Candidiasis mukokutaneous kronis pada seorang anak laki-laki 6-tahun

Abstrak

Candidiasis mukokutaneous kronis (CMC) merupakan sebuah penyakit kompleks yang ditandai dengan infeksi jamur (candida) yang terus menerus atau rekuren pada kulit, kuku dan/atau membran-membran mukus. Kejadiannya yang terkait dengan pewarisan dalam keluarga telah dilaporkan pada beberapa kasus, sehingga menunjukkan adanya predisposisi genetik. CMC juga telah diduga terkait dengan sebuah cacat selektif pada imunitas berperantara sel T terhadap antigen-antigen Candida. Laporan-laporan kasus di Asia cukup jarang. Disini kami melaporkan sebuah kasus CMC pada seorang anak lelaki umur 6-tahun yang mengalami infeksi jamur (candida) kronis sejak usia 7 bulan. Pasien mengalami gangguan imunitas berperantara sel T dan berkurang sel-sel NK nya. Kasus ini menunjukkan diperlukannya kajian-kajian rinci untuk mengevaluasi imunitas sel-T pada pasien-pasien yang mengalami infeksi candida kronis.

Kata kunci: laporan kasus, imunitas seluler, candidiasis mukokutaneous kronis, diagnosis

Candidiasis mukokutaneous kronis (CMC) adalah imunodefisiensi sel T utama yang ditandai dengan infeksi candida yang terus menerus atau rekuren pada kulit, kuku dan membran-membran mukosa tanpa adanya sepsis Candida. Kenampakan awal dari CMC bisa berupa infeksi candida kronis atau berbagai gangguan imunodefisiensi, seperti infeksi HIV, penyakit defisiensi imun gabungan yang parah, sindrom DiGeorge, dan sebagainya. Walaupun pasien CMC dikelompokkan mengalami defisiensi imun primer, namun mekanisme penimbulan cacat pada sistem imun masih belum diketahui. Penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa imbas cacat imunitas bisa disebabkan oleh berubahnya pola produksi sitokin, yang menghasilkan ketidakcukupan produksi interleukin-2 dan interferon-γ (IFN-γ) sebagai respon terhadap infeksi Candida. Anak-anak yang mengalami CMC biasanya mengalami kenampakan penyakit lain, termasuk infeksi non-candida (81%), endokrinopati idiopatik (44%), dan penyakit autoimun (32%). Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa pasien yang mengalami CMC memiliki banyak kelainan dalam sistem imunnya.
   
Infeksi candida kronis bisa didiagnosa dengan mudah melalui pemeriksaan fisik secara langsung, preparasi kalium hidroksida (KOH) dan kultur fungus. Akan tetapi, candidiasis mukokutaneous kronis dianggap sebagai gangguan defisiensi imun dan biasanya disertai oleh penyakit-penyakit lain. Telah ada beberapa laporan tentang CMC pada anak-anak Asia, dan hanya satu laporan pada anak-anak Cina. Disini kami melaporkan sebuah kasus CMC pada seorang anak lelaki umur 6 tahun yang mengalami infeksi candida kronis sejak usia 7 bulan. Pasien menunjukkan ketidakcukupan imunitas berperantara sel-T terhadap antigen-antigen Candida. Kasus ini menunjukkan diperlukannya penelitian-penelitian mendetail untuk mengevaluasi imunitas sel T pada pasien yang mengalami CMC, dan untuk pengamatan dan follow-up jangka panjang bagi gangguan-gangguan yang menyertai.

Laporan Kasus
   
Seorang anak lelaki umur 6-tahun dirujuk ke rumah sakit kami karena ruam oral yang terus menerus dan onikomikosis sejak usia 7 bulan. Mikosis yang melibatkan ujung-ujung jari dan daerah perianal terjadi pada usia 2 tahun, dengan respons buruk terhadap krioterapi dan terapi laser. Ruam mulut dan onikomikosis berlangsung terus menerus pada tahun-tahun berikutnya, tetapi dia tidak mengalami otitis media, sinusitis, pneumonia atau infeksi parah lainnya kecuali untuk beberapa episode infeksi pernafasan atas. Dia dirujuk ke rumah sakit kami pada usia 6 tahun untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap infeksi candida. Pertumbuhan dan riwayat perkembangannya menunjukkan bahwa dia adalah anak yang sehat dan berkembang dengan baik. Pemeriksaan fisik menunjukkan onikomikosis (Gbr. 1), ruam oral ekstensif, 2 pustula pada daerah perioral, dan beberapa scar lama yang dihasilkan oleh terapi laser pada daerah perineal. Suara nafasnya cukup jelas, denyut jantung teratur tanpa desiran abnormal (murmur). Pemeriksaan abdominal menunjukkan hasil normal tanpa pembesaran organ.
   
Hasil tes, yang mencakup jumlah sel darah lengkap, uji fungsi hati, kalsium serum, protein C-reaktif, kortisol plasma, tiroksin, hormon TSH, dan imunoglobulin G (IgG), IgM, IgA, dan IgE semuanya normal atau negatif. Fenotip-fenotip limfosit menunjukkan proporsi limfosit B yang meningkat (CD19) dan proporsi limfosit T (CD3) dan sel NK (CD16/CD56) yang menurun (Tabel 1).
   
Sub-sub kelompok limfosit menunjukkan proporsi sel CD4 yang sedikit menurun. Uji proliferasi limfosit daerah perifer menunjukkan respons normal terhadap fitohemoagglutinin (PHA) dan Staphylococcus aureus Cowan I (SAC) tetapi respons negatif terhadap antigen-antigen Candida. Uji kulit hipersensitifitas tipe tertunda, tetanus, tuberkulin, dan trikofiton juga negatif. Uji nitroblue tetrazolium menunjukkan kemampuan reduksi yang normal. Preparasi KOH dari kulit, mukosa, dan kuku menunjukkan pseudohifa fungus, dan hasil kultur semuanya menunjukkan pertumbuhan Candida albicans.
   
Berdasarkan manifestasi-manifestasi klinis dan pengamatan laboratorium selama perawatan rumah sakit, diagnosis CMC ditegakkan, dan ketokonazol pada dosis 3,3 mg/kg/hari diresepkan selama 6 bulan untuk mengontrol infeksi candida. Ruam mulut sembuh dalam empat pekan selanjutnnya tetapi kambuh kembali, sedangkan onikomikosis terus berlanjut.

Pembahasan
   
Candidiasis mukokutaneous bisa didiagnosa berdasarkan temuan pemeriksaan fisik, preparasi KOH, dan kultur fungus. Berbagai faktor intrinsik dan ekstrinsik berkontribusi bagi terjadinya infeksi klinis. Kondisi-kondisi ini harus dibedakan dari ketidakmampuan untuk membersihkan Candida yang persisten, seperti yang ditemukan pada pasien kami yang menderita imunodefisiensi sel T primer. Setelah kegagalan perawatan klinis untuk infeksi, CMC harus dipertimbangkan. Evaluasi status imun lebih lanjut dan penyakit-penyakit yang menyertai juga penting.
   
Penelitian-penelitian imunologi terhadap pasien ini menunjukkan peningkatan ringan jumlah limfosit. Fenotip-fenotip limfosit menunjukkan proporsi sel B (CD19) yang meningkat dan proporsi sel T (CD3) yang berkurang. Sub-sub kelompok limfosit T menunjukkan penurunan sel-sel CD4 yang ringan. Limfosit daerah perifer merespon normal terhadap PHA dan  SAC, tetapi tidak ada respons terhadap antigen-antigen Candida, walaupun dia mengalami infeksi candida rekuren sejak usia 7 bulan. Uji kulit hipersensitifitas tipe-tertunda terhadap Candida, tetanus, tuberkulin, dan trikofiton menunjukkan hasil negatif. Data-data ini menunjukkan bahwa pasien memiliki cacat selektif dalam imunitas berperantara sel T terhadap antigen-antigen Candida. Temuan-temuan ini cukup mirip dengan ciri-ciri imunologi pasien CMC pada penelitian-penelitian sebelumnya.
   
Proteksi dari candidiasis mukokutaneous telah terbukti tergantung pada imunitas seluler. Walaupun sifat cacat-cacat ini masih sukar untuk dipahami, penelitian-penelitian pada model hewan telah menunjukkan peranan esensial dari sitokin-sitokin tipe 1 dalam proteksi terhadap infeksi candida. Evaluasi lebih lanjut terhadap sel T-helper 1 (Th1) dan sel Th2 pada pasien ini menunjukkan proporsi sel Th1 yang sedikit menurun, proporsi sel Th2 yang meningkat dan rasio Th1/Th2 yang normal. Akan tetapi, data terbaru pada pasien CMC telah menemukan perubahan pola-pola produksi sitokin sebagai respons terhadap antigen-antigen Candida dengan produksi yang berkurang untuk beberapa tetapi tidak semua sitokin tipe 1 dan kadar IL-10 yang meningkat. Cacat-cacat mendasar yang terkait dengan perubahan pola-pola produksi sitokin masih belum diketahui, tetapi penelitian-penelitian terbaru telah menemukan peranan putatif dari sel-sel dendritik dan reseptor pengenal pola dalam mengarahkan respons sitokin.
   
Sel-sel NK mampu membunuh sel-sel tumor dan sel-sel yang terinfeksi virus. Hubungan antara fungsi sel NK dan infeksi candidiasis masih belum jelas. Telah ada beberapa laporan kekurangan sel NK pada pasien-pasien CMC. Baru-baru ini, Manz dkk dan Plama-Carlos dan Palma-Carlos melaporkan bahwa pasien yang menderita CMC memiliki jumlah dan fungsi membunuh dari sel NK yang berkurang. Pasien kami juga memiliki proporsi sel NK (CD16/CD56) yang berkurang signifikan (2,8%). Data-data ini menunjukkan bahwa jumlah dan fungsi sel-sel NK harus dievaluasi pada pasien-pasien CMC. Kekurangan sel-sel NK juga telah ditemukan pada sindrom Chediak-HIgashi, sindrom limfoproliferatif terkait-X, dan cacat adhesi leukosit. Kekurangan sel NK juga telah dideteksi pada penyakit imunodefisiensi gabungan yang parah. Hubungan antara kekurangan sel NK dan CMC masih perlu diteliti.
   
Kebanyakan pasien penderita CMC memiliki konsentrasi imunoglobulin yang normal dalam serum, titer antibodi yang tinggi terhadap C. albicans dan respons normal terhadap vaksin. Anak lelaki ini memiliki jumlah sel B yang normal. Kadar IgG, IgM, IgA, dan IgE yang dia miliki juga normal. Akan tetapi, cacat sel B telah dilaporkan pada beberapa pasien CMC, khususnya kekurangan sub-kelas IgG2 dan IgG4. Kebanyakan dari pasien ini memiliki infeksi bakteri berulang dan pneumonia, tetapi pasien kami tidak memiliki riwayat infeksi signifikan lainnya. Walaupun kekurangan humoral tidak umum pada pasien CMC, imunitas humoral harus diperiksa ketika pasien CMC mengalami infeksi bakteri. Candidiasis mukokutaneous kronis merupakan sebuah sindrom klinis heterogen yang menghasilkan banyak klasifikasi deskriptif dengan tergantung pada waktu onset, gambaran klinis yang menyertai, dan cara pewarisan. Pasien kami hanya mengalami infeksi mukosa mulut, kuku, dan infeksi kulit dengan C. albicans tapa ada endokrinopati yang menyertai lainnya, seperti hipotiroidisme, hipoadrenalisme, atau penyakit autoimun lainnya. Follow-up jangka panjang dibutukan akibat kemungkinan terjadinya penyakit-penyakit yang menyertai, karena pasien yang mengalami CMC biasanya memiliki atau mengalami penyakit lain, termasuk peyakit-penyakit infeksi lain, displasia enamel, alopecia, vitiligo, malabsorpsi, anemia hemolitik dan poliendokrinopati autoimun. Gangguan-gangguan ini khususnya umum pada pasien yang mengalami candidiasis yang dimulai pada awal masa anak-anak dan pada pasien yang mengalami distropi poliendokrinopati-candidiasis-ectodermal (APECED). CMC adalah manifestasi awal dari APECED pada 93% kasus. Hipoparatiroidisme dan kegagalan adrenal biasanya terjadi setelah CMC pada pasien-pasien ini, dengan usia onset rata-rata 9,2 tahun dan 13,6 tahun, masing-masing. Ada beberapa bukti yang mendukung pewarisan resesif untuk bentuk candidiasis ini. Pada tahun 1997, dua kelompok secara simultan melaporkan pemetaan gen untuk APECED ke kromosom 21 (21q22,3).
   
Terapi-terapi topikal tidak biasanya efektif pada pasien-pasien yang mengalami CMC. Keterlibatan oral pada CMC bisa dibantu dengan tablet isap klotrimazol atau larutan nystatin oral. Obat-obat antijamur sistemik yang diberikan lewat mulut cukup efektif dan bisa meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi, kebanyakan pasien mengalami kekambuhan dalam beberapa pekan atau bulan setelah pengobatan antijamur dihentikan, dan cacat imunologis mendasar sering tidak bisa dikoreksi. Pasien kami mendapatkan terapi dengan ketoconazol pada dosis 3,3 mg/kg/hari selama 6 bulan. Selama periode ini, ruam mulut sembuh tetapi kambuh segera setelah penghentian pengobatan. Onikomikosis tidak sembuh selama pengobatan. Pengobatan yang lama (sekurang-kurangnya 6 sampai 9 bulan) mungkin diperlukan untuk bersihnya onikomikosis. Jorizzo dkk dan Plizzi melaporkan pengobatan yang berhasil dengan cimetidin dan zink sulfat pada pasien CMC yang gagal pada terapi antijamur jangka panjang. Ini bisa menjadi pengobatan alternatif untuk CMC.
   
Sebagai ringkasan, sulit untuk menegakkan diagnosis CMC secara tepat waktu pada pasien yang yang telah menggunakan banyak cara untuk memberantas infeksi yang menggunakan pengobatan kutaneous standar dengan obat-obat candisidal. Ketika diagnosis ditegakkan, kajian imunologi yang rinci harus dilakukan dan kemungkinan penyakit-penyakit yang menyertai, seperti endokrinopati, thymoma, atau penyakit autoimun harus diselidiki. Follow-up jangka-panjang diperlukan karena besarnya kemungkinan terjadinya penyakit-penyakit pada tahun-tahun setelah CMC didiagnosa.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders