Perbandingan Metode Difusi Cawan Cefoxitin dan Oxacillin untuk Pendeteksian Resistensi Berperantara mecA pada Staphylococcus aureus dalam Sebuah Penelitian Skala Besar

Abstrak

Titik maksimum (breakpoint) yang dianjurkan untuk uji difusi cawan cefotoksin untuk Staphylococcus aureus baru-baru ini telah dimodifikasi. Dalam penelitian skala besar ini, sensitifitas dan spesifitas cefotoxin yang dibandingkan dengan oxacillin masing-masing adalah 97,3% dan 100%. Penelitian ini memvalidasi titik maksimum cefotoxin baru untuk pendeteksian resistensi berperantara mecA pada S. aureus.

Staphylococcus aureus merupakan sebuah isu perawatan kesehatan terkini yang cukup serius. S. aureus resisten methicillin (MSRA) yang berasal dari lingkungan dan MRSA yang berasal dari perawatan kesehatan merupakan ancaman yang semakin berbahaya bagi mereka yang terganggu sistem kekebalannya (immunocompromised), serta bagi masyarakat umum. Pendeteksian resistensi methicillin secara akurat pada S. aureus sangat penting untuk memastikan perawatan yang efektif bagi pasien yang terkena dan untuk mencegah penularan lebih lanjut.


Gen mecA memberikan resistensi terhadap methicillin pada S. aureus. Gen ini terletak pada kaset kromosom staphylococcal mec dan mengkodekan protein pengikat penicillin 2a (PBP2a). PBP2a terletak dalam dinding sel bakteri dan memiliki afinitas ikatan yang rendah untuk beta-laktam. Penelitian ini mengevaluasi titik maksimum CLSI (Clinical Laboratory Standards Institute) baru untuk uji cawan cefoxitin untuk menentukan resistensi berperantara mecA pada S. aureus.

CLSI merekomendasikan penggunaan cefoxitin ketimbang oxacillin ketika menggunakan metode difusi cawan untuk menentukan resistensi terhadap methicillin untuk S. aureus. Hasil cefoxitin lebih mudah diinterpretasi sehingga lebih sensitif untuk pendeteksian resistensi berperantara mecA dibanding hasil oxacillin. Titik maksimum resistensi dan kerentanan yang direkomendasikan untuk uji cawan feoxitin 30-µg yang digunakan untuk mendeteksi resistensi berperantara mecA pada S. aureus dirubah pada Januari 2007 oleh CLSI dari ≤19 mm dan ≥20 mm menjadi ≤21 mm dan ≥22 mm, masing-masing. Penelitian ini mengambil sampel dari banyak isolat S. aureus terbaru untuk membandingkan kinerja uji cawan cefoxitin pada titik-maksimum (breakpoint) yang baru dengan uji cawan oxacilin 1-µg .

Antara Agustus dan September 2007, sebanyak 1.611 isolat S. aureus yang tidak sama dikumpulkan oleh 53 laboratorium klinis di Wisconsin (hingga sampai 20 isolat MRSA dan S. aureus peka methicillin per laboratorium) dan dimasukkan ke Wisconsin State Laboratory of Hygiene. Pengidentifikasian spesies dikuatkan dengan morfologi koloni, uji slide koagulase, uji tabung selanjutnya, dan sifat biokimia. Tempat-tempat pengisolasian isolat S. aureus yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: kulit dan jaringan halus (1.159 isolat; 71,9%), urin (136 isolat; 8,4%), saluran pernapasan (130 isolat; 8,1%), aliran darah (65 isolat; 4,0%), dan lainnya (121 isolat; 7,5%).

Kerentanan terhadap agen-agen antimikroba untuk isolat-isolat S. aureus yang dikonfirmasikan dievaluasi dengan metode difusi cawan CLSI pada agar Mueller-Hinton. Semua plat agar dan cawan antibiotik didapatkan dari Remel (Lenexa, KS). Suspensi koloni langsung dari masing-masing isolat S. aureus dibuat pada standar McFarland 0,5 dan diplatkan pada agar Mueller-Hinton. Zona inhibisi diukur dengan menggunakan sistem Biomic V3 setelah 24 jam inkubasi pada 35oC. Cawan oxacillin dibaca dengan menggunakan sinar tertransmisikan seperti rekomendasi dari dokumen CLSI. Turunan S. aureus ATCC 25923 dimasukkan dalam masing-masing kelompok sampel uji sebagai kontrol kualitas. Semua hasil berada dalam batas yang berterima untuk turunan kontrol kualitas menurut panduan CLSI 2007.

Gambar 1 menunjukkan korelasi diameter cawan oxacillin (1 µg) dengan diameter cawan cefoxitin (30 µg). Koefisien korelasi (R2) untuk diagram ditentukan sebesar 0,8389. Cawan cefoxitin menunjukkan sensitifitas dan spesifitas masing-masing 97,3% dan 100%, dibandingkan dengan cawan oxacillin.

Hasil-hasil yang tidak sesuai berulang dan, jika diperlukan, diatasi dengan menggunakan alat agglutinasi lateks PBP2a sesuai dengan instruksi pabrik yang membuat. Alat ini mengandung partikel-partikel lateks yang dipekakan dengan sebuah antibodi monoklonal terhadap PBP2a. Agglutinasi yang tampak menandakan hasil positif dan keberadaan PBP2a, produk gen mecA. Setelah analisis ketidaksesuaian (diskrepansi), sensitifitas uji cawan cefoxitin meningkat menjadi 99,9%. Sebanyak 21 dari 22 isolat yang diuji resisten terhadap oxacillin dan peka terhadap cefoxitin ditemukan negatif dengan agglutinasi lateks PBP2a. Ketiadaan protein PBP2a merupakan tanda resistensi berperantara non-mecA. Resistensi berperantara non-mecA  sebesar 1,3% (21/1.611) pada S. aureus diukur pada populasi penelitian ini. Atau, isolat-isolat ini bisa memberikan hasil resistensi yang positif-palsu (false-positive) untuk uji cawan oxacillin. Sebanyak 18 dari 21 isolat yang negatif PBP2a diuji positif untuk beta-laktam dengan uji nitrocefin. Ada kemungkinan bahwa beberapa dari isolat ini merupakan penghasil hiper-beta-laktamase, sehingga dapat menjelaskan resistensi methicillin yang berperantara non-mecA.

Cefoxitin secara tidak tepat hanya mengidentifikasi satu isolat yang dianggap peka (diameter zona = 22 mm) yang resistensi oxacillin dan positif PBP2a. Isolat lain yang diuji dengan hasil intermediet terhadap oxacillin dan peka terhadap cefoxitin ditemukan negatif untuk PBP2a. Empat dari pengujian isolat terhadap oxacillin dari penelitian ini telah salah diinterpretasi, yaitu dianggap peka, dengan menggunakan titik-maksimum kerentanan cefoxitin sebelumnya sebesar ≥20 mm.

Cefoxitin hanya akan mendeteksi MRSA dengan mekanisme resistensi yang berperantara mecA. Terdapat komentar CLSI dalam dokumen M100-S17 yang memperingatkan tentang kekurangan cefoxitin ini untuk dijadikan sebagai pengganti oxacillin. Akan tetapi, resistensi methicillin yang berperantara non-mecA pada S. aureus merupakan kejadian yang langka, sebagaimana dibuktikan dalam penelitian ini. Bahkan dengan kekurangan ini, zona difusi cawan fecoxitin jauh lebih mudah dibaca dibanding oxacillin karena zona oxacillin yang sering berkabut, yang umumnya salah diinterpretasi sebagai bukti dari kerentanan oxacillin. Kerentanan yang keliru dideteksi yang terkait dengan uji difusi cawan oxacillin telah dilaporkan mencapai hingga 4,4% pada beberapa penelitian, berada di atas batas yang dianjurkan CLSI ≤1,5%. Oxacillin juga harus dibaca dengan menggunakan sinar tertransmisikan, berbeda dengan kebanyakan antimikroba lain, termasuk cefoxitin, untuk memastikan interpretasi yang tepat.

Penelitian skala besar memvalidasi titik-maksimum (breakpoint) CLSI baru untuk uji cawan cefoxitin 30 µg untuk mendeteksi resistensi berperantara mecA pada S. aureus. Kami menemukan uji difusi cawan cefoxitin sebagia uji yang lebih baik dan sebagai pengganti untuk uji difusi cawan oxacillin karena mudahnya pembacaan dan sensitifitas yang tinggi.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders