PSORIASIS

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Proriasis merupakan sebuah penyakit kulit inflammatory kronis yang memiliki hubungan kuat dengan faktor genetik, ditandai dengan perubahan kompleks pada pertumbuhan dan diferensiasi epidermal dan berbagai abnormalitas biokimiawi, imunologi, dan vaskular, serta hubungannya dengan fungsi sistem saraf pusat belum dipahami dengan baik. Penyebab pokoknya masih belum jelas. Secara historis, psoriasis dianggap sebagai gangguan utama pada keratinosit. Dengan penemuan bahwa imunosupresan yang spesifik sel-T, yakni siklosporin A (CsA), sangat aktif terhadap psoriasis, maka kebanyakan peneliti berfokus pada sistem imun dalam menyelidiki penyakit ini.


Genetika Psoriasis

Basis genetik psoriasis telah disebutkan selama hampir 100 tahun. Akan tetapi, seperti yang disebutkan Gunnar Lomholt di tahun 1963 dalam penelitian klasiknya terhadap psoriasis di Kepulauan Faeroe, “bahwa psoriasis ditimbulkan secara genetik masih mengandung banyak keraguan. Tetapi karena proses pewarisan telah banyak ditunjukkan pada penyakit ini, maka faktor genetik tetap dipertimbangkan.” Dari tahun ke tahun, berdasarkan beberapa survei yang dilakukan terhadap populasi dan silsilah keluarga yang sangat besar, telah diusulkan beberapa model tentang basis genetika psoriasis yang mencakup model resesif gen-tunggal, resesif dua-gen, dominan dengan rasuk genetik yang berkurang, dan model poligenik. Analisis terhadap penelitian berbasis populasi yang dilakukan oleh Lomholt dan Hellgren dengan menggunakan analisis risiko rekurensi menunjukkan bahwa nilai λr – 1 (risiko rekurensi berlebih untuk kerabat dari keturunan r) berkurang dengan faktor 6 sampai 7 pada saat r meningkat dari 1 menjadi 2, yang mana berlawanan dengan pengurangan dengan faktor 2 yang diperkirakan untuk penyakit-penyakit monogenik. Analisis ini lebih mendukung model poligenik dibanding model yang diusulkan lainnya untuk basis genetika psoriasis. Berdasarkan penelitian-penelitian berbasis populasi, risiko psoriasis pada sebuah keturunan diperkirakan sebesar 41 persen jika kedua orang tuanya terkena, 14 persen jika salah satu orang tua terkena, dan 6 persen jika salah satu saudara kandung terkena, dan hanya 2 persen jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang terkena.
   
Risiko psoriasis pada kembar monozigot berkisar antara 35 sampai 73 persen pada beberapa penelitian. Ketidaksamaan ini, dan fakta bahwa risiko tersebut tidak mendekati 100 persen, mendukung adanya peranan faktor lingkungan. Menariknya, kesamaan risiko psoriasis pada kembar monozigot dan dizigot berkurang semakin ke daerah garis katulistiwa (daerah tropis dan subtropis). Dengan ditemukannya efek terapeutik yang sangat kuat dari sinar ultraviolet (UV) terhadap psoriasis (lihat bagian Pengobatan berikut), diduga bahwa keterpaparan terhadap sinar UV bisa menjadi faktor lingkungan utama yang berinteraksi dengan faktor-faktor genetik pada psoriasis.
   
Penelitian untuk mencari keterlibatan gen-gen spesifik dalam psoriasis telah mulai dilakukan sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu dengan penelitian rangkai genetik (genetik linkage) (yakni pewarisan alel penanda dan alel penyakit dalam keluarga).
   
Akan tetapi, meskipun telah ada penelitian-penelitian rangkai genome-wide yang dilakukan, namun hanya satu lokus, disebut PSORS1 (psoriasis susceptibility 1), yang secara konsisten ditemukan. PSORS1 terletak dalam kompleks histokompatibilitas utama (MHC, kromosom 6p21.3, tempat tinggal gen HLA). Banyak alel HLA yang ditemukan terkait dengan psoriasis, khususnya HLA-B13, HLA-B37, HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cw1, HLA-Cw6, HLA-DR7, dan HLA-DQ9. Banyak dari alel ini yang memiliki rangkai (linkage) tidak seimbang dengan HLA-Cw6 (yakni, ditemukan bersama pada kromosom yang sama lebih sering dibanding yang diprediksikan terjadi secara kebetulan). HLA-Cw6 secara konsisten menunjukkan risiko yang relatif paling tinggi untuk psoriasis pada populasi Kaukasoid (ras kulit putih di Eropa).
   
HLA-Cw6 juga terkait dengan artritis psoriatik, dengan kecenderungan onset lesi kulit pada tahap awal. HLA-B27, HLA-B38, dan HLA B-39 juga terkait dengan artritis psoriatik, dimana HLA-B27 paling kuat korelasinya dengan yang terjadi pada bagian kepala dan trunkus.
   
HLA-Cw6 tetap erat kaitannya dengan psoriasis apabila ditemukan bersama dengan beberapa alel HLA-B berbeda, sehingga menunjukkan bahwa gen PSORS1 harus terdapat pada bagian telomer (segmen ujung) HLA-B (Gbr. 18-1).
   
Hanya sekitar 10 persen karier HLA-Cw6 yang mengalami psoriasis, dan telah diperkirakan bahwa PSORS1 mewakili hanya sepertiga sampai seperdua dari variasi liabilitas genetik terhadap psoriasis. Dengan demikian, sangat mungkin bahwa gen non-MHC lain juga terlibat. Disamping PSORS1, penelitian rangkai genetik (genetic linkage) telah mengidentifikasi 18 lokus kerentanan yang potensial. Akan tetapi, banyak dari lokus ini yang terbukti sulit bereplikasi. Setelah PSORS1, lokus kerentanan psoriasis kedua yang mampu bereplikasi adalah PSORS2 (17q24-q25), dengan empat penelitian independen yang memberikan bukti mendukung (p<0,01). Telah dilaporkan baru-baru ini bahwa lokus ini berkontribusi bagi psoriasis dengan mempengaruhi ekspresi gen SLC9A3R1, NAT1, dan/atau RAPTCR yang terlibat dalam regulasi imunologi, namun ada beberapa penelitian yang tidak dapat membuktikan temuan ini. Lokus-lokus lain yang menunjukkan bukti replikasi mencakup PSORS4 (1c21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8 (16q21-q13)a, dan PSORS9 (4q28-q31), dan PSORS9 (4q28-q31). PSORS4 menetap dalam kompleks diferensiasi epidermal, yang merupakan lokasi dari sekurang-kurangnya 58 gen yang terlibat dalam diferensiasi epidermal, termasuk loricrin, involucrin, filagirin, daerah yang kaya prolin kecil, S100, dan gen-gen penutup. Lokus PSORS5 pertama kali ditemukan terkait dengan psoriasis pada keluarga-keluarga di Swedia; bukti untuk replikasi didasarkan pada dua penelitian korelasi. Lokus PSORS8 timpang tindih dengan gen kerentanan untuk penyakit Chron (NOD2/CARD15) dan berdampak pada artriris psoriatik. Lokus PSORS9 pertama kali diidentifikasi pada sebuah populasi Cina, tetapi juga memberikan bukti untuk rangkai (linkage) pada empat scan rangkai genome-wide lainnya yang melibatkan sebagian besar populasi Kaukasoid (ras kulit putih di Eropa).

Patogenesis Psoriasis

Perkembangan lesi
   
Hubungan sebab akibat antara berbagai peristiwa seluler yang terjadi pada sebuah lesi psoriasis dapat diteliti dengan menggunakan mikroskop elektron cahaya, imunohistokimia, dan studi-studi molekuler terhadap kulit yang terlibat dan tidak terlibat, baik yang baru muncul maupun lesi psoriasis lama. Peristiwa-peristiwa seluler ini ditunjukkan pada Gambar 18-2 dan dengan fotomikrograf ril pada Gbr. 18-3.

Lesi awal. Pada tahap awal yang berupa lesi makular seukuran kepala pin, terdapat edema, dan infiltrat-infiltrat sel mononuklear ditemukan pada dermis atas. Temuan ini biasanya terbatas pada daerah dari salah satu atau kedua papila. Epidermis yang bersangkutan menjadi spongiotik (karakteristik mirip sponge), dengan kehilangan lapisan granular pada titik tertentu. Venul pada dermis atas membesar dan menjadi dikelilingi oleh infiltrat sel mononuklear. Temuan yang serupa telah ditemukan pada makula-makula dini dan papula-papula psoriasis dan pada kulit yang tampak normal secara klinis 2 sampai 4 meter dari lesi aktif pada pasien yang mengalami suar (flare) psoriasis guta. Temuan-temuan ini merupakan tanda dari “status pra-psoriasis”, yang bisa terkait dengan faktor-faktor genetik tertentu.

Lesi yang berkembang. Studi batas-batas klinis dari lesi-lesi yang sedikit lebih besar (0,5 sampai 1,0 cm) menunjukkan sekitar 50 persen peningkatan penebalan epidermal pada kulit yang “tampak normal” yang berdekatan langsung dengan lesi. Terjadi peningkatan aktivitas metabolik dari sel-sel epidermal, yang mencakup stratum korneum, sintesis DNA yang meningkat, jumlah sel mast dan makrofage dermal yang meningkat, dan degranulasi sel mast yang berkurang. Studi selanjutnya menunjukkan peningkatan jumlah sel T dermal dan sel dendritik (DC) baik pada kulit psoriatik yang terlibat maupun yang tidak terlibat relatif terhadap kulit normal. Di sekitar pusat lesi terdapat “zona marginal”, dengan peningkatan ketebalan epidermal, peningkatan parakeratosis dan pemanjangan kapiler, dan infiltrasi perivaskular dari limfosit dan makrofage, tanpa eksudasi ke dalam epidermis. Baru-baru ini dilaporkan rete ridges mulai berkembang dalam zona marginal, sebelum transisi akhir menjadi plak psoriasis penuh. Sel-sel skuamosa memanifestasikan ruang-ruang ekstraseluler yang meluas dengan hanya sedikit koneksi desmosomal. Parakeratosis biasanya membulat atau berintik.

Lesi matang. Lesi psoriasis yang sudah matang ditandai dengan pemanjangan rete ridges yang merata, dengan penipisan epidermis di atas papila dermal. Massa epidermal bertambah tiga sampai lima kali lipat, dan ada lebih banyak sel kanker (mitosa) yang sering diamati di atas lapisan basal. Sekitar 10 persen keratinosit basal bersiklus pada kulit normal, dan meningkat menjadi 100 persen pada kulit psoriatik berlesi. Pelebaran ruang-ruang ekstraseluler diantara keratinosit-keratinosit tetap berlangsung tetapi kurang dominan dibanding pada lesi-lesi yang sedang berkembang dan lebih seragam dibanding spongiosis tipikal dari lesi-lesi kult eczematous. Ujung-ujung rete ridges sering berkelompok atau bergabung dengan ujung di dekatnya, disertai dengan papila edematosa yang tipis dan memanjang serta mengandung kapiler-kapiler berlekuk-lekuk dan membesar. Parakeratosis, yang disertai kehilangan lapisan granula, sering menyayap secara horizontal tetapi bisa berseberangan disertai ortokeratosis, dan hiperkeratosis lebih ekstensif dibanding pada zona transisi. Infiltrat inflammatory di sekitar pembuluh-pembuluh darah dalam dermis papiler menjadi lebih intens tetapi masih terdiri dari limfosit, makrofage, DC, dan sel mast. Berbeda dengan lesi awal dan zona transisi, limfosit-limfosit diamati dalam epidermis lesi matang. Neutrofil keluar dari ujung-ujung sub-bagian kapiler dermal (“papila muncrat”), yang berujung pada akumulasi dalam stratum korneum parakeratotik bersangkutan (mikroabses Munro) dan terkadang akumulasi dalam lapisan spinalis (pustula spongiformis Kogoj). Kumpulan serum juga bisa diamati dalam epidermis dan stratum korneum.

Komponen-komponen seluler dalam sel-sel T psoriasis

Pada tahun 1984, ditunjukkan bahwa erupsi lesi kulit psoriatik disertai dengan influks dan aktivasi sel-sel T, dan tidak lama berselang ditemukan bahwa resolusi psoriasis selama fototerapi didahului dengan pengurangan jumlah sel T, utamanya pada epidermis. Siklosporin A sangat efektif dalam mengobati psoriasis, dan efek ini ditunjukkan sebagian besar ditimbulkan melalui penghambatan sel-sel T bukan keratinosit. Lebih lanjut, psoriasis dapat dipicu atau disembuhkan dengan transplantasi sumsum tulang, tergantung pada apakah donor atau host mengalami psoriasis. Peranan sel T dalam psoriasis ditunjukkan secara fungsional pada tahun 1996 ketika diketahui bahwa proses psoriasis bisa ditimbulkan dengan menginjeksikan sel-sel T autolog teraktivasi ke dalam kulit psoriatik tidak-terlibat yang ditransplantasi pada mencit imunodefisien.
   
Sel T yang paling dikenal adalah kelompok CD4+ dan CD8+. Sebagian besar dari fenotip memori (CD45RO+), sel-sel ini mengekspresikan antigen limfosit kutaneous (CLA), sebuah ligan untuk E-selectin, yang secara selektif diekspresikan pada kapiler-kapiler kulit sehingga memberikannya akses ke dalam kulit. Sel-sel T CD8+ sebagian besar terdapat dalam epiderims, sedangkan sel-sel T CD4+ sebagian besar terdapat pada dermis atas. Profil sitokin dari lesi-lesi psoriasis kaya akan interferon (IFN)-λ, yang merupakan tanda polarisasi T helper 1 (Th1) dari sel-sel CD4+, dan polarisasi T sitotoksik 1 (Tc1) dari sel-sel CD8+. Akan tetapi, sebuah kelompok sel T CD4+ baru, yang distimulasi dengan interleukin (IL)-23 dan ditandai dengan produksi IL-17, baru-baru ini ditemukan dan bisa memegang peranan penting dalam menjaga inflamasi kronis pada psoriasis dan kondisi-kondisi auto-inflammatory lainnya.

Sel-sel T regulatory. Ada beberapa populasi sel T regulatory (Tregs) yang terlibat tetapi yang paling dikenal adalah sub-kelompok CD4+CD25. Sebuah penelitian terbaru terhadap sel T ini pada psoriasis menunjukkan terganggunya fungsi inhibitori dan kegagalan untuk menekan proliferasi sel-T efektor.

Sel NK dan sel T NK. Sel pembunuh alami (NK) merupakan penghasil IFN-γ yang utama dan berfungsi sebagai jembatan antara imunitas alami dan imunitas yang didapat (acquired). Sel-sel NK sebagian diregulasi oleh reseptor mirip imunoglobulin (KIR), yang mengenali HLA-C dan molekul MHC klas I lainnya. KIR adalah famili dari sekitar 15 gen terkait dekat yang terdapat pada kromosom 19q13.4, beberapa diantaranya menstimulasi dan yang lainnya menghambat aktivasi sel NK. Baru-baru ini, gen-gen KIR ditemukan terkait dengan psoriasis dan artritis psoriatik.

Sel-sel dendritik. Pengobatan yang utamanya diarahkan untuk molekul ko-stimulatory yang diekspresikan oleh DC penampil-atigen “profesional” dapat memulihkan psoriasis. Ini menunjukkan bahwa sel-sel T dalam lesi-lesi psoriatik berhubungan konstan dengan DC, yang mana memiliki peranan dalam pembangkitan respon imun adaptif dan induksi toleransi sendiri (self-tolerance). Beberapa sub-kelompok DC telah ditemukan, dan banyak diantaranya yang ditemukan pada keadaan matang dalam lesi-lesi psoriasis. Walaupun sel-sel ini diyakini memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, namun peranan spesifik dari masing-masing sub-kelompok ini masih belum jelas.

Sel-sel Langerhans

Sel-sel Langerhans (LC) dianggap sebagai DC yang belum matang (iDC). LC memiliki peranan yang jelas sebagai sel penampil antigen (APC) pada dermatitis kontak, tetapi peranannya dalam psoriasis, dimana jumlahnya berkurang drastis, masih belum jelas. DC yang kekurangan karakteristik granula Birbeck tetapi positif untuk molekul pematangan DC-LAMP ditemukan dalam dermis lesi psoriasis, sehingga menunjukkan bahwa sel-sel ini menjadi matang dan keluar dari epidermis selama perjalanan pembentukan lesi. Menariknya, migrasi LC sebagai respon terhadap sitokin inflammatory sangat terganggu pada epidermis psoriatik yang tidak terlibat.

Sel-sel epidermal dendritik inflammatory

Meskipun merupakan iDC yang berasal dari monosit, sel-sel epidermal dendritik inflammatory (IDEC) berbeda dengan LC berdasarkan kurangnya granula Birbeck dan ekspresi CD1a yang lebih rendah. Berbeda dengan LC, IDEC hampir tidak ada pada kulit normal, dan jumlahnya meningkat tajam pada epidermis dari lesi psoriasis aktif, serta pada berbagai dermatosa inflammatory lainnya.

Sel-Sel Dendritik Dermal

Sel dendritik dermal diidentifikasi dengan ekspresi MHC kelas II atau faktor XIIIa yang kuat. Sel dendritik dermal tidak mengekspresikan penanda-penanda aktivasi pada kulit normal dan bisa dianggap sebagai tipe lain dari iDC yang mirip dengan iDC myeloid yang ditemukan pada jaringan-jaringan lain. Lesi-lesi psoriasis menunjukkan peningkatan jumlah keadaan pematangan yang signifikan dari sel-sel ini.

Sel-Sel Dendiritik Plasmasitoid

DC plasmastioid (pDC) tidak efisien dalam menampilkan antigen pada sel T. Akan tetapi, sel-sel ini meregulasi inflamasi dan menghubungkan imunitas alami dengan imunitas adaptif, menghasilkan jumlah IFN-α yang banyak saat teraktivasi. Dengan tidak terdapat pada kulit normal, PDC meningkat signifikan pada kulit psoriatik yang terlibat dan yang tidak terlibat. Tetapi hanya teraktivasi pada kulit yang terlibat. Menariknya, inhibisi pDC terbukti mencegah perkembangan psoriasis pada model xenograf mencit. Sebaliknya, imiquimod, yang telah dilaporkan memperburuk psoriasis, kemungkinan bekerja melalui sistem IFN tipe I ini dengan mengikat reseptor Toll-like (TLR) 7 pada pDC.

Sel mast dan makrofage. Sel mast dan makrofage dominan pada lesi psoriasis tahap awal dan tahap berkembang (lihat Gbr. 18-2). Banyak dari makrofage yang tersebar tepat dibawah membran dasar, berdekatan dengan keratinosit berproliferasi yang mengekspresikan chemokin makrofage MCP-1. Sel-sel yang aktif secara fagosit ini bisa terlibat dalam menghasilkan fenestrasi (lubang) dalam membran dasar epidermal. Penelitian terbaru tentang dua model psoriasis berbeda pada mencit, yang satu tergantung pada sel T dan yang lainnya tidak, menunjukkan bahwa eliminasi makrofage secara selektif berujung pada perbaikan lesi. Temuan-temuan baru ini menunjukkan bahwa makrofage memegang peranan penting dalam patogenesis psoriasis, sekurang-kurangnya melalui produksi TNF-α.

Neutrofil. Walaupun umum ditemukan pada epidermis atas dari lesi psoriatik,  neutrofil muncul lambat selama perkembangan lesi, jumlahnya sedikit bervariasi, dan peranannya dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas. Penelitian-penelitian terbaru pada salah satu model mencit menunjukkan bahwa neutrofil kemungkinan tidak diperlukan untuk terjadinya lesi.

Keratinosit. Keratinosit adalah penghasil utama sitokin-sitokin pro-inflammatory, chemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan, serta mediator-mediator inflammatory lainya seperti eikosanoid dan mediator imunitas alami seperti katelisidin, defensin, dan protein S100. Keratinosit psoriatik terlibat dalam sebuah jalur alternatif dar diferensiasi keratinosit yang disebut pematangan regeneratif. Pematangan regeneratif diaktivasi sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis, tetapi mekanisme pastinya belum diketahui sampai sekarang.

Tipe sel lain. Tipe-tipe sel lain, seperti sel-sel endotelial dan fibroblast, kemungkinan berpartisipasi dalam proses patogenik. Sel-sel endotelial sangat teraktivasi pada lesi psoriasis yang sedang berkembang atau lesi matang dan disamping menyebabkan peningkatan aliran darah 10 kali lipat ke lesi, sel-sel endothelial juga memegang peranan utama dalam mengendalikan fluks leukosit dan protein serum ke dalam jaringan psoriatik. Fibroblast mendukung proliferasi keratinosit dengan cara parakrin, dan proses ini meningkat pada psoriasis. Fibrobalst menghasilkan banyak faktor kemotaksis dan mendukung migrasi sel T keluar dari lesi psoriasis. Sehingga, fibroblast juga bisa terlibat dalam psoriasis dengan mengarahkan lokalisasi sel T.

Molekule-Molekul Isyarat (Signalling) pada Psoriasis

Sitokin dan chemokin. Rangkaian sitokin pada psoriasis sangat kompleks, dengan melibatkan aksi dan interaksi berbagai sitokin, chemokin, dan faktor-faktor pertumbuhan serta reseptor-reseptornya disamping mediator-mediator lain yang dihasilkan oleh berbagai tipe sel. Kombinasi sitokin dan faktor pertumbuhan bisa menghasilkan efek yang tidak ditemukan apabila faktor-faktor ini diteliti secara tersendiri. Sebagai contoh, klon-klon sel T yang diisolasi dari lesi kulit psoriasis mampu mempromosikan proliferasi keratinosit dengan cara yang tergantung IFN-γ, tetapi dengan sendirinya, IFN-γ memiliki efek antiproliferatif terhadap keratinosit-keratinosit yang dikulturkan.

Selain IFN-γ, beragam sitokin dan chemokin meningkat kesensitifannya (upragulated) pada psoriasis, termasuk sitokin TNF-α, IL-2, IL-6, IL-8, IL-15, IL-17, IL-18, IL-19, IL-20, dan IL-22 dan chemokin MIG/CXCL9, IP-10/CXCL10, I TAC/CXCL11 dan MIP3α/CCL20. Abnormalitas yang lebih kompleks ditemukan untuk sitokin-sitokin imunomodulasi dan reseptornya, yang mencakup IL1 dan TGF-β. Plak psoriatik ditandai dengan dominasi sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel Th1 (IFN-γ, IL2, dan TNF-α) diantara yang dihasilkan oleh sel-sel Th2 (IL-4, IL-5, dan IL-10). DC juga mengkontribusikan sitokin yang mencakup IL-18, IL-20, IL-23, dan TNF-α. IL-18 dan IL-23 menstimulasi produksi IFN-γ dan sekarang ini telah jelas bahwa IL-23 dan bukan IL-12 (yang memiliki subunit p40 sama dengan IL-23) yang merupakan sumber utama dari ekspresi p40 yang meningkat pada lesi-lesi psoriatik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, IL-23 mendukung inflamasi kronis dengan mempertahankan sub-kelompok sel T CD4+ terpisah yang ditandai dengan produksi IL-17. Baru-baru ini, sub-kelompok Th17 ini telah ditunjukkan memperluas IL-22, yang memediasi inflamasi dermal terinduksi IL 23 dan hiperplasia epidermal pada mencit. Sitokin terpenting yang saat ini dianggap terlibat dalam patogenesis psoriasis dirangkum pada Gbr. 18-4.

Mediator imun alami. Disamping sitokin dan chemokin, beberapa mediator imunitas alami diekspresikan secara abnormal pada psoriasis. Yang paling utama adalah HBD-2 dan LL-37, keduanya meningkat pada psoriasis tetapi tidak pada dermatitis atopik. Khususnya, ekspresi HBD-2 dan LL-37 meningkat pada saat merespon sitokin pro-inflammatory dan sitokin tipe I (TNF-α, IL1, dan IFN-γ) dan ditekan oleh sitokin tipe II (IL-4, IL-10, dan IL-13). Perbedaan ekspresi peptida antimikroba membantu menjelaskan mengapa sekitar 30 persen pasien yang mengalami dermatitis atopik memiliki infeksi bakteri atau virus, sedangkan hanya 7 persen dari pasien psoriasis. Perbedaan ini juga menjelaskan mengapa pasien psoriasis, meskipun sering terinfeksi Staphylococcus aureus, tidak dapat dibantu banyak dengan pengobatan antibiotik, sedangkan pasien dermatitis atopik sering dapat dibantu dengan terapi antibiotik. Protein S100 adalah famili protein berberat molekul rendah dimerik yang mengikat kalsium dan kation divalen lainnya. Heterodimer S100A2, S100A7 (psoriasin), dan S100A3/A9 diekspresikan secara berlebih pada lesi-lesi psoriasis. Protein-protein ini menghasilkan aktivitas kemotaksis dan antimikroba, melalui sekuestrasi ion-ion zink. Oksida nitrat dihasilkan dalam jumlah besar oleh DC pada psoriasis melalui oksida nitrat sintase yang dapat dihasilkan oleh sel, dimana oksida nitrat memicu berbagai proses transduksi sinyal. Terakhir, komponen komplemen C5a merupakan sebuah kemoatraktan potensial untuk neutrofil dan bisa berkontribusi bagi akumulasi neutrofil dalam stratum korneum psoriasis. Menariknya, komponen ini merupakan kemoatraktan yang paling potensial untuk DC pada ekstrak pelepuhan psoriasis. Banyak dari mediator ini yang diregulasi pada saat merespon terhadap reseptor TLR, sehingga menghasilkan sebuah mekanisme dimana sistem imun alami bisa dengan cepat mengenali berbagai patogen berdasarkan pola-pola molekuler nya yang terkait patogen.

Eikosanoid. Peranan eikosanoid dalam psoriasis masih belum jelas. Kadar asam arachidonat bebas, leukotriena B4, asam 12-hidroksieikosatetraenoat, dan asam 15- hidroksieikosatetraenoat meningkat pesat pada kulit berlesi, sedangkan kadar prostaglandin E dan F2α meningkat kurang dari dua kali lipat.

Faktor-faktor pertumbuhan. Banyak faktor pertumbuhan yang memiliki ekspresi berlebihan pada psoriasis. Anggota famili EGF (faktor pertumbuhan epidermal) menginduksi produksi keratinositnya sendiri, yang mencakup TGF-α, ARE6, dan faktor pertumbuhan mirip EGF pengikat heparin. Penelitian-penelitian terbaru pada xenograf mencit menemukan pengurangan hiperplasia epidermal setelah netralisasi ARE6 yang diperantarai antibodi. Aktivasi reseptor EGF menstimulasi produksi keratinosit dari VEGF (faktor pertumbuhan endotelial vaskular), kemungkinan mewakili temuan bahwa sifat angiogenik dari kulit normal dan kulit psoriasis terkait dengan epidermis. Polimorfisme dalam gen VEGF juga telah dilaporkan terkait dengan psoriasis. Faktor pertumbuhan saraf (NGF) juga diekspresikan berlebih oleh keratinosit pada kulit psoriasis, dan reseptor NGF meningkat pada saraf perifer kulit berlesi. Faktor-faktor pertumbuhan parakrin yang dihasilkan di luar batas epidermal juga bisa memegang peranan penting dalam menstimulasi hiperplasia epidermal pada psoriasis, termasuk IGF-1 dan faktor pertumbuhan keratinosit.

Protease dan inhibitornya. Lesi psoriasis ditandai dengan ekspresi berbagai proteinase yang berlebihan oleh keratinosit dan leukosit. Metaloproteinase melepaskan TNF-α, faktor pertumbuhan mirip EGF, dan banyak sitokin lain dan faktor pertumbuhan dari prekursor dalam membran mereka. Elastase yang berasal dari leukosit juga berdampak dalam pelepasan faktor pertumbuhan mirip EGF. Serin protease secara langsung mengaktivasi reseptor yang teraktivasi-protease. Masing-masing dari mekanisme ini bisa berkontribusi bagi stimulasi proliferasi keratinosit. Inhibitor protease seperti elafin, serpinB3, dan serpinB13 (hurpin) adalah diantara gen yang paling tinggi ekspresinya pada lesi psoriasis, sehingga menunjukkan bahwa mekanisme-mekanisme homeostatis terlibat dalam upaya untuk meregulasi lingkungan proteolitik pada lesi psoriatik.

Integrin. Beberapa penelitian menyarankan adanya peranan dini untuk inntegrin α5 dan fibronektin ligannya dalam psoriasis. Fibronektin meningkat pada epidermis psoriatik, dan telah diduga bahwa fibronektin menjangkau epidermis melalui fenestrasi dalam membran dasar epidermal.

Transduksi sinyal. Dengan banyaknya perubahan pensinyalan interseluler, banyak mekanisme transduksi sinyal yang terdisregulasi dalam epidermis psoriatik, termasuk jalur reseptor tirosin kinase, protein kinase yang terkativasi-mitogen, Akt, STAT, famili kinase Sre, dan jalur NF-kB. Abnormalitas-abnormalitas ini mempengaruhi aktivitas dan lalu-lintas imunosit serta respon proliferasi, diferensiasi dan kelangsungan keratinosit.

Psoriasis sebagai Penyakit Autoimun: Perpaduan Genetika dan Imunologi

Sel-sel T CD8+ terdiri dari sekurang-kurangnya 80 persen sel T dalam epidermis lesi psoriatik, dan invasinya ke dalam epidermis berkorelasi dengan perkembangan lesi. Karena sel ini menampilkan antigen ke sel T CD8+, HLA-Cw6 merupakan kandidat yang sangat baik untuk keterlibatan fungsional pada psoriasis. Gambar 18-5 merupakan sebuah model transisi dari psoriasis guta menjadi plak kronis dan model peranan HLA-Cw6 dalam patogenesis psoriasis. Banyak aspek dari model ini yang masih perlu diverifikasi dengan eksperimen.

Gambar 18-2. Perkembangan lesi psoriasis. Gambar ini melukiskan keadaan transisi dari kulit normal menjadi lesi lengkap. Kulit normal dari seorang individu yang sehat (Bagian A) mengandung sel-sel Langerhans, sel-sel dendritik imatur yang terpencar (D), dan sel T memori yang menempati kulit (T) dalam dermis. Kulit yang tampak normal dari seorang individu psoriatik (Bagian B) menunjukkan sedikit pembesaran dan kurvatur (pelengkungan) kapiler, dan sedikit peningkatan jumlah sel mononuklear dermal dan sel mast (M). Sedikit peningkatan ketebalan epidermal biasanya ditemukan. Pada psoriasis plak kronis, intensitas perubahan-perubahan ini bisa tergantung pada jarak dari sebuah lesi yang telah terbentuk. Zona transisi dari sebuah lesi yang sedang berkembang (Bagian C) ditandai dengan peningkatan pembesaran dan kurvatur kapiler secara progresif, demikian juga jumlah sel mast, makrofage (MP), dan sel T, dan degranulasi sel mast (lengkungan hitam di tengah gambar). Dalam epidermis, terjadi peningkatan ketebalan disertai penambahan rete pegs, pelebaran ruang ekstraseluler, diskeratosis sementara, pelepasan lapisan granular yang menyisakan bintik, dan parakeratosis. Sel-sel langerhans (L) mulai keluar dari epidermis, dan sel-sel epidermal dendritik (I) dan sel T CD8+ (8) mulai memasuki epidermis. Lesi yang telah berkembang sempurna (Bagian D) ditandai dengan pembesaran dan kelengkungan kapiler secara lengkap disertai: peningkatan aliran darah 10 kali lipat, berbagai makrofage terdapat dalam membran dasar, dan jumlah sel T dermal yang meningkat (utamanya CD4+) yang bersentuhan dengan sel dendiritik dermal yang sedang matang (D). Epidermis lesi yang telah matang memanifestasikan hiperproliferasi keratinosit yang meningkat pesat (sekitar 10 kali lipat) meluas sampai ke lapisan suprabasal bawah, pelepasan lapisan granular yang jelas tetapi tidak seragam disertai pemadatan stratum korneum dan parakeratosis, jumlah sel T CD8+ yang meningkat, dan akumulasi neutrofil dalam stratum korneum (mikroabses Munro).

Gambar 18-3. Histopatologi psoriasis. A. Papula psoriasis yang sederhana. Pada keadaan transisi dari pinggir ke pusat lesi, perhatikan penebalan epidermis yang progresif dengan pemanjangan rete pegs, pembesaran dan lekukan pembuluh darah yang meningkat, dan infiltrat sel mononuklear yang meningkat. Perhatikan pula keadaan transisi dari basket-weave ke stratum korneum yang rapat dengan kehilangan lapisan granular pada pusat lesi. (biopsi jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM). B. Perbandingan kulit yang terlibat dan yang tidak terlibat. Biopsi 4 mm diambil dari individu sama yang disampelkan pada bagian A di hari yang sama. Kulit “tidak terlibat yang jauh dari lesi” diambil 0,5 cm dari punggung atas dengan jarak 30 cm dari lesi psoriasis terdekat yang dapat dilihat. Kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” diambil 0,5 cm dari pinggir sebuah plak 20-cm, yang telah ada selama beberapa tahun, berdasarkan keterangan pasien. Kulit “plak pusat” diambil dari daerah yang relatif tidak aktif (kurang memerah dan kurang bersisik) pada pusat plak ini. Kulit “terlibat” diambil dari sebuah daerah aktif (lebih memerah dan lebih bersisik) sekitar 1 cm di dalam pinggir plak yang sama. Dalam membandingkan antara kulit “tidak terlibat yang jauh dari lesi” dan kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” perhatikan bahwa kulit  tidak terlibat di dekat pinggir lesi memiliki ketebalan yang meningkat dan pemanjangan rete pegs yang lebih cepat, pembesaran dan lekukan pembuluh darah, dan jumlah sel mononuklear yang meningkat pada dermis atas, banyak diantaranya yang berada pada lokasi perivaskular. Pada pasien ini, kulit “tidak terlibat di dekat pinggir lesi” juga menunjukkan frekuensi keratinosit diskeratotik yang meningkat, sebuah temuan yang sebelumnya telah diamati pada perifer lesi psoriatik. Dalam membandingkan daerah plak yang kurang aktif dengan yang lebih aktif, perhatikan bahwa daerah yang lebih aktif menunjukkan infiltrat mononuklear dermal yang meningkat, hiperkeratotis dan parakeratosis yang meningkat, dan mikroabses Munro. (biopsi jarum 4 mm, hematoksilin dan eosin, skala = 100 μM).

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders