Metotreksat, Bleomycin, dan Etoposida dalam Pengobatan Neoplasia Trofoblastis Kehamilan

Abstrak

TUJUAN: Terapi MBE, atau kombinasi antara metotreksat (1 g/m2 pada hari 1), bleomycin (10 mg pada hari ke-3), dan etoposida (100 mg/m2 pada hari 1-5) telah digunakan untuk mengobati kekambuhan penyakit atau sebagai kemoterapi kedua dalam pengobatan neoplasia trofoblastis kehamilan (GTN) yang kebal terhadap kemoterapi multi-agen. Dengan pengidentifikasian GTN yang sangat berisiko tinggi, MBE juga telah digunakan sebagai kemoterapi utama. Penelitian kali ini dimaksudkan untuk menelaah penggunaan MBE dalam pengobatan GTN.

METODE: Pasien yang mendapatkan terapi MBE untuk GTN antara tahun 1985 sampai 2003 di Rumah Sakiat Queen Mary dimasukkan dalam penelitian ini. Catatan-catatan yang ada direview dan data dianalisis. Hasil akhir yang mencakup tingkat respons, komplikasi pengobatan, dan kelangsungan hidup dinilai.


HASIL: Terapi MBE (metotreksat, bleomycin, dan etoposida) diberikan sebagai pengobatan pertama kepada 4 pasien yang mengalami GTN risiko-sangat-tinggi. Tiga merespon terhadap pengobatan dan terbebas penyakit. Metotreksat, bleomycin, dan etoposida diberikan sebagai terapi sekunder kepada 8 pasien yang telah mengalami resistensi terhadap terapi sebelumnya. Sebanyak tujuh merespon, dan 6 terbebas dari penyakit pada 5 tahun. Metotreksat, bleomycin, dan etoposida diberikan sebagai terapi kedua kepada 8 pasien yang kambuh 2-18 bulan setelah terapi pertamanya dilakukan. Tujuh pasien merespon, dan empat terbebas dari penyakit pada 5 tahun, 2 menghentikan pengobatan, dan satu meninggal akibat karsinoma usus. Dari 20 pasien yang mendapatkan MBE, 12 mengalami neutropenia kelas 3/4, dan 4 mengalami trombositopenia kelas 3/4. Tingkat respon keseluruhan untuk MBE adalah 85%.

KESIMPULAN: Metotreksat, bleomycin, dan etoposida harus dipertimbangkan sebagai terapi kedua pada pasien yang mengalami GTN yang resisten obat atau GTN rekuren.

TINGKAT KEPERCAYAAN: III

Neoplasia trofoblastis selama kehamilan (GTN) telah menjadi sebuah penyakit ganas yang dapat disembuhkan sejak ditemukannya kemoterapi. Kelanjutan hidup pasien yang mengalami GTN non-metastatis dan GTN risiko-rendah (skor WHO < 7) mendekati 100%. Tetapi sekitar 20% pasien yang memiliki penyakit metastatis risiko-ringgi masih akan gagal merespon terhadap pengobatan dan akhirnya meninggal.
   
Pengobatan untuk GTN risiko-tinggi telah mengalami peningkatan pesat sejak ditemukannya kemoterapi agen-ganda yang efektif seperti kemoterapi kombinasi 7-obat (CHAMOMA) dan resimen EMA-CO. Protokol EMA-CO yang diformulasi oleh kelompok Charing Cross Hospital-London saat ini merupakan resimen kemoterapi yang paling umum digunakan untuk GTN risiko tinggi. Newlands dkk pertama kali melaporkan tingkat respons lengkap 80% pada 76 pasien yang sebelumnya tidak mendapatkan kemoterapi, serta tingkat respons lengkap 79% pada 72 pasien yang sebelumnya mendapatkan kemoterapi. Sejak itu, tingkat respon dan tingkat kelanjutan hidup jangka-panjang yang lebih dari 80% telah dilaporkan oleh beberapa kelompok. Akan tetapi, sekitar 25% dari pasien risiko-tinggi ini akan gagal dalam terapi pertama dengan EMA-CO atau kambuh dari kesembuhan dan akan memerlukan kemoterapi penyelamatan. Pada tahun 2003, Escobar dkk melaporkan pengalaman mereka dalam terapi penyelamatan dengan menggunakan resimen berbasis cisplatin, bersama dengan intervensi bedah apabila diindikasikan, yang menghasilkan tingkat kelanjutan hidup 92%.
   
Pada tahun 1986, rumah sakit kami mulai menggunakan resimen Bagshawe (CHAMOCA: hidroksiurea, vincristin, metotreksat, dan doksorubicin) antara 1976 dan 1984 pada GTN risiko-tinggi ketika mengobati 50 pasien. Dalam analisis tersebut, 82% pasien mencapai remisi biokimia yang berkelanjutan. Ketika pasien menunjukkan resistensi (kekebalan) terhadap resimen di atas atau mengalami kekambuhan setelah keberhasilan pengobatan pertama, mereka akan diobati dengan terapi MBE (metotreksat, bleomycin, dan etoposida) dosis tinggi. Dalam laporan tersebut, MBE menunjukkan tingkat penyelamatan yang tinggi untuk pasien yang gagal dalam resimen CHAMOCA, yang menghasilkan tingkat kelanjutan hidup keseluruhan sebesar 98%. Karena adanya risiko keganasan kedua setelah penggunaan etoposida, CHAMOC telah digunakan sebagai pengobatan pertama untuk GTN risiko-tinggi. Akan tetapi, belakangan ini, MBE juga digunakan sebagai pengobatan pertama pada pasien yang mengalami metastasis hati atau otak, yang terkait dengan angka kematian yang tinggi; dengan menggunakan resimen kedua sebagai terapi pertama, prognosis bisa membaik. Dalam telaah kali ini, kami ingin melaporkan sejauh pengalaman kami dari 1985 sampai 2003 tentang resimen kombinasi ini berkenaan dengan respon terhadap pengobatan, komplikasi terkait pengobatan, dan kelanjutan hidup.

BAHAN DAN METODE
   
Antara tahun 1985 dan 2003, sebuah review retrospektif dilakukan dengan menggunakan analisis rekam medik. Penelitian ini diizinkan oleh Otoritas Universitas Hong Kong/Hospital, Badan Review Institusi Hong Kong West Cluster. Parameter yang dievaluasi mencakup karakteristik pasien, diagnosis, respon terhadap pengobatan, komplikasi pengobatan, dan kelanjutan hidup pasien. Sebanyak 230 pasien yang didiagnosa mengalami GTN diobati di Departemen Obstetri dan Gynekologi, Universitas Hong Kong, Queen Mary Hospital. Neoplastis trofoblastis kehamilan didiagnosa ketika kadar gonadotropin chorionik serum manusia (hCG) yang dihitung setiap pekan tetap tidak berubah selama 4 pekan, dengan kurang dari 50% penurunan dari tingkat awal, atau ketika ada peningkatan kadar hCG serum lebih dari 25% selama 3 pekan, atau ketika ada bukti tentang choriokarsinoma. Ketika diagnosis ditegakkan, pemeriksaan komprehensif dilakukan untuk menentukan keparahan penyakit. Sebelum tahun 1993, pasien yang didiagnosa mengalami GTN dikelompokkan dan diobati menurut kategori risiko rendah, sedang, atau tinggi menurut skor indeks prognostik untuk GTN. Sistem skoring cukup mirip dengan skor indeks prognostik WHO, yang terdiri dari faktor-faktor risiko yang mencakup tipe kehamilan mendahului dan terapi pertama, kadar hCG serum pada saat pengobatan, golongan darah ABO pasien, besarnya tumor yang paling besar, tempat dan jumlah metastasis, dan kemoterapi sebelumnya. Pasien dengan skor 4 atau kurang dikelompokkan berisiko rendah, 5-7 dikelompokkan berisiko sedang, dan 8 atau lebih dikelompokkan berisiko tinggi. Mulai dari 1993 ke depan, pasien dikelompokkan dan diobati menurut sistem penentuan stadium GTN oleh FIGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics) 1992. Pasien dengan penyakit stadium Ia dikelompokkan berisiko rendah, stadium Ib, Ic, IIa, IIIa, dan IVa dikelompokkan berisiko sedang, dan stadium IIb, IIc, IIIb, IIIc, IVb, dan IVc dikelompokkan berisiko tinggi. Walaupun pasien diobati pada saat-saat berbeda dengan sistem penentuan stadium yang berbeda, semua skor yang disajikan dalam manuskrip ini adalah berdasarkan penentuan stadium GTN oleh FIGO pada tahun 2000.
   
Sebanyak 20 pasien diobati dengan MBE selama periode penelitian. Empat mendapatkan pengobatan sebagai terapi pertama untuk penyakit yang sangat berisiko tinggi, yang didefinisikan sebagai skor-skor risiko-tinggi dengan metastasis hati atau otak. Delapan pasien mengalami resistensi obat primer terhadap resimen kemoterapi kombinasi, yang mencakup metotreksat dan dactinomycin dan CHAMOC (doksorubicin dikeluarkan dari protokol CHAMOCA pada tahun 1985), dan mereka semua diobati dengan MBE. Delapan pasien mendapatkan MBE untuk kekambuhan penyakit setelah terapi-terapi kombinasi. Skor risiko (yang dinyatakan sebagai nilai mean ± standar deviasi) sebelum pemberian MBE adalah 14,9 ± 3,8 (rentang 8 – 25). Usia pasien rata-rata adalah 33,8 ± 7,9 tahun, dan nilai median follow-up adalah 91 bulan (rentang 21-205 bulan).
   
Protokol yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1. Uji fungsi paru dilakukan sebelum dimulainya kemoterapi. Terapi metotreksat, bleomycin, dan epitoposida diberikan setiap 3 pekan. Kemoterapi ditunda apabila jumlah neutrofil mutlak lebih rendah dari 1,5 x 109/L atau jumlah trombosit lebih rendah dari 50 x  109/L. Respons terhadap kemoterapi dinilai dengan mengukur kadar hCG serum sekurang-kurangnya satu kali sepekan. Jumlah sel darah lengkap dan uji fungsi ginjal dan hati dilakukan selama periode istirahat sebelum pemberian kemoterapi lainnya. Hepatotoksisitas didefinisikan sebagai peningkatan kadar glutamat oksalat transaminase serum setelah pemberian kemoterapi. Pasien-pasien yang mengalami hepatotoksisitas akan mendapatkan terapi asam folinat 8 jam setelah infusi metotreksat. Semua efek samping gastrointestinal, neurologik, dermatologik dan pulomary dicatat. Kemoterapi dilanjutkan selama 2-3 siklus tambahan setelah penormalan hCG. Remisi didiagnosa ketika kadar hCG serum di bawah kadar minimum yang dapat dideteksi (5 IU/L). Resistensi obat didiagnosa berdasarkan peningkatan kadar hCG yang berlanjut selama sekurang-kurangnya 3 pekan berturut-turut. Kekambuhan didiagnosa ketika kadar hCG serum meningkat kembali 2 bulan setelah penghentian kemoterapi. Pasien yang mengalami resistensi (kekebalan) obat mendapatkan resimen kemoterapi lain.
   
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji eksak Kruskal-Wallis dan Fisher untuk membandingkan nilai median dan proporsi, masing-masing. P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Analisis dilakukan dengan SPSS 11.5.

HASIL
   
Karakteristik dan hasil akhir pasien ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3. Tidak ada perbedaan signifikan untuk usia dan skor WHO yang ditemukan diantara ketiga kelompok pasien yang mendapatkan MBE sebagai pengobatan pertama, pengobatan kedua untuk resistensi obat, dan pengobatan kedua untuk kekambuhan penyakit. Dari 20 pasien yang diobati dengan MBE, 4 pasien mendapatkan MBE sebagai pengobatan pertama. Mereka semua mengalami GTN metastatis dengan skor median 15. Tiga pasien memiliki respons yang baik dan akhirnya terbebas penyakit. Salah satu pasien mengalami metastasis hati yang besar dan perdarahan intraperitoneal. Dia diobati dengan MBE setelah radiasi hepatik, dengan penurunan hCG yang memuaskan. Akan tetapi, pasien mengalami embolisme paru selama pengobatan dan akhirnya meninggal karena sepsis sebagai akibat dari pancytopenia.
   
Delapan pasien mendapatkan MBE untuk resistensi obat terhadap CHAMOC (5 pasien) dan MA (3 pasien). Skor median sebelum dimulainya MBE adalah 16. Tujuh pasien memiliki respons yang baik terhadap pengobatan dan enam mengalami remisi berkelanjutan. Pasien lainnya kambuh pada 7 bulan dan diselamatkan dengan lima sesi MBE tambahan. Salah satu dari delapan pasien meninggal pada 13 bulan terhitung mulai dari tanggap diagnosis karena penyakit yang progresif meskipun telah diberikan MBE dan kemoterapi multi-agen selanjutnya.
   
Delapan pasien diobati untuk kekambuhan penyakit setelah CHAMOC (6 pasien), metotreksat dan actinomycin-D (1 pasien), dan metotreksat (1 pasien). Skor median sebelum memulai MBE adalah 14. Tujuh pasien merespon terhadap pengobatan, dan 4 mengalami remisi berkelanjutan. Dua dari responden tidak mematuhi follow-up setelah 21 dan 29 bulan; mereka terbebas penyakit saat terakhir kali ditemui. Salah seorang responden tetap mengalami remisi tetapi kemudian mengalami karsinoma usus dan meninggal karena penyakit ini setelah 25 bulan. Salah satu dari 8 pasien mengalami kekambuhan 5 bulan terapi setelah pengobatan primer dengan metotreksat. Dia kemudian diobati dengan 4 sesi CHAMOC. Terapi ini dirubah menjadi MBE karena respons buruk. Pasien tidak melanjutkan terapi setelah satu sesi MBE. Tiga tahun kemudian dia menjalani histerektomi untuk choriokarsinoma dan dirujuk kembali ke rumah sakit kami. Pengobatan dengan MBE langsung dilanjutkan. Akan tetapi, pasien meninggal akibat sepsis setelah 2 pekan sebagai akibat dari pancytopenia.
   
Tingkat respons keseluruhan untuk MBE adalah 85% (17 dari 20 pasien), dengan follow-up rata-rata 91 bulan (rentang 21-205 bulan). Tingkat respons adalah 75,0% untuk pengobatan primer, 87,5% sebagai terapi kedua, dan 87,5% untuk kekambuhan. Tidak ada perbedaan signifikan untuk tingkat respons yang diidentifikasi antara 3 kelompok pasien. Salah satu pasien mengalami intervensi bedah, dan 7 pasien mendapatkan radioterapi (6 pasien dengan metastasis otak dan 1 pasien dengan metastasis hati dan perdarahan intraperitoneal).
    Sebanyak 96 siklus MBE diberikan. Penekanan sumsum merupakan efek samping yang paling umum. Delapan pasien mengalami neutropenia tingkat 1 atau 2 dan 12 mengalami neutropenia tingkat 3 atau 4. Dua pasien mengalami sepsis terkait obat yang memerlukan pengobatan antibiotik, dan salah satu diantaranya mendapatkan injeksi faktor penstimulasi koloni-granulosit (G-CSF). Empat mengalami trombositopenia tingkat 3 atau 4. dua pasien mengalami pengurangan dosis, dan satu mengalami tundaan pengobatan. Dua pasien yang memiliki GTN parah dan pancytopenia meninggal. Efek samping yang umum terhadap resimen MBE adalah nausea, muntah-muntah dan alopesia. Delapan pasien mengalami stomatitis kelas 2. Tidak ada keganasan hematologi sekunder yang terjadi pada pasien-pasien yang diobati dengan MBE selama 20 tahun terakhir di rumah sakit kami.

PEMBAHASAN
   
Pengalaman kami dengan MBE pertama kali dilaporkan pada tahun 1986, yang mencakup pengobatan 9 pasien yang mengalami resistensi obat terhadap CHAMOCA sebelum 1985. pada penelitian tersebut, 8 pasien (88,8%) mencapai remisi lengkap. Dalam penelitian ini, kami melaporkan pengalaman kami dengan MBE dari tahun 1985 sampai 2003, baik untuk digunakan sebagai terapi kedua setelah resistensi obat dan kekambuhan penyakit, dan sebagai pengobatan utama untuk GTN risiko-tinggi.
   
Penggunaan MBE sebagai sebuah terapi penyelamatan untuk kasus-kasus yang kebal CHAMOCA didasarkan pada keyakinan bahwa metotreksat (MTX) dosis tinggi bisa mengatasi resistensi obat dengan respons yang tergantung dosis. Dihipotesiskan bahwa MTX dosis tinggi meningkatkan difusi pasif, beraksi pada sel-sel yang membelah secara non-aktif, dan mengenai target-target lain selain dihidrofolat reduktase. Ketika dikombinasikan dengan etoposida dan bleomycin, yang dilaporkan efektif pada GTN, respons pasien dengan GTN sangat mendukung, dengan kelanjutan hidup keseluruhan pada pasien sebesar 85% antara 1985 dan 2003. Terapi ini selanjutnya menjadi kemoterapi penyelamatan standar yang kami pakai untuk GTN risiko-tinggi.
   
Kombinasi platinum-etoposida dengan metotreksat dosis tinggi dan dactinomycin (EMA-EP) merupakan sebuah resimen kemoterapi penyelamatan yang umum digunakan setelah gagal dengan pengobatan pertama menggunakan EMA-CO. Pada tahun 2003, Escobar dkk. melaporkan bahwa pengalaman mereka dengan terapi penyelamatan ini, bersama dengan intervensi bedah apabila diindikasikan, menghasilkan tingkat kelanjutan hidup 92%. Ketika dibandingkan dengan EMA-EP, MBE memiliki kelebihan karena diberikan satu kali setiap 3 pekan. Penggunaan bleomycin, sebuah agen non-myelosupresif, bisa mengurangi besarnya penekanan sumsum tulang yang disebabkan oleh metotreksat dan etoposida. Belum ada data yang membandingkan kedua resimen ini. Akan tetapi, untuk pasien yang dikontraindikasikan bleomycin, EMA-EP merupakan alternatif yang yang harus dipertimbangkan.
   
Terapi metotreksat, bleomycin, dan etoposida diberikan kepada 9 pasien yang tidak mendapatkan CHAMOC sebelumnya. Tak satupun dari mereka yang terpapar terhadap etoposida sebelum mendapatkan MBE. Terapi metotreksat, bleomycin, dan etoposida diberikan kepada 4 pasien yang mengalami GTN risiko-sangat-tinggi, yang ditentukan pada saat tersebut karena skor risiko-tinggi dan metastasis hati atau otak. Walaupun 3 dari 4 pasien merespon terhadap pengobatan, karena jumlah yang kecil, kami tidak bisa menyimpulkan bahwa MBE merupakan pilihan yang tepat untuk kasus-kasus GNT yang sangat berisiko tinggi. Metastasis hati dan otak telah dilaporkan sebagai faktor prognostik yang buruk, dengan tingkat penyelamatan 44-66% dan 33%, masing-masing. Resimen yang umum diadopsi untuk metastasis hati atau otak adalah EMA-CO dengan atau tanpa radiasi. Di Inggris, metotreksat intratekal, bukan radiasi, telah digunakan untuk metastasis otak. Dengan bukti yang ada sejauh ini, belum ada protokol ideal untuk pengobatan pasien-pasien tersebut. Dengan demikian, pengobatan harus dikhususnya berdasarkan kondisi pasien dan pengalaman rumah sakit masing-masing.
   
Lima pasien mendapatkan MBE sebagai terapi kedua untuk resistensi obat atau kekambuhan penyakit setelah resimen kemoterapi non-CHAMOC (Tabel 2). Empat merespon terhadap pengobatan dan tetap bebas penyakit selama follow-up yang lama. Satu-satunya kematian pada kelompok ini disebabkan oleh pancytopenia dan sepsis pada seorang pasien yang mengalami penyakit parah pada saat kambuh. Kelanjutan hidup keseluruhan untuk pasien yang diobati dengan MBE (dengan atau tanpaCHAMOC sebelumnya), sebagai terapi kedua baik untuk resistensi obat atau kekambuhan penyakit, adalah sebesar 87,5%.
   
Dalam kohort penelitian ini, 60% pasien mengalami neutropenia kelas 3 atau 3, dan 20% mengalami trombositopenia kelas 3 atau 4, yang mirip dengan yang dilaporkan 20 tahun yang lalu. Walaupun banyak pasien yang mengalami penekanan sumsum parah, namun episode-episode ini berlangsung singkat dan hanya tidak sering mengarah pada penundaan pengobatan atau pengurangan dosis. Dengan demikian, kami tidak secara rutin menggunakan G-CSF pada pasien neutropenia. Satu-satunya pasien dalam review kali ini yang mendapatkan injeksi G-CSF adalah seorang pasien yang mengalami sepsis terkait obat. Bertepatan dengan jumlah neutrofil yang di atas 1,5 x 109/L dan jumlah platelet yang di atas 50 x 109/L, pengobatan dilanjutkan dengan menyadari bahwa pasien berisiko untuk mengalami komplikasi yang muncul dari neutropenia dan trombositopenia. Dan, pada saat yang sama, fasilitas back-up tersedia untuk mengatasi komplikasi ini jika terjadi. Terapi metotreksat, bleomycin. Dan etoposida bisa dipertimbangkan terapi penyelamatan kedua pada GTN untuk resisten obat dan kekambuhan penyakit.

Judul Asli : Methotrexate, Bleomycin, and Etoposide in the Treatment of Gestational Trophoblastic Neoplasia

Penulis : Hextan Y. S. Ngan, Kar-Fai Tam, Ka-Wai Lam, Karen K.L. Chan
Alih Bahasa : Masdin (http://linguist.co.nr)
Tahun :
Sumber :
Kata kunci:

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders