Terapi serum autologus pada urtikaria: Metode lama yang dikemas dalam wahana baru

Abstrak

Latar belakang: Urtikaria kronis merupakan salah satu masalah terapeutik paling menantang dan menyulitkan yang dihadapi oleh para dokter kulit. Penemuan terbaru tentang reaksi-reaksi tipe 1 abnormal terhadap injeksi serum autologus pada beberapa pasien urtikaria kronis telah mengarah pada dibuatnya klasifikasi baru untuk penyakit ini yakni “urtikaria kronis autoimun”. Ini membangkitkan kembali minat terhadap praktik lama injeksi darah autologus sebagai sebuah opsi perawatan pada pasien-pasien ini.

Tujuan: Untuk mengevaluasi efikasi injeksi serum autologus berulang pada pasien-pasien yang mengalami urtikaria kronis membandel.

Metode: Suatu kohort yang terdiri dari 62 pasien urtikaria kronis (32 perempuan) dengan  uji kulit serum autolog (ASST) positif (kelompok 1) dianalisis secara prospektif untuk mengetahui efikasi sembilan injeksi serum autologus mingguan berturut-turut dengan follow-up pasca-intervensi selama 12 pekan. Kelompok lain yang terdiri 13 pasien urtikaria kronis (tujuh perempuan) dengan ASST negatif (kelompok 2) juga diobati dengan cara yang serupa. Pada kedua kelompok, enam parameter keparahan dan aktivitas penyakit dicatat.

Hasil: Variabel demografi dan variabel penyakit cukup sebanding pada kedua kelompok. Durasi rata-rata penyakit adalah 1,9 ± 0,3 tahun (rentang = 3 bulan sampai 32 tahun) pada kelompok 1 dan 1,5 ± 0,2 tahun (rentang = 3 bulan sampai 10 tahun) pada kelompok 2. Pada kelompok ASST(+), 35,5% pasien asimptomatik pada akhir follow-up sedangkan 24,2% lainnya sangat membaik. Pada kelompok ASST (-), pasien yang asimptomatik adalah 23% dan pasien yang sangat membaik adalah 23%. Perbedaan antar-kelompok untuk pemulihan lengkap signifikan menurut statistik (P < 0,05). Pada kedua kelompok, pengurangan yang paling mencolok ditemukan pada pruritus dan penggunaan antihistamin kemudian ukuran dan frekuensi bintul (wheal).
Kesimpulan: Terapi serum autologus efektif pada sebagian besar pasien ASST (+) yang mengalami urtikaria kronis. Jumlah pasien ASST (-) yang terbantu dengan perawatan ini lebih kecil tetapi masih dianggap substansial.

Kata kunci: Autohemoterapi, Injeksi serum autologus, Uji kulit serum autologus, Urtikaria kronis.


PENDAHULUAN
   
Urtikaria kronis merupakan suatu dermatosis yang umum dan menyulitkan ditandai dengan bintul-bintul sementara (wheals) hampir setiap hari, terus menerus selama enam pekan atau lebih. Kondisi ini merupakan suatu diagnosis klinis dan perlu dibedakan dari urtikaria fisik yang ditimbulkan obat dan urtikaria yang terkait infeksi melalui pemeriksaan yang relevan dan penyelidikan riwayat pasien. Sampai baru-baru ini, semua kasus yang ada dikategorikan sebagai urtikaria idiopatik kronis (CIU) karena tidak ada penyebab pasti dari urtikaria kronis yang diketahui pada kasus-kasus tersebut.
   
Masalah ini sebagiannya telah diatasi pada tahun 1993 ketika Hide dkk. melaporkan bahwa autoantibodi terhadap reseptor IgE berafinitas-tinggi, FcεR1α, menyebabkan pelepasan histamin pada sekelompok pasien yang mengalami urtikaria kronis. Laporan selanjutnya menemukan bahwa 27-61% pasien urtikaria kronis, dengan tergantung pada metode pendeteksian antibodi, memiliki antibodi-antibodi yang bersirkulasi ini dalam darah mereka. Metode screening yang ditemukan paling sederhana untuk mengidentifikasi kelompok pasien yang mengalami apa yang disebut urtikaria autoimun kronis (CAU) ini adalah uji kulit serum autologus (ASST). Injeksi serum autologus secara intradermal pada pasien-pasien ini menimbulkan bintul tipe-langsung dan respons suar (flare) sehingga menandakan adanya faktor pelepas-histamin yang bersirkulasi. Pasien-pasien dengan CAU ini dilaporkan memiliki jumlah bintul yang lebih banyak dengan distribusi yang lebih luas, pruritus yang lebih parah dan gejala-gejala sistemik yang lebih sering.
   
Laporan-laporan ini membantu menjelaskan mengapa beberapa pasien yang mengalami urtikaria kronis merespon baik terhadap kortikosteroid dan obat-obatan imunosupresif dan merespon buruk terhadap antagonis H1. Baru-baru ini, Staubach dkk. melaporkan efikasi terapi darah-utuh autologus (AWB) pada CAU dengan memberikan injeksi darah-utuh secara intramuskular setiap pekan kepada pasien. Cara perawatan ini cukup populer dalam perawatan beberapa penyakit seperti dermatitis atopik, urtikaria kronis, dan lain-lain sebelumnya tetapi telah ditinggalkan belakangan ini karena dianggap “tidak ilmiah”.
   
Kami telah mencoba memperbaharui metode AWB dengan menghilangkan komponen-komponen seluler darah untuk injeksi intramuskular karena faktor-faktor pelepas histamin terdapat dalam serum. Ini akan menjadikan pengobatan kurang nyeri bagi pasien dan lebih mudah diberikan oleh dokter tanpa mengurangi efikasinya. Kami melakukan trial terapi serum autologus (AST) yang berlabel terbuka, prospektif, dan multisenter ini pada pasien-pasien yang mengalami urtikaria kronis dan menguji efeknya terhadap berbagai parameter keparahan.

METODE

Pasien

Pasien-pasien laki-laki atau perempuan yang mengalami urtikaria diperiksa secara bergantian untuk kriteria inklusi penelitian ini, yang mencakup: kenampakan bintul hampir setiap hari selama ≥6 bulan, usia > 18 tahun dan mau mengikuti follow-up mingguan dan injeksi. Kriteria eksklusi mencakup kehamilan, urtikaria fisik yang menonjol, penggunaan obat imunosupresif atau kortikosteroid sistemik dalam 6 pekan terakhir dan penyakit-penyakit sistemik lain yang memerlukan pengobatan. Variabel-variabel demografi dicatat dan riwayat rinci tentang penyakit termasuk riwayat gangguan-gangguan atopik diambil. Sebanyak 394 pasien dengan urtikaria kronis discreening dan ASST dilakukan pada semua pasien. Dari jumlah ini, 195 (49,5%) positif ASST [ASST(+)] dan sisanya negatif ASST [ASST(-)]. Setelah screening untuk kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, 96 pasien ASST(+) direkrut untuk penelitian ini. Akan tetapi, hanya 62 (64,6%) (32 wanita, 30 pria) yang melengkapi kesembilan injeksi serum autologus intramuskular mingguan dan kembali untuk sekurang-kurangnya satu follow-up  pasca-pengobatan pada 12-16 pekan setelah injeksi serum autologus ke-9. Sebanyak 28 pasien ASST(-) juga direkrut untuk penelitian ini, 13 (46,4%) (tujuh wanita, enam pria) melengkapi persyaratan protokol seperti yang disebutkan di atas.

Uji kulit serum autologus (ASST)
   
Serum dipisahkan melalui sentifugasi darah pasien pada kecepatan 2000 rpm selama 10 menit dan sebanyak 0,1 ml serum autologus, larutan garam normal, dan histamin (10 µg/ml) diinjeksikan secara intradermal sekurang-kurangnya 5 cm jaraknya dari aspek volar lengan bawah. Sebuah jarum ukuran 31 digunakan dengan menghindari tempat-tempat pertumbuhan bintul  dalam 24 jam terakhir dan hasilnya dicatat setelah 30 menit. ASST dianggap positif apabila rata-rata dari dua diameter tegak-lurus bintul serum autologus adalah ≥1,5 mm lebih besar dari bintul yang ditimbulkan larutan garam normal. Antihistamin yang bekerja lama dihentikan sekurang-kurangnya 3 pekan sebelum uji dilakukan dan antihistamin yang bekerja singkat dihentikan sekurang-kurangnya 48 jam sebelum uji dilakukan.

Intervensi
   
Semua parameter penyakit pada awal penelitian dicatat setelah periode satu pekan dimana pasien dibolehkan meminum antihistamin aksi-singkat (pheniramin 25 mg) hanya apabila bintul muncul. Setelah itu, setiap pekan selama sembilan pekan berturut-turut, 5 ml darah diambil, serum dipisahkan dan injeksi intramuskular sedalam 2-ml diberikan bergantian pada bokong kiri dan kanan atau lengan atas. Antihistamin penolong dibolehkan selama periode penelitian berlangsung; tidak ada obat lain yang diizinkan.

Penilaian penyakit
   
Enam parameter aktivitas dan keparahan penyakit dicatat dengan skala 0 sampai 3 [Tabel 1] pada awal pengobatan (0 pekan), akhir pengobatan (9 pekan) dan pada follow-up (21-25 pekan). Berdasarkan parameter-parameter ini, skor keparahan total (TTS) antara 0 sampai 18 dihasilkan dan keparahan penyakit keseluruhan dikategorikan sebagai bersih (TTS = 0), ringan (TTS 1-6), sedang (TTS 7-12) atau parah (TTS 13-18). Untuk mengantisipasi efek placebo yang kuat dari injeksi mingguan, kami tidak terlalu mempertimbangkan respons yang langsung timbul setelah periode perawatan 9-pekan. Penilaian follow-up dilakukan setelah periode waktu yang lebih lama dari durasi pengobatan (12-16 pekan) untuk memastikan perbaikan/pemulihan yang lama. Tolak-ukur hasil yang utama adalah menurunnnya skor keparahan total pada 21-25 pekan setelah kunjungan follow-up. Tolak-ukur hasil kedua adalah kadar penggunaan antihistamin penolong pada kunjungan ini yang dibandingkan dengan kadar pada awal penelitian. Skor follow-up 0 pada 21-25 pekan dianggap pulih sempurna, skor 1-6 sangat membaik, 6-12 perbaikan sedang, dan 13-18 perbaikan buruk atau tidak ada perubahan.

Analisis statistik
   
Semua analisis statistik dilakukan pada populasi pra-protokol, yakni pasien-pasien yang melengkapi kesembilan injeksi serum autologus dan memiliki sekurang-kurangnya satu kali kunjungan follow-up 12-16 pekan setelah injeksi terakhir (injeksi ke-9). Untuk nilai-nilai yang tidak tercatat, metode last observation-carried-forward digunakan. Data non-parametrik dibandingkan dengan uji X2 dan perbandingan parametrik dilakukan dengan uji “t” two-tailed dan two-way ANOVA. Nilai P < 0,05 dijadikan sebagai batas untuk signifikansi perbedaan.

HASIL
   
Nilai tengah usia pasien yang positif ASST adalah 25 tahun (rentang 18-64 tahun); pada kelompok yang negatif AAST, nilai tengah usia pasien adalah 24 tahun (rentang 17-55 tahun). Durasi urtikaria berkisar antara 6 bulan sampai 32 bulan (nilai tengah 2,5 tahun) pada pasien yang positif ASST dan 6 bulan sampai 10 tahun (nilai tengah: 3 tahun) pada pasien yang negatif ASST. Riwayat atopi yang positif dalam bentuk rhinitis alergi, mengi (wheezing) atau konjungtivitis alergi terdapat pada 29 (46,7%) pasien yang positif ASST dan pada 5 (38,5%) pasien yang negatif ASST (x2=0,58, P=0,2).
   
Sifat-sifat penyakit pasien pada awal penelitian di kedua kelompok ditunjukkan pada Tabel 2. Jumlah pasien ASST(+) yang yang dikategorikan parah jauh lebih tinggi dibanding jumlah pasien ASST(-) pada awal penelitian (91,9 berbanding 69,2%; P = 0,2).
    Pasien ASST(+) memiliki skor TSS (skor keparahan total) awal yang sebanding jika dibandingkan dengan pasien ASST(-). Akan tetapi, meskipun skor TSS pada pekan ke-9 jauh lebih rendah pada kelompok ASST(+), namun tidak berbeda signifikan pada 21-25 pekan follow-up.
   
Pasien pada kedua kelompok menunjukkan trend TSS menurun mulai dari awal penelitian sampai akhir pengobatan dan penurunan ini signifikan menurut statistik pada kelompok ASST(+) (nilai mean 15,5±0,2 berbanding 7,1 ± 0,6; P = 0,003) dan pada kelompok ASST(-) (nilai mean 14,1 ± 0,2 berbanding 10,9 ± 0,5; P = 0,008). Trend ini terus berlanjut setelah penghentian injeksi serum autologus mingguan dimana kedua kelompok menunjukkan penurunan nilai mean skor TSS yang signifikan menurut statistik mulai dari pekan ke-9 sampai follow-up akhir. Penggunaan antihistamin menurun dari 100% pada awal penelitian di kedua kelompok menjadi 38,7% pada pasien ASST(+) dan 23,1% pada pasien ASST(-) (P < 0,05) pada akhir penelitian.
   
Untuk menghilangkan efek skor TSS yang bervariasi pada awal penelitian, persentase pengurangan TSS dihitung untuk semua pasien pada kedua kelompok (Gambar 1). Rata-rata persentase pengurangan skor TSS signifikan menurut statistik pada sembilan pekan dan terus berlanjut bahkan setelah injeksi dihentikan pada kedua kelompok. Penurunannya adalah 54% pada pekan ke-9 untuk pasien ASST(+) berbanding hanya 24% pada pasien ASST(-) (P = 0,03).
   
Selama 12-16 pekan selanjutnya, skor TSS terus menunjukkan penurunan pada kedua kelompok dan pengurangan akhir adalah 65% pada pasien ASST(+) dan 53% pada pasien ASST(-) (P > 0,05). Pada pekan ke-9, penurunan nilai TSS dari nilai awal mencapai signifikansi statistik pada semua parameter dalam kelompok ASST(+) dan pada semua parameter kecuali jumlah bintul (P=0,13) dan durasi persistensi (P=0,16) pada kelompok ASST(-). Pada kunjungan awal, tidak ada pasien yang termasuk kategori bersih atau keparahan ringan pada kedua kelompok [Gambar 2]. Akan tetapi, pada kunjungan follow-up terakhir, 35,5% pasien bersih sempurna dari urtikaria dan 24,2% hanya memiliki penyakit ringan pada kelompok ASST(+). Untuk kelompok ASST(-) 23% bersih total dan 23% masih memiliki penyakit ringan.

PEMBAHASAN
   
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efikasi terapi serum autologus (AST) pada urtikaria kronis dengan durasi lebih dari 6 bulan. Kami memilih menggunakan darah autologus menggantikan darah utuh karena alasan berikut:
1.Faktor autoreaktif yang bersirkulasi terdapat dalam serum, bukan dalam komponen seluler darah.
2.Jarum-jarum yang lebih halus bisa digunakan untuk menginjeksikan serum dibanding dengan darah utuh, sehingga mengurangi rasa sakit pasien dan meningkatkan ketaatan perawatan.

3.Darah utuh harus diinjeksikan secepat mungkin setelah diambil untuk menghindari kemungkinan pembekuan, sehingga memerlukan kerjasama pasien yang meningkat.

Berbeda dengan sebuah laporan sebelumnya, hasil yang kami temukan menunjukkan bahwa AST merupakan sebuah pengobatan yang efektif bahkan pada beberapa pasien yang negatif ASST. Mirip dengan kebanyakan laporan sebelumnya pada pasien urtikaria kronis, hampir setengah dari pasien dalam penelitian ini (195 dari 394, 39,5%) memiliki reaksi positif terhadap serum autologus. Akan tetapi, jumlah yang kami peroleh lebih rendah dibanding yang dilaporkan oleh Godse dari Mumbai. Parameter-parameter demografi dan historis cukup mirip pada kedua kelompok. Walaupun tak satupun dari perbedaan skor antar-kelompok untuk keenam parameter keparahan (ukuran lesi, jumlah, frekuensi, persistensi, gatal dan penggunaan antihistamin) yang signifikan menurut statistik, terdapat perbedaan jelas ketika pasien distratifikasi menjadi kategori ringan, sedang, dan parah berdasarkan skor keparahan total (TSS). Pasien pada kelompok ASST(+) yang dikelompokkan sebagai “parah” jumlahnya lebih besar dibanding kelompok ASST(-) (P = 0,02). Pada tahun 1999, Sabroe dkk., melaporkan bahwa pasien ASST(+) memiliki lesi yang lebih luas dan pruritus serta gejala-gejala sistemik yang lebih parah. Akan tetapi, laporan-laporan lain telah menunjukkan tidak adanya perbedaan atau sedikit perbedaan simptomatologi antara pasien yang positif ASST dan yang negatif ASST – durasi penyakit yang sedikit lebih tinggi dan penggunaan antihistamin yang lebih tinggi.
   
AST dapat ditolerir dengan baik dan tak satupun pasien yang melaporkan adanya efek samping kecuali luka lokal yang berlangsung 12 sampai 24 jam. Kami tidak menemukan adanya luka memar pada tempat-tempat injeksi walaupun ini dilaporkan terjadi pada beberapa pasien yang diberikan injeksi darah-utuh autologus untuk urtikaria kronis pada sebuah penelitian sebelumnya.
   
Staubach dkk. melakukan evaluasi follow-up 4 pekan setelah injeksi terakhir (injeksi ke-8) dengan menggunakan darah utuh autologus dalam penelitian mereka. Kami secara spesifik memilih durasi follow-up yang 3-4 kali lebih lama dibanding Staubach dan rekan-rekannya agar dapat secara akurat menilai ketahanan dan efek supresif dari bentuk perawatan ini.
   
Hasil kami menunjukkan bahwa hampir 60% pasien ASST(+) menunjukkan perbaikan signifikan tanda-tanda dan gejala-gejala setelah sembilan injeksi serum autologus mingguan [Gambar 1]. Ini sedikit lebih rendah dibanding yang dilaporkan oleh Staubach dkk. (70%). Akan tetapi, kedua penelitian ini sulit untuk mendapatkan hasil yang sama karena mereka menggunakan sistem skoring yang sedikit berbeda dan rata-rata keparahan penyakit serta durasinya pada pasien yang mereka teliti jauh lebih rendah dibanding penelitian ini.
   
Yang lebih penting, kami telah menunjukkan bahwa perbaikan terus berlanjut selama sekurang-kurangnya 3-4 bulan setelah injeksi terakhir. Respons yang paling mendukung ditemukan pada 35% pasien ASST(+) dan mengejutkannya, 23% dari pasien ASST(-) yang telah sembuh sempurna dan belum mengalami kekambuhan selama 12-16 pekan setelah ASI terakhir. Sebetulnya, enam pasien yang telah sembuh sempurna dengan ASI telah melanjutkan follow-up selama lebih dari 2 tahun dan tetap asimptomatik. Setelah 12 dan 18 bulan, dua dari mereka mengalami kekambuhan dan telah diberikan injeksi serum autologus pendorong yang mereka respon kembali (data tidak ditunjukkan).
   
Rata-rata persentase pengurangan data TSS [Gambar 2] secara jelas menunjukkan bahwa terjadi penurunan keparahan yang lebih cepat dan lebih dramatis pada kelompok ASST(+)  selama fase pengobatan. Kecenderungan ini berlanjut sampai 12-18 pekan selanjutnya dan skor ASST(+) masih lebih rendah dibanding skor ASST(-) pada follow-up 21-25 pekan akhir. Akan tetapi, perbedaan tidak signifikan menurut statistik pada titik ini (65 berbanding 43%, P > 0,05). Jika dibandingkan, Staubach dkk. melaporkan pengurangan yang signifikan hanya pada pasien ASST(+) (41%) sedangkan pasien ASST(-) hanya menunjukkan pengurangan skor keparahan 21%, yang mana tidak berbeda dari kelompok plasebo.
   
Karena kami tidak mengetahui secara pasti bagaimana uji serum autologus bekerja, kami hanya bisa memperkirakan mekanisme yang mendasari perbaikan signifikan pada hampir setengah dari semua pasien ASST(-) dalam penelitian kami. Faktor pertama adalah sifat uji ASST yang relatif tidak baku. Bradykinin dilepaskan ketika serum dipisahkan dan faktor komplemen C5 teraktivasi menjadi C5a. Keduanya bisa menyebabkan reaksi tipe langsung yang false positive. Disamping itu juga, terdapat kesesuaian yang buruk antara kepositifan ASST dengan antibodi-antibodi yang bersirkulasi terhadap IgE atau FcεR1α. Jumlah pasien ASST(+) yang memiliki antobodi anti-FcεR1α cukup bervariasi mulai dari 40 sampai <20%. Ini berarti bahwa kebanyakan pasien yang bereaksi dengan ASST tidak memiliki antibodi anti-FcεR1α/IgE yang bersirkulasi. Disisi lain, meskipun penelitian-penelitian terdahulu melaporkan <2% kepositifan anti-FcεR1α pada pasien ASST(-), namun penelitian-penelitian terbaru telah mendeteksi antibodi-antibodi ini pada pasien ASST(-) sebanyak dengan yang dideteksi pada pasien ASST(+) dan bahkan pada kontrol yang sehat. Permasalahan lebih diperumit oleh metode-metode berbeda yang digunakan untuk mendeteksi antibodi anti-FcεR1α dengan imunoblotting yang kurang sensitif dibanding uji pelepasan histamin.
   
Masih jauh dari jelas faktor mana yang diidentifikasi oleh ASST positif. Sedikit ada kemungkinan bahwa kepositifan ASST mencerminkan sebuah keadaan autoreaktif terhadap beberapa faktor bersirkulasi dalam darah pasien sendiri. Hasil false negative pada ASST bisa menjelaskan sebagian respons yang baik terhadap injeksi serum autologus seperti yang terlihat pada pasien urtikaria kronis negatif-ASST dalam penelitian ini.
   
Kekurangan utama penelitian ini adalah jenis penelitian yang tidak terkontrol dan tidak tersamarkan. Kami tidak memilih menggunakan kelompok plasebo dalam penelitian ini karena kami memilih pasien yang terkena parah. Penelitian terkontrol-plasebo yang lebih besar dengan pasien CIU yang tidak diseleksi diperlukan untuk menilai manfaat terapi ini pada pasien-pasien kami.
   
Sebagai kesimpulan, kami telah menunjukkan bahwa metode lama autohemoterapi masih potensial ketika disajikan dalam sebuah wahana yang baru sebagai terapi injeksi serum autologus, dan masih memiliki daya tarik bagi para dokter dan pasien. Akan tetapi, kami tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau kapan terapi ini bekerja tetapi terapi ini bisa menjadi terapi yang murah, efektif dan berpotensi menyembuhkan pada beberapa pasien yang mengalami urtikaria kronis membandel. Reaktifitas uji kulit serum autologus mungkin tidak dapat diandalkan dalam menunjukkan peluang-peluang respons terhadap bentuk terapi ini dan banyak pasien negatif-ASST yang juga bisa terbantu dengan pengobatan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders