Teknologi Imunoasai Enzim – Aplikasi dalam Produksi dan Pengolahan Sereal

Pendahuluan
   
Imunoasai diagnostik medis moderen yang pertama (imunoasai enzim atau radio-imunoasai) dikomersialkan di awal tahun 1970an. Metode-metode ini memiliki kesensitifan dan spesifitas yang jauh lebih baik dibanding uji-uji kimiawi, uji imunologi, dan uji biologis sebelumnya untuk hormon-hormon dan molekul-molekul yang memiliki signifikansi patologis. Akan tetapi, para analis makanan dan ilmuwan pertanian cukup lambat dalam mengadopsi teknik-teknik imunoasai, meskipun cukup sederhana dan pengaplikasian yang potensial terhadap berbagai zat (Allen, 1986; Lankow dkk., 1987). Tidak hanya protein yang bisa dideteksi dengan imunoasai, tetapi juga polisakarida dan molekul-molekul organik yang kecil, baik yang terbentuk secara alami (seperti vitamin, hormon dan mikotoksin) maupun buatan manusia, seperti residu herbisida dan pestisida.

   
Meskipun uji-uji imunologi untuk berbagai aspek kualitas gandum telah ditemukan sejak tahun 1920an (Nelson dan Birkeland, 1929), teknik-teknik awal, yang didasarkan pada presipitasi kompleks antigen-antibodi, tidak terlalu cocok untuk pengaplikasian rutin dalam analisis makanan atau biji-bijian. Dua kemajuan utama dalam lima belas tahun terakhir telah memperluas aplikasi teknik-teknik imunologi. Perkembangan metode-metode imunoasai enzim sederhana, yang cepat, simpel, murah, dan cocok untuk digunakan dengan antigen yang terlarut-air dan yang tidak terlarut-air, telah menjadi faktor utama dalam menjadikan teknologi imunoasai terjangkau bagi para non-imunologis dan memungkinkan uji dilakukan di “lapangan”. Teknologi antibodi monoklonal, meskipun tidak penting bagi perkembangan uji-uji ini, telah memungkinkan tersedianya berbagai probe analitik tanpa ada kekurangan-kekurangan dalam hal perbedaan hasil tiap pengulangan uji dalam hal karakteristik spesifitas seperti yang ditemukan pada antisera konvesional (poliklonal).
   
Dalam bab ini, aplikasi terkini dan potensial untuk teknik-teknik imunologi dalam produksi dan pengolahan sereal (lihat Tabel I) akan dibahas. Penekanan khusus diberikan terhadap subjek-subjek berikut: (1) pendeteksian gluten pada makanan, (2) kendali proses dalam malting dan brewing, (3) pendeteksian mikotoksin imunologik dalam biji-bijian, dan (4) imunoasai untuk pestisida dan herbisida.

PENDETEKSIAN GLUTEN DALAM MAKANAN SECARA IMUNOLOGI
   
Banyak makanan olahan yang mengandung protein sereal. Dalam produk-produk daging protein ini bertindak sebagai pengikat untuk memperbaiki tekstur, membantu retensi air dan lemak, dan sebagai pengembang, mengurangi biaya produk jadi. Ada kadar maksimum yang ditentukan oleh hukum, di kebanyakan negara maju, yang mengatur penambahan protein sereal dan protein non-daging lainnya ke dalam daging olahan (lihat Skerritt, 1988a.b). Batasan-batasan ini sulit untuk dipantau karena protein sereal asing harus dibedakan dari protein daging; sebuah masalah yang menjadi rumit ketika produk telah dipanaskan selama pemrosesan, sehingga menghasilkan perubahan kelarutan protein dan sifat-sifat lainnya.
   
Juga diperlukan sebuah metode analitis untuk protein sereal karena sangat banyak orang (antara 1/300 dan 1/10.000 ras Kaukasoid di negara-negara berbeda) tidak bisa mentolerir sereal tertentu dalam diet mereka. Meskipun alergi-alergi terhadap sereal terjadi (Goodwon dan Rawcliffe, 1983), intoleransi sereal yang paling diketahui adalah penyakit celiac, dimana sereal tertentu merusak villi absorpsi dari usus kecil (Cooke dan Holmest, 1984; Cole dan Kaggnoff, 1985). Komponen protein noxious gandum, rye (gandum hitam) dan barley tinggal dalam fraksi terlarut etanol cair (prolamin) dari gugus protein yang terlarut air dan garam, yang sering disebut gluten. Orang-orang yang rentan memerlukan eliminasi protein sereal ini dari diet mereka. Meskipun sumber pasti dari protein sereal bisa dihindari, namun protein-protein ini sering ditemukan pada sumber-sumber yang tidak diharapkan. Tepung gandum dan starch kualitas buruk (dengan kandungan gluten tinggi) sering digunakan sebagai agen penebal dalam sous dan desert. Protein barley residual dari malting bisa ditemukan dalam bir dan dalam minuman susu serta sebagai bumbu pada beberapa sereal sarapan yang berbasis jagung dan beras. Gluten sering terdapat dalam produk-produk lain seperti confectionery dan juga sebagai pengikat tablet dalam industri farmasi.
   
Kedua pertimbangan ini, penegakan persyaratan komposisi makanan dan kontrol ketat terhadap diet orang-orang yang tidak toleran gluten telah menimbulkan beberapa pendekatan untuk menghitung dan mengidentifikasi protein sereal dalam makanan. Analisis asam amino mikroskopis dan pendekatan HPLC telah digunakan dan berhasil (lihat Skerritt, 1988a) tetapi memiliki kendala berupa persyaratan akan peralatan khusus dan personil yang berpengalaman. Metode-metode ini mengalami gangguan akibat komponen-komponen makanan lain, dan hasilnya tidak menentu.
   
Elektroforesis protein pada gel-gel poliakrilamida sampai sekarang ini telah menjadi alat utama untuk mengidentifikasi protein sereal dalam campuran (Wrigley, 1977; Rizvi dkk., 1980). Metode ini telah terbukti berhasil dalam mengidentifikasi genotip varietas gandum (Wrigley dan Shepherd, 1974). Akan tetapi, metode-metode elektroforesis memiliki pengaplikasian yang terbatas setelah baking atau pengolahan protein sereal dan preparasi sampel yang banyak mungkin diperlukan untuk pendeteksian jumlah protein gluten yang sangat kecil. Diferensiasi pola-pola protein juga mungkin memerlukan penggunaan scanner gel yang mahal atau densitometer dan pengetahuan menyeluruh tentang pola-pola elektroforesis dari kontaminan-kontaminan yang mungkin. Pola-pola ini bisa berubah saat pemasakan dan, bahkan pada kondisi-kondisi ideal, hana perhitungan kasar protein pada analisis yang mungkin dilakukan. Kesensitifan metode-metode elektroforesis untuk pendeteksian protein biasana lebih rendah dibanding prosedur-prosedur imunologi moderen, dan metode moderen ini lebih cocok untuk penanganan banyak sampel. Terakhir, waktu keseluruhan yang diperlukan untuk kebanakan analisis elektroforesis juga lebih besar.
   
Salah satu uji antibodi pertama dalam makanan adalah metode difusi ganda dari Zareba (1968); dalam penelitian ini roti normal yang bebas gluten diekstraksi pada kondisi basa. Keyser dan Mahler (1973) juga menggunakan kondisi-kondisi basa untuk penelitian serupa dengan preparasi starch, walaupun Lietze (1986) mampu menggunakan ekstrak-ekstrak buffer-fosfat netral untuk penelitian serupa dengan preparasi starch, walaupun Lietze (1986) mampu menggunakan ekstrak buffer fosfat netral untuk pendeteksian gluten dalam roti diet khusus; perkirakan kuantitatif tidak didapatkan secara jelas. Guenther (1977) menganalisis beberapa sampel jaging untuk protein soya dan gandum dengan imunodifusi radial tunggal menggunakan antisera yang tersedia secara komersial, meskipun Baudner (1978) menemukan banyak metode difusi gel untuk analisis kualitatif gliadin pada makanan, termasuk produk-produk roti.
   
Karena kelarutan dalam air yang rendah dan kompleksitas protein gluten yang tinggi, metode-metode difusi gel telah menimbulkan banyak masalah dalam pendeteksian gluten, khususnya pada makanan-makanan olahan. Beberapa tahun terakhir, beberapa kelompok peneliti telah menemukan sejumlah imunoasai enzim dan radio-imunoasai yang sangat sensitif untuk protein gluten. Ciclitira dan Lennox (1983) dan Ciclitira dkk., (1985) menemukan sebuah uji yang menggunakan A-gliadin berlabel radioiodin (merupakan sebuah gliadin alfa khusus yang telah dibuktikan toksik-celiak oleh beberapa peneliti) dan antisera kelinci, yang sebagian besar merupakan alfa-gliadin dan beta-gliadin yang dideteksi. Pendeteksian gliadin secara kualitatif, tetapi tidak secara kuantitatif, memungkinkan dilakukan setelah baking; disamping itu, antiserum ini tidak mendeteksi problamin dari sereal toksik-celiak lainnya. Analisis beberapa produk yang dianggap bebas gluten dengan antibodi ini menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya satu produk mengandung jumlah gliadin yang cukup tinggi (6,4 mg/g) (Ciclitira dkk., 1983). Baru-baru ini, kelompok ini (Freedman dkk., 1987a,b) telah membuat uji berbasis antibodi monoklonal untuk gluten dalam makanan, yang bisa mendeteksi gluten dari barley dan antibodi akan mencegah diperolehnya hasil kuantitatif dengan makanan masak atau olahan.
   
Windrmenn dan rekan-rekannya (Windemann dkk., 1982; Meier dkk., 1984) menemukan berbagai imunoasai enzim heterogen yang cocok untuk menghitung A-gliadin (gliadin alfa khusus) atau gliadin utuh. Uji kompetitif dengan menggunakan antigen berpasangan enzim dan uji “sandwich” dengan menggunakan antibodi tidak berlabel telah dikembangkan; kedua uji ini sensitif terhadap jumlah gliadin dalam satuan nanogram per milimeter. Seperti halnya uji difusi gel, imunoasai enzim-kompetisi dan sandwich memerlukan beberapa kelarutan gliadin pada kondisi-kondisi dimana aktivitas antibodi tidak akan terhambat, yakni, pada sebuah buffer netral dengan tidak adanya agen-agen pendenaturasi seperti urea. Karena kesensitifan yang lebih besar untuk tipe uji terakhir ini dibanding dengan uji difusi gel, kondisi-kondisi ini biasanya dapat dicapai. Beberapa peneliti telah menggunakan imunoasai enzim sandwich untuk pendeteksian gliadin pada berbagai makanan yang tidak dipanaskan (Fritschy dkk., 1985; Troncone dkk., 1986). Antiserum digunakan dengan mereaksikannya dengan rye. Salah satu masalah yang diamati oleh para peneliti ini dengan menggunakan antisera spesifik seperti ini adalah perbedaan pengikatan antibodi, yang akan mempersulit perhitungan gliadin.    
   
Penelitian McKillop dkk., (1985) membandingkan berbagai format imunoasai enzim untuk pengukuran gliadin pada makanan. Format yang paling sederhana, yang melibatkan adsorpsi pasif standar gliadin dan ekstrak-ekstrak makanan secara langsung ke atas wadah plat-plat mikro plastik, diikuti dengan pendeteksian menggunakan antisera anti-gliadin kelinci berlabel enzim, cukup sensitif dengan preparasi gliadin murni tetapi komponen-komponen makanan sangat terganggu dengan pendeteksian gliadin. Ini kemungkinan disebabkan oleh “efek matriks”, yakni, kompetisi oleh gliadin dengan protein makanan lain untuk tempat pengikatan yang terbatas pada permukaan wadah-mikro plastik. Mereka menunjukkan bahwa uji adsorpsi langsung dengan menggunakan fase padat plastik bisa hanya cocok untuk fluor atau campuran baking “bebas-gluten” yang sederhana.
   
Peneliti-peneliti ini juga mengembangkan sebuah uji kompetisi dengan menggunakan gliadin berlabel, walaupun mereka mengalami kesulitan dalam mempersiapkan jumlah material yang cukup. Masalah lain dengan uji seperti ini, ketika digunakan untuk menghitung campuran kompleks seperti gluten, adalah bahwa pelabelan beberapa protein gluten bisa terjadi dan sehingga aktivitas antigenik dari protein yang diberi label bisa berbeda dari gliadin yang tidak diberi label. Akibatnya. McKillop dkk., (1985) mendukung penggunaan uji sandwich, dan mengembangkan uji “dinamik” baru dengan peningkatan konsentrasi gliadin enam kali lipat, menghasilkan penambahan absorbansi produk imunoasai sebanyak dua kali lipat. Pertimbangan-pertimbangan seperti ini sama pentingna dengan sensitifitas, jika sebuah uji akan digunakan untuk pendeteksian gluten kuantitatif karena protein flour telah dipanaskan dalam baking atau pemrosesan makanan karena gliadin-gliadin ini telah mengalami denaturasi. Perbedaan kadar antibodi dan spesifitas antara antisera dari berbagai hewan juga menjadikan standardisasi antisera poliklonal untuk tujuan analitik cukup sulit.
   
Selama pembuatan antibodi-antibodi monoklonal terhadap protein-protein sereal, beberapa antibodi berafinitas tinggi diisolasi yang terikat ke protein simpanan yang tidak sensitif panas dan rendah kadar sulfurnya dari spesies sereal toksik, tetapi tidak terhadap protein dari spesies non-toksik seperti beras atau gandum (Skirritt dkk., 1984). Antibodi-antibodi ini menjadi dasar sebuah tes sederhana untuk gluten bukan hanya pada flour dan campuran baking, tetapi pada makanan yang telah dimasak atau telah diolah secara ekstensif. Uji seperti ini akan memiliki pengaplikasian untuk para analis makanan dan lainnya dalam menentukan makanan yang “aman” dan “toksik” untuk individu sensitif sereal. Uji kuantitatif untuk gluten bisa digunakan oleh pembuat makanan untuk memantau atau mengontrol penggunaan protein sereal ke dalam makanan.
   
Dalam mengembangkan uji tersebut, diperlukan untuk mencari pengekstrak yang efisien meski mempertahankan kepaduan antigenik protein gliadin yang padanya terikat antibodi. Klon-klon antibodi yang sesuai untuk uji tersebut ditemukan yang memiliki sensitifitas gluten tinggi dan spesifitas sereal yang sesuai, dengan medeteksi sereal toksik tetapi tidak mendeteksi sereal yang aman seperti beras atau gandum. Banyak sampel yang telah diperiksa untuk memastikan bahwa protein makanan non-gluten yang umum tidak menghasilkan hasil false positive dan sehingga gluten bisa dideteksi jika ada.
   
Beberapa format uji telah dikembangkan yang mana telah berhasil mengkuantifikasi protein-protein gluten pada sampel makanan yang tidak diketahui. Dengan banyak cara, sampel-sampel makanan merupakan sampel yang lebih menantang untuk dianalisis dibanding cairan-cairan biologis seperti serum atau urin karena komposisinya (misalnya, pH, lipid, garam dan kandungan protein) serta bentuk-bentuk fisik bisa sangat bervariasi. Format-format uji yang dibuat untuk penghitungan antigen gluten mencakup uji capture-tag (“sandwich”) dan uji kompetisi-antigen serta imunoasai langsung sampel makanan yang diimobilisasi pada membran-membran pengikat protein, seperti nitroselulosa. Beberapa aplikasi penelitian dari format-format uji ini telah disebutkan dalam literatur tetapi dengan modifikasi tertenti, uji-uji ini bisa disederhanakan dan dipersingkat menjadi kurang dari sepuluh menit. Jadi jelas, dalam berkompetisi dengan format imunoasai sandwich, dimana antibodi dan ekstrak antigen diinkubasi secara simultan, ekstrak antigen (termasuk alkohol, urea atau pengekstrak makanan lainnya) harus diencerkan beberapa kali dalam buffer “renaturing” sebelum penambahan ke larutan antibodi. Dengan pengekstrak makanan yang sesuai (dan perlakuan pasca-imobilisasi), ekstrak-ekstrak makanan bisa juga diaplikasikan secara langsung ke membran-membran pengikatan protein sebelum perlakuan singkat dengan kompleks enzim-antibodi diikuti dengan substrat enzim yang menghasilkan produk berwarna yang tidak larut. Perkembangan terbaru dalam substrat, khususnya untuk enzim, alkalin fosfatase (yang umum digunakan dalam konyugat antibodi) memungkinkan penentuan gluten semi-kuantitatif yang sangat sensifit dalam makanan. Format-format imunoasai enzim dengan menggunakan fase padat plastik transparan dan substrat enzim yang menghasilkan produk-produk berwarna terlarutkan, memungkinkan kuantifikasi gluten dan antigen. Dengan menggunakan metode-metode ini kami telah mengkuantifikasi gluten pada makanan celiac tertentu (campuran baking, kue kering), makanan-makanan panggang, daging olahan, sop, cinfectioner dan analgesik, dengan sedikit gangguan dari komponen makanan lain.
   
Sebagai kesimpulan, metode-metode yang berbasis monoantibodi untuk pendeteksian gluten memiliki beberapa kelebihan dibanding metode analisis lainnya. Metode-metode ini cocok untuk makanan masak dan olahan serta makanan mentah, dan preparasi sampel yang lama (seperti konsentrasi, dialisis atau pengawalemakkan) tidak diperlukan. Metode-metode ini cukup sederhana, tidak mahal dan terpercaya dan memungkinkan penentuan gluten secara kualitatif atau kuantitatif dalam sampel. Lebih jauh, kesensitifan tes ini dapat berubah dengan mengubah konsentrasi antibodi atau volume ekstraksi. Uji-uji ini ideal untuk persyaratan dalam mendapatkan perkiraan kuantitatif kandungan gluten dalam makanan, untuk tujuan kendali proses pada produksi starch gandum dan gluten, kendali kualitas material mentah dan pemantauan kepatuhan pengolah daging terhadap peraturan agn berlaku. Akan tetapi, meskipun metode-metode ini juga lebih baik dibanding teknologi yang ada untuk pendeteksian protein toksik-celiak dari gandum, rye, dan barley pada makanan; beberapa poin harus diperhatikan. Peptida-peptida khusus atau urutan-urutan asam amino yang toksik pada kondisi seliak belum dibuktikan; tentunya, mungkin tidak seperti ini jika terdapat banyak fraksi omega-gliadin yang dideteksi pada uji-uji gluten kuantitatif. Meskipun beberapa peneliti menganggap alfa-gliadin sebagai gliadin yang paling toksik pada kondisi celiac, sebuah penelitian telah menemukan sedikit atau tidak ada urutan tipe alfa-gliadin pada rye atau barley (sejenis gandum untuk membuat bir), walaupun sifat toksik dari seral-sereal ini bisa dipastikan. Lebih jauh, meskipun telah diketahui bahwa gandum, rye dan barley bersifat toksik pada kondisi toksik dan antibodi monoklonal dengan reaktifitas silang yang sesuai telah dihasilkan dan digunakan dalam uji gluten, toksisitas relatif dari sereal tertentu belum ditentukan. Terakhir, ada kemungkinan bahwa perlakuan enzim protein gluten tertentu untuk digunakan dalam aplikasi makanan khusus bisa mengurangi antigenisitas gluten tetapi tidak merubah toksisitasnya. Identifikasi peptida-peptida toksik secara definitif pada gluten dan preparasi probe-probe khusus untuk peptida-peptida ini akan menghilangkan banyak masalah ini.


PENGENDALIAN MUTU DALAM MALTING BARLEY
   
Malting menunjuk pada germinasi terkontrol dari biji-bijian tertentu, biasanya barley (sejenis gandum untuk pembuatan bir), seperti hidrolisis parsial karbohidrat dan protein terjadi meskipun ada sedikit kehilangan bobot endosperma melalui tunas dan akar dan kehilangan respirasi. Kegunaan utama malt barley adalah dalam brewing bir, tetapi malt juga banyak digunakan untuk penyedap rasa, suplemen enzim (seperti pada baking) dan produksi vinegar dan bahan kimia industri. Pengendalian proses malting, khususnya untuk aplikasi brewing, sangat penting, dan komponen biji-bijian bisa menyebabkan masalah-masalah pengolahan seperti sifat filtrasi yang buruk dan haze bir. Disisi lain, malt yang dimodifikasi berlebihan bisa menghasilkan bir yang kekurangan rasa dan stabilitas foam.
   
Besarnya modifikasi saat ini ditentukan dengan ekstraksi malt dalam air dan analisis ekstrak ini untuk indeks refrektif, kandungan gula dan nitron. Meskipun metode-metode seperti ini banak digunakan, metode-metode ini tidak tepat dan relatif lambat. Metode-metode yang berbasis antibodi telah digunakan selama bertahun-tahun dalam penelitian tentang malting, tetapi upaya-upaya untuk menerapkan metode-metode ini dalam analisis rutin belum dilakukan. Dengan pengetahuan bahwa perbedaan kualitatif dan kuantitatif komposisi protein antara sampel malt bisa mempengaruhi hidrolisis endosperma (modifikasi) dan pengolahan malt selanjutnya selama brewing, uji-uji yang berbasis antibodi telah dibuat untuk menghitung modifikasi seperti ini. Dengan menggunakan antibodi-antibodi monoklonal yang memiliki spesifitas untuk komponen protein simpanan tertentu, ada kemungkinan untuk secara cepat menilai tingkat modifikasi protein pada sampel malt uji dengan menggunakan sebuah imunoasai enzim. Pada saat enzim-enzim hidrolitik penerang antigen-antigen protein simpanan, tempat-tempat pengikatan  (epitop) untuk antibodi-antibodi monoklonal hilang secara progresif. Analisis berbagai antibodi monoklonal, dengan ekstrak malt dari tahapan-tahapan germinasi berbeda menunjukkan bahwa tingkat penurunan pengikatan antibodi selama malting sangat bervariasi. Setelah 48 jam germinasi, pengikatan beberapa antibodi tidak berkurang signifikan, sedangkan antibodi lainnya menunjukkan 40 sampai 50 persen pengurangan. Antibodi-antibodi yang cocok untuk uji ini tidak hanya harus menunjukkan penurunan bertahapan tingkat pengikatan selama malting, tetapi tidak boleh menunjukkan variasi pengikatan berkaitan dengan varietas seperti yang ditemukan pada beberapa antibodi (Burbidge dkk., 1986).
   
Hubungan antara hasil absorbansi dalam imunoasai enzim dan berbagai parameter kualitas malt dinilai dengan menggunakan beberapa kumpulan sampel. Dengan sembilan kultivar yang berbeda dalam hal kualitas malting, korelasi positif yang signifikan antara modifikasi dinding sel dan penurunan pengikatan tiga antibodi dapat ditemukan, keduanya untuk malt pendek (48 jam germinasi) dan malt penuh. Pada banyak kasus, korelasi signifikan antara kadar beta-glukan dalam malt (yang diketahui memiliki pengaruh utama terhadap kualitas malt) dan modifikasi protein ditemukan, walaupun modifikasi protein dan modifikasi karbohidrat agak berbeda pada beberapa.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders