Penularan Kusta: Sebuah Kajian Sekresi Kulit dan Hidung Terhadap Para Kontak Pasien Kusta dalam Rumah Tangga dengan Menggunakan PCR

Abstrak

Pada umumnya disepakati bahwa penularan Mycobacterium leprae adalah dari mukosa hidung dan bukan melalui kulit pasien yang terinfeksi. Dalam penelitian ini, kami mengevaluasi M. Leprae pada sekresi kulit dan hidung dari pasien kusta multibacillary (MB) dan orang-orang yang ada di sekitarnya (dalam rumah tangga). Spesimen-spesimen dievaluasi dengan mikroskopi langsung dan PCR untuk DNA M. leprae. Hasil menunjukkan bahwa 60% dari pasien kusta MB yang tidak diobati memiliki basilus tahan asam dalam lapisan keratin. Dengan pemeriksaan PCR ditemukan bahwa 80% dari pasien memiliki DNA M. leprae dalam cucian kulit dan 60% memiliki DNA M. leprae pada hapusan yang didapatkan dari mukosa hidung. Sebanyak 93 kontak kasus MB yang tidak diobati juga diuji untuk mengetahui keterpaparan terhadap M. lerpae dengan menganalisis cucian kulit (skin washings) dan sekresi hidung dengan PCR. Analisis PCR menunjukkan keterpaparan kulit yang signifikan (17% positif) dan mukosa hidung (4%) pada kontak sebelum melakukan perawatan terhadap kasus indeks. Setelah 2 bulan perawatan kasus indeks, semua kontak yang diuji negatif untuk DNA M. leprae. Data-data ini menunjukkan bahwa epitelium kulit dan hidung pasien kusta MB yang tidak diobati berkontribusi bagi peluruhan M. leprae kedalam lingkungan dan kontak kasus MB yang tidak diobati berisiko untuk bersentuhan dengan M. leprae melalui mukosa hidung dan permukan-permukaan kulit yang terbuka.


PENDAHULUAN

Prevalensi kusta di seluruh dunia diperkirakan telah berkurang sebagai akibat dari adanya program terapi multidrug (MDT) yang digalakkan oleh WHO dan impelementasinya dengan bantuan organisasi pemerintah dan LSM. Walaupun >14 juta kasus telah disembuhkan dengan MDT sejak tahun 1985, namun tingkat pendeteksian kasus-kasus baru hanya berkurang sedikit pada periode waktu yang sama. Dengan demikian, penggunaan MDT secara global kelihatannya hanya memiliki efek yang minimal terhadap penularan penyakit ini, dan penjelasan yang memadai untuk situasi ini masih kurang.

Telah ditunjukkan dengan penelitian eksperimental yang menggunakan mencit tak berbulu bahwa kulit dan mukosa hidung yang terabrasi merupakan rute-rute penularan pada mencit dan ini bisa juga berlaku pada manusia. Pada penelitian yang dilakukan terhadap manusia, pembawaan M. leprae pada hidung telah terbukti pada 5-8% kontak rumah tangga pasien kusta dengan menggunakan metodologi PCR untuk mendeteksi DNA M. leprae. Akan tetapi, belum ada lesi invasif yang telah dilaporkan pada kontak-kontak ini dan belum ada juga yang mengalami persistensi penyakit ini, sehingga kasus untuk infeksi melalui rute hidung sangat terkait. Demikian juga, belum ada bukti konklusif untuk rute infeksi lewat mukosa hidung pada mausia.

Dengan menggunakan teknik-teknik konvensional untuk staining basilus tahan asam pada kulit, Chatterjee telah menunjukkan 5,8% kontak pasien kusta membawa basilus tahan asam pada kulitnya. Selain itu, Abraham dan lainnya menunjukkan bahwa, apabila tempat lesi kulit kusta tunggal dari anak disentuhkan dengan area-area yang terkait dengan abrasi kulit dan scar dari anak yang disesuaikan menurut usia dan jenis kelamin dari lungkungan yang sama, maka korelasi yang signifikan menurut statistik ditemukan antara lesi kusta dan abrasi serta scar kulit. Para peneliti menyimpulkan bahwa data-data ini mendukung kulit sebagai rute infeksi yang potensial untuk M. leprae.

Argumen telah diberikan bahwa sekresi hidung yang positif M. leprae bisa mewakili kontaminasi sementara dari lingkungan. Kasus yang sama bisa dibuat untuk M. leprae yang ditemukan pada permukaan-permukaan kulit. Akan tetapi, pada kedua kasus, keterpaparan terus menerus bisa menghasilkan peningkatan risiko infeksi yang disebabkan oleh invasi aktif oleh bakteri atau melalui jalur pasif, yang disebabkan oleh penerobosan dalam epitelium kulit atau mukosa nasal setelah trauma fisik. Definisi tingkat keterpaparan untuk kedua tempat ini bisa membantu menguraikan intensitas keterpaparan dan rute masuk yang mungkin untuk M. leprae pada manusia. Teknik-teknik seperti PCR memungkinkan pemantauan M. leprae secara cermat pada konsentrasi yang relatif rendah atau dalam kulit atau mukosa hidung (sekresi hidung). Dalam penelitian ini, kami menguji hipotesis yang menyatakan bahwa kontak pasien multibacillary yang tidak diobati terpapar terhadap M. leprae, baik pada kulit maupun mukosa hidung, dengan angka yang elbih tinggi dibanding yang diamati pada kontak kasus MB yang berhasil menyelesaikan MDT yang dianjurkan WHO untuk kusta. Kami juga membandingkan keterpaparan kulit dan mukosa hidung untuk M. leprae pada kontak-kontak pasien MB yang tidak diobati untuk menentukan derajat dan durasi keterpaparan terhadap M. leprae setelah implementasi MDT pada kasus indeks.

BAHAN DAN METODE

Pasien dan kontak dalam rumah tangga

The St Thomas Hospital and Leprosy Center di Chettupattu, India, menangani sebuah program pengendalian kusta yang mencakup 450.000 orang dan sebuah klinik rawat jalan dimana pasien dengan kusta dan keluhan dermatologi lainnya dirawat. Dikalangan pasien-pasien ini terdapat pasien MB yang baru didiagnosa, pasien MB yang tidak diobati (sembilan kusta lepromatous [LL] dan satu kusta borderline [BL]) dengan indeks bakteri 3+ atau lebih, pasien MB (enam LL, empat Bl) yang diobati selama 1 tahun, dan 101 kontak rumah tangga dari 43 pasien MB yang diobati untuk penelitian. Pasien-pasien MB terdiri dari pasien LL dan pasien BL. Semua kontak yang diteliti diperiksa secara kinis untuk tanda-tanda dan gejala-gejala kusta. Izin didapatkan dari semua peserta, dan persetujuan proyek penelitian ini diperoleh dari badan review institusional Louisiana State University and St Thomas Hospital.

Pengambilan sampel

Kulit

Untuk kasus kusta BM, area kulit yang telah ditentukan (312 cm2) mulai dari permukaan posterior kedua lengan atas (3 cm x 12 cm x 2 cm = 72 cm2) dan punggung kedua sisi dada (12 cm x 10 cm x 2 = 240 cm2) dicuci sebagai berikut. Dalam sebuah gelas kimia 50-mL, 20 mL larutan saline steril diambil. Dengan kain kaza steril yang dicelupkan dalam larutan saline, area kulit yang ditentukan diatas diseka 20 kali, dengan berhati-hati agar tidak mencecerkan cairan dari gulungan kain. Hasil cucian kulit dari gelas-kimia dipindahkan ke tabung sentrifugasi 10-mL dan disentrifugasi selama 25 menit pada 8.000g. Dari endapan, hapusan langsung dipersiapkan pada slide, dikuatkan, distaining untuk basilus tahan asam, dan diperiksa dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 100x. Sisa endapan disimpan dalam 70% etil alkohol untuk pemeriksaan dengan PCR. Untuk para kontak pasien, strategi pencucian kulit yang serupa dilakukan kecuali bahwa hapusan ditarik dari aspek posterior lengan bawah kontak antara siku dan pergelangan tangan kedua lengan dan dikombinasikan menjadi satu sampel per orang.

Sekresi hidung

Sekresi dikumpulkan dari nostril masing-masing kontak atau kasus indeks menggunakan kain kasa dengan menyeka kuat bagian terluar. Masing-masing ujung kain penyeka dimasukkan ke dalam tabung mikrofusi 1,5-mL yang mengandugn 1,0 mL sputolysin yang baru dibuat (CalBiochem; EMD Biosciences, San Diego, CA). Setelah penambahan Tween 20 ke konsentrasi akhir 0,05%, tabung dicampur dan dibiarkan pada suhu kamar selama 15 menit. Cairan dikeluarkan dari kain penyeka, dan fraksi partikulat dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 10.000g selama 10 menit. Cairan teratas didekantasi, dan butiran-butiran yang terbentuk disuspensi ulang dalam 100 μL air suling yang steril. Sebuah alikuot ditempatkan pada slide dan distaining untuk penghitungan bakteri, dan sisanya diekstraksi untuk DNA seperti dijelaskan berikut. Sebagai sebuah kontrol untuk reaksi PCR false-positive, 100 sampel nasal diambil dari relawan di LSU School of Veterinary Medicine. Sampel-sampel diolah seperti dijelaskan diatas dan dianalisis bersama dengan sampel pasien dan sampel kontak.

Endapan yang terehidrasi yang diambil dari cucian kulit dan nasal diekstraksi untuk DNA setelah pencernaan dengan proteinase K (1 mg/mL) yang dilarutkan dalam 10 mmol/L Tris-HCl, 1 mmol/L EDTA, dan 150 mmol/L buffer NaCl, pH 8,0 (TE). Volume cernaan proteinase K (PK) dan fenol/ kloroform/isoamil (25:24:1) dengan jumlah sama dicampur, dan fase cair yang dihasilkan dikeluarkan dan dicampur dengan kloroform/alkohol isoamil (24:1) dengan volume yang sama. Face cair yang dihasilkan dikeluarkan, dan DNA diendapkan pada -20oC setelah penambahan dua volume etanol absolut setelah meningkatkan konsentrasi NaCl menjadi 100 mmol/L. Endapan dicuci satu kali dengan etanol 70%, dikeringkan pada suhu kamar, dan disuspensi ulang dalam 30 μ TE. Sepuluh mikroliter ekstrak DNA ditambahkan ke buffer PCR dan campuran primer, termasuk AmpliTaq, seperti diinstruksikan oleh pabrik (Applied Biosystems, Foster City, CA). Kondisi-kondisi PCR dan primer yang digunakan untuk mengamplifikasi DNA M. leprae telah dilaporkan sebelumnya.

Slot blotting dengan probe berlabel digoksigenin yang spesifik untuk amplikon M. leprae digunakan untuk memantau keberadaan M. leprae dalam sampel-sampel klinis. Secara ringkas, setelah memperlakukan produk-produk PCR dalam denaturan (50 mmol/L NaOH, 150 mmol/L NaCl) selama 10 menit, sampel-sampel ditransfer ke sebuah membran nilon dalam alat slot blot. Membran dikering-angin-kan, dipanaskan pada 80oC selama 2 jam, dan dihibridisasi dengan probe digoksigenin, dan sampel-sampel yang mengandung DNA M. leprae dideteksi dengan kemiluminesensi menggunakan sistem pendeteksian Lumigen PPD sebagaimana dijelaskan oleh pabrik (Boehringer Ingelheim Pharmaceuticals, Ridgefield, CT). Biopsi-biopsi kulit juga didapatkan dari punggung dada pada tujuh pasien dan punggung lengan atas pada enam pasien untuk lebih lanjut mengevaluasi lokasi basilus dalam kulit.

Statistik

Paket statistik SAS (versi 9.1.3; SAS Institute, Cary, NC) digunakan untuk menganalisis data dalam uji kesepakatan NcNemar dan koefisien k yang dihitung untuk tabel two-way ukuran berulang. Perbandingan dibuat dalam dan antar perlakuan pencucuan kulit dan nasal pada beberapa titik waktu. Semua perbandingan dianggap signifikan pada P ≤ 0,05.

HASIL

Histopatologi kulit dengan menggunakan stain Fite termodifikasi dari pasien kusta MB yang tidak dirawat menunjukkan bahwa 6 dari 10 memiliki basilus tahan asam dalam lapisan keratin kulit dan folikel rambut (Gambar 1). Hapusan langsung cucian kulit dan nasal pasien MB yang tidak dirawat menunjukkan bahwa 9 dari 10 dan 7 dari 10 sampel, masing-masing, positif untuk basilus tahan asam (Tabel 1). Hasil PCR dari spesimen-spesimen ini cukup sejalan, kecuali untuk satu spesimen pada masing-masing kelompok sampling, yang menguatkan bahwa basilus tahan asam yang diamati adalah M. leprae. Cucian kulit terbukti lebih terpercaya dibanding cucian nasal untuk mendeteksi DNA M. leprae pada pasien-pasien ini sebelum perawatan; akan tetapi, perbandingan tidak mencapai signifikansi statistik. Sampel-smpel sekresi hidung dari 100 kontrol non-endemik yang diuji menunjukkan hasil negatif dengan PCR. Hasil-hasil ini menandakan bahwa tempat-tempat anatomi dari kasus MB yang tidak dirawat bisa berkontribusi bagi penularan M. leprae, sehingga, menularkan kusta.

Durasi perawatan memiliki sedikit pengaruh terhadap pendeteksian basilus selama 3 bulan pertama pada sekresi kulit dan hidung, apakah pemantauan basilus-tahan-asam atau DNA M. leprae dengan teknik PCR (Tabel 1). Akan tetapi, penelitin-penelitian lanjutan terhadap pasien-pasien MB yang dirawat selama 1 tahun dengan MDT menandakan bahwa kebanyakan pasien yang diuji negatif untuk M. leprae pada cucian kulit dan sekresi nasal (Tabel 2). Ini berlaku untuk pengamatan mikroskopis langsung dan PCR cucian kulit dan sekresi nasal pada uji follow-up 1 tahun dan 2 tahun (Tabel 2). Pasien-pasien yang sama ini tetap positif BI ketika dianalisis dengan metode skin-slit scraping dan biopsi setelah 1 tahun MDT (data tidak ditunjukkan).

Kontak kasus MB yang tidak dirawat juga diuji untuk keterpaparan dengan menganalisis cucian kulit dan sekeresi hidung dengan PCR. Analisis PCR menunjukkan 16 dari 93 (17%) kontak rumah tangga mengalami keterpaparan kulit terhdap M. leprae sebelum melakukan perawatan kasus indeks (Tabel 3). Kelompok kontak yang sama menuvjukkan kepositivan 4% dengan PCR dalam sekresi hidungnya. Tak satupun kontak positif-PCR yang diuji positif untuk DNA M. leprae pada kedua tempat anatomik (kulit dan hidung). Setelah 1 bulan perawatan MDT kasus indeks, 1 dari 93 (1%) kontak postif untuk DNA M. leprae dengan PCR dari cucian kulit, sedangkan 6 dari 93 (6%) kontak positif pada spesimen sekresi nasal. Dua dari enam kontak yang positif PCR (sekresi nasal) positif pada uji pra-perawatan dan 1-bulan pasca-perawatan, tetapi keduanya negatif pada uji 2 bulan pasca-perawatan.

Setelah 2 bulan perawatan MDT kasus indeks, sekresi nasal dan spesimen cucian kulit dari 26 kontak plus 7 kontak yang positif pada 1 bulan pasca-perawatan diuji. Hasil PCR negatif untuk ke 33 kontak yang diuji.

PEMBAHASAN

Dalam sebuah penelitian inovatif terhadap kulit pasien kusta, Pedley menyimpulkan bahwa jumlah M. leprae yang dikeluarkan dari kulit utuh pasien lepromatous dapat diabaikan, sehingga, sekresi nasal merupakan sumber infeksi yang utama. Penelitian ini menggunakan teknik yang disebut sebagai hapusan kontak kulit komposit, dimana sebuah slide kaca ditekan berulang terhadap lesi kulit pasien lepromatous, dan setelah staining, diuji secara mikroskopis untuk basilus tahan asam. Dari 34 slide yang dibuat dari 11 pasien, hanya 20 basilus tahan asam yang diamati, yang mengarah pada kesimpulan bahwa hanya sedikit basilus dikeluarkan dari kulit utuh pasien lepromatous. Baru-baru ini, Hosokawa melaporkan penelitian histopatologi kulit kusta lepromatus dan menyimpulkan bahwa, meskipun basilus aktif bisa diekskresikan dari lesi kulit yang tidak mengalami ulser, namun kemungkinanya kecil. Penelitian-penelitian ini bersama dengan penelitian-penelitian PCR baru yang memantau M. leprae pada sekresi-sekresi nasal kontak telah menguatkan hipotesis bahwa penularan kusta adalah utamanya melalui rute nasal (hidung). Kami melakukan penelitian ini untuk membandingkan potensi ekskresi M. leprae pada sekresi hidung dengan sekresi dari kulit pasien MB dengan sebuah prosedur alternatif untuk pengambilan sampel kulit. Kami juga membandingkan keterpaparan kulit dan mukosa mulut terhadap M. leprae pada kontak pasien MB yang tidak diobati sebagai upaya utuk menentukan derajat dan durasi keterpaparan terhadap M. leprae setelah pengimplementasian MDT pada kasus indeks.

Tempat-tempat yang dipilih untuk pengambilan sampel kulit kasus indeks MB dipilih dengan pertimbangan bahwa lengan atas dan punggung akan memberikan ukuran umum untuk M. leprae terkait kulit pada kusta menular dan kecil kemungkinanya terkontaminasi dengan M. leprae dari sumber eksogen melalui kontak dengan lingkungan eksternal. Berbeda dengan itu, kontak dalam rumah tangga dipantau keterpaparan M. leprae nya dengan mengambil sampel daerah kulit yang terbuka. Demikian juga, para kontak diambil sampelnya dengan mempersiapkan cucian-cucian yang didapatkan dari area masing-masing lengan antara siku dan pergelangan tangan.

Hasil kami yang menunjukkan basilus tahan asam dan pendeteksian PCR DNA M. leprae pada 80% cucian kulit dan 60% sekresi nasal dari kasus kusta MB yang tidak diobati menunjukkan bahwa kedua tempat anatomi ini berfungsi sebagai sumber potensial untuk penularan kusta. Hasil-hasil ini mendukung temuan-temuan awal tentang keberadaan M. leprae dalam sekresi hidung kasus indeks dan kontak nya dalam rumah tangga. Disamping itu, hasil kami mengembangkan konsep keterpaparan kontak melalui kulit dan menentang dugaan awal bahwa jumlah M. leprae yang dikeluarkan dari kulit utuh pasien MB dapat diabaikan. Walaupun penelitian kami tidak menguji viabilitas atau jumlah mutlak M. leprae dalam cucian kulit, namun telah beberapa kali ditemukan bahwa organisme aktif bisa direcoveri dari biopsi-biopsi kulit dan dikembangkan pada tapak kaki mencit secara rutin. Sejauh pengetahuan kami penelitian viabilitas serupa belum dilaporkan dengan menggunakan M. leprae yang diambil dari sekresi nasal. Akan tetapi, sebuah lesi granulomatous pada mukosa hidung beberapa pasien kusta bukan merupakan gambaran klinis yang umum dan kemungkinan sebagai tempat dispersi nasal dari M. leprae aktif.

Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa kepositifan PCR terkait dengan M. leprae dari biopsi-biopsi kulit pasien yang mendapatkan terapi anti-kusta berkurang signifikan 2 bulan setelah memulai terapi. Demikian juga, dalam penelitian kami, perawatan pasien MB yang berhasil selama 1 tahun menunjukkan pengurangan reaktivitas PCR dari kedua tempat yang diambil sampelnya, sehingga menunjukkan bahwa baik sekresi nasal maupun kulit kemungkinan menjadi tempat masuk dan tempat keluar untuk M. leprae dari pasien-pasien yang mendapatkan terapi yang lengkap. Dari 1 sampai 3 bulan, diamati pengurangan angka kepositifan PCR yang kecil baik dari cucian kulit maupun dari sekresi nasal. Ada kemungkinan bahwa kepositifan yang ditemukan oleh teknik PCR dalam spesimen, yang diambil selama beberapa bulan pertama setelah dimulainya perawatan, disebabkan oleh DNA dari M. leprae mati dan bukan M. leprae yang hidup. Telah ditunjukkan secara berulang bahwa makrofage pada pasien kusta MB tidak mampu membersihkan M. leprae secara efisien dari lesi-lesi karena organisme mati dan fragmen-fragmennya tetap ada selama periode tertentu bahkan setelah perawatan diselesaikan.

Data juga menunjukkan bahwa M. leprae terdapat dalam jumlah kecil sampel yang diambil dari mukosa hidung (4%) dan kulit (7%) kontak kasus kusta MB yang tidak diobati. Keberadaan M. leprae dari cucuian kulit, yang didefinisikan sebagai keterpaparan kulit, sekitar empat kali lebih besar dari keterpaparan mukosa nasal. Walaupun kepositivan PCR dari kedua tempat anatomi ini berbeda apabila dibandingkan secara statistik, namun temuan ini mendukung peranan keterpaparna kulit dan nasal dalam penularan kusta. Laporan yang lebih lanjut mendukung peranan kulit dalam penularan adalah laporan oleh Sehgal dan lain-lain serta Abraham dan lainnya, yang menemukan kasus kusta yang terjadi dalam kulit pada tempat-tempat trauma.

Perawatan kasus indeks dengan MDT selama 1 bulan sangat mengurangi keterpaparan kulit pada kontak tetapi memiliki sedikit efek terhadap tingkat keterpaparan rendah melalui hidung sebagaimana yang dinilai dengan kepositifan PCR sekresi hidung. Temuan ini bisa diinterpretasi menunjukkan pembetukan kondisi pembawaan bakteri pada hidung oleh kontak-kontak ini seperti yang telah diusulkan sebelumnya. Akan tetapi, hanya dua dari enam spesimen sekresi nasal positif yang  diuji positif pada dua titik waktu dan enam spesimen kontak negatif pada pengujian ke-tiga, yang bertepatan dengan 2 bulan perawatan kasus indeks.

Hasil kami memberikan pemahaman dasar tentang bagaimana M. leprae diluruhkan dari kasus indeks dan lebih lanjut menentukan risiko keterpaparan kontak. Sekresi nasal dan kulit dari kasus MB yang tidak dirawat mampu meluruhkan M. leprae ke lingkungan, yang bisa terdeposisi pada epitelium kulit dan atau hidung kontak dengan potensi untuk memicu infeksi. Yang masih belum jelas adalah apakah salah satu atau kedua tempat ini penting dalam terjadinya infeksi yang produktif. Ada kemungkinan bahwa pada kondisi-kondisi yang sesuai kedua tempat mampu mempertahankan infeksi awal, tetapi bukti definitif tentang infeksi primer masih memerlukan uji imunologi yang lebih baik untuk pemantauan infeksi dini dengan M. leprae.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders