Perbandingan pengaruh antara pemakaian sunscreen setiap hari dan pemakaian sunscreen tidak rutin terhadap respon kulit imbas radiasi UV simulasi pada manusia

Abstrak

Latar belakang: Kerusakan kulit akut dan kronis terjadi sebagai dampak dari keterpaparan radiasi UV matahari. Untuk mengurangi kerusakan kulit seperti ini, komunitas dermatologi menyarankan penggunaan sunscreen rutin setiap hari sebagai bagian dari strategi penghindaran sinar matahari.

Tujuan: Kami menentukan efektifitas sebuah produk sunscreen dengan faktor proteksi sunscreen (SPF) 15 yang diaplikasikan setiap hari dalam mencegah kerusakan histologi imbas UV  pada kulit manusia yang dibandingkan dengan proteksi yang diberikan oleh sunscreen yang memiliki SPF sama atau lebih tinggi tetapi tidak rutin diaplikasikan.

Metode: Sebanyak 24 subjek dipaparkan terhadap 2 dosis eritema minimal dari UV tersimulasi surya pada 4 hari berturut-turut. Tiga produk sunscreen diaplikasikan pada bokong masing-masing subjek. Salah satu produk dengan SPF 15 diaplikasikan setiap hari sebelum keterpaparan terhadap UV, dan untuk mensimulasi penggunaan produk sunscreen yang tidak rutin, produk dengan SPF 15 atau 19 diaplikasikan pada 3 dari 4 hari, dengan satu pengaplikasian yang dihilangkan pada hari 2, 3, atau 4. Spesimen-spesimen biopsi kulit diambil dan diproses untuk pewarnaan (staining) rutin dan pewarnaan imunohistokimia. Perubahan jumlah sel yang terbakar-amatahari dan sel-sel Langerhans serta tingkat infiltrat inflammatory dan pewarnaan imunologis (immunostaining) lisosim ditentukan.

Hasil: Terdapat peningkatan yang signifikan secara statistik untuk jumlah sel-sel terbakar-matahari, tingkat inflamasi, dan intensitas pewarnaan lisosim, dan terjadi penurunan jumlah sel Langerhans pada tempat-tempat yang tidak memakai sunscreen sebagaimana dibandingkan dengan tempat kontrol yang tidak disinari dan tempat-tempat yang diperlakukan dengan sunscreen SPF 15 setiap hari.

Kesimpulan: Data kami menunjukkan bahwa penggunaan sunscreen setiap hari mengurangi kerusakan kulit yang disebabkan oleh keterpaparan UV dibandingkan dengan penggunaan produk sunscreen sama atau lebih tinggi yang tidak rutin. Pengaplikasian sunscreen setiap hari dalam jumlah yang tepat mengurangi efek berbahaya dari radiasi UV pada kulit. Pemakaian secara rutin penting untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari sunscreen.

Keterpaparan terhadap matahari menghasilkan kerusakan kutaneous kumulatif yang memicu kenampakan klinis dan histologis dari penuaan kulit dan kanker. Diyakini bahwa spektrum ultraviolet (UV) (290-400 nm) dari sinar matahari sebagian besar bertanggungjawab untuk kerusakan kulit akut dan kronis seperti ini. Untuk mengurangi efek berbahaya dari sinar matahari, para  advokat perawatan kesehatan, termasuk AAD (akademi dermatologi Amerika) dan CDCP (pusat pengendalian dan pencegahan penyakit), telah menyarankan menghindari keterpaparan terhadap sinar matahari antara jam 10 pagi sampai jam 4 sore, dengan mengenakan pakaian pelindung, dan penggunaan sunscreen yang tepat. Telah diduga bahwa pengurangan absorpsi UV oleh kulit melalui pengaplikasian sunscreen merupakan cara praktis untuk memperbaiki kesehatan masyarakat dan individu.
   
Karena penelitian prospektif jangka-panjang pada manusia yang meneliti patogenesis penyakit kulit imbas UV hampir tidak ada, beberapa efek histologis akut dari radiasi UV terhadap epidermis dan dermis telah dilaporkan. Perubahan morfologi dan histologi ini dianggap terkait dengan kerusakan yang diamati pada kulit yang terpapar sinar matahari secara kronis. Sebagai contoh, kenampakan sel-sel diskeratotik (yaitu sel-sel terbakar-matahari [SBC]) pada epidermis diyakini disebabkan oleh kerusakan DNA imbas UV yang parah dengan berujung pada kematian sel. Sel-sel yang bertahan dengan kerusakan yang kurang parah bisa mengalami mutasi DNA yang pada akhirnya berkontribusi bagi terjadinya kanker kulit. Demikian juga, pengurangan jumlah sel Langerhans (LC) telah ditemukan dengan menggunakan berbagai kondisi eksperimental dan dianggap mencerminkan efek imunosupresif umum dari radiasi UV dan kontribusi yang dihasilkan terhadap proses fotokarsinogenesis. Terakhir, induksi beberapa enzim seperti lisosim dan matriks metaloproteinase terhadap UV telah dilaporkan terlibat dalam penuaan kulit karena cahaya (photoaging).
   
Bahwa suncreen mencegah atau mengurangi efek keterpaparan UV akut bukan sekedar anggapan tak berdasar dan pada beberapa kasus didukung oleh bukti eksperimental. Sebagai contoh, pengaplikasian produk-produk sunscreen ke kulit manusia mengurangi efek akut dari UV tersimulasi-surya terhadap kenampakan SBC, migrasi LC keluar dari epidermis, dan responsn inflammatory. Kemampuan produk-produk sunscreen untuk mencegah respons kulit imbas UV pada kondisi eksperimental akan tergantung pada beberapa faktor termasuk sumber sinar buatan yang digunakan dalam penelitian dan filter UV yang terdapat dalam produk. Tidak diragukan lagi, variabel-variabel eksperimental seperti ini akan mempengaruhi ambang batas, dosis-respon, dan waktu-respon terhadap UV untuk titik akhir biologis tertentu.
   
Meskipun penipisan kulit akut imbas UV telah ditemukan, namun konsekuensi penggunaan sunscreen yang tidak konsisten belum diselidiki. Subjek-subjek seringkali tidak mengaplikasikan sunscreen yang cukup untuk mencapai nilai SPF yang tercantum pada produk yang dipakai. Disamping itu, jumlah sunscreen yang diaplikasikan bisa tergantung pada konsistensi pemakaiannya dan tipe filter UV yang dikandungnya. Walaupun dampak biologis dari tidak menggunakan sunscreen menjadi salah satu kekhawatiran, tetapi banyak pemakai sunscreen yang mungkin memiliki kesalahan pemahaman bahwa penggunaan sunscreen dengan SPF tinggi yang sesekali dan tidak rutin sama efektifnya dengan penggunaan sunscreen dengan SPF rendah setiap hari. Ketidakpatuhan penggunaan produk sunscreen ini merupakan sebuah isu penting, yang dampaknya belum diteliti secara lengkap.
   
Tujuan dari penelitian ada dua: memberikan bukti histologis pada kulit manusia yang mendukung manfaat protektif dari pengaplikasian sunscreen setiap hari dan menunjukkan kerusakan pada kulit yang bisa disebabkan oleh penggunaan produk suncreen yang hanya sesekali dan tidak rutin.

BAHAN DAN METODE

Populasi Penelitian

Penelitian ini disetujui oleh Badan Review Institutional Rumah Sakit Universitas Boston. Setelah menandatangani surat izin partisipasi, 24 sukarelawan wanita yang sehat dilibatkan dalam penelitian. Umur mereka berkisar antara 20 sampai 55 tahun (rata-rata 31 tahun). Terdapat 15 wanita berkulit putih, 3 orang Hispanics, dan 6 orang Asia. Tipe kulit mereka adalah sebagai berikut : tipe I, 3 orang subjek; tipe II, 6 orang subjek; tipe III, 13 orang subjek; dan tipe IV, 2 orang subjek. Tidak ada diantara partisipan yang memiliki riwayat penyakit fotosensitif atau pernah mendapatkan pengobatan fotosensitizing.

Sumber Cahaya

Sumber radiasi UV adalah simulator surya compact xenon arc 150W, yang diperlengkapi dengan sebuah cermin dikromik dan sebuah filter Schoot WG-320 1-mm serta 1-mm UG-11 untuk memperkirakan spektrum solar UV (yaitu, 290-400 nm). Distribusi tenaga spektral diukur sebelum melakukan penelitian dengan sebuah spektrofotometer UV-visible (model 74, Optronik CO, Orlando, Fla). Tiap bagian kulit yang diradiasi berbentuk lingkaran dengan diameter kira-kira 1 cm.

Prosedur Eksperimental

MED (dosis eritema minimal) untuk setiap subjek ditentukan dan dicatat pada bagian bokong sebagai dosis terkecil yang menghasilkan eritema gabungan 22 ± 2 jam setelah penyinaran. Satu minggu setelah determinasi MED, 6 bagian yang ukurannya masing-masing  5 x 4 cm digambarkan pada bokong yang berlawanan. Salah satu bagian yang difungsikan sebagai kontrol yang tidak disinari, dan 2 mg/cm2 sunscreen SPF 15 yang mengandung octylmethoxycinnamate (OMC) dan zinc oxida diaplikasikan setiap hari pada bagian kedua. Untuk menstimulasi penggunaan sunscreen yang tidak rutin,  4 bagian kulit yang tersisa diperlakukan dengan sunscreen pada hari ke-tiga atau ke-empat penyinaran. Sebuah sunscreen dengan SPF 15 (avobenzone, OMC, dan oxybenzone) diaplikasikan pada 1 bagian setiap hari kecuali hari ketiga (yaitu 48 jam sebelum biopsy dilakukan); sunscreen SPF 29 (OMC, oxybenzone, octyl salicylate) diaplikasikan pada tiga bagian lainnya dengan melewati hari ke 2, 3, atau ke 4. Jumlah sunscreen yang sama digunakan untuk tiap bagian. Kira-kira 15 menit setelah aplikasi sunscreen, pusat yang ditandai pada tiap bagian dipaparkan dengan 2 MED UV tersimulasi surya. Urutan ini dilengkapi selama 4 hari berturut-turut. Semua tempat perlakuan ditentukan melalui cara design square Latin yang dirandomisasi. Eritema dievaluasi setiap hari pada setiap bagian.

Spesimen Biopsi dan Penilaian Histologis

Satu hari setelah paparan UV yang terakhir, 4 mm specimen biopsy jarum yang sangat tebal diambil dari pusat setiap bagian. Semua specimen biopsy dibagi secara longitudinal ke dalam dua bagian. Satu bagian dengan cepat dicampurkan dengan 10% formalin berbuffer normal dan diproses untuk tahap paraffin. Bagian yang lain dicampurkan dengan Michel’s transport buffer, yang ditempelkan pada medium OCT (jaringan Tek), dan dibekukan pada suhu -700C untuk analisis histokimia.
Irisa-irisan parafin berukuran 4-mikron diwarnai dengan hematoxylin dan eosin untuk analisis morfologi dan kuantifikasi apoptotik serta sel-sel inflamatori perivaskuler (sel-sel histosit, mast, dan mononuklear). Jumlah total sel-sel apoptotik dihitung secara manual pada seluruh epidermis yang tersedia. Area epidermal diukur dengan analisis tampilan yang terkomputerisasi. Jumlah sel-sel apoptotik dibagi dengan area epidermal, yang menghasilkan jumlah sel-sel apoptotik per milimeter bujursangkar epidermis. Derajat infiltrasi inflamatori perivaskuler diberi tingkatan dengan skala dari 0 sampai 3 (0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = parah). Penandaan imunohistokimia digunakan pada irisan-irisan parafin melalui  metode avidin-biotin. Antibodi anti-CD1a monoklonal (immunotech, Westbrook, Me) digunakan untuk mendeteksi LC (sel Langerhans) yang dihitung per milimeter bujursangkar area epidermal, dan lisosim anti-human kelinci (DAKO, Carpinteria, Calif) dengan pengenceran 1:100 digunakan untuk mendeteksi lisosim. Distribusi pewarnaan (staining) dalam epidermis dan dermis dicatat, dan intensitas pewarnaan diberi tingkatan dengan skala 0-5 (0 = tidak ada, 5 = kuat). Semua irisan direview oleh dua pengamat tersamarkan independen..


Penilaian Statistik

Analisis varians satu-arah (ANOVA) digunakan untuk menentukan pengaruh yang terkait dengan perawatan untuk setiap titik akhir. Uji t berpasangan digunakan untuk menentukan perbedaan masing-masing kelompok dengan kontrol yang tidak diberi perlakuan. Nilai P yang kurang dari 0,05 secara statistik dinggap signifikan.

HASIL

Sebagaimana diilustrasikan pada Fig 1 dan Fig 2, A-C, tidak ada perbedaan jumlah SBC pada bagian yang dirawat setiap hari dengan sunscreen SPF 15 dibanding dengan kontrol yang tidak diradiasi. Sebaliknya, terdapat peningkatan jumlah SBC yang signifikan secara statistik (p < 0,001) pada bagian dimana penggunaan sunscreen dilangkahi satu hari sebagaimana dibandingkan dengan tempat kontrol yang tidak diiradiasi dan bagian yang dirawat setiap hari dengan sunscreen SPF 15 (Figs 1 dan 2, A-C).

Terdapat penurunan jumlah LC yang signifikan secara statistik (P < 0,05) pada bagian dimana penggunaan sunscreen SPF 29 dilangkahi selama 72 jam sebelum biopsi (Fig 3; Fig 2, D-F). Penggunaan sunscreen yang tidak ada pada jam ke 24 dan 48 sebelum biopsi tidak menyebabkan penurunan yang besar untuk jumlah LC yang signifikan secara statistik dibandingkan dengan kontrol yang tidak dirawat. Dengan cara yang sama, tidak ada perbedaan jumlah LC yang signifikan secara statistik pada bagian yang dirawat setiap hari dengan produk SPF 15 dan bagian kontrol yang tidak diiradiasi.

Pengaruh sunscreen pada inflamasi perivaskuler imbas UV ditampilkan pada Fig 4 dan Fig 2, G-I. Terdapat peningkatan tingkat inflamasi perivaskuler yang signifikan secara statistik pada semua bagian yang dirawat secara tidak rutin dengan sunscreen sebagaimana dibandingkan dengan bagian kontrol yang tidak dirawat. Tidak ada perbedaan tingkat inflamasi antara kontrol yang tidak dirawat dengan bagian yang dirawat setiap hari dengan produk sunscreen SPF 15 (Fig 4; Fig 2, G-I ).

Terakhir Gbr 5 dan Gbr 2, J-L, mengilustrasikan efek radiasi UV terhadap derajat pewarnaan lisosim dalam epidermis dan dermis, masing-masing. Kedua bagian ini terkena ketika sunscreen tidak diaplikasikan ke tempat yang disinari UV tanpa mempertimbangkan kapan sunscreen dilangkahi. Epidermis (Gbr. 5A) dan dermis (Gbr. 5B) menunjukkan peningkatan pewarnaan lisosim yang signifikan (P<0,001) pada tempat-tempat yang kehilangan pengaplikasian sunscreen sebagaimana dibandingkan dengan tempat-tempat kontrol yang tidak diperlakukan. Intensitas pewarnaan lisosim secara konsisten lebih besar dalam dermis dibanding epidermis. Perawatan setiap hari dengan sunscreen SPF 15 secara sempurna menghambat peningkatan pewarnaan lisosim imbas UV, dan tidak ada perbedaan intensitas pewarnaan minimal antara tempat kontrol yang tidak disinari dengan tempat yang diperlakukan dengan SPF 15 (Gbr. 5; Gbr. 2, J-L).

PEMBAHASAN
   
Penelitian kami menunjukkan bahwa agar sunscreen mencapai keefektifan tertinggi dalam mencegah kerusakan kulit imbas UV matahari, maka produk-produk ini harus diaplikasikan dengan baik, reguler, dan dalam jumlah yang tepat. Seperti yang telah kami tunjukkan, jika produk-produk sunscreen diaplikasikan sebelum keterpaparan UV, kerusakan kulit akut sebagaimana yang diukur dengan parameter kami akan dapat dicegah. Karena kerusakan kulit imbas UV akut bersifat kumulatif, yang berujung pada penuaan kulit (photoaging) dan kanker kulit, maka menghambat respons akut terhadap UV berpotensi mengurangi perubahan fisiologis dan pra-kanker jangka panjang pada kulit. Dengan demikian, tidak mengherankan jika komunitas dokter-kulit dan komunitas medis telah menganjurkan sunscreen sebagai bagian dari sebuah strategi untuk mengurangi efek keterpaparan UV matahari. Seperti ditunjukkan dalam penelitian kali ini, penggunaan produk-produk ini setiap hari adalah kunci untuk mencapai manfaat preventif yang maksimal. Lebih daripada itu, karena satu kali saja tidak mengenakan sunscreen, bahkan yang potensial, akan memiliki dampak dramatis, maka kebutuhan akan proteksi UV rutin setiap hari dan konsisten serta pengaplikasian produk yang tepat harus menjadi bagian menyeluruh dari penyuluhan sunscreen.
   
Untuk produk-produk yang diaplikasikan secara topikal, kepatuhan pemakaian banyak terkait dengan atribut-atribut penampilan dari produk tersebut. Karena krim atau salep suncreen bisa diaplikasikan pada daerah permukaan tubuh yang luas, maka produk ini harus menyenangkan dan tidak mengganggu pemakainya. Kesenangan terhadap sebuah produk topikal dapat menjadi faktor pendorong, sehingga memicu pemakaian secara reguler dan meningkatkan kepatuhan pemakaian. Sehingga, disamping mencari filter-filter UV yang lebih baik, inovasi produk harus mencakup atribut-atribut yang meningkatkan estetik, sehingga mendorong pemakaian. Salah satu pendekatan seperti ini adalah memasukkan filter-filter UV dalam produk-produk yang melembabkan kulit.    
   
Desain penelitian kali ini ditujukan untuk memberikan sebuah rangkain waktu untuk kerusakan kulit yang ditimbulkan UV dengan melangkahi pengaplikasian UV 72, 48 atau 24 jam sebelum sebelum kerusakan dinilai. Sejalan dengan penelitian lain, ada peningkatan jumlah SBC yang signifikan 24 jam setelah pengaplikasian susncreen dihilangkan; respons SBC maksimum diamati 72 dan 48 jam setelah pengaplikasian sunscreen dihilangkan (Gbr. 1). Demikian juga, seperti ditunjukkan pada Gbr. 3, titik waktu 72 jam merupakan satu-satunya penurunan LC signifikan secara statistik yang diamati dalam penelitian ini. Peneliti lain telah melaporkan penurunan jumlah LC maksimum pada 2 sampai 3 hari setelah keterpaparan UV. Berbeda dengan pembentukan SBC dan penipisan LC, hubungan waktu-dosis untuk pewarnaan lisosim dan tingkat inflamasi perivaskular tidak diamati (Gbr. 4 dan 5). Temuan konsisten untuk keempat titik akhir adalah inhibisi respons UV pada tempat yang diperlakukan setiap hari dengan produk sunscreen SPF 15. Respons ini identik dengan tempat kontrol yang tidak diperlakukan.
   
Pola-pola waktu-respons spesifik yang diamati dalam penelitian kami mencerminkan perbedaan respons ambang dari masing-masing parameter pada kondisi-kondisi eksperimental yang digunakan dalam penelitian kami. Secara umum, data-data ini konsisten dengan pola-pola yang diamati pada laporan literatur sebelumnya  untuk titik-titik akhir yang diukur. Pembentukan SBC imbas UV stimulator surya merupakan satu-satunya efek paling dramatis yang diamati dalam penelitian ini. SBC dihasilkan sebagai akibat dari kerusakan DNA yang ekstensif pada sel yang berujung apoptosis. Sel-sel yang mengalami lebih sedikit kerusakan dan terhindar dari apoptosis pada akhirnya bisa mengalami mutasi dan berkembang membentuk tumor kulit. Sehingga kerusakan terhadap DNA bisa terjadi bahkan jika sebuah sunscreen digunakan 75% (¾ keterpaparan UV) selama waktu tersebut. Sayangnya, skenario penggunaan-sesekali ini bisa lebih mewakili realita pengapliaksian produk sunscreen di Amerika Utara.
   
Sunscreen telah dilaporkan memiliki efektifitas yang tidak menentu dalam mencegah imunosupresi imbas UV. Pengurangan LC pada 72 jam yang diamati dalam penelitian kami menunjukkan kompleksitas respon ini dan menunjuk pada kebutuhan untuk evaluasi rangkaian-waktu secara cermat tentang penipisan LC imbas UV. Sebagai contoh, dalam pengamatan pendahuluan kami, kami menemukan bahwa penipisan LC maksimum terjadi 48 jam setelah keterpaparan UV. Akan tetapi, pada penelitian yang lebih besar kali ini, efek UV yang signifikan secara statistik terhadap LC diamati 72 jam setelah keterpaparan UV. Sehingga kita perlu berhati-hati ketika mempertimbangkan hasil pada satu titik waktu.
   
Kerusakan DNA dan imunosupresi yang dihasilkan oleh radiasi UV dari sinar-matahari diyakini sebagai faktor penyebab dalam etiologi kanker kulit. Seperti yang direview oleh Gasparro, Mitchnick, dan Nash, pengaplikasian sunscreen telah ditemukan mengurangi kenampakan tumor kulit imbas UV (yakni kasinoma sel skuamus) pada hewan. Lebih penting lagi, pada sekurang-kurangnya 2 penelitian prospektif pada manusia, penggunaan sunscreen secara reguler ditemukan mengurangi jumlah keratosis aktinik, serta kanker kulit non-melanoma. Data-data ini menunjukkan pentingnya penggunaan sunscreen secara reguler dalam mengurangi kanker kulit imbas UV. Data kami menguatkan kebutuhan akan penggunaan sunscreen setiap hari untuk mengurangi risiko kanker kulit non-melanoma.
   
Meskipun penelitian jangka-panjang terhadap hewan dan dua penelitian prospektif pada manusia yang mendukung fungsi protektif subscreen terhadap pembentukan tumor imbas UV, namun ada beberapa kajian epidemiologi observasional dan retrospektif yang melaporkan adanya hubungan antara penggunaan sunscreen dan risiko kanker kulit yang meningkat. Akan tetapi, hasil-hasil ini dikacaukan oleh fakta bawa orang yang berisiko paling tinggi untuk mengalami kanker kulit kemungkinan sensitif cahaya dan dengan demikian menggunakan sunscreen. Dugaan yang mendasari temuan seperti ini adalah subjek yang menggunakan sunscreen menghabiskan lebih banyak waktunya di luar sehingga mendapatkan lebih banyak keterpaparan sinar matahari. Pendapat ini didukung oleh sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Autier dkk, yang menunjukkan adanya hubungan positif antara penggunaan sunscreen dengan SPF tinggi dan waktu yang dihabiskan di bawah sinar matahari pada sebuah kohort Eropa yang berusia 18 sampai 24 tahun. Data dari penelitian kami bisa memberikan penjelasan alternatif. Jika sebuah subjek menggunakan sunscreen bahkan 3 dari 4 hari, kerusakan DNA yang didapatkan bisa cukup untuk memicu/mempromosikan perkembangan tumor. Cukup diterima bahwa temuan observasional dari penggunaan sunscreen dan melanoma tidak bersifat kausal tetapi mencerminkan keterpaparan matahari yang ekstensif dan kemungkinan penggunaan produk-produk sunscreen yang tidak memadai.
   
Efek UV terhadap pewarnaan lisosim dalam epidermis dan dermis cukup dramatis. Deposisi lisosim terkait dengan elastosis surya. Walaupun keterlibatan pasti lisosim dalam asal-usul fotoaging kronis belum diketahui, namuv ini merupakan sebuah penanda untuk keterpaparan UV yang mencapai dermis. Kemampuan pemakaian sunscreen secara teratur untuk memblokir pewarnaan lisosim imbas UV merupakan alasan lain untuk menganjurkan penggunaan produk seperti ini secara reguler. Walaupun penuaan kulit karena cahaya matahari (photoaging) tidak merupakan kondisi yang berbahaya, namun ini merupakan salah pertimbangan utama yang memotivasi pasien untuk mencari bantuan dermatologis. Seperti pada kanker kulit, efek minimal dari sunscreen pada sebuah penelitian prospektif 2-tahun yang dilaporkan oleh Boyd dkk terhadap photoaging bisa dijelaskan dengan penelitian kali ini. Jika sunscreen tidak diaplikasikan setiap hari, maka satu kali keterpaparan terhadap radiasi bisa menghasilkan kerusakan yang berarti, yang berpotensi mengurangi upaya-upaya sebelumnya untuk meminimalisir keterpaparan.
   
Sebagai kesimpulan, data yang didapatkan dalam penelitian kali ini mendukung penggunaan produk sunscreen setiap hari untuk mencegah kerusakan kulit akut imbas UV. Karena kerusakan berulang pada kulit mengarah pada penuaan kulit (photoaging) dan kanker kulit, maka para profesional kesehatan harus menjadi pemimpin dalam penyuluhan pemakaian sunscreen. Para ahli kulit adalah spesialis dalam komunitas ini yang perlu terus melanjutkan upaya mereka untuk mendidik dan memotivasi masyarakat untuk menggunakan sunscreen, tidak hanya untuk tujuan rekreasional tetapi juga untuk keterpaparan setiap hari.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders