Purpura Faktisius pada Seorang Anak Perempuan Usia 10 Tahun

Abstrak

Kami melaporkan seorang anak umur 10 tahun yang datang dengan keluhan purpura yang aneh. Penyakit hemoragik kongenital dan autoimun dipastikan tidak ada berdasarkan riwayat medis di masa lalu dan hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium. Pelecehan anak juga dipastikan tidak ada karena purpura terus terjadi setelah anak berpisah dengan keluarga. Pemeriksaan histologis terhadap lesi-lesi kulit menunjukkan gangguan berkas-berkas serat kolagen. Temuan ini menandakan pengaplikasian gaya eksternal, yang mengarah pada diagnosis definitif purpura faktisius. Walaupun sangat langka pada anak-anak usia sekolah, diagnosis purpura faktisius harus dimasukkan dalam diagnosis banding purpura pada anak-anak. Analisis histologis biopsi-biopsi kulit bisa membantu dalam menegakkan diagnosis.


Purpura disebabkan oleh pelepasan darah dari pembuluh masuk kedalam kulit atau membran mukosa. Kegagalan integritas sistem vaskuler, yang tergantung pada tiga unsur (platelet atau trombosit, faktor koagulasi plasma, dan pembuluh darah), menyebabkan purpura. Pada anak-anak, defisiensi protein koagulasi dari lahir, seperti faktor VIII atau faktor von Wilebrand, dan gangguan fungsi trombosit bawaan, seperti trombasthenia Glanzmann dan sindrom Bernard-Soulier, harus dipertimbangkan. Sebagai penyakit yang didapat, purpura trombositpenia idiopatik merupakan penyebab trombositopenia yang paling umum, dan purpura Henich-Schonlein merupakan bentuk yang paling umum dari vaskulitis pada anak-anak. Akan tetapi, kondisi lain yang langka dan sulit didiagnosa mungkin juga ada. Purpura faktisius jarang dipertimbangkan dalam diagnosis banding purpura. Dalam penelitian ini kami melaporkan seorang anak perempuan umur 10 tahun yang didiagnosa dengan purpura faktisius, yang merupakan kondisi tidak umum pada anak-anak pra-remaja.

LAPORAN KASUS

Seorang anak perempuan usia 10 tahun dirujuk ke rumah sakit kami dengan keluhan purpura yang terasa nyeri dan aneh, yang telah terjadi 4 hari sebelumnya. Ketika purpura pertama kali terjadi pada aspek fleksor dari lengan atas kanannya yang disertai nyeri ringan. pasien diberikan salep topikal di sebuah klinik darurat malam. Pada hari selanjutnya, karena gejala tidak reda, dia dibawa ke ahli kulit. Dia didiagnosa dengan vaskulitis dan diberikan styptic (karbazokrom sodium sufonat), asam askorbat, dan asam pantotenat. Akan tetapi, purpura yang serupa terus terjadi pada ekstremitasnya. Tidak ada riwayat pribadi maupun riwayat keluarga yang signifikan tentang gangguan perdarahan. Pemeriksaan fisik saat baru datang menunjukkan purpura yang berpola aneh dan ecchymosis pada tungkai atas, khususnya tungkai atas sebelah kanan (Gbr. 1A).

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa jumlah sel darah perifer dan biokimia darah biasa-biasa saja. Prothrombin Time (PT), thromboplastin time parsial teraktivasi (APTT), waktu perdarahan, dan protein koagulasi plasma, seperti fibrinogen, faktor VIII, IX, dan XIII, faktor von Willebrand, protein S, dan protein C, masih dalam kisaran normal. Uji Rumpel-Leede menunjukkan hasil negatif. Kadar imunoglobulin dan titer komplemen serum masih berada dalam kisaran normal. Uji alergi, termasuk titer IgE total, dan uji simultan berbagai antigen tidak menunjukkan hasil yang menyimpang. Antibodi antinuklear, antibodi anti-DNA, antibodi sitoplasmik antineutrofil, dan antikoagulan lupus juga negatif. Analisis rutin menunjukkan hasil normal. Dengan mempertimbangkan semua temuan ini, maka gangguan hemoragik kongenital dan autoimun bisa dipastikan tidak ada. Walaupun purpura-purpura yang ganjil ini tidak identik dengan purpura tipikal yang ditemukan pada pelecehan anak, namun pelecehan anak tetap harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding. Pasien ini dirawat inap sementara jauh dari keluarganya.

Akan tetapi, purpura terus terjadi pada lidah serta ekstremitas meskipun anak telah berpisah dari keluarganya sebelum datang ke rumah sakit kami (Gbr. 1B dan C). Selanjutnya, sindrom sensitisasi autoeritrosit (AES, yang juga dikenal sebagai purpura psikogenik) juga dicurigai. Biopsi kulit dilakukan di rumah sakit pada hari ke-5. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gangguan berkas-berkas serat kolagen (Gbr. 2). Sel-sel darah merah yang terlepas dari pembuluh ditemukan pada seluruh dermis dan jaringan adiposa. Uji staining zat besi menunjukkan hasil negatif. Karena gangguan serat kolagen tidak bisa terjadi tanpa pengaplikasian gaya eksternal, maka purpura faktisius lebih dicurigai ketimbang sindrom AES. Sebetulnya, semua purpura terjadi pada area jangkauan tangannya. Pasien terus mengeluhkan nyeri dada, sakit sendi, dan sakit otot yang tidak jelas.

Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan bahwa keluarganya telah berencana pindah ke sebuah rumah baru tanpa kakek-nenek pasien. Jika informasi yang diperoleh digabungkan, kami menduga bahwa purpura terjadi sebagai sebuah reaksi terhadap tekanan psikososial yang parah, dan sebagai upaya untuk menunda perpindahan keluarganya. Purpura perlahan-lahan membaik dan pasien dikeluarkan pada hari ke-22.

Satu bulan setelah dikeluarkan, purpura telah sembuh, tetapi anak mengalami kehilangan kesadaran sementara. Lebih lanjut, aphasia verbal terjadi satu bulan kemudian. CT scan kepala dan elektroencefalografi menunjukkan hasil yang biasa-biasa saja. Uji psikologis dan inteligensi menunjukkan masalah-masalah psikologis seperti batas-batas ego dan kemunduran usia mental (5-6 tahun). Akan tetapi, setelah ayahnya memutuskan untuk menunda pindah rumah 1 pekan kemudian, pasien mulai berbicara kembali. Setelah 1 pekan lagi, dia kembali ke sekolah dan mengaku telah membuat-buat gejala-gejala yang dia alami. Selama 10 bulan kemudian, purpura kambuh beberapa kali tetapi gejala-gejalanya ringan dan sembuh dalam satu atau dua hari. Dalam 2 tahun terakhir, belum ada episode purpura.

DISKUSI

Kemiripan antara AES dan purpura faktisius telah dibahas. Sindrom lesi purpura yang terasa nyeri pada wanita muda pertama kali dilaporkan di tahun 1955 dan disebut sebagai AES karena reaksi intra-kutaneous terhadap autoeritrosit menunjukkan hasil positif. Akan tetapi, karena pasien-pasien dengan AES memiliki karakteristik psikologis yang serupa, maka kondisi selanjutnya disebut "purpura psikogenik". Pasien-pasien sering mengalami berbagai manifestasi perdarahan, tetapi tidak memiliki diatesis hemoragik dan pemeriksaan hematologi biasa-biasa saja. Pasien sering melaporkan keluhan yang tidak jelas. Reaksi konversi telah diduga sebagai penyebab lesi yang ditemukan. Disisi lain, purpura merupakan salah satu tanda faktisius yang paling sering dilaporkan pada falsifikasi penyakit. Anak-anak sering menunjukkan kesulitan emosional dan familial melalui gejala-gejala yang tidak jelas, yang bisa merupakan awal dari falsifikasi penyakit. Anak-anak yang mengalami kondisi-kondisi faktisius juga mengeluhkan nyeri, rasa lelah, nausea, dan kepusingan yang tidak diketahui penyebabnya, mirip dengan pasien yang mengalami AES. Sehingga, pembedaan antara AES dan purpura faktisius bisa sulit dilakukan dan hanya sedikit petunjuk penting untuk diagnosis banding.

Sindrom sensitisasi autoeritrosit telah dianggap ditandai oleh uji kulit positif. Akan tetapi, hipotesis asal bahwa sensitisasi autoeritrosit menyebabkan purpura psikogenik telah diperdebatkan. Saat ini, uji reaksi intra-kutaneous terhadap autoeritrosit dianggap kurang terpercaya sebagai sebuah metode diagnostik. Uji ini negatif pada banyak kasus, sehingga menandakan bahwa purpura psikogenik tidak harus sama dengan AES. Purpura psikogenik mencakup banyak purpura yang terjadi dalam kaitannya dengan penyakit psikologis. Timpang-tindih terkadang ditemukan dalam literatur antara purpura faktisius dan purpura psikogenik. Dalam evaluasi purpura pada anak-anak, penting untuk mempertimbangkan gangguan-gangguan hematologik kongenital dan autoimun bersama dengan pelecehan anak, AES, dan purpura faktisius.

Karakteristik klinis, seperti fungsi hematologi yang normal, dan keluhan berbagai gejala selama pasien tinggal di rumah sakit bisa ditemukan baik pada AES maupun pada purpura faktisius. Akan tetapi, temuan histopatologis dan deretan purpura sangat menandakan purpura faktisius. Disamping itu, semua purpura terjadi pada area yang dapat dijangkau pasien. Meskipun teknik untuk menimbulkan purpura yang ditimbulkan-sendiri tidak terbatas, namun pembentukan pola linear pada area yang mudah dijangkau cukup khas. Setelah purpura hilang, syncope, aphasia verbal, dan regresi umur ditemukan pada kasus kami, tetapi pasien mengakui selanjutnya bahwa dia pura-pura sakit. Cedera yang ditimbulkan-sendiri untuk mendapatkan perhatian bukan hal yang unik. Anak yang masih kecil lebih besar kemungkinannya mengakui memalsukan keadaan yang dialami dibanding orang dewasa ketika isu ini diketahui dengan cepat oleh dokter. Purpura hanya merupakan salah satu dari kondisi faktisius pada falsifikasi penyakit serta sinkop, afasia verbal, dan regresi umur, seperti dilaporkan sebelumnya.

Walaupun purpura faktisius sangat langka pada anak-anak usia sekolah dan jarang dipertimbangkan dalam diagnosis banding awal, kasus kami menunjukkan bahwa evaluasi purpura, bahkan pada anak-anak pra-remaja, harus mencakup kemungkinan gangguan faktisius. Analisis histologis terhadap biopsi-biopsi kulit bisa membantu dalam diagnosis.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders