eczema yang bisa menyebar ke bagian-bagian tubuh yang tidak terpapar. Tetapi terkadang, reaksi-reaksi fotoalergi bisa tertunda. Sebagai contoh, Yuko Kurumaji melaporkan pada bulan Oktober 1991 dalam isu tentang Dermatitis Kontak bahwa gangguan-gangguan sensitifitas fotoalergik terhadap NSAID yang diaplikasikan secara topikal, Suprofen, (tidak disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat), memerlukan waktu 3 bulan untuk terjadi.
   
Produk-produk yang teratur digunakan lainnya yang bisa menyebabkan reaksi-reaksi fotoalergi adalah kosmetik-kosmetik yang mengandung musk ambrette, minyak kayu cendana, dan minyak bergamot; beberapa antibakteri kuinolon; dan pereda nyeri NSAID yang dijual bebas, Advil, Nuprin dan Motrin (ibuprofen), dan Aleve (naproksen sodium).

Fototoksisitas
   
Reaksi-reaksi fototoksisitas, yang tidak mengenai sistem kekebalan tubuh, lebih umum dibanding reaksi fotoalergi. Reaksi-reaksi ini bisa terjadi sebagai respon terhadap obat yang diinjeksikan atau diaplikasikan secara oral atau topikal.
   
Pada reaksi-reaksi fototoksik, obat menyerap energi dari sinar UV dan melepaskan energi ke dalam kulit, menyebabkan kerusakan atau kematian sel. Reaksi terjadi mulai dari beberapa menit sampai beberapa jam setelah keterpaparan sinar matahari. Walaupun gejala-gejala mirip lecur-matahari (sunburn) hanya tampak pada sebagian tubuh yang terpapar terhadap radiasi UV, namun kerusakan kulit yang dihasilkan bisa bertahan lama.
   
Sebagai contoh, Henry Lim, M.D., melaporkan pada bulan Maret 1990 bahwa beberapa pasien yang sebelumnya terpapar terhadap fotoalergen terus mengalami erupsi kulit fototoksik sampai 20 tahun setelah menghentikan penggunana obat, walaupun mereka menghindari keterpaparan lebih lanjut terhadap fotoalergen.
   
Obat yang sering diresepkan yang menyebabkan reaksi-reaksi fototoksik mencakup antibiotik tetrasiklin, NSAID, dan Cordaron (amiodaron), yang digunakan untuk mengatasi denyut jantung yang tidak beraturan.
   
Karena gejala-gejala gangguan fotosensitifitas imbas obat mirip dengan lecur-matahari, ruam dan reaksi alergi, banyak kasus yang tidak dilaporkan. Dan juga, walaupun penelitian telah menunjukkan bahwa jumlah individu yang peka cahaya bisa tinggi, kebanyakan orang tidak menghubungkan keterpaparan sinar matahari dengan terjadinya erupsi pada kulit mereka.

Fotofobia
   
Beberapa obat bisa menyebabkan fotofobia. Walaupun fotofobia bisa diartikan takut akan cahaya, namun pasien penyakit fotosensitifitas fotofobik menghindari sinar matahari bukan karena mereka takut tetapi karena mata mereka sangat sensitif terhadap sinar matahari.
   
Beberapa obat yang menimbulkan fotofobia mencakup beberapa obat yang diresepkan untuk denyut jantung yang tidak beraturan, seperti Crystodigin (digitoksin) dan Duraquin (quinidin), dan beberapa obat untuk diabetes, seperti Tolinase (tolazamida) dan Orinase (tolbutamida).

Siapa yang bisa mengalami reaksi?
   
Derajat fotosensitifitas berbeda-beda diantara individu. Tidak setiap orang yang menggunakan obat yang mengandung agen fototoksik akan mengalami fotoreaksi. Sebenarnya, seseorang yang mengalami fotoreaksi setelah satu kali keterpaparan terhadap sebuah agen bisa tidak bereaksi lagi terhadap agen yang sama setelah keterpaparan berulang.
   
Disisi lain, orang yang alergi terhadap salah satu bahan kimia bisa mengalami fotosensitifitas terhadap bahan kimia yang mirip lainnya yang dulunya mereka tidak menimbulkan reaksi fotosensitif terhadapnya. Pada reaksi-silang seperti ini, fotosensitifitas terhadap salah satu bahan kimia meningkatkan kecenderungan seseorang untuk fotosensitifitas terhadap agen yang kedua. Sebagai contoh, J.L. de Castro melaporkan pada bulan Maret 1991 bahwa 17 pasien alergi terhadap thimerosal antiseptik, yang digunakan pada beberapa preparasi lensa kontak, yang mengalami fotosensitifitas terhadap Felden NSAID (piroxicam), meski tak satupun diantaranya yang sebelumnya mengalami fotoreaksi terhadap Felden.
   
Walaupun mereka yang berkulit putih lebih rentan terhadap fotosensitisasi, namun tidak umum bagi orang yang berkulit gelap untuk mengalami fotodermatitis kronis.
   
Orang-orang yang terinfeksi HIV, virus yang menyebabkan AIDS, lebih rendah terhadap gangguan-gangguan fotosensitif sehingga mereka memerlukan perawatan khusus pada saat terpapar terhadap sinar UV. Pada sebuah penelitian yang dipublikasikan di bulan Mei 1994, Amy Papert, M.D., melaporkan bahwa jika pasien yang tampak sehat menunjukkan masalah-maslaah kulit terkait cahaya yang tidak diketahui asal usulnya, maka kemungkinan infeksi HIV harus dipertimbangkan.
   
Apa yang disebut sebagai “foto-recall” bis terjadi ketika sebuah produk non-fotoreaktif menyegerakan pengulangan reaksi sebelumnya terhadap sebuah agen fotoreaktif.
   
Produk-produk fotoreaktif juga bisa memperburuk masalah-masalah kulit yang telah ada seperti eczema, herpes, psoriasis dan acne, dan bisa menyebabkan inflamasi jaringan scar. Ini juga bisa memicu atau memperburuk penyakit autoimun, seperti lupus eritematoss dan rheumatoud arthritis, dimana sistem imun tubuh merusak dirinya sendiri.

Beberapa fotosensitizer yang umum
   
Apakah sunscreen benar-benar membantu?
   
Apakah penggunaan sunscreen membantu melindungi terhadap fotosensitifitas? Jawabannya masih belum pasti. Sunscreen memang mengurangi efek radiasi UV, tetapi beberapa mengandung komponen yang dengan sendirinya bisa menyebabkan fotosensitifitas pada beberapa orang. Dan juga, kebanyakan sunscreen hanya melindungi dari sinar UV gelombang-pendek (UVB), sedangkan senyawa yang paling fototoksik diaktivasi oleh sinar UV dengan panjang gelombang yang lebih panjang (UVA). Sunscreen yang mengandung minyak bergamot, minyak kayu cendana, benzofenon, PABA, sinamat, salisilat, anthranilat, PSBA, meksenon, dan oksibenzon semuanya bisa menyebabkan reaksi fotosensitifitas. Titanium dioksida merupakan sunscreen yang paling kecil kemungkinannya menyebabkan gangguan fotosensitifitas.
   
Sebelum keluar rumah untuk terkena sinar matahari, hubungilah dokter anda untuk memastikan apakah ada pengobatan yang sedang anda jalani yang kemungkinan bisa menyebabkan masalah dan untuk memutuskan bagaimana cara terbaik menghindari reaksi seperti ini. Baca label obat OTC dan perhatikan apakah obat tersebut memiliki sifat fotosensitisasi.
   
Jika anda mengalami gejala setelah terkena sinar matahari di luar rumah, anda mungkin ingin mempertimbangkan obat dan bahan-kimia apa yang sedang anda gunakan dan hubungi dokter anda segera untuk meminta nasehat.

Masalah Yang Ditimbulkan Kamar Tanning
   
Kamar tanning dan penggunaan produk tanning dalam rumah bisa menimbulkan masalah yang lebih besar dari sinar matahari alami dan ini benar untuk reaksi-reaksi fotosensitifitas  serta dampak secara umum. FDA memberlakukan kebijakan-kebijakan dimana para pprodusen lampu-matahari harus membuat sebuah jadwal keterpaparan dan menentukan waktu keterpaparan maksimum yang direkomendasikan (dan dengan demikian interval waktu maksimum) berdasarkan karakteristik produk-produk mereka. Informasi ini harus dicantumkan pada label produk dan tidak boleh ada yang dianggap sebagai batas aman.
   
FDA mengingatkan bahwa beberapa operator tanning bisa mengklaim bahwa lampu-matahari UVA lebih aman dibanding sinar matahari dan lampu UVB. Ini tidak benar. Sebenarnya, keterpaparan terhadap radiasi UV dari lampu-matahari menambahkan jumlah total radiasi UV yang didapatkan dari matahari seumur hidup anda, sehingga lebih jauh meningkatkan risiko kanker.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders