Reparasi Luka: Mekanisme dan Pertimbangan Praktis

Penyembuhan luka dan reparasi luka adalah dua istilah yang sering digunakan secara bergantian, tetapi kedua istilah ini sebenarnya menunjuk pada rangkaian proses dan hasil yang berbeda. Penyembuhan luka (wound healing) adalah sebuah istilah yang seharusnya digunakan hanya dalam konteks regenerasi, ketika susunan dan struktur sebuah organ atau bagian anatomi pulih sempurna seperti sebelum cedera. Hewan-hewan yang lebih primitif, seperti amfibi dan reptil kecil, masih mampu melakukan tipe regenerasi ini. Akan tetapi, pada hewan yang lebih besar dan lebih kompleks,  regenerasi tidak mungkin lagi. Pada manusia dewasa, dengan kemungkinan pengecualian untuk organ hati, regenerasi sejati tidak terjadi. Justru, manusia, dan vertebrata tingkat-tinggi lainnya sembuh melalui sebuah proses reparasi, dimana hasil akhirnya bukan pemulihan (restorasi) anatomi tetapi kompromi fungsional.

   
Secara teleologi dan dari sudut pandang evolusioner, proses reparasi untuk hewan-hewan tingkat-tinggi perlu berlangsung cepat dan memungkinkan kelangsungan hidup yang seketika bagi organisme. Terkecuali cedera pada kulit janin, reparasi menghasilkan scarring. Pertimbangan lain adalah bahwa kebanyakan mekanisme reparasi luka yang telah dikembangkan bertujuan untuk mengatasi cedera jaringan akut. Jika ditinjau dari sudut pandang evolusioner kembali, manusia dianggap tidak mengalami penyakit degeneratif atau hidup cukup lama untuk mengalami ulser arterial, vena, dan ulser tekan atau ulser neuropati akibat diabetes. Dengan demikian, manusia tidak memiliki persiapan untuk mengalami tipe-tipe luka kronis ini, dan tidak ada mekanisme khusus yang telah dibuat untuk mengatasinya dengan cara yang efektif.
   
Perlu dicatat bahwa luasnya cedera dan kedalamannya merupakan pertimbangan-pertimbangan penting. Sehingga, luka-luka dangkal (atau shave biopsy) dengan apendase kulit yang masih utuh (folikel rambut, kelenjar keringat, dll) di dasar luka memiliki kapasitas untuk sembuh dari “dalam” karena keratinosit-keratinosit yang terkait dengan apendase kulit tersebut masih ada. Disisi lain, luka seluruh lapisan (biopsi jarum contohnya) harus bergantung pada migrasi keratinosit dan proliferasi dari kulit di sekitarnya. Tidak mengherankan, luka seluruh lapisan memiliki penyembuhan yang lambat dan menghasilkan lebih banyak scarring. Beberapa model hewan, khususnya yang memiliki ekspresi gen tertentu yang berlebihan atau yang di-knockout, dapat memberikan pemahaman yang banyak tentang peranan protein dan mediator tertentu. Penyembuhan yang terhambat ditemukan pada mencit yang kekurangan molekul-molekul yang penting dalam inflamasi (E-selektin dan P-selektin), dan pada mencit yang tidak memiliki plasminogen, uPa, dan tPA (knockout ganda), faktor pertumbuhan fibroblast 2 (FGF basa (bFGF)], atau oksida nitrat terinduksikan. Disisi lain, penyembuhan luka yang terhambat atau tertunda terjadi pada mencit transgenik yang memiliki eskpresi berlebihan untuk beberapa metalloproteinase matriks jaringan [MMP (MMP-1)] dan antisens terhadap CD44, reseptor untuk asam hyaluronat. Beberapa mutasi yang ditimbulkan mengarah pada penyembuhan yang dipercepat, seperti dilaporkan dengan mencit knockout Smad-3 atau skn-1a. Di masa mendatang, petunjuk-petunjuk ini bisa digunakan untuk menstimulasi proses penyembuhan pada manusia.

FASE-FASE PENYEMBUHAN LUKA
   
Ada empat fase yang menandai proses reparasi kutaneous, yaitu: koagulasi, fase inflammatory, fase migrasi proliferatif, dan fase penataan ulang (remodelling). Koagulasi dan fase inflammatory sering dikelompokkan bersama, karena mediator yang dilepaskan sama. Gbr. 249-1 menunjukkan fase-fase ini secara berurutan dan juga memperlihatkan bahwa hubungan linear yang memandu penyembuhan luka mulai dari cedera sampai reparasi tidak ditemukan pada luka-luka kronis, dimana prosesnya bisa singkat atau berulang. Perlu dicatat bahwa pembagian keseluruhan proses reparasi luka menjadi beberapa fase hanya untuk memudahkan, sebab fase-fase ini sangat timpang tindih.

Koagulasi dan Fase Inflammatory
   
Fase awal, koagulasi dan inflamasi, terjadi seketika setelah sebuah cedera akut. Gangguan pembuluh darah mengarah pada pelepasan sel-sel darah dan unsur-unsur yang berasal dari darah, menghasilkan pembentukan bekuan. Meskipun bekuan darah dalam lumen pembuluh menghasilkan hemostasis, tetapi bekuan dalam tempat cedera berfungsi sebagai sebuah matriks sementara untuk migrasi sel. Komponen awal dari fase ini didominasi oleh trombosit (platelet), yang mengarahkan pembekuan-darah luka baru melalui jalur-jalur intrinsik dan ekstrinsik. Trombosit juga melepaskan beberapa faktor kemotaktis yang menarik trombosit lain, leukosit, dan fibroblast ke tempat cedera. Leukosit menjadi lambat dalam aliran darah melalui ekspresi selektin, yang, bersama dengan integrin, membawa sel-sel darah putih inflammatory ke dalam luka. Sel-sel ini memiliki banyak peranan, termasuk debridema material nekrotik dan bakteri, serta produksi sitokin tertentu yang penting. Sebuah proses penting adalah produksi faktor pertumbuhan jaringan konektif oleh sel-sel inflammatory dan diekspresikan pada luka.
   
Sumbatan fibrin yang dihasilkan dari cedera awal berfungsi sebagai balutan luka temporer dan terdiri dari trombosit-trombosit yang tertanam dalam jalinan kompleks antara fibrinogen terpolimerisasi (fibrin), fibronektin, vitronektin, dan trombospondin. Pengikatan silang fibrin oleh faktor XIII juga memegang peranan penting, dan ada bukti yang menunjukkan bawa fungsi, dan kemungkinan, migrasi keratinosit, terhambat oleh fibrin yang tidak berikatan silang. Jika telah berkumpul, trombosit-trombosit melepaskan banyak faktor pertumbuhan, termasuk PDGF (faktor pertumbuhan dari trombosit) dan TGF-β1 (faktor pertumbuhan perubah-β1). Bahkan, trombosit/platelet adalah tempat penyimpanan utama untuk bentuk isomer dari TGF-β1. Daerah yang cedera akut, dengan karakteristik hipoksia, protease, dan pH rendah, berkontribusi bagi aktivasi faktor-faktor pertumbuhan ini. Mediator-mediator pokok ini dengan sendirinya menghasilkan mediator yang lain melalui fragmentasi atau polimerisasi. Contoh sederhana adalah fibrinopeptida A dan B kemotaktis, yang dihasilkan dari aksi trombin dan fibrinogen. Contoh lain adalah pembentukan bradikinin, serta C3a dan C5a, yang diaktivasi oleh faktor Hageman.
   
Ketika komponen inflammatory dari fase awal ini berlangsung, dalam waktu 24 jam sampai 48 jam setelah cedera, monosit-monosit menggantikan neutrofil dan menjadi leukosit yang dominan. Monosit-monosit ditarik ke tempat cedera oleh beberapa kemoatraktan sama yang bertanggungjawab untuk perekrutan neutrofil, seperti kallikrein, fibrinopeptida, dan produk-produk degradasi fibrin. Kemoatraktan lain yang lebih spesifik selanjutnya mengambil-alih dalam merekrut monosit, dan kemoatraktan-kemoatraktan ini mencakup fragmen-fragmen kolagen, fibronektin, elastin, dan TGF-β1. Monosit-monosit mengalami perubahan fenotip menjadi makrofage jaringan, dan berbeda dengan neutrofil, makrofage ini penting untuk perkembangan penyembuhan luka. Fagosit makrofage, membunuh bakteri dan mengikat debris jaringan. Mereka juga melepaskan beberapa faktor pertumbuhan, termasuk PDGF, FGF, dan TGF-β1, sehingga menstimulasi migrasi dan proliferasi fibroblast, serta produksi dan modulasi matriks ekstraseluler (ECM). Makrofage pada umumnya dianggap sebagai sel induk dalam penyembuhan luka. Akan tetapi, penganggapan tersebut terlalu sederhana, sebab penting untuk dipertimbangkan bahwa yang menunda atau menghambat penyembuhan bukan sebagian besar oleh ada atau tidak adanya inflamasi dan sel-sel tertentu tetapi justru oleh respon inflamasi yang tidak tepat. Sebagai contoh, ada bukti yang menunjukkan bahwa penyembuhan bisa terjadi tanpa adanya infiltrat inflammatory. Sebaliknya, eksperimen-eksperimen pada mencit yang mengekspresikan protein 10 kemotaktis terinduksikan sitokin interferon menunjukkan bahwa infiltrat inflammatory intens bisa mengganggu neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi. Dengan demikian, peranan sejati dari inflamasi pada reparasi jaringan tetap masih kontroversial jika ditinjau dari sudut padang eksperimental. Dari sudut pandang klinis, seseorang akan mengamati bahwa pada luka kutaneous tertentu, seperti pemfigus atau pyoderma gangrenosum, penurunan (downregulation) inflamasi dengan penggunaan kortikosteroid cukup efektif. Kemungkinan, modulasi dan “koreksi” respon inflammatory oleh kortikosteroid bisa membantu pada penyakit-penyakit klinis ini.

Fase Proliferasi/Migrasi dan Penataan-Ulang
   
Gbr. 249-2 mengilustrasikan sebuah representasi dari sumbatan fibrin dan proses-proses tertentu yang terjadi pada dua fase penyembuhan selanjutnya, yakni fase proliferatif/migrasi dan fase penataan-ulang. Setelah proses inflamasi, peristiwa terpenting selanjutnya dalam penyembuhan luka adalah re-epitelisasi. Peristiwa penting ini tidak bergantung pada keratinosit saja, karena ada saling-ketergantungan yang tinggi antara perpindahan keratinosit dalam matriks fibrin sementara, perekrutan fibroblast dan sel-sel endothelial, dan pembentukan ECM (lihat Gbr. 249-2). MMP dan enzim-enzim lain (tPA dan uPA) penting untuk perpindahan sel dalam komponen-komponen matriks struktural sementara, serta penting untuk melepaskan keratinosit-keratinosit pada pinggir luka dari lekatan desmosomal atau hemidesmosomalnya. Kelompok molekul yang penting lainnya dalam membantu memandu komponen-komponen migrasi ini adalah integrin. Integrin, yang terdiri dari sekurang-kurangnya 24 heterodimer αβ (18 subunit α dan 8 subunit β), merupakan reseptor permukaan sel transmembran yang mengikatkan ECM ke struktur sitoskeletal. Profil integrin sangat dinamis selama proses reparasi. Sebagai contoh, fibroblast dermal mengalami perubahan dari subunit integrin α2 menjadi α3 dan α5. Contoh lain, sel-sel endotelial tidak bisa merespon terhadap stimuli angiogenik tanpa ekspresi integrin αβ5. Faktor pertumbuhan polipeptida tertentu sangat esensial untuk angiogenesis, termasuk bFGF dan faktor pertumbuhan endotelial vaskuler (VEGF). Tabel 249-1 menunjukkan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan utama yang memegang peranan dalam proses reparasi. Perlu diketahui bahwa tabel ini adalah hasil dari penyederhanaan sifat-sifat biologis yang sangat kompleks dari polipeptida-pollipeptida ini. Hanya efek-efek utama yang disebutkan, dan harus selalu diingat bahwa aksi faktor-faktor pertumbuhan sering spesifik konteks dan tidak sama pada setiap situasi biologis.
   
Bukti menunjukkan tensi oksigen rendah sebagai sebuah stimulus awal yang penting untuk aktivasi fibroblast (dan sel endotelial). Replikasi fibroblast dan umurnya yang panjang meningkat pada hipoksia, dan tensi oksigen yang rendah menstimulasi ekspansi klonal dari fibroblast-fibroblast dermal yang tertanam dalam sel-sel tunggal. Lebih lanjut, sintesis beberapa faktor pertumbuhan meningkat pada se-sel hipoksik. Makrofage mensekresikan sebuah zat angiogenik hanya apabila mereka terpapar terhadap tensi oksigen yang rendah. Efek yang dapat balik (reversibel) ini terjadi pada tensi oksigen 15 sampai 20 mmHg. Transkripsi TGF-β1 dan sintesis peptida meningkat pada kultur fibroblast dermal manusia yang dipaparkan terhadap tingkat hipoksia yang serupa. Disamping itu, hipoksia meningkatkan sintesis endotelin-1, rantai PDGF β, dan VEGF pada sel-sel endotelial. Tampak bahwa, sekurang-kurangnya pada beberapa kasus, efek kondisi-kondisi hipoksia diperantarai oleh faktor terinduksikan hipoksik-1, sebuah kompleks pengikat DNA yang mengandung sekurang-kurangnya 2 protein helix-loop-helix periodic acid-Schiff–domain pokok.
   
Peranan hemidesmosom dan desmosom telah diketahui untuk berbagai penyakit kulit dimana terdapat gangguan integritas struktural keseluruhan (seperti pemfigus, pemfigoid bulosa, epidermolisis bulosa). Akan tetapi, selama penyembuhan luka dan agar migrasi keratinosit terjadi, diperlukan untuk mengurai struktur-struktur kompleks ini yang mengikat keratinosit basal ke membran dasar dan keratinosit di sekitarnya. Proses penguraian ini sangat kompleks dan melibatkan interaksi antara MMP, integrin, faktor-faktor pertumbuhan, dan protein struktural. Pada keadaan istirahat normal, laminin-5 terikat ke integrin α6-β4, yang selanjutnya mentautkan filamen-filamen keratin intraseluler dari keratinosit ke membran dasar. Dengan sebagian besar disebabkan oleh interaksi integrin (termasuk status fosforilasinya) dengan ECM dan kerumunan reseptor pada permukaan keratinosit, terjadi perubahan-perubahan morfologi yang penting (seperti pembentukan lamellipodia) yang diperlukan untuk pemindahan keratinosit. Hasil perubahan GTPase molekuler (Rho, Rac, Cdc42) juga terlibat. Sebagai akibat dari fosforilasi integrin α6β4, integrin α3β1 mempromosikan pembentukan lamellipodia dan daya gerak keratinosit. Sering disebutkan bahwa migrasi keratinosit adalah kunci pemulihan luka dan bahkan pemulihan ini tidak tergantung pada proliferasi. Akan tetapi, keratinosit berproliferasi dalam beberapa jam pertama setelah cedera, dan ini lebih jelas lagi ketika celah atau ukuran cacat tidak bisa dijembatani secara sementara dengan perpindahan sel saja. Satu pekan setelah cedera, proses reparasi berlangsung dengan baik. Sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan (faktor pertumbuhan epidermal, PDGF, TGF-β, FGF, VEGF), komponen-komponen matriks, dan MMP terus memegang peranan aktif. Disamping faktor-faktor pertumbuhan itu sendiri, protein-protein isyarat (signalling proteins) juga penting. Sebagai contoh, kinase tertentu (MAPK) teraktivasi dalam keratinosit basal dan suprabasal melalui kerja integrin atau pelepasan interleukin 1α. Keluar masuknya ion, yang mencakup kalsium dan masuknya ke dalam sel, juga penting bagi proses migrasi keratinosit secara keseluruhan dan penutupan kulit. Ada bukti yang menunjukkan bahwa, selain perluasan lamellipodia, keratinosit-keratinosit suprabasal pinggir luka bisa “melompat” ke sel basal di dekat luka. Akan tetapi, sistem ini mungkin tidak begitu efisien,  khususnya tidak sama seperti mekanisme yang terjadi pada penyembuhan luka janin, yang disertai dengan perbedaan deposisi matriks dan profil faktor pertumbuhan.
   
Penataan ulang ECM, serta perpindaan sel, sangat tergantung pada MMP dan serin protease. Peningkatan tPA dan uPA penting untuk migrasi keratinosit, yang bisa bergantung pada hubungan dan interaksi antara α3β1, keratinosit, dan kolagen. Kejadian-kejadian ini mengarah pada induksi MMP-1 (kolagenase-1 atau kolagenase interstitial). MMP-9 memegang peranan penting dalam “memotong” kolagen tipe IV dan tipe VII, yang merupakan komponen penting dari membran dasar dan fibril yang terikat. MMP-10 (stromelysin) mengurai komponen-komponen ECM non-kolagen lainnya. Mediator lain, seperti timosin β telah ditemukan meningkatkan MMP selama reparasi luka. Yang termasuk penting selama proses penataan-ulang adalah perubahan fenotip pada sub-populasi sel tertentu dari fibroblast menjadi myofibroblast. Dengan demikian, walaupun proses awal penyembuhan sangat bergantung pada akumulasi matriks, yang selanjutnya mempermudah migrasi sel, tetapi sekarang diperlukan untuk memperkecil pembentukan ECM dan mendegradasinya sampai pada tingkatan yang sekurang-kurangnya mendekati keadaan sebelum cedera terjadi. Akan tetapi, fase penataan ulang lebih dari sekedar penguraian makromolekul berlebih yang terbentuk selama fase proliferasi penyembuhan luka. Sel-sel dalam luka dikembalikan ke fenotip yang stabil, material ECM dirubah (yakni, kolagen tipe III sampai tipe I), dan jaringan granulasi yang juga sangat melimpah selama fase-fase awal penyembuhan luka menghilang.

PROTEIN MATRIKS EKSTRASELULER
   
Asam hyaluronat glikosaminoglikan (hyaluronan) juga merupakan komponen yang melimpah pada matriks sementara, yang deposisinya perlu dimodifikasi selama proses penataan-ulang. Kadar asam hyaluronat yang tinggi terdapat pada embrio dini, dimana pada saat tersebut dianggap memberikan lebih sedikit resistensi terhadap migrasi sel. Sebenarnya, reparasi luka embrionik ditandai dengan sebuah lingkungan yang kaya akan asam hyaluronat, meskipun sebagian bertanggugjawab terhadap penyembuhan “tanpa scarring” pada luka embrionik. Fibroblast dari jaringan granulasi awal menghasilkan banyak asam hyaluronat, dan sel-sel yang berproliferasi mengekspresikan CD44, yang merupakan reseptor untuk molekul glikosaminoglikan ini. Selain isu kurangnya resistensi terhadap perpindahan sel, asam hyaluronat bisa menstimulasi motilitas sel dengan merubah adhesi matriks-sel. Salah satu contohnya adalah bahwa asam hyaluronat memperlemah perlekatan heparan sulfat dan fibronektin. Mungkin yang lebih penting dari sudut pandang fisik/spasial adalah bahwa asam hyaluronat membentuk struktur yang mengandung banyak cairan sehingga menyebabkan pembengkakan jaringan dan ruang di sekitarnya sehingga lingkungan menjadi lebih kondusif untuk perpindahan sel. Efek asam hyaluronat juga diregulasi oleh faktor-faktor pertumbuhan dan sitokin. Peningkatan ekspresi asam hyaluronat dan reseptor-reseptornya (seperti RHAAMM) oleh TGF-β1 menstimulasi motilitas fibroblast. Pada akhirnya, apabila penataan-ulang (remodelling) telah terjadi, asam hyaluronat didegradasi oleh hyaluronidase dan digantikan oleh proteoglikan bersulfat, yang mengkontribusikan peranan struktural lebih besar dalam pembentukan jaringan granulasi akhir dan pada scar, meskipun kurang mampu menstimulasi perpindahan seluler. Dua proteoglikan utama, yakni kondroitin-4-sulfat dan dermatan sulfat, dihasilkan oleh fibroblast scar dewasa.
   
Ada tiga golongan utama kolagen yang normalnya terdapat dalam jaringan konektif, yaitu: kolagen fibril (tipe I, III, dan V); kolagen membran dasar (tipe IV); dan kolagen iterstitial lainnya (tipe VI, VII, dan VIII). Ini adalah contoh tipe kolagen berbeda yang terdapat pada kulit. Akan tetapi, yang juga penting adalah bahwa kolagen-kolagen fibril berfungsi sebagai kolagen struktural utama pada semua jaringan konektif. Selama fase awal reparasi luka, tampak bahwa luka cenderung mengalami juga proses-proses yang terlibat dalam embriogenesis. Sehingga, jaringan granulasi pada awalnya terdiri dari banyak kolagen tipe III, yang merupakan komponen kecil pada dermis orang dewasa dan bahkan terdapat dalam jumlah yang lebih besar pada reparasi luka janin. Selama fase penataan-ulang, kolagen tipe III perlahan-lahan digantikan oleh kolagen tipe I. Penggantian dengan kolagen tipe I terkait dengan kekuatan tensil scar yang meningkat. Akan tetapi, kekuatan tensil akhir dari sebuah scar hanya sekitar 70 persen dari kulit sebelum cedera. Proses pengubahan kandungan kolagen dermis dari tipe III menjadi tipe I dikendalikan oleh interaksi-interaksi yang melibatkan sintesis kolagen baru dengan pengurangan kolagen lama. Kunci dari proses pengubahan ini adalah metalloproteinase dan lebih spesifik kolagenase.
   
MMP adalah proenzim yang perlu diaktivasi dan dianggap sebagai mediator fisiologis dari degradasi matriks. MMP prototipik adalah kolagenase interstitial, tetapi lebih dari 20 enzim seperti ini telah ditemukan. Sebelumnya kita telah membahas proteinase-proteinase yang penting ini dalam konteks migrasi keratinosit, tetapi penting untuk membahasnya lebih rinci. Ada tiga golongan utama dari enzim-enzim yang tergantung zink ini, yaitu: kolagenase, gelatinase, dan stromelysin. Kolagenase mencakup kolagenase interstitial (kolagenase fibroblast, MMP-1), yang bekerja pada kolagen I, II, III, VII, dan X. Kolagen tipe II merupakan sebuah substrat yang sangat baik untuk MMP-1. Anggota lainnya yang penting dari kelompok kolagenase ini adalah kolagenase neutrofil (MMP-8), yang juga mendegradasi kolagen tipe I dan III tetapi juga aktif terhadap kolagen tipe I. Gelatinase menguraikan kolagen terdenaturasi (gelatin). Diantara gelatinase yang paling penting adalah gelatinase A (MMP-2), yang mengurai gelatin, kolagen IV, dan elastin. Gelatinase penting lainnya adalah gelatinase B (MMP-9), yang dihasilkan oleh banyak tipe sel, termasuk makrofage, neutrofil, dan keratinosit. Stromelysin memiliki spesifitas substrat yang relatif tinggi. Stromelisin 1 (MMP-3) dan 2 (MMP-10) bekerja pada proteoglikan, fibronektin, laminin, gelatin, dan kolagen III, IV dan IX. Anggota famili stromelisin lainnya, matrilisin (MMP-7), mendegradasi utamanya fibronektin, gelatin, dan elastin. Anggota lain dari famili MMP adalah epilisin (MMP-28), yang dihasilkan oleh keratinosit-keratinosit yang berproliferasi jauh ke pinggir luka. Mungkin diperlukan untuk merestrukturisasi membran dasar.

PENYEMBUHAN-LUKA LEMBAP DAN PROSES REPARASI
   
Salah satu temuan klinis terpenting dalam beberapa dekade terakhir adalah penemuan bahwa luka yang dibiarkan tetap lembap mengalami re-epitalisasi yang lebih cepat. Bukti yang paling baik untuk ini dapat dilihat pada luka-luka akut. Akan tetapi, bahkan pada luka-luka kronis, balutan yang mempertahankan kelembapan, yang telah dibuat untuk menghasilkan kondisi luka yang lembab, benar-benar menghasilkan beberapa hasil yang diinginkan, seperti pengendalian nyeri, debridema autolitik yang tidak terasa sakit, dan stimulasi jaringan granulasi. Banyak yang merasa khawatir bahwa membiarkan luka tetap lembap akan menyebabkan infeksi, tetapi kekhawatiran ini tidak beralasan. Meski demikian, oklusi luka masih dikontraindikasikan jika terdapat infeksi. Ada banyak balutan luka tersedia yang cocok dengan situasi klinis tertentu. Tipe balutan utama mencakup film-film transparan, hidrokoloid, busa, alginat, dan produk-produk kolagen yang relatif baru (Tabel 249-2). Dalam menentukan balutan yang paling cocok untuk luka tertentu, dokter harus mempertimbangkan kebutuhan akan absorpsi eksudat berlebihan (busa dan alginat), apakah luka terlalu kering dan memerlukan kelembapan tambahan (material hidrogel), dan apakah luka dan pinggir-pinggir epiteliumnya bisa mentolerir trauma kecil tetapi serius yang berasal dari pembukaan balutan lengket. Lapisan-lapisan kontak yang tipis, yang terdiri dari material polimer berbeda dengan perforasi, memungkinkan cairan luka keluar dan bermanfaat dalam mencegah cedera jaringan selama penggantian balutan.
   
Mekanisme pasti yang digunakan oleh kondisi luka yang lembap dalam memfasilitasi migrasi keratinosit belum diketahui. Sejumlah penjelasan, yang beberapa diantaranya didukung oleh penelitian eksperimental, telah diusulkan dan tampak masuk akal. Dengan sendirinya, dasar luka yang kering dan keberadaan koreng atau kerak kering pada luka bisa menyebabkan migrasi keratinosit lebih sulit. Beberapa peneliti telah mengusulkan bahwa gradien elektrik berubah apabila luka dioklusi dan tidak dibiarkan mengering. Pastinya, telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa arus-arus listrik bisa mempengaruhi proses penyembuhan. Tinggalnya faktor-faktor pertumbuhan dan sitokin dalam dasar luka telah diusulkan sebagai penjelasan lain untuk bagaimana balutan yang menjaga kelembaban bekerja. Cairan luka yang diambil dari luka-luka akut telah dibuktikan secara in vitro dapat menstimulasi proliferasi beberapa tipe sel, termasuk fibroblast dan sel endotelium. Sebaliknya, ada penelitian yang menunjukkan kebalikannya berlaku untuk cairan luka yang diambil dari luka-luka kronis yang tidak sembuh. Apakah perbedaan karakteristik cairan luka ini membantu dalam menjelaskan efek yang lebih besar dari penyembuhan-luka lembap terhadap migrasi keratinosit pada luka-luka akut masih belum diketahui. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa mengeluarkan cairan luka dari luka-luka kronis, yang bisa dicapai dengan alat tertentu yang terdiri dari sebuah balutan film yang dibalutkan pada luka dan dihubungkan dengan sebuah sumber tekanan negatif.

PENYEMBUHAN LUKA GRAF KULIT
   
Biologi penyembuhan luka akut memiliki aplikasi klinis langsung pada bedah dermatologi. Sebagai contoh, rekonstruksi setelah bedah mikrografi Mohs secara rutin melibatkan empat bentuk utama penyembuhan luka akut yang mencakup penyembuhan sekunder, penutupan pinggir-demi-pinggir, flap kutaneous, dan graf kulit. Penyembuhan sekunder adalah variasi dari penyembuhan luka akut dimana luka dibiarkan sembuh dengan sendirinya. Biologi proses ini ditandai dengan semua tahapan normal penyembuhan luka tetapi berbeda dalam hal adanya dominasi reaksi inflammatory dan jaringan granulasi, serta kontraksi luka. Penutupan flap pinggir-demi-pinggir adalah contoh penyembuhan primer dan mengikuti semua fase penyembuhan luka seperti yang telah dijelaskan pada bagian Tahap-Tahap Penyembuhan Luka.
   
Akan tetapi, penyembuhan sebuah graf kulit sangat berbeda dengan apa yang dijelaskan sebelumnya pada cedera akut. Salah satu karakteristik pembeda dari sebuah graf kulit adalah ketergantungan graf pada dasar luka penerima terhadap revaskularisasi, sebuah proses yang memerlukan beberapa kejadian fisiologis unik. Berdasarkan kajian histologis, penyembuhan graf lazimnya dibagi menjadi tiga fase yaitu: imbibisi, inoskulasi, dan neovaskularisasi.

Fase Imbibisi
   
Seperti pada penyembuhan luka akut konvensional, proses yang langsung terjadi adalah pembentukan bekuan fibrin pada interfase graf, sebuah kejadian yang juga disertai dengan infiltrasi leukosit dari kulit penerima ke graf. Yang membedakan sebuah graf kulit dari luka konvensional adalah difusi plasma dari tempat penerima kedalam graf kulit yang berada di atasnya, menghasilkan peningkatan bobot graf sampai 40 persen pada hari pertama. Difusi plasma ke dalam graf ini disebut sebagai imbibisi, dan pengaruhnya dianggap sebatas menjaga agar graf tetap lembab dan pembuluh darah graf tetap berfungsi. Peneliti lain telah berhipotesis bahwa imbibisi juga memegang peranan dalam menyediakan gizi ke graf, tetapi dukungan untuk peranan gizi ini hanya dapat ditunjukkan beberapa tahun kemudian, ketika bormodeoksiuridin terbukti terlibat dalam sel-sel graf kulit setelah injeksi sistemik pada sebuah model mencit.
   
Fase imbibisi berakhir ketika drainase vena dan limfatik terjadi kembali, yang disertai dengan pengurangan bobot graf. Pada sebuah model graf kelinci, drainase limfatik dari material kontras telah dibuktikan mulai berlangsung lambat pada hari ke-2 dan membaik sampai hari ke-12, dengan anastomosis graf yang tampak secara histologis dan pembuluh limfatik kulit resipien pada hari ke-4. Isu biologis mendasar dari penyembuhan graf adalah penentuan kontribusi relatif dari jaringan graf dan jaringan resipien terhadap vaskulatur graf, sebuah pemahaman lebih tepat yang telah dicapai dengan pendekatan-pendekatan biologi molekuler terbaru.

Fase Revaskularisasi Inoskulasi dan Neovaskularisasi
   
Inoskulasi pada awalnya diusulkan sebagai anastomosis antara pembuluh darah graf dengan pembuluh dari resipien, dan neovaskularisasi sebagai pertumbuhan-kedalam (ingrowth) pembuluh darah baru dari dasar luka resipien ke dalam graf. Pemeriksaan histologi sebelumnya telah menunjukkan bahwa graf mempertahankan vaskulatur-nya sendiri setelah penanduran (grafting), ini mendukung pendapat tentang inoskulasi. Akan tetapi, peneliti lain berpendapat bahwa pemeriksaan histologis tidak bisa membedakan pembuluh yang berasal dari graf (atau dari donor) dengan pembuluh yang berasal dari resipien. Lambert menyimpulkan bahwa sekurang-kurangnya selama beberapa hari pertama, pembuluh darah sebuah graf kulit adalah pembuluh yang didapatkan dari kulit-donor, berdasarkan metode histologi dan radiorafi. Dengan menggunakan bandingan kulit manusia yang direkayasa-jaringan dengan sebuah jaringan pembuluh-pembuluh yang mengalami endotelisasi, Tremblau dan rekan-rekannya menunjukkan kecepatan vaskularisasi yang meningkat signifikan melalui inoskulasi dibanding dengan kecepatan vaskularisasi ekivalen kulit yang tidak  mengalami endotelisasi, sehingga menunjukkan efisiensi inoskulasi yang lebih tinggi ketimbang neovaskularisasi.
   
Pembahasan yang lebih tepat tentang peranan relatif dari graf dan resipien dalam pembentukan vaskulatur akhir harus menunggu perkembangan metode-metode biologi molekuler untuk membedakan sel-sel graf dari sel-sel resipien. Hibridisasi in situ yang spesifik dan penandanaan imunologis (immunolabelling) digunakan untuk membedakan graf dari resipien pada penelitian-penelitian tentang graf kulit sebagian-lapisan yang ditandur ke mencit. Ditemukan bahwa sel-sel endotelial resipien tumbuh ke dalam tabung-tabung kapiler donor yang telah ada sebelumnya, sehingga mendukung proses inoskulasi langsung. Belakangan ini, mencit transgenik digunakan untuk membedakan antara pertumbuhan vaskular yang berasal dari donor dan pertumbuhan vaskular yang berasal dari resipien untuk menunjukkan gambaran yang lebih tepat. Capla dan rekan-rekannya menunjukkan kemunduran pembuluh darah graf mulai pada hari ke-3, disertai dengan pertumbuhan-kedalam (ingrowth) pembuluh darah secara simultan dari resipien kedalam kerangka vaskular graf yang telah ada sebelumnya, sehingga menghasilkan inoskulasi pada hari ke-7. Kemungkinan, neovaskularisasi tanpa anastomosis dengan kerangka vaskular graf bukanlah sebuah kejadian yang dominan. Dengan menggunakan model transplan sumsum tulang mencit, para peneliti ini juga lebih lanjut menunjukkan bahwa sel-sel induk endotelium yang berasal dari sumsum tulang mengkontribusikan 20 persen pertumbuhan endotelium yang berasal dari resipien dalam graf.

Proses-Proses lain Pada Graf Kulit
   
Seperti dengan pembuluh darah, ada isu-isu serupa tentang kontribusi relatif dari jaringan graf dan resipien terhadap reinervasi akhir dari graf. Pada sebuah model graf hewan, ada indikasi, yang semata-mata didasarkan pada pemeriksaan histologis, bahwa saraf-saraf resipien memasuki graf dan mengikuti perjalanan “sarung” neurolemmal jaringan graf yang telah ada sebelumnya. Pada penelitian lain, kulit manusia ditandurkan diatas mencit dimana struktur graf-nya bisa dibedakan dengan jaringan resipien menggunakan antibodi-antibodi spesifik spesies. Pada laporan tersebut, neurit dari resipien dibuktikan tumbuh kedalam graf tetapi tidak bersambung dengan batang saraf graf donor yang telah ada. Dengan menggunakan penandaan histokimia dari cholinesterase, penelitian-penelitian lain telah menunjukkan bahwa reinervasi graf juga melibatkan penarikan neurit-neurit yang sedang tumbuh menuju ke struktur adneksal.
   
Banyak sisa penyembuhan graf kulit yang melibatkan kejadian-kejadian umum dengan proses penyembuhan luka yang normal. Infiltrasi oleh fibroblast dalam graf terjadi 3 sampai 5 hari setelah penanduran, diikuti dengan peningkatan fibroblast graf dan resipien dalam graf. Graf kulit seluruh-lapisan dianggap dapat mengurangi kontraksi luka dibanding dengan kontraksi signifikan yang ditemukan pada penyembuhan sekunder, dimana salah satu penelitian menunjukkan bahwa sebuah graf dengan ukuran yang persis sama seperti ukuran cacat dapat meminimalisir kontraksi ini. Hiperpigmentasi bisa menjadi efek samping yang tidak diinginkan dari penanduran (grafting), dan perubahan histologis pada melanosit telah diamati setelah penanduran.
   
Telah diusulkan bahwa graf kulit, mirip dengan auto-graf yang dikulturkan, juga bisa menstimulasi penyembuhan luka pada tempat resipien, khususnya apabila tempat donor yang merupakan asal graf pernah mengalami luka. Dalam mendukung hipotesis ini lebih lanjut, ekspresi keratinosit Ki67 dan integrin β1 setelah penanduran (grafting) telah ditemukan, disamping produksi faktor pertumbuhan stimulatory dan sitokin. Ini bisa menunjukkan fase tambahan dari penyembuhan graf.

LUKA KRONIS DAN PENYEMBUHAN TERHAMBAT
   
Pembahasan sebelumnya berfokus pada reparasi luka kutaneous setelah cedera akut. Akan tetapi, harus diketahui bahwa relevansi kejadian-kejadian dan proses-proses tersebut terbatas apabila yang dibicarakan adalah luka kronis, seperti diabetes, insufisiensi vena dan arterial, dan berbagai situasi yang diperumit oleh proses-proses inflammatory  dan respons host yang tidak sempurna. Gbr. 249-1 merupakan sebuah diagram skematis dari konsep ini. Hubungan linear dan hubungan satu-arah antara berbagai fase reparasi luka ditemukan pada luka kronis. Tidak ada urutan yang teratur, dan bagian-bagian luka kronis bisa memiliki fase reparasi yang berbeda pada waktu yang berlainan. Luka-luka akut, seperti yang terjadi karena bedah atau trauma, memiliki waktu penyembuhan yang terprediksi dan pada umumnya mudah sembuh. Akan tetapi, luka-luka kronis mengalami penyembuhan yang disebut sebagai gagal sembuh atau penyembuhan terhambat. Beberapa penelitian telah dilakukan berkenaan dengan luka kronis, dan hipotesis telah diusulkan untuk penyembuhan terhambat. Perlu dicatat bahwa sulit untuk meneliti luka-luka kronis dari sudut pandang patofisiologi. Kekurangan utama adalah kurangnya model hewan yang benar-benar menunjukkan penyembuhan terhambat.
   
Beberapa luka kronis adalah hasil kompleks dari ischemia, tekanan, dan infeksi. Ulser diabetik merupakan contoh umum dari tiga-serangkai patofisiologi ini (ischemia, tekanan dan infeksi). Masih banyak kontroversi tentang apakah hiperglikemia sendiri memegang peranan patofisiologi dalam terjadinya ulser diabetik, walaupun fungsi neutrofil terganggu; sehingga, kerentanan terhadap infeksi meningkat pada keadaan diabetik. Termasuk yang penting adalah pendapat bahwa “penyakit pembuluh kecil” pada diabetes telah dievaluasi dengan baik dan menunjukkan tidak ada fenomena obstruktif tetapi justru, perubahan yang lebih bersifat fisiologis. Revaskularisasi kaki yang mengalami diabetes sekarang ini dianggap sebagai pendekatan yang tepat apabila ada penyakit pembuluh-besar dan sirkulasi run-off yang baik. Kemungkinan contoh terbaik untuk penyembuhan terhambat yang tidak terkait dengan tekanan dan suplai arterial yang buruk adalah ulserasi vena. Abnormalitas bersangkutan dalam terjadinya ulser vena  adalah hipertensi vena, yang menunjuk pada ketidakmampuan mengurangi tekanan vena pada kaki sebagai respon terhadap aktivitas. Telah ada beberapa hipotesis yang diusulkan tentang bagaimana hipertensi vena selanjutnya menghasilkan ulserasi vena atau perkembangan lipodermatosklerosis. Beberapa dari hipotesis ini telah menekankan akumulasi fibrin di sekitar pembuluh darah dermal dan cacat-cacat pada aktivitas fibrinolitik. Hipotesis lain mengusulkan kerusakan sel-sel endotelium mikrovaskular, yang selanjutnya menghasilkan kebocoran fibrinogen dan manset fibrin kapiler. Kebocoran makromolekul dari pembuluh darah kedalam dermis pada penyakit vena cukup substansial, sehingga menyebabkan peneliti lain mengusulkan bahwa molekul-molekul seperti ini bisa menjebak faktor-faktor pertumbuhan dan komponen-komponen penting lainnya sehingga tidak mengalami proses penyembuhan atau penjagaan integritas jaringan. Ada bukti yang menunjukkan bahwa faktor-faktor pertumbuhan pada luka kronis terikat pada dan dijebak oleh makromolekul yang bocor kedalam dermis, seperti albumin, fibrinogen, dan α2-makroglobulin. Molekul yang terakhir ini adalah pengikat faktor-faktor pertumbuhan, termasuk PDGF.
   
MMP juga memiliki peranan penting dalam reparasi luka kutaneous, khususnya dalam konteks migrasi keratinosit. Akan tetapi, pada luka kronis, MMP bisa berkontribusi bagi kegagalan total untuk sembuh. Sebagai contoh, pada ulser-ulser vena dan tipe luka kronis lainnya, cairan luka mengandung banyak metalloproteinase, yang mengurai ECM, dan kemungkinan sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan.
   
Juga perlu diketahui bahwa jaringan di sekitar luka kronis tersebut tidak normal sehingga akan berubah melalui mekanisme-mekanisme patogenik primer atau melalui ketidakmampuan untuk sembuh dengan mudah. Secara klinis, contoh terbaik dari hal ini adalah fibrosis intens di sekitar ulser vena, yang disebut lipodermatosklerosis. Ketika lipodermatosklerosis terbentuk, bisa mengarah pada ulser dan menjadi tempat untuk rekurensi ulser. Bahkan, ulser-ulser vena yang dikelilingi oleh lipodermatosklerosis jauh lebih sulit sembuh. Penyebabnya bisa ditunjukkan oleh banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa susunan seluler luka yang tidak sembuh mengalami perubahan. Sejauh ini, bukti yang paling baik adalah dengan fibroblast luka, karena mudahnya ditumbuhkan dan diteliti dalam kultur. Sekarang ini kita telah mengetahui bahwa fibroblast ulser cukup lemah dan tidak merespon terhadap sitokin dan faktor pertumbuhan tertentu. Sebagai contoh, telah ditunjukkan bahwa fibroblast ulser vena tidak merespon terhadap aksi TGF-β1 dan PDGF. Tidak meresponnya fibroblast ulser vena terhadap TGF-β1 bisa disebabkan oleh ekspresi reseptor TGF-β tipe II yang berkurang. Abnormalitas reseptor ini juga mengarah pada berkurangnya fosforilasi protein isyarat TGF-β yang penting, termasuk Smad2, Smad3, dan MAPK. Program sintetik sel dalam ulser diabetik juga bisa berubah, sehingga luka-luka kronis seperti ini dikatakan “macet” pada fase tertentu dari proses reparasi. Hubungan dekat telah dilaporkan antara beberapa abnormalitas ini dan ketidakmampuan untuk sembuh.

Standar Dasar Perawatan
   
Ulser-ulser arterial memerlukan rekonstruksi vaskuler; paling tidak tindakan temporer dan akhirnya mengarah pada amputasi, yang bisa menjadi satu-satunya pilihan pada pasien yang tidak dapat dioperasi. Ulser-ulser arterial yang nekrotik dan stabil dengan adanya eskar kemungkinan tidak boleh diganggu selama rencana rekonstruksi vaskuler belum siap dilakukan. Pengangkatan kaki dan kompresi tungkai adalah terapi dasar untuk ulser-ulser vena. Dermatitis kontak sangat umum pada pasien-pasien yang mengalami penyakit vena; dengan demikian, penghindaran agen-agen topikal diperlukan pada banyak pasien. Pentoksifilin telah diuji pada beberapa trial skala besar yang acak untuk mengetahui kemampuannya dalam memicu penyembuhan ulser-ulser vena. Hasilnya berbeda-beda, dan ada kemungkinan bahwa dosis pentoksifilin yang tinggi, 800 mg tiga kali sehari, lebih efek

Tiga serangkai neuropati, ischemia, dan trauma adalah patofisiologi utama yang mendukung perkembangan dan rekurensi ulserasi kaki pada pasien yang mengalami diabetes. Tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mengatasi komponen-komponen ini akan mempercepat penyembuhan. Pengendalian glukosa dan manajemen komplikasi sistemik dari diabetes secara optimal, termasuk gagal ginjal, merupakan aspek-aspek terapi yang penting untuk ulser kaki diabetik. Dari sudut pandang perawatan luka lokal, pemecahan ulser (off-loading) penting dan merupakan standar utama untuk perawatan ulser-ulser neuropati. Pasien yang memiliki ulser diabetik karena insufisiensi vaskuler atau dengan ulser yang memiliki banyak etiologi (seperti mengalami neuropati dan gangguan bedah) perlu dirujuk untuk pemeriksaan vaskuler dan konsultasi bedah.
   
Debridema bedah yang agresif untuk jaringan nekrotik dan callus di sekitar ulserasi baru-baru ini telah menjadi bagian dari perawatan standar dalam penatalaksanaan ulser-ulser diabetik. Callus kemungkinan memberikan tekanan tambahan dan memperlanggeng ulserasi. Seperti halnya dengan ulser-ulser diabetik neuropati, pemecahan merupakan standar perawatan untuk ulser tekanan (decubitus). Membalik dan menggeser posisi pasien setiap 2 jam dikatakan efektif, tetapi belum terbukti.

Pendekatan-Pendekatan Bedah untuk Luka Kronis
   
Dalam penatalaksanaan ulser-ulser vena, terapi bedah bisa dieprtimbangkan jika tidak terdapat kerusakan vena mendalam dan ketika ditemukan ketidakmampuan perforator atau superfisial yang signifikan. Baru-baru ini, alternatif yang menjanjikan didapatkan dari pengikatan perforator yang kurang invasif dengan menggunakan bedah perforator endoskopi subfascial. Pendekatan ini, terkadang dikombinasikan dengan atau diikuti oleh prosedur yang lebih definitif, seperti penghilangan vena saphenous panjang (prosedur Linton), bisa efektif dalam penyembuhan ulser. Akan tetapi, masih belum jelas apakah tipe terapi ini mencegah rekurensi ulser.
   
Beberapa tahun yang lalu, pengetahuan bahwa konsep mikroangiopati oklusif pada ulser-ulser diabetik ternyata tidak tepat telah melahirkan perubahan mendasar dalam cara memahami revaskularisasi kaki diabetik; sekarang ini, yang menjadi praktek umum adalah merevaskularisasi tungkai diabetik. Dengan demikian, teknik-teknik bedah vaskular standar dapat diaplikasikan kepada pasien-pasien diabetes, selama ada pembuluh darah distal yang memadai. Rekonstruksi vaskular mungkin perlu dikombinasikan dengan teknik radiasi atau digital terbatas, atau amputasi kaki depan. Prosedur-prosedur ostektomi bisa meredakan tekanan dari prominens tulang pada kasus tertentu.
   
Ostektomi juga bisa bermanfaat dalam penatalaksanaan ulser-ulser tekanan untuk memperluas prominens tulang. Pada pasien tertentu, flap acak atau muskulokutaneous diindikasikan.

TERAPI-TERAPI LAIN UNTUK PENYEMBUHAN TERHAMBAT
   
Faktor-faktor pertumbuhan merupakan polipeptida yang memiliki berbagai efek potensial terhadap proliferasi sel dan kapasitas sintetik sel (lihat Tabel 249-1). Sampai sekarang, satu-satunya faktor pertumbuhan yang telah terbukti efektif secara klinis adalah PDGF yang diaplikasikan secara topikal. Isomer PDGF-BB becaplermia disetujui oleh FDA untuk pengobatan ulser kaki neuropatik diabetik. Beberapa trial klinis telah menguji efektifitas gel becaplermin (30 μg/g) pada ulser-ulser kaki diabetik. Hasilnya menunjukkan kejadian penutupan lupa sampai 48 persen berbanding 33 persen untuk kelompok kontrol. Becaplermin hanya boleh digunakan apabila dikombinasikan dengan preparasi dasar luka yang optimal dan penghilangan faktor-faktor lain yang mengganggu penyembuhan.
   
Dalam 20 tahun terakhir, beberapa produk teknik jaringan telah tersedia untuk penggunaan klinis. Dua tipe utama kulit rekayasa telah diuji dan terbukti efektif pada ulser kaki diabetik neuropatik dibaetik dan dan ulser vena. Salah satunya, yang disetujui untuk penggunaan pada bisul neuropatik, terdiri dari fibroblast-fibroblast kulup neonatal pada sebuah material jahitan yang dapat diserap. Tipe lainnya, yang disetujui untuk penggunaan pada ulser kaki neuropatik diabetik dan ulser vena, memiliki dua lapisan dan terdiri dari fibroblast dan keratinosit dari kulup neonatal. Mekanisme kerja yang pasti dari kulit rekayasa ini belum diketahui, tetapi belum ada engraftmen sel yang lama. Dalam trial-trial klinis, kedua tipe kulit ini diaplikasikan secara berulang ke luka untuk menstimulasi penyembuhan. Akan tetapi, dalam praktek klinis, tampak bahwa jumlah pengaplikasian yang lebih sedikit diperlukan. Seperti dengan penggunaan becaplermin, preparasi dasar luka yang optimal diperlukan agar kedua tipe kulit rekayasa ini bisa efektif. Lebih daripada itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa kulit yang direkayasa hanya membantu pada ulser-ulser yang yang memiliki durasi lama dan belum merespon terhadap terapi konvensional.

MEMPREDIKSIKAN PENUTUPAN LUKA
   
Beberapa penelitian terbaru telah memungkinkan kita untuk memprediksikan apakah sebuah luka akan sembuh secara normal, berdasarkan pengamatan sederhana  setelah 3 sampai 4 pekan pertama terapi. Metode-metode yang digunakan untuk memprediksikan penutupan luka berkisar antara pengukuran-pengukuran sederhana terhadap ukuran luka (lebar dan panjang) dan perubahan area luka untuk melakukan analisis planimetrik dan penilaian migrasi pinggir luka. Pada sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 56.488 luka, ditentukan bahwa persen perubahan area sekitar 30 persen setelah 4 pekan dapat memprediksikan penutupan luka dengan kesensitifan 0,67 dan spesifitas 0,69, dan memiliki nilai prediktif positif dan negatif masing-masing 0,80 dan 0,52. Secara lebih praktis, kenampakan pinggir juga penting, sehingga pinggir-pinggir yang curam menjadi kurang curam dan mulai bermigrasi menuju ke pusat pada luka yang sedang sembuh. Kemampuan untuk memprediksi penutupan sangat penting. Pada pekan ke-4, dokter harus mampu menentukan apakah terapi yang sedang dilakukan bisa dilanjutkan atau apakah diperlukan perubahan, termasuk penilaian ulang situasi klinis secara lengkap.

RINGKASAN
   
Mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi setelah cedera jaringan dan timpang-tindihnya merupakan sebuah pekerjaan yang dulunya menakutkan. Meski demikian, selama beberapa dekade terakhir, perkembangan secara berurutan mulai cedera sampai inflamasi dan koagulasi, sampai perkembangan matriks sementara, sampai pembentukan jaringan granulasi dan sampai penataan-ulang jaringan, telah diketahui dengan rincian yang cukup tinggi. Walaupun sedikit dipaksakan, fase-fase reparasi luka yang disebutkan disini adalah dasar untuk membangun lebih banyak pengetahuan mengenai reparasi luka. Masih banyak yang perlu dipelajari, tetapi kerangka-dasar yang dijelaskan disini hanya dimaksudkan untuk memahami reparasi jaringan dan menjadi panduan untuk membuat cara-cara baru dalam mempercepat reparasi luka. Bahkan, karena adanya terobosan sains dan teknologi, perkembangan berlangsung sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam jangka panjang., seseorang mungkin ingin mencapai regenerasi kulit dan tidak hanya reparasi sederhana. Agar ini dapat terwujud, kita akan memerlukan pemahaman yang lebih besar tentang ilmu yang terlibat. Apa yang tampak rinci sekarang ini akan menjadi sebatas kerangka dasar di masa mendatang. Juga ada kemungkinan kita bisa mengambil pelajaran dari kegagalan untuk sembuh, seperti pada luka kronis, dan ini akan menjadi pelajaran yang sangat berguna untuk prinsip-prinsip umum penyembuhan luka.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders