Prevalensi Gangguan Psikiatrik pada Orang-Orang yang Kehilangan dan Selamat dari sebuah Bencana Gempa Bumi di Taiwan

Pendahuluan
   
Pada jam 1.57 subuh tanggal 21 September 1999, sebuah tempa bumi berkekuatan 7,3 skala Ritcher meluluhlantahkan daerah Nantou dan daerah Taiwan tengah di sekitarnya. Gempa bumi ini mengenai daerah dengan luas sekurang-kurangnya 5.000 km persegi dan menyebabkan sekurang-kurangnya 2.349 kematian dan lebih dari 20.000 cedera. Walaupun Taiwan sering terkena bencana alam, namun efek psikiatri terhadap mereka yang selamat dari bencana masih jarang diteliti.
   
Perkiraan gangguan psikiatri beberapa saat setelah kejadian sebuah bencana cukup penting untuk mengimplementasikan aktivitas pertolongan efektif dan menentukan epidemiologi bencana. Akan tetapi, beberapa penelitian telah meneliti masalah-masalah psikiatri jangka pendek yang terkait dengan bencana dalam komunitas. Sebuah survei berbasis-komunitas terbaru menyimpulkan bahwa kematian tiba-tiba dari seseorang yang tercinta merupakan penyebab gangguan stress pasca-trauma (PTSD) yang paling penting. Diantara individu yang terpapar terhadap penyebab stress traumatik, beberapa penelitian telah menguji faktor-faktor risiko untuk PTSD, termasuk tingkat pendidikan yang lebih rendah dan mati rasa dan kejadian hidup yang penuh stress setelah sebuah bencana. Akan tetapi, efek-efek ini belum diteliti secara spesifik diantara mereka yang selamat tetapi telah kehilangan.

   
Dalam penelitian ini kami meneliti karakteristik kelompok orang yang selamat namun telah kehilangan berdasarkan komunitas pada tahap-tahap awal setelah gempa bumi terjadi. Tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk menjelaskan prevalensi gangguan-gangguan psikiatri akut pasca-gempa secara cross-sectional dan untuk meneliti faktor-faktor risiko yang terkait dengan dua gangguan psikiatri yang paling prevalen yaitu PTSD (gangguan stress pasca-trauma) dan depresi berat.

Metode
   
Pengambilan sampel dilakukan pada dua kota: kota A, yang terletak tiga kilometer dari pusat kerusakan gempa, dan kota B, yang terletak 25 kilometer dari pusat kerusakan gempa. Masing-masing kota memiliki populasi sekitar 20.000 penduduk. Pada kota A, ada 108 kematian yang terkait dengan gempa bumi, dan pada kota B, 137 kematian. Kerabat yang meninggal ditemukan pada 81 dan 99 rumahtangga, masing-masing. Penelitian ini menyurvei sekurang-kurangnya satu anggota keluarga dekat dari masing-masing rumahtangga jika memungkinkan, sebuah anggota keluarga yang tidak dekat disurvei jika anggota keluarga dekat tidak tersedia. Beberapa partisipan penelitian bermigrasi keluar komunitas setelah gempa terjadi. Sebanyak 120 orang yang berhasil selamat namun telah kehilangan, yang termasuk ke dalam 109 rumah tangga, dimasukkan dalam sampel akhir penelitian.
   
Penilaian psikiatri masing-masing partisipan penelitian dilakukan oleh seorang psikiater terlatih dengan rata-rata 2 bulan (60 ±21 hari) setelah gempa. Delapan psikiater berpengalaman, yang bersama-sama mereview instrumen penelitian sebelum pengamatan, berpartisipasi dalam survei lapangan. Semua psikiater memiliki program pelatihan psikiater yang cukup.
   
Data demografi yang dikumpulkan mencakup usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan hubungan seseorang dengan korban. Data tentang kondisi-kondisi yang terkait bencana, apakah peserta penelitian terdapat pada tempat gempa, apakah partisipan mengalami cedera, dan reaksi emosional setelah gempa dikumpulkan. Reaksi emosional awal mencakup perasaan depresi atau sedih, cemas atau takut, rasa bersalah, dan mati rasa serta tidak percaya atau bingung.
   
Faktor-faktor risiko untuk PTSD dan gangguan depresi berat diteliti berdasarkan variabel demografi dan variabel terkait gempa dengan menggunakan analisis regresi logistik multivariat. Metode ini cukup bermanfaat untuk memperkirakan ada atau tidak adanya karakteristik atau hasil berdasarkan nilai variabel. Tingkat signifikan ditentukan pada 0,05.

Hasil

Nilai mean±SD usia dari 120 sampel adalah 54±17 tahun, dengan rentang 12 sampai 84 tahun. Sebanyak 73 orang yang selamat (61%) adalahlaki-laki. Sebanyak 64 (53 persen) memenuhi kriteria DSM-IV untuk diagnosis psikiatri setelah gempa, yang mencakup PTSD (37 persen) dan gangguan depresi berat (16 persen) (Tabel 1). Diantara orang-orang yang memiliki gangguan psikiatri, mereka yang mengalami PTSD atau depresi berat tidak memiliki kondisi ini sampai setelah gempa.
   
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa faktor risiko signifikan untuk PTSD memiliki jumlah penyebab-stress psikologis yang lebih besar dan perasaan bersalah pada awalnya. Faktor risiko yang signifikan untuk gangguan depresi berat adalah jender perempuan. Sumber dimana mereka yang selamat mencari bantuan mencakup keluarganya, sumber spiritual, dan profesional medis. Kebanyakan dari mereka yang bertahan hidup (95 persen) hidung dengan keluarganya setelah gempa, dan 52 (43 persen) mencari bantuan spiritual – sebagai contoh berpartisipasi dalam upacara-upacara keagamaan. Sekitar 16 persen mencari bantuan di klinik perawatan primer.

Pembahasan
   
Pada kelompok sampel yang diteliti ini, kami menemukan bahwa tingkat semua gangguan psikiatri dua kali lebih tinggi dibanding yang ditemukan pada penelitian epidemiologi berbasis komunitas sebelumnya di Taiwan (53% berbanding 26 persen). Walaupun instrumen berbeda digunakan dalam kedua penelitian, namun temuan penelitian ini menunjukkan bahwa etiologi bencana merupakan sebuah faktor penting dalam kejadian penyakit psikiatri. Lebih daripada itu, sebuah penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Liao dan rekan-rekannya, yang menggunakan standar MINI untuk meneliti morbiditas psikiatri akut diantara mereka yang bertahan hidup tetapi telah kehilangan dan berlokasi di dekat pusat bencana gempa satu bulan setelah gempa ini, menunjukkan prevalensi PTSD yang jauh lebih rendah dibanding dalam penelitian kami (7 persen). Jelas bahwa trauma tiba-tiba akibat kehilangan bisa memicu perkembangan PTSD.
   
Wanita yang kehilangan dalam sampel kami memiliki risiko untuk mengalami gangguan depresi berat yang sekitar tiga kali lebih tinggi dibanding pria, sedangkan jumlah penyebab-stress psikososial tidak terkait dengan perkembangan gangguan depresi berat. Temuan-temuan ini sejalan dengan hasil dari sebuah penelitian berbasis populasi yang menunjukkan bahwa jenis kelamin wanita berkorelasi dengan perkembangan depresi parah dan penyebab-tekanan psikososial tersebut berkorelasi dengan terjadinya depresi ringan.
   
Partisipan dalam penelitian kami yang mengalami PTSD lebih besar kemungkinannya melaporkan bahwa mereka merasa bersalah beberapa saat setelah gempa. Sehingga rasa bersalah seseorang bisa mencerminkan kesedihan dan bisa menjadi penanda untuk pendeteksian dini. Temuan tentang penyebab-stress pasca-bencana yang terkait dengan PTSD sejalan dengan hasil dari penelitian sebelumnya. Sebagai contoh, Yehuda dan rekan-rekannya meneliti korban Holocaustdan menemukan efek tambahan berupa kejadian stress terbaru terhadap keparahan gejala-gejala PTSD.
   
Gempa bumi di Taiwan merupakan sebuah bencana sentral, yang didefinisikan sebagai bencana yang menyebabkan perubahan seluruh struktur fisik dan organisasional komunitas. Trauma yang terkait dengan bencana seperti ini bisa bisa berlanjut selama periode waktu yang lama setelah kejadian, khususnya jika ada penyebab-stress selanjutnya. Informasi tentang trauma jangka panjang akan memiliki dampak klinis yang penting, karena ada kemungkinan untuk menampung mereka yang selamat tetapi telah kehilangan dan membantu mereka menstabilkan hidup dan menghindari penyebab-stress selanjutnya. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa perilaku pencarian bantuan oleh orang yang mengalami PTSD dan gangguan depresi berat di Taiwan berbeda dari perilaku pencarian bantuan di negara-negara Barat.
   
Sebagai contoh, pada sebuah penelitian oleh Samson dan rekan-rekannya, kebanyakan orang yang mengalami PTSD mencari perawatan pada setting perawatan primer. Setelah gempa di Taiwan, hanya seperempat orang yang mengalami PTSD – dan proporsi orang yang sama yang mengalami gangguan depresi berat – mengunjungi klinik perawatan primer untuk mencari bantuan. Rendahnya perilaku pencarian bantuan ini bisa disebabkan oleh gejala-gejala terkait yang diderita oleh mereka yang selamat atau bisa mencerminkan sebuah lingkungan dimana mereka yang selamat dilingkupi oleh berbagai kebutuhan lain yang harus dipenuhi.
   
Temuan kami menunjukkan diperlukannya pembuatan strategi pencapaian target yang lebih efektif. Meski demikian, orang-orang yang memiliki lebih banyak penyebab-stress psikososial, yang memiliki perasaan sedih di awal bencana, dan wanita harus menjadi target intervensi seperti ini.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders