Sarkoidosis (Sarcoidosis)

Sarkoidosis adalah penyakit granulomatous multisistem yang penyebabnya tidak diketahui. Paru-paru merupakan organ yang paling umum terkena, tetapi kulit sering terlibat. Temuan-temuan sarcoidosis pertama di akhir tahun 1800an terbatas pada manifestasi di kulit. Istilah sarcoidosis berasal dari laporan Caesar Boeck tahun 1899 tentang apa yang disebutnya sebagai “sarkoid jinak ganda pada kulit,” karena dia yakin lesi-lesi ini menyerupai sarcoma tetapi jinak.


EPIDEMIOLOGI
   
Sarkoidosis terjadi di seluruh dunia dan mengenai semua usia dan ras. Onset penyakit paling sering pada usia 30an, walaupun puncak kejadian kedua terjadi kembali pada usia lebih dari 50 tahun. Prevalensi penyakit ini sedikit lebih tinggi pada wanita. Prevalensi sarcoidosis tertinggi ditemukan di Denmark, Swedia, dan di Amerika Serikat, pada orang-orang keturunan Afrika. Di Amerika Serikat, risiko untuk mengalami sarkoidosis seumur hidup adalah 2,4 persen pada orang Amerika keturunan Afrika dan 0,85 persen pada ras Kaukasoid. Angka kejadian sarkoidosis tahunan yang disesuaikan usia di Amerika Serikat adalah 35,5 per 100.000 untuk keturunan Afrika dan 10,9 persen untuk keturunan Kaukasoid.
   
Frekuensi dan keparahan penyakit juga berbeda diantara suku dan ras. Orang Amerika keturunan Afrika cenderung mengalami sarkoidosis parah, sedangkan keturunan Kaukasoid lebih besar kemungkinan mengalami sarkoidosis yang asimptomatik. Orang Amerika Afrika lebih besar kemungkinannya mengalami penyakit extrapulmonary, memerlukan pengobatan, mengalami keterlibatan organ yang baru, dan memiliki angka penyembuhan klinis yang lebih rendah dibanding keturunan Kaukasoid. Penyakit ini lebih umum pada non-perokok.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
   
Yang dipahami sekarang ini adalah bahwa perkembangan sarkoidosis memerlukan sekurang-kurangnya tiga faktor pendukung utama, yaitu: (1) keterpaparan terhadap antigen, (2) kekebalan seluler yang didapat (acquired) terhadap antigen dan diperantarai melalui sel-sel penampak antigen dan limfosit T spesifik-antigen, dan (3) kenampakan sel efektor imun yang mempromosikan respon inflammatory non-spesifik.
   
Ada kemungkinan sel-sel penampak antigen seperti makrofage mengenali, mengolah, dan memasukkan antigen yang diolah ke sel-sel T CD4+ tipe T helper 1. Antigen yang diolah dimasukkan ke limfosit-limfosit ini melalui molekul HLA (kompleks histokompatibilitas utama)-kelas II pada sel-sel penampak antigen yang telah mengalami peningkatan kenampakan akibat keterpaparan terhadap antigen sarkoidosis dan kemungkinan interferon-γ (IFN-γ). Makrofage-makrofage yang teraktivasi ini menghasilkan interleukin (IL)-12, yang menginduksi limfosit-limfosit untuk berubah menjadi profil T helper 1 dan menyebabkan limfosit T mensekresikan IFN-γ. Sel-sel T yang teraktivasi ini melepaskan IL-2 dan faktor-faktor kemotaksis yang merekrut monosit dan makrofage ke tempat aktivitas penyakit. IL-2 dan sitokin-sitokin lain juga mengekspansikan berbagai klon sel-T. IFN-γ lebih lanjut mengaktivasi makrofage dan mentransformnya menjadi sel-sel raksasa. Faktor nekrosis tumor (TNF), IL-2, dan sitokin-sitokin lain bisa menjadi faktor penting dalam menstimulasi makrofage. Gbr. 153-1 menunjukkan gambaran utama dari immunopatogenesis sarkoidosis yang diduga.
   
Berbagai antigen kandidat telah diduga sebagai agen provokatif untuk peristiwa-peristiwa imunologi yang berujung pada sarkoidosis. Agen-agen infeksi seperti mikobakteri, Propionibacterium acne, dan Chlamydia terkait dengan sarkoidosis. Debu-debu mineral, seperti silika, zat besi, dan titanium, juga terkait dengan sarkoidosis begitu juga dengan produk-produk pembakaran kayu karena penyakit ini ditemukan lebih umum pada orang yang menggunakan kompor kayu. Menariknya, pemadam kebakaran ditemukan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami sarkoidosis.
   
Genetika memegang peranan penting dalam menentukan kerentanan terhadap sarkoidosis, karena penyakit ini lebih umum pada kerabat orang yang terkena dibanding pada individu dalam populasi umum. Pengkodean gen-gen untuk antigen HLA kelas II diduga sebagai kandidat utama untuk sebuah peran dalam perkembangan penyakit karena molekul-molekul ini menampakkan peptida-peptida eksogen terhadap reseptor-reseptor sel-T CD4+. Banyak penelitian pada berbagai kelompok etnis telah menunjukkan hubungan antara antigen-antigen HLA dengan perkembangan penyakit, perlindungan dari penyakit, prognosis yang baik, prognosis buruk, penyakit akut, penyakit kronis, dan berbagai kenampakan fenotip dari sarkoidosis.
   
Interaksi antara faktor-faktor genetik dan antigenik menunjukkan bahwa kemungkinan ada banyak penyebab sarkoidosis. Pasien mungkin harus mengalami interaksi khusus antara satu atau beberapa keterpaparan dan bisa diprogram secara genetik terhadap salah satu atau beberapa respon imunologi abnormal. Masing-masing antigen putatif bisa terkait dengan molekul HLA kelas II spesifik dan reseptor sel T.

GAMBARAN KLINIS

Riwayat
   
Diagnosis sarkoidosis sering tertunda selama berbulan-bulan hingga beberapa tahun karena gejala-gejalanya tidak spesifik dan bisa terkait dengan keterlibatan organ.
   
Sebanyak 30 hingga 60 persen pasien sarkoidosis paru bersifat simptomatik. Selain paru-paru, kulit, mata, hati, dan kelenjar getah bening perifer umum terlibat. Akibatnya, sarkoidosis harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki lesi-lesi kulit yang bersamaan dengan gejala-gejala paru-paru, keluhan mata, nyeri abdominal kanan atas, atau limfadenopati perifer. Disamping itu, sitokin-sitokin yang terkait dengan inflamasi granulomatous sarkoidosis bisa menyebabkan gejala-gejala konstitusional seperti demam, keringatan di malam hari, malaise, dan kehilangan berat badan.
   
Lesi-lesi kulit dari sarkoidosis bisa terjadi sebelum, bersamaan, atau setelah keterlibatan sistemik. Lesi-lesi kutaneous spesifik biasanya asimptomatik. Pruritus dan nyeri jarang terjadi. Kerusakan penampilan kecantikan merupakan keluhan yang paling umum. Erythema nodosum yang terkait dengan sarkoidosis bisa dibedakan dari erythema nodosum yang tidak terkait dengan sarkoidosis.

Lesi-Lesi Kutaneous
   
Secara klasik, lesi sarkoidosis dibagi menjadi dua kategori, yaitu: spesifik dan non-spesifik. Lesi-lesi spesifik menunjukkan granuloma pada biopsi. Lesi kulit non-spesifik bersifat reaktif dan tidak menunjukkan granuloma sarkoidal.
Lesi-lesi spesifik
   
Kulit. Lesi-lesi sarkoidosis spesifik paling sering ditemukan di kepala dan leher (Gbr. 153-2, 153-3, dan 153-4) tetapi bisa juga terjadi secara simetris atau asimetris pada bagian manapun dari kulit dan mukosa. Hampir semua morfologi telah dilaporkan, termasuk makula, papula, bintik-bintik, plak, dan nodul. Alopecia terjadi dengan keterlibatan kulit kepala, dan perubahan kuku juga terjadi. Lesi-lesi spesifik dari sarkoidosis bisa bersisik, telangiektatik, atau atropik. Meskipun kenampakannya beragam, ada beberapa gambaran klinis yang secara klasik terkait dengan sarkoidosis kutaneous.
   
Kenampakan yang paling umum adalah bentuk papular (Gbr. 153-2, 153-3, dan 154-4). Papupa jelas yang berukuran 2 sampai 5 mm ini sering memiliki kenampakan translusen yang berwarna coklat kemerahan atau coklat kekuningan. Warna coklat kekuningan biasa disebut “jelly apel” dan menjadi jelas dengan diaskopi (Gbr. 153-5). Disamping perubahan warna, granuloma-granuloma memiliki kualitas nodular yang juga bisa diamati dengan diaskopi. Kenampakan jelly apel dan nodul tidak patognomonik untuk sarkoidosis, seperti kondisi kulit granulomatous lainnya, misalnya lupus vulgaris, yang bisa menunjukkan gambaran diaskopi yang mirip. Perubahan-perubahan epidermal terkadang ada dan terkadang tidak ada, tetapi sering lesi memiliki kenampakan berlilin, yang mencerminkan atropi epidermal ringan. Lesi-lesi papular terjadi paling umum pada wajah dan leher, dengan kecenderungan untuk kulit periorbital. Plak-plak anular (Gbr. 153-6), plak non-anular (Gbr. 153-7), dan nodul (Gbr. 153-8) bisa berkembang dari lesi-lesi papular ini dan bisa mempertahankan kualitas papula translusen tetapi terkadang tidak.
   
Lupus pernio menunjuk pada plak-plak yang relatif simetris, keungu-unguan, melepuh dan nodul-nodul yang terjadi pada hidung, daun teliga, pipi, dan jari. Varian klinis dari sarkoidosis ini berbeda dan terkait dengan keterlibatan sistemik. Lupus pernio terkait dengan prevalensi penyakit saluran pernapasan atas yang lebih tinggi. Lesi lupus pernio bisa meluas secara langsung ke dalam sinus hidung, menyebabkan kerak nasal dan keterlibatan tulang.
   
Lesi angiolupoid adalah papula dan plak berwarna ungu dengan telangiectasia dominan yang biasanya terjadi pada wajah dan bisa merupakan varian dari lupus pernio, karena kedua lesi ini biasanya tampak pada wajah dan bisa berwarna keungu-unguan (violaceous). Akan tetapi, lesi-lesi angiolupoid cenderung lebih kecil dibanding bentuk papular dan lupus pernio.
   
Sarkoidosis jarang tampak sebagai nodul subkutaneous . Nodul-nodul bisa lunak atau tidak nyeri dan lebih sering terjadi pada ekstremitas.
   
Scar. Sarkoidosis kutaneous terjadi utamanya dalam jaringan scar, pada bagian-bagian kulit yang trauma, dan di sekitar benda asing seperti silika. Scar menjadi terinflaamasi dan berinfiltrasi dengan granulomaa sarkoidal (Gbr. 153-12). Inflamasi scar lama bisa bersamaan atau mendahului aktivitas penyakit sistemik. Scar-scar yang terinfiltrasi bisa lunak atau pruritus. Sarkoidosis scar bisa menjadi satu-satunya temuan kutaneous pada pasien yang memiliki sarkoidosis sistemik; dengan demikian, penting untuk memeriksa secara dekat jaringan scar pada pasien-pasien yang dicurigai mengalami penyakit ini. Keberadaan granuloma sarkoidosis di sekitar benda asing tidak menegakkan diagnosis sarkoidosis, dan benda asing dengan adanya granuloma menghilangkan diagnosis. Tanda keterlibatan sistemik atau kutaneous lainnya diperlukan untuk menguatkan diagnosis.
   
Kulit kepala. Alopecia terjadi dengan keterlibatan kulit kepala dan bisa scarring atau non-scarring. Biopsi menunjukkan granuloma-granuloma yang mengembang. Kepulihannya tergantung pada besarnya kerusakan folikel rambut.
   
Kuku. Sarkoidosis bisa menyebabkan deformasi plat kuku dan perubahan warna, tetapi kejadiannya sangat rendah. Bisa terjadi clubbing (pelengkungan kuku), hyperkeratosis subungual, dan bahkan kerusakan plat kuku. Manifestasi pada kuku bisa terjadi akibat granuloma-granuloma dalam matriks kuku atau akibat keterlibatan tulang di sekitarnya.
   
Membran mukus. Granuloma sarkoidal bisa menyebabkan papula dan plak permukaan mukosa dan lidah. Sarkoidosis merupakan salah satu penyebab sindrom Mikulicz, pembesaran lacrimal, kelenjar parotid, sublingual dan submandibular secara bilateral.
   
Kenampakan tambahan. Berbagai gambaran klinis lainnya telah dilaporkan. Ini mencakup uchthyosis, erythroderma, ulserasi, plak morfeaform, papula mirip lichen niditus, lesi mirip folliculitis, plak psoriasis, daerah terhipopigmentasi, erythema melingkar, lesi-lesi berkutil, erythema ringan, lesi penile dan vulvaar, erythema telapak tangan, plak mirip discoid lupus, edema ekstremitas bawah, lesi yang menyerupai erupsi ringan polimorf, dan lesi-lesi pustular.

Lesi-lesi non-spesifik
   
Erythema nodosum adalah manifestasi kutaneous yang utama dari sarkoidosis (prevalensi sekitar 17 persen). Erythema nodosum dengan adenopati hilum bilateral, arthralgia, dan demam seringkali menjadi manifestasi awal dari sarkoidosis dan disebut sebagai sindrom Löfgren. Pasien-pasien ini cenderung memiliki bentuk sarkoidosis akut dengan pemulihan sendiri.
   
Manifestasi sarkoidosis kutaneous yang non-spesifik lainnya kurang umum. Erupsi-erupsi erythematous non-spesifik yang menyerupai exanthema virus atau reaksi obat tanpa bukti histologis dari inflamasi granulomatous jarang terjadi dengan sarkoidosis akut. Disamping itu, pasien yang mengalami sarkoidosis bisa memiliki pruritus tanpa infiltrasi granulomatous, menyebabkan nodul prurigo. Eyrthema multiforme dianggap sebagai manifestasi kutaneous non-spesifik dari sarkoidosis, tetapi laporan-laporan erythema multiforme yang terbukti secara histologi dengan dermatitis interfase yang terkait dengan sarkoidosis hampir tidak ada dalam literatur dan hubungannya kemungkinan hanya bersifat kebetulan. Erythroderma dan pembengkakan ekstremitas bawah dianggap sebagai lesi spesifik dan non-spesifik dari sarkoidosis.

Temuan Klinis Terkait
   
Paru-paru. Paru merupakan organ yang paling umum terlibat dalam sarkoidosis. Temuan pada pemeriksaan paru biasanya tidak ada. Pasien yang mengalami sarkoidosis paru sering asimptomatik, dengan penyakit yang dideteksi pada pengamatan radiograf dada. Gejala-gejala umum mencakup dyspnea, batuk, nyeri dada, dan desahan. Radiograf dada tidak normal pada lebih dari 90 persen pasien sarkoidosis. Adenopati hilum bilateral ditemukan pada 50 sampai 80 persen kasus. Infiltrat parenkim paru ditemukan pada 25 hingga 60 persen kasus.
   
CT scan dada menunjukkan lebih banyak kelainan pada dada dibanding yang bisa ditemukan dengan radiograf dada. CT lebih baik dari radiograf dada dalam mendeteksi keterlibatan dada dalam sarkoidosis, tetapi belum ada cukup bukti bahwa CT memiliki peranan klinis dalam penatalaksanaan sarkoidosis paru.
   
Pada pasien sarkoidosis yang menunjukkan parenkim paru normal pada radiograf dada, uji fungsi paru menunjukkan hasil abnormal pada 20 hingga 40 persen kasus. Apabila radiograf dada abnormal, uji fungsi paru juga abnormal pada sampai 70 persen kasus.
   
Mata. Mata terlibat pada seperempat hingga tiga perempat pasien sarkoidosis. Keterlibatan mata dalam sarkoidosis berpotensi mengganggu penglihatan, dan pasien bisa asimptomatik. Untuk alasan inilah setiap pasien yang didiagnosa dengan sarkoidosis memerlukan pemeriksaan ofthalmologi. Mata merah, luka bakar, gatal-gatal atau mata kering merupakan gejala yang paling umum terjadi jika ada. Setiap bagian dari mata bisa terlibat, dan keterlibatan mata bisa menjadi manifestasi pertama dari penyakit ini. Uveitis merupakan manifestasi okular yang paling umum dan bisa berujung pada katarak dan glaukoma. Manifestasi okular lainnya mencakup konjungtivitis, keterlibatan kelenjar lakrimal yang menyebabkan mata kering, dan neuritis, yang dengan cepat bisa menyebabkan kebutaan. Sindrom Heerfordt mencakup demam, pembesaran kelenjar parotid, dan uveitis anterior.
   
Hati. Keterlibatan hati umum selama onset penyakit tetapi biasanya tidak menimbulkan tanda-tanda atau gejala. Walaupun bukti histologis dari sarkoidosis hati ditemukan pada lebih dari setengah pasien sarkoidosis, namun tanda disfungsi organ karena sarkoidosis hati sangat tidak umum. Hepatomegali, nyeri abdominal, dan pruritus hanya terdapat pada 15 hingga 25 persen pasien yang mengalami sarkoidosis hati. Kadar basa fosfatase serum yang meningkat terjadi pada sekitar sepertiga pasien, tetapi jarang terkait dengan disfungsi hati permanen sehingga tidak mengharuskan pengobatan. Pengobatan diperlukan pada sedikit pasien yang memiliki gejala-gejala berarti, bukti disfungsi sintetik, atau hyperbilirubinemia. Sangat jarang, sarkoidosis hati bisa menyebabkan gambaran tipe sirosis biliary primer, dan hypertensi portal bisa terjadi,
   
Jantung. Gambaran klinis keterlibatan jantung hanya ditemukan pada 5 persen pasien sarkoidosis, walaupun granuloma-granuloma mayokardial telah ditemukan pada sekitar 25 persen pasien. Kebanyakan masalah klinis terkait dengan arrhytmia atau disfungsi ventrikular kiri. Kematian tiba-tiba bisa terjadi. Gagal jantung bawaan bisa terjadi apabila myokardium diduduki oleh banyak granuloma. Karena sifat sarkoidosis jantung yang berpotensi mematikan, maka pemeriksaan direkomendasikan untuk setiap pasien yang didiagnosa dengan penyakit ini.
   
Sistem saraf. Setiap bagian dari sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer bisa dipengaruhi oleh sarkoidosis. Neurosarkoidosis memiliki kecenderungan terhadap dasar otak, dan neuropati kranial merupakan manifestasi yang paling umum. Saraf wajah merupakan saraf kranial yang paling sering terlibat. Pada wajah, Bell palsy umum menjadi manifestasi sarkoidosis dan pulih sempurna sebelum manifestasi lain dari penyakit ini terjadi. Lesi-lesi massa bisa terjadi dalam otak dan tulang belakang. Meningitis aseptik dan neuropati perifer merupakan manifestasi neurologik lainnya dari sarkoidosis.
   
Organ-organ lain. Sinus dan saluran udara atas umum terlibat dalam sarkoidosis, sebuah kondisi yang dikenal sebagai SURT (sarkoidosis saluran pernapasan atas). SURT nasal sering terkait dengan lesi kulit lupus pernio dan bisa menyebabkan epistaksis dan pengerakan nasal yang parah. Sarkoidosis limfa tidak umum. Sarkoidosis juga bisa menyebabkan gangguan metabolisme kalsium yang terjadi akibat makrofage sarkoidal teraktivasi yang menunjukkan peningkatan aktivitas dari 1-α hidroksilase. Enzim ini mengubah 25-hdokrksivitamin D menjadi 1,25-antihidroksivitamin D, bentuk aktif dari vitamin ini, yang peningkatannya bisa menyebabkan hiperkalsemia, hyperkalsiuria, dan nefrolithiosis. Sarkoidosis bisa terkait dengan pengurangan sel darah. Leukopenia bisa terjadi akibat keterlibatan sumsum tulang. Thrombositopenia bisa terjadi akibat keterlibatan sumsum tulang, sequestrasi splenik, atau sindrom mirip purpura thrombositopenia idiopatik yang terkait dengan hipergammaglobulinemia sering diamati pada pasien yang mengalami sarkoidosis.

UJI-UJI LABORATORIUM
   
Tabel 163-1 memuat uji-uji klinis, pencitraan, dan uji-uji laboratorium yang dianjurkan saat dignosa sarkoidosis diduga. Pemeriksaan riwayat dan pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda dan gejala-gejala keterlibatan organ serta untuk mendapatkan petunjuk lain yang menunjukkan penyakit granulomatous lainnya (seperti keterpaparan terhadap jamur endemik tuberkulosis, keterpaparan beryllium).
   
Uji-uji laboratorium tambahan yang menilai aktivitas penyakit akan dibahas sebagai berikut. Meskipun masih kontroversial, uji-uji ini tidak direkomendasikan secara rutin karena inflamasi granulomatous aktif pada sarkoidosis bisa sembuh secara spontan sehingga tidak memerlukan pengobatan.

Enzim Pengkonversi Angiotensin

Sel epitel dari granuloma sarkoidal mensekresikan enzim pengkonversi angiotensin; dengan demikian, kadar enzim pengkonversi angiotensin (SACE) mencerminkan total jumlah granuloma pada sarkoidosis. Data klinis tentang SACE pada sarkoidosis menunjukkan bahwa kadar SACE yang meningkat tidak cukup spesifik untuk dijadikan satu-satunya dasar diagnosis sarkoidosis dan tidak cukup sensitif untuk menghapuskan diagnosis. Akan tetapi, SACE bisa bermanfaat sebagai pembantu dalam diagnosis penyakit. Karena SACE mencerminkan total jumlah granuloma tubuh, maka kadar SACE bisa bermanfaat untuk memantau perjalanan sarkoidosis. Kadar SACE awal tidak berbeda antara pasien yang sedang memburuk dan pasien yang sedang membaik; sehingga, kadar SACE tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk keputusan pengobatan.

Scan Gallium
   
Mekanisme pengambilan gallium-67 dalam sarkoidosis belum dipahami lengkap. Diduga bahwa proses-proses inflammatory menyebabkan hyperemia dan meningkatkan permeabilitas kapiler dari gallium. Gallium juga berakumulasi dalam makrofage dan pada limfosit, yang merupakan partisipan utama dalam inflamasi granulomatous sarkoidosis. Sarkoidosis bisa menyebabkan penangkapan gallium pada thorakik dan tempat-tempat ekstratorakik, walaupun tidak pada daerah-daerah yang melibatkan kuit. Scan gallium belum ditemukan bermanfaat untuk pemantauan perjalanan klinis sarkoidosis, tetapi bisa memiliki peranan dalam mengidentifikasi organ-organ yang memiliki keterlibatan sarkoid.

PATOLOGI
   
Granuloma epithelioid dari sarkoidosis biasanya mengandung kumpulan fagosit mononuklear yang rapat. Granuloma-granuloma biasanya dikelilingi oleh sedikit limfosit (“granuloma telanjang”), tetapi tingkatan inflamasi limfositik yang berbeda-beda bisa ditemukan (Gbr. 153-13). Sel-sel epitelioid, yang merupakan monosit-monosit tertransformasi, umum ditampakkan dalam granuloma sarkoidal. Sel-sel  raksasa tipe Langhans dihasilkan dari penggabungan sel-sel epitelioid. Walaupun nekrosis fibrinoid sentral tidak umum, nekrosis kasar bukanlah gambaran khas dari granuloma sarkoidosis dan menunjukkan sebuah diagnosis alternatif, seperti tuberkulosis, infeksi jamur, atau vaskulitis. Penyakit mikobakteri dan jamur harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosa alternatif; dengan demikian, turunan dan kultur untuk mikobakteri dan jamur harus dilakukan secara rutin terhadap spesimen-spesimen biopsi. Tabel 153-2 menunjukkan diagnosis banding patologik utama dari sarkoidosis pada biopsi kulit.
   
Sebuah aspek yang penting secara klinis dari patologi sarkoidosis melibatkan perkembangan fibrosis. Berkas-berkas fibroblast yang padat bisa membungkus granuloma-granuloma seperti bola. Respon fibrotik ini bisa menghasilkan kerusakan jaringan dan disfungsi organ yang sering tidak dapat dipulihkan. Agen-agen kemoterapi yang tersedia saat ini untuk sarkoidosis bisa mengobati respon inflammatory granulomatous secara efektif tetapi tidak dapat mengatasi reaksi fibrosis.

DIAGNOSIS
   
Diagnosis sarkoidosis memerlukan gambaran klinis yang sesuai, penunjukkan granuloma-granuloma yang tidak membesar secara histologis, dan pemastian tidak adanya penyakit lain yang mampu menghasilkan gambaran klinis dan gambaran histologis yang mirip. Karena sarkoidosis merupakan diagnosis eksklusi, maka diagnosis tidak pernah bisa dikuatkan dengan kepastian 100 persen.
   
Normalnya, diagnosis sarkoidosis memerlukan gambaran klinis yang sesuai, penunjukkan granuloma-granuloma yang tidak membesar secara histologis, dan pemastian tidak adanya penyakit lain yang mampu menghasilkan gambaran klinis atau gambaran histologi yang mirip (Gbr. 153-14). Atau, diagnosis bisa diasumsikan tanpa biopsi apabila kenampakan klinis cukup lazim untuk penyakit dan tidak dapat dijelaskan oleh penyebab alternatif.
   
Keberadaan granuloma-granuloma yang tidak membesar pada organ tunggal tidak secara konklusif menegakkan diangosis sarkoidosis karena sarkoidosis adalah sebuah penyakit sistemik yang harus melibatkan banyak organ. Granuloma kulit yang diisolasi tidak bisa diasumsikan mewakili sarkoidosis, dan upaya-upaya harus dilakukan untuk menghilangkan diagnosa alternatif (lihat Tabel 153-2). Walaupun diagnosis sarkoidosis yang kuat memerlukan bukti keterlibatan granulomatous pada sekurang-kurangnya 2 organ terpisah, konfirmasi histologis biasanya tidak perlukan pada organ kedua.
   
Persentasi penyakit tertentu sangat spesifik untuk diagnosis sarkoidosis (seperti sindrom Löfgren, sindrom Heerfordt, dan adenopati hilar bilateral asimptomatik) sehingga diagnosis bisa diterima tanpa biopsi jaringan.

Adenopati Hilar Bilateral Asimptomatik
   
Adenopati hilar asimptomatik pada radiograf dada hampir selalu menunjukkan sarkoidosis. Telah diduga bahwa konfirmasi histologis dari sarkoidosis mungkin tidak diperlukan pada pasien-pasien asimptomatik yang mengalami adenopati hilar bilateral, apabila pemeriksaan fisik, jumlah sel darah lengkap, dan uji darah rutin semua normal dan tidak ada riwayat kondisi ganas. Pada kasus-kasus seperti ini, radiograf dada harus dipantau dengan interval 3 sampai 6 bulan, dan sebuah biopsi harus dilakukan jika ada perubahan signifikan dalam radiograf dada.

Tanda Panda dan Lambda pada Scan Gallium-67
   
Keberadaan tanda panda (penangkapan kelenjar parotid dan lakrimal bilateral) dan tanda lambda (penangkapan paratrakea kanan dan hilum bilateral) pada scanning gallium-76 merupakan temuan yang sangat spesifik untuk sarkoidosis dan bisa tidak memerlukan lagi prosedur diagnostik yang invasif. Akan tetapi, tanda-tanda ini hanya positif pada sedikit pasien sarkoidosis.

RIWAYAT ALAMI DAN PROGNOSIS
   
Inflamasi granulomatous dari sarkoidosis bisa sembuh secara spontan atau dengan terapi. Dengan demikian, prognosis umum dari sarkoidosis adalah baik. Sarkoidosis paru sembuh, membaik, atau menjadi stabil pada 60 sampai 90 persen pasien bahkan tanpa pengobatan. Remisi sering terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah diagnosis, walaupun bisa memerlukan 2 hingga 5 tahun. Prognosis pada umumnya baik untuk sarkoidosis hati dan kelenjar getah bening perifer. Lesi-lesi kulit bisa sembuh dengan atau tanpa scarring atau perubahan-perubahan berpigmen.
   
Hampir semua gangguan parah akibat sarkoidosis adalah hasil dari terjadinya fibrosis. Seperti disebutkan sebelumnya, ini kemungkinan akibat dari hyalinisasi inflamasi granulomatous. Saat ini masih belum jelas apakah ini merupakan hasil dari pengobatan yang tidak memadai ataukah kerentanan host untuk mengalami respon fibrosis cepat. Fibrosis kutaneous seperti ini bisa menghasilkan scarring permanen atau kerusakan penampilan. Cukup jarang lesi-lesi kutaneous mengalami ulserasi atau merusak tulang di dekatnya atau tulang rawan; ini paling umum terjadi pada pasien yang mengalami lupus pernio.
   
Karena sarkoidosis merupakan penyakit sistemik, maka prognosisnya tidak semata-mata terkait dengan keterlibatan paru saja. Di Amerika Serikat, tiga perempat kematian akibat sarkoidosis terjadi karena keterlibatan paru. Sarkoidosis jantung dan sistem saraf mewakili kematian lainnya.
   
Saat ini belum ada uji laboratorium atau radiologi yang bisa memprediksikan dampak dari sarkoidosis. Lesi-lesi kulit tidak bisa dijadikan indikator prognosis yang baik, tetapi beberapa hubungan telah ditemukan. Pasien yang memiliki lesi kutaneous lebih besar kemungkinannya mengalami sarkoidosis sistemik kronis dibanding pasien sarkoidosis yang tidak memiliki keterlibatan kulit. Erythema nodosum dengan demam dan arthralgia memberikan prognosis yang baik.

PENGOBATAN
   
Karena sarkoidosis sering sembuh secara spontan dan terapi bisa terkait dengan efek samping yang signifikan, maka biasanya tidak diperlukan untuk mengobati penyakit ini. Pengobatan diindikasikan apabila ada bukti kerusakan organ yang progresif. Tabel 153-4 menunjukkan indikasi-indikasi pengobatan berbagai organ yang terlibat dengan sarkoidosis. Uji aktivitas penyakit yang dibahas pada bagian-bagian sebelumnya jarang digunakan untuk menentukan kebutuhan akan terapi. Ini karena keberadaan inflamasi granulomatous aktif akibat sarkoidosis tidak menunjukkan bahwa penyakit akan berkembang atau berujung pada fibrosis signifikan dan kerusakan hati permanen.

Terapi Topikal/Intra-lesi

Sarkoidosis kutaneous, yang mencakup lupus pernio, bisa diobati dengan pengaplikasian steroid topikal kelas I dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 8 pekan), tetapi injeksi triamcinolon intra-lesi pada umumnya lebih efektif. Tacrolimus topikal pada umumnya lebih efektif. Tacrolimus topikal telah dilaporkan efektif untuk penyakit kulit pada beberapa kasus.
Kortikosteroid Sistemik
   
Secara umum, kortikosteroid adalah obat yang dipilih untuk pengobatan sarkoidosis. Dosis awal yang direkomendasikan  untuk sarkoidosis paru adalah 20 sampai 40 mg ekivalen prednison/hari. Sarkoidosis jantung dan sarkoidosis neurologi bisa memerlukan dosis awal yang lebih tinggi, hingga sampai 60 – 80 mg ekivalen prednison/hari. Dosis kortikosteroid sering bisa dipertipis menjadi 0,1 sampai 0,2 mg/kg ekivalen prednison/hari selama beberapa bulan. Tidak lazim bagi pasien yang mengalami sarkoidosis paru untuk memerlukan penjagaan dosis kortikosteroid yang lebih dari 15 gram ekivalen prednison/hari, walaupun lebih banyak yang mungkin diperlukan untuk sarkoidosis kulit, jantung, atau sistem saraf. Sebuah upaya harus dilakukan untuk mempertipis dosis kortikosteroid dalam 9 sampai 12 bulan setelah terapi. Sarkoidosis jantung bisa menjadi pengecualian untuk aturan ini jika pasien sebelumnya memiliki manifestasi keterlibatan jantung yang mengancam jiwa pasien. Jika arrhytmia berahaya telah terjadi, pemasangan defibrillator internal diindikasikan.

Pengobatan Penekanan Sistem Kekebalan
   
Jika pasien tidak bisa dibantu dengan kortikosteroid, pengobatan penekanan sistem kekebalan (immunosupresif) pembantu bisa digunakan. Kebanyakan dari obat ini tidak memadai sebagai monoterapi tetapi efektif jika dipasangkan dengan kortikosteroid. Dosis yang tepat untuk sarkoidosis ditunjukkan pada Tabel 153.5 dan dibahas pada bagian berikut. 
   
Metotreksat. Setelah kortikosteroid, metotreksat adalah agen selanjutnya yang paling banyak diteliti untuk sarkoidosis. Obat ini biasanya dipasangkan dengan kortikosteroid, dan kortikosteroid bisa dihentikan pada seperempat kasus. Obat ini memerlukan pemantauan uji fungsi hati yang cermat dan jumlah sel darah. Asam folat bisa diberikan bersama dengan metotreksat. Sekitar 10 persen dari pasien sarkoidosis yang memakai metotreksat mengalami sirosis, bahkan jika uji fungsi hatinya normal. Dengan demikian, biopsi-biopsi hati secara rutin harus dipertimbangkan setelah pemberian 2 g dari total terapi (biasanya setelah 2 tahun). Metotreksat dosis rendah, 10 mg sampai 25 mg sepekan, digunakan untuk pengobatan sarkoidosis kutaneous. Pemulihan lesi kutaneous ditemukan dalam 1 bulan, tetapi manfaat terapi yang maksimal sering tidak terjadi sampai sekurang-kurangnya 6 bulan setelah pengobatan.
   
Hidrokloroquin/kloroquin. Obat-obat antimalaria cukup bermanfaat untuk sarkoidosis kulit dan sarkoidosis sendi, dan hyperkalsemia. Agen-agen antimalaria tidak sangat efektif untuk penyakit paru, seringkali diperlukan beberapa bulan untuk bisa efektif, dan tidak bisa digunakan pada pasien yang mengalami defisiensi glukosa-6 fosfodiesterase. Kedua obat ini, khususnya kloroquin, bisa menyebabkan kerusakan retina. Pasien yang memakai agen antimalaria dengan demikian harus secara teratur menjalani pemeriksaan ophthalmologik.
   
Siklofosfamida. Siklofosfamida efektif untuk banyak bentuk sarkoidosis. Akan tetapi, karena profil efek-sampingnya yang signifikan, termasuk potensi karsinogenik, maka obat ini biasanya hanya digunakan untuk penyakit yang parah atau yang berpotensi mengancam jiwa pasien.
   
Turunan-turunan tetrasiklin. Monosiklin dan doksisiklin telah dilaporkan dapat memulihkan sarkoidosis kulit pada beberapa kasus. Obat-obat ini bisa dipakai lebih dari 2 tahun untuk menjadi efektif. Walaupun efikasi obat-obat ini menunjukkan bahwa sarkoidosis bisa disebabkan oleh agen infeksi, namun tetrasiklin juga memodifikasi respon kekebalan dengan menekan aktivitas makrofage dan limfosit T.
   
Antagonis Faktor Nekrosis Tumor. TNF merupakan sebuah sitokin yang disekresikan oleh makrofage yang terkait dengan granuloma sarkoidal. Antagonist TNF telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan sarkoidosis. Pentoksifilin, thalidomida, dan infliximab paling banyak diteliti. Infliximab tampak sangat bermanfaat untuk pengobatan lupus pernio, dan bisa lebih baik dibanding antagonis TNF lainnya, karena ada penelitian etanercept yang gagal menunjukkan manfaatnya untuk uveitis sarkoidal. Uji kulit tubercle diperlukan sebelum penggunaan antagonis TNF, dan pasien yang mengkonsumsi obat harus dipantau secara dekat untuk perkembangan tuberkulosis. Adalinumab juga telah dilaporkan dapat mengobati sarkoidosis secara efektif.
   
Agen-agen lain. Azathioprin, mikofenolat mofetil, leflunomida, dan siklosporin telah dilaporkan bermanfaat untuk pengobatan sarkoidosis sistemik pada laporan-laporan kasus. Allopurinol. Istretinoin, dan ester asam fumarat telah dilaporkan efektif untuk penyakit kulit sarkoidal. Penyembuhan sarkoidosis kulit setelah fototerapi dan terapi fotodinami juga telah dilaporkan.

Perawatan Bedah
   
Elektrodesikasi, terapi laser zat-warna, terapi laser karbon dioksida, dan prosedur bedah konstruktif telah digunakan dengan baik untuk memperbaiki kerusakan penampilan akibat sarkoidosis kutaneous, tetapi intervensi-intervensi ini tidak memiliki efek terhadap perkembangan penyakit.

PENCEGAHAN
   
Karena penyebab sarkoidosis belum diketahui, maka saat ini tidak mungkin melakukan tindakan pencegahan.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders