Penetapan Lokus Kerentanan Psoriasis pada Kromosom 6p21 dan 20p13 di Kalangan Keluarga Perancis

Psoriasis plak merupakan sebuah penyakit inflammatory kronis pada kulit. Penyakit ini diwariskan sebagai sifat multifaktorial, dengan komponen genetik yang kuat. Penelitian pertalian genetik telah menemukan banyak lokus penyakit, tetapi sangat sedikit yang bisa direplikasi pada kelompok keluarga independen. Dalam penelitian kali ini, kami menyajikan hasil dari sebuah scan genome-wide yang dilakukan pada 4 keluarga besar Perancis. Daerah-daerah kandidat kemudian diuji pada 32 keluarga kedua. Analisis sampel berkelompok menguatkan adana pertalian dengan kromosom 6p21 (skor ZMLB = 3,5, P = 0,0002) dan 20p13 (skor ZMLB = 2.9, P = 0,002), walaupun ada sedikit kontribusi dari kelompok keluarga kedua terhadap sinyal pertalian 20p13. Lebih daripada itu, kami mengidentifikasi empat lokus tambahan yang berpotensi terkait dengan psoriasis. Daerah MHC pada kromosom 6p21 merupakan lokus kerentanan utama, yang disebut sebagai PSOR1, yang mana telah ditemukan pada kebanyakan penelitian yang dipublikasikan hingga sekarang ini. Lokus 20p13 terpisah secara independen dari PSORS1 pada keluarga psoriasis. Lokus ini sebelumnya telah diduga terlibat dalam predisposisi terhadap psoriasis dan gangguan-gangguan inflammatory lainnya seperti dermatitis atopik (AD) dan asma. Walaupun psoriasis dan AD jarang terjadi bersamaan, ini menguatkan hipotesis bahwa psoriasis dipengaruhi oleh gen-gen yang memiliki efek umum terhadap inflamasi dan imunitas.


PENDAHULUAN
   
Psoriasis merupakan sebuah dermatosis inflammatory kronis yang mengenai 2-4% populasi Kaukasoid (Nevitt dan Hutchinson, 1996). Secara klinis, penyakit ini ditandai dengan plak-plak inflammatory, melepuh, bersisik, berbatas tegas yang umumnya terjadi pada permukaan ekstensor dan pada kebanakan kasus terjadi pada kulit kepala. Lazimnya, lesi bertambah besar dan menyusut dari tahun ke tahun. Berdasarkan aspek-aspek klinis dari lesi, ada tujuh subtipe yang telah ditentukan (Krueger dan Duvic, 1994). Psoriasis plak merupakan tipe yang paling umum, mewakili lebih dari 80% dari semua kasus psoriasis. Walaupun prognosis jarang fatal, psoriasis memiliki efek berbahaya yang signifikan terhadap kualitas hidup (Krueger dkk., 2001). Imbas untuk perawatan dan biaya kesehatan cukup besar (Elder dkk., 2001). Psoriasis merupakan sebuah penyakit multi-faktor yang timbul melalui kombinasi faktor lingkungan dan faktor genetika, seperti yang telah banyak ditemukan dalam penelitian (Bhalerao dan Bowcook, 1998; Camp, 1998). Analisis segregasi keluarga dari studi epidemiologi skala besar menunjukkan tidak ada pola pewarisan yang jelas (Pietrzyk dkk., 1982). rasio risiko rekurensi dalam keluarga (λs) diperkirakan berkisar antara 4 sampai 11,5 (Hellgren, 1967; Farben dkk., 1974). Tingkat kesesuaian penyakit jauh lebih tinggi pada kembar monozigot (65-72%) dibanding pada kembar dizigot (15-30%), konsisten dengan faktor-faktor genetik yang memegang peranan penting dalam patogenesis penyakit (Bhalerap dan Bowcock, 1998).
   
Semua penelitian genome-wide telah menunjukkan pertalian yang cukup tinggi dengan sebuah daerah pada MHC pada kromosom 6p21.3, yang disebut sebagai PSORS1. Kesamaan alel antara pasangan saudara dalam keluarga memperkirakan kontrobusi terhadap berkumpulnya penyakit dalam keluarga (λ) sebesar 33<λ<50% (Trembath dkk., 1997; International Psoriasis Genetics Consortium, 2003). Dengan demikian, walaupun pertalian dengan dengan PSORS1 paling kuat dan paling dapat direplikasi, lokus ini tidak menjelaskan seluruh predisposisi genetik dan beberapa scan genome-wide telah dilakukan dalam mencari lokus kerentanan psoriasis lainna. Tujuh lokus kerentanan tambahan telah ditemukan, yakni PSORS2 sampai PSORS7 da PSORS9, masing-masing pada kromosom 17q25, 4q34, 1q1, 3q21, 19p13, 1p32 dan 4q3. Pertalian yang masih diduga juga telah ditemukan pada kromosom 2q, 8q24, 20p13, 16q23, 3p21-23, 4q13, 5q31, 15q11, 21q11-q21, 2p12-p14, 7, 14q22-32, 3q33. Baru-baru ini, sebuah analisis meta dilakukan terhadap scan-scan pertalian sebelumnya untuk lokus kerentanan psoriasis (Sagoo dkk., 2004). Selain lokus kerentanan utama PSORS1, hanya PSORS2, PSORS3, PSORS6, PSORS4, dan daerah 3q21, 16q12-q23, dan 20p13 yang telah dideteksi pada sekurang-kurangnya dua penelitian.
   
Disini kami menyajikan hasil dari sebuah analisis pertalian yang dilakukan pada keluarga-keluarga besar di Perancis. Sebagai tahapan pertama, scan genome-wide dengan tanda setiap 15 cM dilakukan pada 14 keluarga multigenerasi. Kepadatan penanda mikrosatelit yang lebih tinggi digunakan pada beberapa lokus kandidat yang dilaporkan dalam literatur. Semua tanda yang menunjukkan pertalian (P<0,01) selanjutnya diuji pada kelompok kedua yang terdiri dari 32 keluarga besar. Hasil kami menguatkan temuan pertalian sebelumnya terhadap PSORS1 dan mendukung keberadaan lokus kerentanan pada kromosom 20p13, sebuah daerah yang sebelumnya dianggap terlibat dalam predisposisi terhadap psoriasis dan gangguan-gangguan inflammatory lainnya seperti dermatitis atopik (AD) dan asma (Cookson dkk., 2001).

HASIL
   
Scan genome-wide dilakukan pada kelompok pertama yang terdiri dari 14 keluarga psoriasis multigenerasi (Tabel 1). Mikrosatelit tambahan ditambahkan ke panel pertalian 15 cM pada beberapa lokus kandidat yang telah dipublikasikan sebelumnya (Tabel S1). Analisis pertalian multi-poin dengan menggunakan metode MLB (maximum likelihood binomial) memungkinkan pendeteksian pertalian dengan nilai P ≤0,001, pada lokus PSORS1 pada kromosom 6p21 (skor ZMLB maksimum = 3,6, P > 0,0002) dan pada kromosom 20p13 (skor ZMLB maksimum = 3,1, P = 0,001). Disamping itu, kami menemukan indikasi pertalian dengan kromosom 10q, 13q, 14q, dan 16q (nilai P < 0,001) (Tabel 2). Untuk menentukan sinyal pertalian lebih lanjut, kelompok kedua yang terdiri dari 32 keluarga besar ditentukan genotipnya pada enam lokus untuk sebuah kajian replikasi. Struktur keluarga dan karakteristik klinis pasien dari kedua kelompok ini dirangkum pada Tabel 1 dan cukup mirip diantara kedua kelompok. Lebih jauh, distribusi saudara kandung yang terkena, seperti ditunjukkan pada Tabel S2, tidak berbeda pada kedua kelompok.
   
Pada kelompok 2, indikasi pertalian yang paling kuat didapatkan pada lokus PSORS1 (skor ZMLB = 1,5, P = 0,06), tetapi pertalian yang diduga dengan daerah 10q, 13q, 14q, dan 20p pada kelompok 1 tidak ditemukan. Akan tetapi, analisis sampel berkelompok menguatkan pertalian dengan kromosom 6p21 dan 20p13 (skor ZMLB = 3,5, P = 0,0002; dan skor ZMLB = 2,9, P = 0,002, Tabel 2).
   
Kedua, kami menyelidiki keberadaan interaksi atau heterogeneitas genetik antara daerah-daerah yang dianggap berpotensi berkaitan dengan psoriasis pada seluruh sampel. Kami tidak menemukan korelasi signifikan antara skor ZMLB maksimum pada enam daerah yang dideteksi (6pp21, 10q, 13q, 14q, 16p, dan 20p13), ketika ini dianalisis berpasangan. Begitu juga, analisis MLB kondisional tidak menunjukkan interaksi yang signifikan atau heterogeneitas antara penanda-penanda dari daerah-daerah yang dideteksi, termasuk 6p21 (data tidak ditunjukkan).

PEMBAHASAN
   
Dalam penelitian ini, daerah 6p21, 10q, 13q, 14q, 16p, dan 20p13 dideteksi sebagai lokus kerentanan pada kelompok pertama yang terdiri dari 14 keluarga psoriasis. Meskipun tidak ada replikasi (keterulangan) atau yang ada hanya replikasi lemah pada kelompok keluarga kedua yang terdiri dari 32 keluarga, hasil pada sampel secara keseluruhan untuk daerah 6p21 dan 20p13, yang menunjukkan skor ZMLB tertinggi, tetap tidak berubah ketika dibandingkan dengan yang terdapat pada kelompok keluarga pertama. Fakta bahwa kelompok keluarga kedua tidak menunjukkan bukti pertalian ketika dianalisis sendiri mungkin karena pendeteksian pertalian yang keliru pada kelompok pertama akibat uji berganda atau heterogeneitas diantara sampel, yang tidak signifikan ketika diuji pada kelompok sampel yang telah dibagi (data tidak ditunjukkan). Perhatikan bahwa tes ini, seperti semua tes heterogeneitas, tidak cukup kuat. Kurangnya keterulangan (replikasi) juga bisa disebabkan oleh kompleksitas penyakit yang tergantung pada banyak gen dengan heterogeneitas genetik utama; gen-gen berbeda akan dideteksi dari satu penelitian ke penelitian lainnya. Terakhir. Ini bisa juga hanya disebabkan oleh kurangnya kekuatan replikasi akibat variabilitas statistik seperti yang telah ditunjukkan untuk statistik MLS (maximum lod score) (Clerget-Darpux dkk., 2001).
   
Lokus-lokus yang telah diidentifikasi terlibat dalam kerentanan psroasis pada satu atau dua penelitian saja tetapi tidak ditemukan pada penelitian lain bisa merupakan hasil yang false positive, terkait dengan populasi yang digunakan, atau penelitian-penelitian lain mungkin kekurangan kekuatan untuk mendeteksinya. Juga telah ditunjukkan bahwa beberapa dari lokus ini terkait dengan sub-fenotip tertentu dari psoriasis. Sebagai contoh, lokus 16q baru-baru ditunjukkan sebagai lokus “arthritis psoriasis” dalam penelitian di Islandia (Karason dkk., 2005). Dalam penelitian ini, lebih dari 95% pasien mengalami psoriasis plak, dan tidak ada bukti pertalian pada lokus 16q.
   
Alasan yang mungkin lainnya untuk kurangnya keterulangan (replikasi) beberapa hasil bisa karena efek besar dari lokus PSORS1 yang menutupi lokus lainnya yang terlibat dalam psoriasis. Karena efek yang kuat ini, telah diduga bahwa penelitian harus dikondisikan berdasarkan efek lokus PSORS1. Ini kami lakukan dengan menggunakan metode MLB kondisional, yang tidak mengarah pada peningkatan skor pertalian yang signifikan ketika melakukan pengkondisian pada PSORS1 di daerah manapun yang dideteksi oleh analisis pertalian sebelumnya. Lebih daripada itu, interaksi atau heterogeneitas tidak ditunjukkan dalam penelitian diantara daerah-daerah ini.
   
Untuk analisis pertalian, keturunan dipecah menjadi keluarga inti karena fasilitas perhitungan, dan kami memilih metode MLB karena menggunakan informasi simultan tentang kelompok saudara yang terkena. Lebih daripada itu, untuk penyakit kompleks yang tergantung pada berbagai gen dan menggunakan populasi outbred, bisa lebih sesuai untuk menggunakan struktur familial yang kecil seperti keluarga inti bukan keturuan yang besar (Albel dkk., 1998). Ketika menganalisis seluruh keturunan, kekuatan untuk mendeteksi pertalian bisa berkurang akibat heterogeneitas dalam keturunan. Akan tetapi, untuk daerah 6p dan 20p, untuk mana pertalian bisa dikonfirmasikan dengan menggunakan metode MLB pada keturunan yang dipisahkan ke dalam keluarga-keluarga inti, kami juga menerapkan program SIMWALK (Sobel dan Lange, 1996) dengan menggunakan statistik NPL (non parametric linkage) pada seluruh keturunan, karena program ini memungkinkan untuk menganalisis keturunan sebesar yang terdapat dalam sampel kami. Dengan analisis ini, terdapat indikasi lemah tentang pertalian dengan daerah 6p dan tidak ada indikasik pertalian dengan daerah 20p (data tidak ditunjukkan).
   
Disamping itu, kami juga melakukan analisis NPL dengan menggunakan metode ASP (affected sib-pairs) yang diimplementasikan dalam MERLIN (Abecasis dkk., 2002). Keluarga-keluarga terlalu besar untuk melakukan analisis pertalian multi-poin terhadap seluruh keturunan dengan menggunakan program ini, dan mereka juga harus dipecah ke dalam keluarga-keluarga inti. Tidak ada pertalian signifikan yang dideteks dengan metode ini pada kromosom manapun. Hasil yang didapatkan dengan MERLIN untuk daerah 6p21, 10q, 13q, 14q, 16p, dan 20p13 ditunjukkan pada Tabel 2. Selain lokus pada kromosom 10q, statistik NPL yang didapatkan dengan MERLIN menunjukkan sinyal-sinyal pertalian yang lebih rendah dibanding skor ZMLB. Kekuatan untuk mendeteksi pertalian tergantung pada informatifitas data yang mencakup struktur keturunan keluarga. Secara khusus, untuk metode MLB, informatifitas ini tergantung sebagian besar pada jumlah dan ukuran persaudaraan terkena yang terdapat dalam sampel. Sehingga, kehilangan kekuatan dengan MERLIN bisa dikaitkan dengan fakta bahwa program ini tidak bisa menggunakan informasi simultan tentang seluruh saudara yang terkena seperti metode MLB. Dengan demikian, metode MLB kelihatannya lebih cocok disini, karena ada persadaraan besar yang terkena dalam keturunan yang dicakup penelitian ini.
   
Jumlah daerah yang terlibat dalam patogenesis psoriasis dan lokasi kromosomnya saat ini belum diketahui dan hana daerah MHC 9lokus PSORS1) yang telah memenuhi kriteria untuk signifikansi genome-wide dan telah berhasil direplikasi secara konsisten dalam penelitian-penelitian independen (Elder dkk., 2001). Perbaikan interval dengan menggunakan polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) telah dilakukan oleh beberapa tim peneliti, dan hubungan antara ppsoriasis dan SNP telah dilaporkan tanpa pengidentifikasian gen dimana mutasi atau polimorfisme bisa menjelaskan gangguan-gangguan ini, walaupun beberapa alel dalam daerah MHC merupakan kandidat yang baik, khususnya antigen leukosit manusia (HLA)-Cw0602. Hubungan antara HCR*WWCC dan CDSN*5 dalam ketidakseimbangan pertalian kuat dengan (HLA)-Cw0602, dan psoriasis juga telah ditunjukkan. Kami juga mengkonfirmasikan hubungan dengan ketiga alel kerentanan yang terkait erat ini dan psoriasis pada kelompok keluarga yang kami teliti (data tidak ditunjukkan). Berdasarkan penelitian pertalian dan hubungan, lokus PSORS1 tampaknya dapat menjelaskan 30-50% kerentanan psoriasis. Lokus kerentanan kecil lainnya dengan demikian kemungkinan ada. Akan tetapi, pendeteksian lokus kecil terbukti sulit karena heterogeneitas lokus, yang membuat replikasi (keterulangan) pertalian sulit pada kelompok-kelompok etnis berbeda.
   
Daerah 10q telah dilaporkan sebelumnya dalam meta-analisis yang dilakukan pada enam scan genome-wide psoriasis (Sagoo., 2004), tetapi dalam penelitian kami skor ZMLB tidak mencapai nilai signifikan ketika menganalisis seluruh sampel. Walaupun menunjukkan pertalian yang lebih lemah dalam penelitian ini, daerah 13q dan 14q telah dilaporkan terkait dengan psoriasis. Akan tetapi, untuk penelitian keterulangan (replikasi) daerah-daerah yang telah ditemukan, ambang batas deteksi pertalian bisa lebih kurang ketat. Daerah 16p, yang belum dilaporkan dalam literatur, memiliki signifikansi dasar dan bisa menjadi hasil false positive atau khusus bagi populasi Perancis yang digunakan. Untuk menyimpulkan, lokus non-MHC yang paling signifikan pada pasien Perancis adalah pada kromosom 20p. Temuan kami didukung oleh implikasi daerah ini pada dua penelitian genome-wide independen lainnya. Yang pertama dilakukan pada 41 keluarga Eropa campuran dan yang kedua pada 115 keluarga Amerika dan Jerman.
   
Sebuah komponen genetik terhadap kerentanan autoimun telah ditunjukkan dengan jelas oleh penelitian pada saudara kembar dan saudara angkat dan ditunjukkan oleh risiko yang meningkat bagi orang yang bersaudara (Vse dan Todd, 1996). Lokus 20p tidak ditemukan pada awalna diantara lokus non-MHC yang bisa berkontribusi bagi kerentanan penyakit pada penyakit autoimun manusia, tetapi juga perlu diperhatikan baha sebuah pertalian dengan lokus ini telah ditemukan setelah itu dalam sebuah screen genom untuk penyakit autoimun anak. Walaupun proses imunologi dari psoriasis dan AD sedikit berbeda (psoriasis berperantara TH-1 dan AD merupakan reaksi TH-2), kedua penyakit ini ditandai dengan kulit yang kering, bersisik, diferensiasi epidermal terganggu, dan inflamasi yang merespon terhadap agen-agen spesifik sel-T. Kedua penyakit ini jarang terjadi bersamaan pada pasien yang sama. Akan tetapi, pertalian kedua penyakit dengan lokus 20p13 menunjukkan bahwa psoriasis dan AD dipengaruhi oleh gen-gen yang memiliki efek umum pada inflamasi kutaneous dan imunitas.
   
Interval 17 Mb pada kromosom 20 mengandung 428 gen yang diketahui. Pengurangan interval ini jelas diperlukan sebelum hubungan antara psoriasis dan gen tertentu pada daerah ini bisa dipertimbangkan, walaupun gen-gen β-defensin, yang diketahui terlibat dalam pertahanan imunologi terhadap bakteri, jamur, dan beberapa virus dan TGM3 yang mengkodekan transglutaminase, untuk mana transkrip ditingkatkan pada kulit psoriatik berbanding kulit normal, merupakan kandidat yang baik. Tetapi ada kandidat lain yang tidak diragukan. Replikasi hasil kami diperlukan dan studi ketidakseimbangan pertalian dengan menggunakan SNP pada interval ini untuk kloning posisional bisa pada akhirnya mengidentifikasi gen penyebab.

BAHAN DAN METODE

Sampel keluarga
   
Keluarga yang mengalami psoriasis direkrut melalui sebuah kampanye media antara tahun 1996 sampai 2001 di Genethon, dengan menggunakan poster-poster di Paris, Metro dan Informasi dalam majalah, radio, dan televisi. Dari 50.000 panggilan telpon yang kami terima, 108 keliarga dengan sekurang-kurangnya delapan anggota keluarga diidentifikasi, kebanakan diantara mereka memiliki cara pewarisan psoriasis yang dominan autosomal. Diangosa klinis diperiksa dengan melalui panggilan telpon sistematis ke setiap anggota keluarga, baik yang terkena maupun yang tidak terkena, untuk setiap keluarga, sekurang-kurangnya dua kali selama 4 tahun oleh para dokter kulit dengan menggunakan sebuah kuisioner standar yang tersedia saat dibutuhkan. Dokter untuk masing-masing pasien juga dihubungi, utamanya melalui surat, yang mengarah pada konfirmasi diangosis pada lebih dari 75% kasus. Material tersedia untuk 46 keluarga dari Perancis. Mereka dipecah menjadi dua kelompok untuk mengurangi upaya penentuan genotipe. Struktur 46 keluarga dan karakteristik klinis pasien dirangkum pada Tabel 1. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etika Le Kremlin-Bicetre Hospital pada tahun 1995 (CCPPRB). Semua subjek yang berpartisipasi dalam penelitian ini memberikan izin tertulis. Penelitian dilakukan sesuai dengan Deklarasi Prinsip Helsinki.

Penentuan genotip (Genotyping)
   
DNA diekstraksi dari darah dengan menggunakan prosedur fenol/kloroform standar. Scan genome-wide dengan menggunakan 260 penanda mikrosatelit polimorfis dilakukan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya (Dib dkk., 1996). Posisi peta penanda didasarkan pada peta Marshfield. Penanda diberi jarak pada rata-rata 15 cM. Ketika pertalian sugestif ditemukan pada kelompok pertama yang terdiri dari 14 keluarga, lokus dianalisis pada kelompok keluarga kedua dengan menggunakan 2-6 penanda mikrosatelit di sekitarnya dengan pengecualian daerah 6p21 (13 penanda) dan daerah 8q24 (sembilan penanda). Karakteristik penanda-penanda ini ditunjukkan pada Tabel S1.

Analisis pertalian
   
Karena ukurannya yang besar, keturunan lengkap tidak bisa dianalisis dengan program komputer yang saat ini digunakan untuk analisis pertalian, seperti GENEHUNTER, Allegro, yang telah terbukti layak dipakai. Program-program lain seperti LINKAGE dan SIMWALK bisa digunakan, tetapi hanya untuk sedikit penanda atau menggunakan waktu penghitungan yang sangat lama.
   
Ketika menggunakan metode MLB atau MERLIN, keturunan dipecah menjadi keluarga-keluarga inti dengan menggunakan program Mega2. Kelompok pertama yang terdiri dari 14 keturunan dan kelompok kedua yang terdiri dari 32 keturunan menghasilkan keluarga inti masing-masing 32 dan 45, masing-masing memiliki sekurang-kurangnya dua anggota keluarga yang terkena, yang digunakan untuk analisis pertalian. Distribusi persaudaraan menurut jumlah saudara yang terkena untuk masing-masing kelompok ditunjukkan pada Tabel S2.
   
Analisis NPL multi-poin dilakukan pada ASP dengan menggunakan MERLIN. Metode ASP menghitung distribusi pewarisan untuk kelompok-kelompok pasangan yang terkena dan kemudian menggunakan fungsi skor untuk menentukan signifikansi pertalian. Kami menggunakan statistik NPLA!!, yang memperkirakan kesamaan alel yang identik menurut keturunan diantara semua anggota yang terkena dan dirata-ratakan pada semua pola pewarisan yang mungkin, dinormalkan, dan ditimbang lintas keturunan. Pada hipotesis null yang menyatakan tidak ada pertalian, statistik NPL terdistribusi secara asimptomatik sebagai sebuah variabel acak normal standar. Hasil dilaporkan sebagai skor Z NPL (ZMERLIN) dan nilai-P one-sided yang terkait.
   
Karena kebanyakan keturunan yang tercakup dalam penelitian cukup rumit dan informasi mereka tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh statistik NPL, maka kami menggunakan analisis multi-poin lain dengan menggunakan metode bebas model MLB; metode ini tidak memerlukan spesifikasi model genetik mendasar untuk sifat yang diteliti, dan memiliki kelebihan tambahan yakni dapat diterapkan ke persaudaran lengkap individu-individu yang terkena. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi binomial beberapa saudara terkena yang mendapatkan alel parental tertentu. Kontribusi yang mungkin untuk miosis dari salah satu orang tua yang heterozigot dengan n keturunan yang terkena diantaranya sebanyak m mewariskan satu alel penanda dan sebanyak n-m yang lainnya sebanding dengan [αμ(1-α)v-μ+αv-μ(1-α)μ]. Untuk seluruh keluarga, kontribusi adalah produk kontribusi kedua orang tua. Produk yang mungkin pada semua keluarga maksimal pada α, dimana α merupakan probabilitas untuk saudara terkena menerima alel penanda yang ditransmisikan dengan alel penyakit. Uji untuk pertalian dilakukan dengan menggunakan statistik uji rasio kemungkinan, Λ = 2 Ln[L(α)/L(α=0,5)], dimana α sama dengan 0,5 pada hipotesis null tanpa pertalian dan α > 0,5 pada hipotesis pertalian. Statistik Λ terdistribusi secara asimpatomatik sebagai sebuah distribusi campuran 0,5 x20df dan 0,5 x21df dan ZMLB = Λ0,5 merupakan sebuah penyimpangan normal standar one-sided. Semua analisis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-poin dengan program MLBGH (Abel dkk., 1998). Frekuensi alel dari penanda diperkirakan dari pendahulu dan individu lain dalam keturunan.
   
Hasil dari berbagai data dan untuk seluruh sampel tidak dikoreksi bagi berbagai uji. Telah diketahui bahwa koreksi uji berganda sebuah scan genom pada umumnya sulit untuk diterapkan. Sebuah korekasi sederhana terhadap tipe Bonferroni menurut total penanda yang dianalisis cukup konservatif, karena pertalian antara penanda, khususnya ketika pemetaan sangat baik di beberapa daerah, seperti pada penelitian kami. Ambang batas pertalian sebagaimana diusulkan oleh Lander dan Kruglak (1995) juga konservatif, karena dihitung dengan asumsi peta genom padat yang lengkap.

Analisis dua lokus dan model heterogeneitas
   
Korelasi antara skor-skor ZMLB lokus dengan skor maksimum dalam daerah-daerah yang dideteksi oleh analisis pertalian sebelumnya dihitung. Untuk korelasi yang signifikan, analisis pertalian dengan metode MLB pada salah satu lokus dilakukan secara kondisional dengan lokus lainnya, mengikuti sebuah pendekatan yang mirip dengan yang dikembangkan oleh Cox dkk. (1999) dengan menggunakan skor NPL. Analisis pertalian kondisional dilakukan dengan setting bobot 1 terhadap keluarga dengan skor ZMLB > 0 pada lokus kedua dan bobot 0 terhadap keluarga dengan skor ZMLB = 0 dalam kasus korelasi positif (model interaksi). Sebaliknya, bobot 0 ditetapkan ke keluarga yang memiliki skor ZMLB > 0 dan bobot 1 untuk keluarga lain jika terdapat korelasi negatif (model heterogeneitas). Ketiadaan interaksi atau heterogeneitas diuji dengan mengukur signifikansi peningkatan skor MLB menggunakan pendekatan kondisional versus non-kondisional, perbedaan antara (ZMLB)2 setelah uji x2 asimptomatik dengan 1 df (Gambar 1).

Informasi database elektronik
   
Online Mendelian Inheritance in Man: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Omim/searchomim.html untuk kerentanan psoriasis 1 (PSORS1, OMIM 177900); kerentanan psoriasis 2 (PSORS2, OMIM 602723); kerentanan psoriasis 3 (PSORS3, OMIM 601454); kerentanan psoriasis 4 (PSORS 4, OMIM 603935); kerentanan psoriasis 5 (PSORS5, OMIM 604316); kerentanan psoriasis 6 (PSORS6, OMIM 605364); kerentanan psoriasis 7 (PSORS7, OMIM 605606); kerentanan psoriasis 9 (PSORS9, OMIM 607857).

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders