Prevalensi maloklusi pada remaja-remaja Hungaria

Ringkasan

Tujuan penelitian epidemiologi ini adalah untuk menilai prevalensi maloklusi, yang terkait dengan kejadian karies, dan tingkat kesehatan mulut pada populasi Hungaria dengan menggunakan kuisioner WHO yang dirancang untuk menilai kelainan-kelainan dentofacial. Sebanyak 483 remaja (289 perempuan, 194 laki-laki), dengan usia 16-18 tahun, diperiksa.
   
Kelainan-kelainan ortodontik ditemukan pada 70,4 persen sampel. Gigi berjejal (crowding) dan renggang (spacing) masing-masing ditemukan pada 14,3 dan 17 persen, dimana gigi renggang lebih prevalen pada maksila dibanding mandibula (masing-masing 10,4 dan 2,9 persen). Oklusi kelas I ditemukan pada 52,8 persen subjek. Kelainan half cusp pada hubungan molar antero-posterior lebih prevalen dibanding kelainan full cusp (masing-masing 26,9 dan 20,3 persen). Gigi yang rusak, hilang, dan berlubang (DMFT), permukaan yang rusak, hilang, dan berlubang (DMFS), dan skor indeks plak terlihat (VPI) dari 340 remaja yang mengalami maloklusi secara signifikan lebih tinggi (P < 0,05) dibanding remaja yang tidak menunjukkan kelainan. Prevalensi maloklusi pada populasi Hungaria tampaknya sebanding dengan negara-negara Eropa lainnya.



Pendahuluan
   
Masih sedikit data epidemiologi yang tersedia tentang status dental dan kesehatan mulut di populasi remaja Eropa timur dan tengah. Terkecuali penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Legovic dkk (1998).
   
Yasuda dkk. (1990) melaporkan prevalensi maloklusi dan karies pada 6665 siswi sekolah tinggi di Jepang dan menemukan berkisar antara 54,1 sampai 56,6 persen, dengan tergantung pada usia. Burgersdijk dkk (1991) meneliti prevalensi maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodontik pada remaja dan dewasa di Belanda dan menemukan crowding daerah incisor pada 15 persen, makoklusi Kelas II Angle pada 28 persen, dan open bite yang lebih besar dari 5 mm pada 23 persen sampel mereka. Stecksen-Blicks dan Holm (1995), dalam sebuah penelitian cross-sectional, meneliti status karies, cedera aksidental, dan prevalensi kelainan-kelainan ortodontik, antara tahun 1967 sampai 1992 di Swedia. Mereka menemukan bahwa prevalensi crossbite unilateral sedikit berkurang (dari 18 menjadi 16 persen), sedangkan prevalensi open bite meningkat (dari 35 menjadi 41 persen) selama periode pengamatan 25 tahun. Helm dan Petersen (1989), yang meneliti 176 remaja usia 13-19 tahun dan menelitinya kembali setelah 20 tahun untuk mendeteksi adanya hubungan antara maloklusi dan karies, tidak menemukan hubungan antara sifat-sifat maloklusi dengan prevalensi karies. Ng'ang'a (1991) mengidentifikasi maloklusi, dan khususnya crowding, pada 47 persen dari 250 anak-anak Afrika usia 13-15 tahun. Menurut penelitian-penelitian epidemiologi dari WHO yang dilakukan di Hungaria, prevalensi maloklusi pada anak-anak 12 tahun adalah 40,8 persen pada tahun 1985 dan 41,3 persen pada 1991 (Czukor, 1994).
   
Mengingat tingginya variasi prevalensi maloklusi yang dilaporkan, hubungan dengan karies gigi, dan data minimal yang tersedia, khususnya pada remaja, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi sifat-sifat oklusal berbeda, yang terkait dengan kejadian karies, dan tingkat kesehatan mulut diantara para remaja di Hungaria. Demikian juga, tiga survei stomatologi komprehensif dilakukan untuk menyusun data oral, dental, dan mikrobiologi saliva pada anak-anak sekolah usia 16 sampai 18 tahun yang tinggal di Bidapest dan Debrecen. Data yang terkait dengan hubungan mikrobiologi dan kejadian karies sebelumnya telah dipublikasikan (Gabris dkk., 1999).

Subjek dan metode
   
Sebanyak 483 remaja (298 perempuan, 194 laki-laki) berusia 16-18 tahun dipilih secara acak dari sekolah sekunder dan diperiksa oleh dua praktisi ortodontik, di Budapest (KG) dan di Debrecen (MM), dengan menggunakan cermin dental, probe, dan Community Periodontal Index Probe (untuk mengukur overjet, overbite, open bite, dan ketidakteraturan gigi; WHO, 1997), dibawah cahaya buatan. Sebelum survei epidemiologi, pemeriksa dikalibrasi dalam penggunaan panduan WHO (1997). Untuk dokumentasi keberadaan, jenis, dan keparahan maloklusi, versi perluasan dari kuisioner WHO (1997) digunakan. Basis kuisioner WHO adalah kriteria Indeks Estetik Dental (DAI) oleh Cons dkk (1986). Skor indeks DMFT (gigi yang rusak, hilang, dan berlubang) dan skor indeks DMFS (permukaan yang rusak, hilang dan berlubang) ditentukan sesuai dengan arahan-arahan WHO (1977). Indeks plak tidak nampak (VPI) ditentukan menurut metode Ainamo dan Bayi (1975) tetapi dengan beberapa modifikasi: keberadaan plak dinilai hanya pada permukaan bukal. Kemungkinan korelasi antara kelainan-kelainan yang menyebabkan akumulasi plak, skor karies, dan VPI juga diteliti. Sesuai dengan kuisioner WHO. Gigi berjejal (crowding), yang dianggap sebagai salah satu kelainan ortodontik paling penting yang menyebabkan retensi plak, diperiksa dalam daerah incisor maksillary dan mandibula.
   
Pengolahan data dan analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS (SPSS, Chicago, Illionis, USA) versi 8.0. Uji t-Student, koefisien korelasi Pearson dan Spearman, dan analisis varians dilakukan.

Hasil
   
Kelainan-kelainan ortodontik ditemukan pada 70,4 persen (340) dari 483 remaja. Gigi seri, kaninus, dan/atau gigi pra-molar tidak ditemukan pada 11,2 persen (54 subjek). Data tentang gigi berjejal (crowding) dan renggang pada segmen-segmen gigi seri diperlihatkan pada Tabel 1. Gigi berjejal (crowding) dan renggang ditemukan pada jumlah sampel yang hampir sama, masing-masing 14,3 dan 17 persen. Akan tetapi, gigi renggang, lebih prevalen pada maksila dibanding mandibula (10,4 dan 2,9 persen masing-masing).
   
Oklusi kelas I ditemukan pada 52,8 persen (255 subjek). Kelainan half-cusp pada hubungan antero-posterior lebih prevalen dibanding kelainan full-cusp: 26,9 (130 subjek) dan 20,3 persen (98 subjek), masing-masing. Kelainan-kelainan unilateral pada 8,1 persen. Temuan-temuan yang terkait dengan sifat oklusal lainnya ditunjukkan pada Tabel 2. Sebanyak 112 (23,2 persen) subjek menunjukkan hubungan incisor Kelas I Angle, 125 (25,9 persen) menunjukkan Kelas II divisi 1, 64 (13,2 persen) Kelas II divisi 2, dan 39 (8,1 persen) Kelas III.
   
Tabel 3 menunjukkan bahwa deep bite terdapat pada 26,1 persen (126 subjek). Prevalensi open bite dan crossbite cukup mirip: 10,6 dan 11,6 persen, masing-masing.
   
Gigi berjejal (crowding) segmen bukal ditemukan pada 16,4 persen (79 subjek). Prevalensi gigi berjejal (crowding) pada lengkung atas dan bawah adalah 7,2 dan 4,6 masing-masing.
   
Sebuah hubungan antara maloklusi dengan skor DMFT dan DMFS ditunjukkan pada Tabel 4. Ini secara statistik lebih tinggi dibanding pada remaja yang tidak mengalami kelainan (P < 0,05). Perbedaan antara nilai mean skor DMFT sangat signifikan menurut statistik. Standar deviasi untuk skor DMFT pada keberadaan dan ketiadaan maloklusi adalah 8,0 (5,08) dan 6,1 (4,74), masing-masing. Skor VPI untuk 340 remaja yang mengalami maloklusi (26,32 persen) secara signifikan lebih tinggi dibanding untuk mereka yang tidak mengalami kelainan (18,19 persen). Jika frekuensi VPI diteliti sebagai sebuah fungsi gigi berjejal (crowding) pada segmen-segmen gigi seri, perbedaan yang signifikan menurut statistik (P < 0,05) ditemukan antara subjek-subjek yang tidak mengalami gigi berjejal (crowding) (22,70 persen) atau dengan gigi berjejal (crowding) pada salah satu (52,88 persen) atau dua (39,99 persen) segmen yang berjejal.

Pembahasan
   
Meskipun beberapa peneliti telah meneliti maloklusi pada pasien-pasien usia berbeda, kuisioner WHO belum diterapkan pada semua kasus (Burgersdijk dkk., 1991; Pietila dkk., 1997; Tod dan Taverne, 1997; Tschill dkk., 1997; Dacosta, 1999). Sehingga, perbandingan langsung dengan temuan-temuan kali ini tidak bisa dilakukan. Sebuah maloklusi diamati pada 70,4 persen subjek dalam penelitian kali ini. Ini lebih tinggi dibanding nilai-nilai yang dilaporkan oleh Yasuda dkk., (1990) dan Ng'ang'a (1991). Akan tetapi, perbedaan ini bisa disebabkan dengan penggunaan kuisioner yang lebih rinci dalam survei kali ini.
   
Alexander dkk., (1997) meneliti 817 anak-anak usia 7-17 tahun dan menemukan hubungan antara prevalensi maloklusi, perdarahan gingiva, dan kalkulus. Hasil kali ini cukup mirip, karena menunjukkan hubungan signifikan antara gigi berjejal (crowding) dan VPI.
   
Diantara 1028 anak di Nigeria, yang berusia 11-18 tahun, Dacosta (1999) mengamati gigi renggang pada segmen anterior atas dan bawah pada 30 dan 45,9 persen, masing-masing, dan deep bite pada 1,6 persen subjek. Temuan pada penelitian kali ini berbeda signifikan dari hasil ini, dengan gigi renggang (spacing) yang dideteksi pada lebih sedikit subjek tetapi lebih prevalen pada segmen anterior atas dibanding bawah, yang sesuai dengan penelitian Dacosta (1999). Deep bite ditemukan lebih sering dibanding dari yang dilaporkan oleh Dacosta (1999).
   
Jika maloklusi dibandingkan pada pasien-pasien yang memiliki usia berbeda, ada beberapa fakta yang harus dipertimbangkan. Tod dan Taverne (1997) menyimpulkan bahwa kejadian gigi berjejal (crowding) posterior dan crossbite pada crossbite anterior meningkat seiring dengan usia. Ini hanya dikonfirmasi sebagian oleh data yang lain. Carvalho dkk., (1998) menemukan crossbite posterior pada 10,1 persen anak-anak Belgia pada anak-anak yang berusia 4-6 tahun. Survei kali ini menemukan prevalensi sebesar 16,4 persen. Sebuah diastema diamati kurang sering (7,8 persen) dibanding yang dilaporkan oleh Kaimenyi (1998) yang mengevaluasi anak-anak di Kenya (35 persen).
   
Penggunaan indeks penting dalam menilai kebutuhan perawatan ortodontik. Indeks-indeks yang digunakan paling sering adalah Index of Orthodontic Treatment Need (Brook dan Shaw, 1989) dan Dental Aesthetic Index (Cons dkk., 1986). De Muelenaere dkk., (1998) melaporkan bahwa 45 persen subjek yang mereka periksa memerlukan perawatan oartodontik. Proffit dkk., (1998) menyatakan bahwa 57-59 persen kelompok etnis berbeda memerlukan beberapa jenis perawatan ortodontik. Zeltmann dkk., (1988) menggunakan skala 5-point dari Swedish National Board of Health and Welfare untuk menilai kebutuhan perawatan. Kebutuhan mendesak akan perawatan dilaporkan pada 32 persen dari anak-anak usia 9 tahun yang diteliti, meskipun sedikit atau tidak ada kebutuhan untuk perawatan yang ditemukan pada 36 persen. Survei kali ini tidak menggunakan indeks-indeks seperti ini, tetapi kelainan-kelainan ortodontik dinilai sebagai kebutuhan “ringan”, “sedang”, atau “besar” dengan menggunakan panduan-panduan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Hungaria (1999). Berdasarkan ini, ditemukan bahwa 26 persen memerlukan perawatan penting, sedangkan 35 persen memiliki sedikit kebutuhan akan perawatan.
   
Hubungan antara maloklusi, skor DMFT, DMFS, dan VPI merupakan sebuah temuan penting dari survei epidemiologi ini. Data ini menunjukkan bahwa kelainan-kelainan ortodontik, yang sebagian besar merupakan gigi berjejal (crowding), bisa terkait dengan kerentanan terhadap retensi plak dan karies. Ini mendukung temuan Kolmakow dkk. (1991) dan Alexander dkk., (1997). Meskipun perbandingan langsung dengan penelitian-penelitian lain sulit dilakukan karena perbedaan usia subjek yang diteliti, temuan survei kali ini tetap signifikan dalam menyediakan data pertama tentang status ortodontik dari remaja-remaja Hungaria usia 16 sampai 18 tahun, dan mencerminkan kebutuhan akan perawatan ortodontik pada populasi ini.

Kesimpulan

1.Jumlah remaja Hungari yang menunjukkan kelainan ortodontik cukup tinggi (70,4 persen).
2.Sebuah hubungan yang signifikan menurut statistik ditemukan antara keberadaan maloklusi, kejadian karies, dan tingkat kesehatan mulut (P < 0,05).

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders