Perbandingan tekanan udara positif kontinyu dengan ventilasi bantu proporsional untuk ventilasi non-invasif pada edema paru kardiogenik akut

Abstrak

Tujuan: Untuk membandingkan tekanan saluran-udara positif kontinyu (CPAP) dan ventilasi bantu proporsional (PAV) sebagai metode-metode untuk dukungan ventilasi non-invasif pada pasien yang mengalami edema paru kardiogenik parah.

Desain dan setting: Sebuah penelitian acak multisenter prospektif yang dilakukan di ICU medis dari tiga rumah sakit universitas.

Pasien: Tiga puluh enam pasien dewasa dengan edema paru kardiogenik (CPA) yang mengalami dyspnea yang belum sembuh, laju pernapasan di atas 30/menit dan/atau SpO2 di atas 90% dengan O2 yang lebih tinggi dari 101/menit meskipun telah menjalani terapi konvensional dengan furosemida dan nitrat.

Intervensi: Pasien diacak untuk menjalani apakah ventilasi nonionvasif CPAP (dengan PEEP 10 cmH2O) atau PAV (dengan PEEP 5-6 cmH2O) melalui sebuah masker wajah penuh dan ventilator yang sama.

Pengukuran dan hasil: Tolak ukur hasil utama adalah tingkat kegagalan sebagaimana didefinisikan berdasarkan onset kriteria intubasi yang telah ditentukan, arrythmia parah atau penolakan pasien. Pada awal penelitian kelompok CPAP (n = 19) dan PAV (n = 17) cukup mirip dalam hal usia, rasio jender, tipe penyakit jantung, SAPS II, parameter-parameter fisilogis (tekanan arterial rata-rata, denyut jantung, gas darah), jumlah nitrat dan furosemida yang diinfus. Kegagalan ditemukan pada 7 (37%) pasien CPAP dan 7 (41%) pasien PAV. Diantara jumlah ini, 4 (21%) pasien CPAP dan 5 (29%) pasien PAV memerlukan intubasi endotrakea. Perubahan parameter-parameter fisiologis cukup mirip pada kedua kelompok. Infarksi myokardial dan angka kematian ICU cukup mirip pada kedua kelompok.

Kesimpulan: Dalam penelitian ini PAV tidak lebih baik dibanding CPAP untuk ventilasi noninvasif pada edema paru kardiogenik parah dalam hal efikasi dan toleransi.

Kata kunci: ventilasi noninvasif, edema paru kardiogenik akut, tekanan saluran udara positif kontinyu, ventilasi bantu proporsional, ventilasi pendukung tekanan.


Pendahuluan
   
Saat ini penggunaan ventilasi noninvasif (NIV) telah banyak direkomendasikan pada gagal pernapasan akut yang terkait dengan edema paru kardiogenik (CPE). Metode ini telah ditunjukkan dapat mengurangi keperluan akan intubasi endotrakea selanjutnya dan mengurangi mortalitas. NIV bisa diberikan baik dengan tekanan saluran udara positif kontinyu (CPAP), sebuah metode yang menjaga tekanan saluran udara positif permanen disamping pasien bernapas secara spontan, atau ventilasi pendukung tekanan bilevel (NIPSV), dimana bantuan dengan tekanan saluran udara positif inspiratory ditambahkan untuk mempertahankan tekanan saluran udara positif ekspiratory. CPAP dan NIPSV telah terbukti efektif sebagai terapi konvensional. Akan tetapi, teknik NIV yang terbaik dalam CPE belum diketahui. Walaupun NIPSV lebih efektif mengurangi muatan otot-otot respirasi dibanding CPAP, trial-trial terkontrol acak komparatif menguatkan relevansi klinis dari manfaat fisiologis ini. Disamping itu, salah satu penelitian ini dihentikan secara dini karena kejadian infarksi myokardial yang meningkat pada kelompk NIPSV. Untuk alasan inilah CPAP, sebuah metode yang banyak digunakan, relatif tidak mahal, dan mudah digunakan, tetap menjadi teknik pilihan pertama.
   
Ventilasi bantu proporsional (PAV) merupakan sebuah metode ventilasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah tekanan saluran udara positif inspiratory yang sebanding dengan upaya inspiratory instan pasien. Beberapa penelitian yang telah membandingkan PAV dengan ventilasi dukungan tekanan (PSV) telah dipublikasikan. Dua dari pasien yang dibandingkan ini mengalami ketidakcukupan respirasi akut.  Penelitian-penelitian ini memasukkan pasien yang heterogen dalam hal penyebab gagal pernapasan, termasuk beberapa pasien yang mengalami CPE. PAV terkait dengan perbaikan yang lebih cepat pada beberapa variabel fisiologis, lebih nyaman dan toleransi lebih baik dibanding dengan NIPSV. Dengan demikian kami berhipotesis bahwa PAV sebagai sebuah metode pendukung respirasi noninvasif yang lebih “fisiologis” akan lebih baik dibanding CPAP untuk CPE dalam hal efek-efek fisiologis dan manfaat klinis.

Pasien dan metode

Pasien

Penelitian ini dilakukan di tiga ICU medis Perancis yang berbeda. Desain penelitian disetujui oleh “Comite Consultatif des personnes se pretant a une recherche biomedicale” menurut hukum yang berlaku di Peranis. Izin tertulis didapatkan dari pasien atau kerabat mereka. Kriteria inklusi adalah sebagai berikut: (a) kondisi klinis akut yang konsisten dengan CPE akut termasuk dyspnea akut, meretih atau mendesah (wheezing) dan tidak adanya diagnosis alternatif, (b) temuan kemacetan tipikal pada radiografi dada, (c) perawatan yang memadai dan standar sebelumnya pada setting pra-rumahsakit atau dalam unit rawat darurat (1 mg/kg furosemida dan 0,4-3mg/jam nitrat sebagai infus kontinyu), (d) sekurang-kurangnya dua dari kondisi berikut: laju pernapasan (RR) lebih tinggi dari 30/menit, dyspnea yang tidak sembuh dengan penggunaan otot respiratory aksesori atau gerakan abdominal paradoksikal, SpO2 kurang dari 90% dengan O2 yang lebih besar dari 101/menit atau FIO2 yang lebih dari 0,5 (Venturi mask) selama sekurang-kurangnya 15 menit. Kriteria eksklusi adalah: (a) persyaratan akan intubasi endotrakeal imediet, yang dianggap wajib pada kasus syok kardiogenik (tekanan arterial sistolik <90 mmHg), arrhytmia ventrikular parah, bradycardia pada kurang dari 45/menit, penyitaan ventilatory atau kardiak atau penilaian klinis dari dokter yang bersangkutan, (b) blok atrioventrikular derajat ketiga atau kedua; (c) Skor Gasgow Coma (GCS) kurang dari 12, (d) infarksi myokardial akut [AMI; pada bukti klinis dan bukti elektrokardiografi (ECG), (e) penyakit paru obstruktif kronis dengan gagal pernapasan kronis yang didefinisikan sebagai sekurang-kurangnya satu dari kondisi berikut: pemburukan akut sebelumnya, dyspnea istirahat kronis, terapi terbaru dengan bronchodilator atau steroid, terapi oksigen ruma, (f) usia di bawah 18 tahun; (g) kehamilan, (h) kontraindikasi untuk masker wajah penuh (luka facial atau abrasi dermal), (i) gagal ginjal kronis (yang memerlukan hemodialisis), dan (j) penyakit kronis terminal.
   
Antara Januari 1999 dan Januari 2001 penelitian mendaftarkan 36 pasien. Pengacakan untuk mendapatkan apakah PAV (n = 17) atau CPAP (n = 19) menggunakan sebuah pengurutan nomor acak yang dihasilkan komputer dengan stratifikasi oleh rumah sakit; penentuan kelompok diberikan pada amplop tertutup yang tersedia di masing-masing rumah sakit. Pada awal penelitian kedua kelompok cukup mirip dalam hal usia, jender, keparahan keseluruhan, penyebab CPE akut yang diduga dan jumlah obat yang diberikan untuk kejadian akut sebelum inklusi (Tabel 1). Waktu media dari onset perawatan medis dan pengacakan adalah 60 menit (rentang 15-150 menit) pada kelompok CPAP dan 90 menit (rentang 30-190 menit) pada kelompok PAV (p = 0,27). Parameter-parameter fisiologis awal tidak berbeda antara kedua kelompok. Waktu mulai dari pengacakan sampai awal NIV adalah kurang dari 5 menit untuk semua pasien.

Desain penelitian

Pasien yang dipindahkan ke ICU dengan ambulans atau dalam ruang rawat darurat diobati dengan O2 nasal atau maske Venturi dan perawatan medis konvensional. Semua pasien diventilasi dengan menggunakan ventilator yang terpicu alir (Vision, Respinonics, Murrysville, PA, USA) melalui  sebuah masker wajah penuh yang tersedia di pasaran (Respironics). Pada kelompok CPAP tekanan ekspirasi-akhir positif (PEEP) ditentukan pada 10 cmH2O dan dievaluasi ulang jika diperlukan menurut toleransi pasien. Pada kelompok PAV pasien diventilasi dengan cara PAV dengan setting standar awal berikut: volume assist (VA) 5 cmH2O/ml, flow assist (FA) 2 cmH2O ml-1 s-1, proportional assist 100%, dan PEEP 4 cmH2O. VA dan kemudian FA ditingkatkan dengan penambahan 2 cmH2O sampai “runaway”, dan kemudian dikurangi sebesar 2 cmH2O. Runaway didefinisikan sebagai ventilasi tidak-nyaman tiba-tiba, penggunaan otot-otot abdominal pada akhir waktu inspirasi, waktu inspirasi yang lama dan “spikes” inspirasi-akhir pada kurva aliran tekanan untuk VA, dan berdasarkan ventilasi tidak nyaman dan peningkatan inspirasi tiba-tiba untuk FA. Pada kedua kelompok FIO2 adalah 100% pada awalnya dan kemudian berkurang setiap 10 menit sebesar 20% pengurangan untuk mempertahankan SpO2 di atas 90%.
   
Perawatan medis selama ventilasi dibakukan sebagai berikut: infusi kontinyu nitrogliserin atau isosorbida dinitrat dari 1 sampai 4 mg/jam untuk mempertahankan tekanan arterial sistolik antara 120 sampai 150 mmHg. Sebuah bolus furosemida tambahan (1 mg/kg) atau bumetanida (0,05 mg/kg) bisa diberikan jika diuresis setelah 1 jam di bawah 100 ml/jam. Durasi ventilasi minimum adalah 1 jam. Penghentian hanya dilakukan pada pasien dengan RR yang kurang dari 25/menit dan SpO2 lebih dari 90% dengan FIO2 50% atau kurang. Setelah penghentian, ventilasi dilanjutkan jika RR lebih besar dari 30/menit atau SpO2 lebih rendah dari 90% dengan FIO2 di atas 50%.

Pengukuran fisiologis
   
Penilaian awal pasien mencakup RR, SpO2, denyut jantung, tekanan arterial rata-rata, GCS, radiografi dada, ECG, gas darah arteria, kreatin kinase, troponin I, skor SAPS (Simplified Acute Physiology Score) II. Parameter-parameter klinis dipantau secara teratur selama diperlukan. Gas-gas darah arterial diukur 30 menit setelah memulai ventilasi dan kemudian 2 jam setelah penghentian atau jika terjadi kegagalan perawatan. Penguxkuran kreatin kinase, troponin I dan ECG dilakukan 6 jam setelah memulai ventilasi. Efek-efek samping selanjutnya dicatat: intoleransi masker, arrythmia parah, tahanan kardiak, hipotensi arterial parah, komplikasi intubasi endotrakeal, AMI. Diagnosis akhir AMI ditentukan oleh seorang ahli kardilogi luar yang tidak mengetahui kelompok pasien berdasarkan hal-hal berikut: nyeri dada tipikal atau temuan ECG evokatif dan peningkatan CPK dan/atau troponin I.

Tolak ukur hasil
   
Tolak ukur hasil utama adalah tingkat kegagalan sebagaimana ditentukan oleh sekurang-kurangnya hal berikut: (a) pemenuhan kriteria intubasi trakea ditentukan setelah 30 menit NIV dengan sekurang-sekurangnya satu dari kriteria berikut: PaO2 lebih rendah dari 60 mmHg atau SpO2 lebih besar dari 90% dengan FIO2 sama dengan 1, pemburukan dyspnea dan penurunan kurang dari 20% RR atau penurunan PaCO2 kurang dari 10% dibanding dengan nilai awal, stabilisasi dyspnea tetapi berkurang di bawah 20% RR dan berkurang dibawah 10% PaCO2 jika dibandingkan dengan nilai awal; (b) GCS yang kurang dari 10; (d) laju respirasi kurang dari 8/menit; (e) tahanan sirkulasi; dan (f) penolakan pasien. Perbaikan variabel-variabel fisiologis, durasi dukungan ventilasi, laju infarksi myokardial, dan mortalitas ICU didefinisikan sebagai tolak ukur hasil sekunder.

Analisis statistik
   
Berdasarkan titik-akhir utama kami, kami menghipotesiskan tingkat kegagalan 40% pada kelompok CPAP dan tingkat kegagalan 10% pada kelompok PAV. Angka kegagalan yang diharapkan untuk CPAP lebih tinggi dibanding rata-rata 20% yang diamati pada penelitian-penelitian yang dipublikasikan sebelumnya karena kriteria kegagalan yang digunakan dalam penelitian ini lebih luas dibanding penelitian-penelitian ini dimana tingkat kegagalan hanya terkait dengan intubasi endotrakea. Tingkat kegagalan 10% pada kelompok PAV ditentukan secara sembarang karena tidak ada data yang tersedia pada saat penelitian. Dengan error β 20% dan error α 5% kami mengharapkan 25 pasien per kelompok mengalami hipotesis unilateral. Kami membandingkan variabel-variabel kategori dasar dengan menggunakan uji pasti Fisker atau x2 Pearson dan menghitung variabel-variabel dengan menggunakan uji t tidak berpasangan atau uji Mann-Whitney jika sesuai. Perbandingan dalam kelompok pada beberapa waktu dilakukan dengan menggunakan analisis varians untuk pengukuran berulang dan uji t berpasangan jika memungkinkan. Nilai-nilai kuantitatif dilaporkan sebagai nilai mean ± standar deviasi selama tidak diindikasikan. Perbedaan dengan nilai p kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

Hasil

PEEP rata-rata adalah 9,3±2,0 cmH2O pada kelompok CPAP dan 4,2±0,6 cm pada kelompok PAV (Tabel 2). Tekanan inspirasi puncak adalah 14 ± 5 cmH2O pada kelompok PAV. Setelah 30 menit ventilasi perbaikan PaO2 (p < 0,005), PaCO2 (p < 0,05), dan pH arterial (p < 0,05) signifikan pada kedua kelompok dibandingkan dengan awal penelitian tetapi tidak berbeda dalam hal kelompok yang ditentukan (Gbr. 1). Seperti ditunjukkan pada Gbr.1, perubahan terkait waktu untuk tekanan arterial, denyut jantung, tingkat inspirasi, dan SpO2  signifikan menurut statistik (p < 0,01) tetapi tidak ada perbedaan terkait-kelompok yang signifikan.
   
Menurut kriteria yang telah kami tentukan, ada 7 kegagalan (41%) pada kelompok PAV dan 6 (31%) pada kelompok CPAP (p = 0,99; Tabel 3). Dari jumlah ini, kriteria intubasi dipenuhi pada lima pasien di masing-masing kelompok. Pada kelompok PAV semua pasien yang menunjukkan kriteria intubasi diintubasi, sedangkan dua pasien yang menolak PAV selanjutnya dimasukkan ke dalam metode NIV yang lain (salah satunya dengan CPAP dan yang lainnya dengan NIPSV). Dalam kelompok CPAP hanya tiga dari lima pasien dengan kriteria intubasi mengalami intubasi; dua lainnya dimasukkan ke CPAP dan sembuh tanpa ada efek berbahaya. Terakhir, satu pasien tambahan diintubasi dalam kelompok CPAP untuk penahanan sirkulasi tiba-tiba. Waktu rata-rata pada ventilasi noninvasif sampai berhasil cukup mirip pada masing-masing kelompok (Tabel 3). Infarksi myoarkdial dan tingkat kematian ICU cukup mirip pada kedua kelompok (Tabel 3).

Pembahasan

Sebagai rangkuman penelitian ini, PAV tidak terkait dengan hasil yang lebih baik berkenaan dengan tingkat kegagalan, tingkat intubasi, atau waktu ventilasi pada CPE akut yang tidak sembuh. Sejauh pengetahuan kami, ini merupakan penelitian acak pertama yang membandingkan PAV dan CPAP pada CPE. Sebelumnya Patrick dan rekan-rekannya melaporkan penggunaan PAV dengan sebuah masker wajah atau hidung pada pasien yang mengalami gagal pernapasan akut. Lima dari pasien ini mengalami CPE akut, dan PAV berhasil pada empat pasien. Dua penelitian yang membandingkan PAV dan NIPSV, dengan 12% dan 20% yang mengalami CPE, masing-masing, dan kebanyakan lainnya mengalami penyakit paru obstruktif kronis. Metode yang digunakan sangat mirip dengan penelitian kami. Tidak ada perbedaan antara NIPSV dan PAV dalam hal tingkat kegagalan dan tingkat mortalitas, tetapi lebih sedikit komplikasi dan lebih banyak kenyamanan dan toleransi dengan PAV.
   
Beberapa kekurangan dari penelitian ini harus diakui. Pertama, jumlah pasien yang discreening dan tidak dimasukkan tidak dicatat; walaupun tidak ada eksklusi untuk penolakan izin dan tidak ada penghentian pada pasien yang dimasukkan, namun kami tidak berspekulasi banyak tentang populasi referensi, yang membatasi dampak dari kesimpulan kami. Kedua, jumlah pasien yang dimasukkan lebih rendah dari yang direncanakan karena implementasi NIV yang progresif pada unit medis darurat pra-rumah sakit dan departemen darurat selama perjalanan penelitian kami sangat mengurangi jumlah pasien yang mengalami CPE parah yang dirujuk ke ICU kami yang menghambat kami untuk secara dini menghentikan penelitian.
   
Tingkat kegagalan dalam penelitian kami lebih tinggi dibanding yang dilaporkan sebelumnya baik dengan mempertimbangkan tingkat kegagalan yang telah kami tentukan, penyelesaian intubasi endotrakeal, atau kematian ICU. Pada sebuah meta-analisis terbaru yang mengambil 389 pasien dengan CPE, yang diventilasi baik dengan CPAP atau NIPSV, 13% diantarnaya (rentang 0-35%) memerlukan intubasi endotrakeal dan 11% meninggal (rentang 0-28%). Tidak mudah menilai dengan ketepatan tinggi apakah keparahan keseluruhan pada pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini bisa menjadi penyebab tingkat kegagalan ini. Walaupun nilai mean SAPS II jauh lebih tinggi pada penelitian kami dibanding pada penelitian multisenter yang dilakukan oleh Nava dkk., tingkat intubasi cukup mirip pada kedua penelitian. Sebuah survei prospektif terbaru terhadap 70 orang ICU Perancis mengamati kegagalan NIV pada 38 dari 225 pasien (17%) dengan CPE atau akut pada gagal respirasi kronis, dengan nilai median SPAS II sebesar 38, keparahan mendekati yang ditemukan pada populasi kami. Kadar laktat pada saat direkrut, yang bisa diinterpretasi sebagai indeks keparahan tambahan, lebih tinggi dibanding pada penelitian-penelitian serupa dimana tingkat intubasi adalah 5% dan 20%, masing-masing. Signifikansinya dalam gagal jantung kemungkinan lebih terkait dengan produksi otot respirasi dibanding hipoksia jaringan global. Akan tetapi, variabel-variabel prognosis spesifik untuk keberhasilan langsung ventilasi non-invasif belum ditentukan. Misalnya, CPE yang terkait dengan krisis hipertensif mungkin memiliki prognosis berbeda dengan CPE non-hipertensif. Terakhir, pasien yang dimasukkan masih menunjukkan hipoksemia, meskipun perawatan medis dianggap memuaskan untuk banyak pasien dalam praktik klinis. Dengan demikian NIV bisa dianggap sebagai sebuah jenis terapi penyelamatan, sehingga memilih populasi yang lebih parah dibanding pada beberapa penelitian.
   
Kami tidak menemukan perbedaan laju infarksi miokardial antara kedua kelompok. Untuk lebih lanjut mengevaluasi peranan potensial dari NIV kami membedakan antara laju AMI yang terdapat pada awal penelitian dengan AMI yang terjadi setelah 6 jam. Semua pasien yang mengalami AMI menunjukkan tidak ada gejala klinis evokatif, dan diagnosis ini dengan demikian hanya dibuat berdasarkan peningkatan enzimatis dan perubahan ECG yang konsisten. Ini menjelaskan mengapa tiga pasien pada masing-masing kelompok dimasukkan meski memiliki AMI, diagnosisnya hanya dikuatkan setelah hasil enzim yang diambil sampelnya pada perujukan tersedia. Temuan-temuan ini sejalan dengan sebuah trial yang dirancang khusus untuk mengatasi peranan potensial dari NIV pada infarksi myokardial yang tidak menemukan perbedaan angka AMI antara CPAP dan NIPSV. Disamping itu, sebuah meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa baik CPAP maupun NIPSV pada pasien yang mengalami CPE tidak meningkatkan risiko AMI.
   
PAV, seperti halnya PSV, bisa mengurangi muatan otot-otot respirasi selama peningkatan upaya inspirasi pasien. Nilai potensial dari PAV untuk meningkatkan sikronitas ventilator-pasien, kenyamanan pernapasan, dan variabel-variabel fisiologis dalam perbandingan dengan PSV telah ditunjukkan oleh beberapa penelitian acak. Temuan-temuan ini tidak dikuatkan dalam penelitian kali ini dimana kelompok referensi mendapatkan CPAP. Beberapa hipotesis bisa muncul untuk menjelaskan data ini. Pertama, jumlah pasien relatif rendah, sehingga mengurangi kekuatan trial ini untuk mendeteksi perbedaan yang relatif kecil antara PAV dan CPAP. Akan tetapi, kami mengamati tidak ada tren untuk tingkat kegagalan yang lebih kecil dengan PAV, baik berkenaan dengan tingkat intubasi atau penolakan pasien terhadap teknik yang tidak mendorong seseorang untuk merencanakan sebuah penelitian skala besar. Kedua, ada kemungkinan bahwa setting VA dan FA dalam PAV tidak optimal, sekurang-kurangnya pada beberapa pasien. Pada NIV tidak mungkin untuk mengetahui elastansi respirasi dan resistensi respirasi untuk menentukan secara proporsional antara tekanan inspirasi yang dihasilkan oleh ventilator dan upaya inspirasi instan pasien, sehingga mempertimbangkan metode runaway untuk menyesuaikan FA dan VA. Apakah metode ini tidak cocok? Walaupun jawabannya tidak pasti, fakta bahwa dua pasien menolak teknik ini setelah beberapa menit aplikasi akan konsisten dengan hipotesis ini.
   
Ketiga, apakah kami membandingkan metode-metode yang sebanding? Seperti pada beberapa penelitian sebelumnya, PEEP ditentukan pada elvel lebih tinggi pada CPAP (sekitar 10 cmH2O) dibanding pada PAV (sekitar 5 cmH2O), kemungkinan menghasilkan tekanan intrathorakik rata-rata yang dekat pada masing-masing kelompok. Pada kasus CPE, CPAP telah ditunjukkan memperbaiki oksigenasi dan mekanika paru-paru dan mengurangi kerja pernapasan. Efek-efek ini lebih jelas untuk kadar CPAP pada 10 cmH2O dibanding 5 cmH2O pada salah satu penelitian, tetapi tidak pada penelitian lainnya. Sebuah tekanan saluran udara positif inspiratory meningkatkan volume tidal dan lebih lanjut mengurangi kerja pernapasan dengan penghilangan muatan inspiratory. Akan tetapi, manfaat potensial ini tidak ditemukan relevan secara klinis dalam sebuah penelitian yang tidak menunjukkan manfaat tidak juga bahaya dengan menggunakan tekanan saluran udara positif bilevel (ekspirasi 10cmH2O, inspirasi 15 cmH2O) dibandingkan dengan 10 cmH2O CPAP. Walaupun 80 pasien dimasukkan dalam penelitian ini, hanya 20% mengalami hipercapnia (PaCO2 > 45 mmHg) yang tetap membuka kemungkinan efek positif dari tekanan saluran udara positif bilevel pada populasi sampel yang lebih parah. Jika disatukan data dari literatur yang tersedia dan temuan kali ini menunjukkan bahwa penerapan tekanan ekspirasi pada pasien-pasien ini kemungkinan lebih relevan dibanding bantuan muatan inspirasi dengan dukungan tekanan inspirasi.
   
Sebagai kesimpulan, penelitian kami tidak menemukan perbedaan antara PAV dan CPAP pada pasien yang mengalami gagal pernapasan akut setelah CPE. Tidak ada bukti risiko meningkat untuk infarksi myokardial pada pasien dengan PAV. Karena implementasi NIV dalam setting pra-rumahsakit dan departemen rawat darurat sekarang ini telah berkembang pesat, CPAP, sebuah metode yang mudah digunakan dan relatif murah dari NIV, tetap menjadi standar pada pasien-pasien ini.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders