Pengaruh Sinar Ultraviolet Terhadap Kulit: Efek Akut dan Kronis

KULIT DAN RADIASI ULTRAVIOLET
   
Luka bakar sinar matahari (sunburn) dan pencoklatan kulit (tanning) merupakan efek klinis akut yang paling jelas dari radiasi ultraviolet (UVR). Photoaging (penuaan yang disebabkan oleh sinar matahari) dan kanker kulit adalah dampak dari keterpaparan kronis terhadap sinar matahari. Kesensitifan terhadap sinar matahari biasanya dikategorikan berdasarkan foto-tipe kulit, seperti ditunjukkan pada Tabel 89-1. Umumnya diduga bahwa kesensitifan terhadap UVR sebagian besar terkait dengan pigmentasi atau kemampuan pencoklatan kulit. Akan tetapi, hubungan antara foto-tipe kulit dan kesensitifan terhadap luka bakar sinar matahari (sunburn) masih berlaku bagi bintik-bintik vitiligo, sehingga menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang terlibat, seperti perbedaan kapasitas perbaikan DNA.


RADIASI ULTRAVIOLET
   
Radiasi ultraviolet (UVR) mewakili sekitar 5 persen dari radiasi matahari ke bumi dan telah dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu: UVA (315 sampai 400 nm), UVB (280 sampai 350 nm), dan UVC (100 sampai 280 nm). Disamping itu, ada definisi lain yang banyak digunakan (misalnya UVB/UVA dengan panjang gelombang 280 nm). UVA terkadang dibagi lagi menjadi UVAI (340 sampai 400 nm) dan UVAII (315/320 sampai 340 nm). UVR pada permukaan laut diperkirakan 95% sampai 98% UVA dan 2 persen sampai 5 persen UVB. UVC diserap oleh lapisan ozon stratosfer )O3) yang juga mempertipis UVB. Spektrum UVR matahari tertentu berbeda-beda sesuai dengan sudut punca surya  (sudut antara sebuah garis imajiner tegak-lurus dan sebuah garis dari dasarnya ke sinar matahari), yang tergantung pada lamanya hari, musim, dan ketinggian. Kandungan UVB tertinggi ditemukan apabila sinar matahari secara langsung mengenai jalur tersingkat (misalnya pada saat tengah hari di garis katulistiwa pada tempat yang sangat tinggi).

Pengukuran Keterpaparan Manusia terhadap Radiasi Ultraviolet
   
Pengukuran keterpaparan UVR disebut dosimetri dan bisa dilakukan secara fisik atau secara biologis. Dosimetri fisik yang akurat, dimana tingkat dosis (pemancaran) diukur sebagai W/cm2 dan dosis keterpaparan sebagai J/cm2 [W/cm2 x waktu (detik)], memerlukan persyaratan teknis yang tinggi, dan pendekatan dosimetri biologis lebih umum digunakan. Ini didasarkan pada dosis erythema minimal (MED) individual, yang merupakan dosis terendah yang diperlukan untuk menghasilkan erythema yang jelas (sunburn) 24 jam kemudian. Secara umum, orang-orang yang memiliki tipe kulit lebih tinggi juga memiliki MED yang lebih tinggi. Akan tetapi, seperti ditunjukkan pada gambar 89-1, terdapat banyak persamaan MED diantara berbagai jenis kulit.
   
Kebanyakan keterpaparan UVR manusia berasal dari sinar matahari, tetapi penggunaan alat tanning semakin meningkat. Keterpaparan UVR matahari bisa disengaja atau tidak disengaja dan tergantung pada perilaku-perilaku khusus dan waktu yang dihabiskan di luar rumah, serta strategi-strategi perlindungan cahaya.

Spektroskopi Aksi
   
Dalam setiap respon kulit terhadap UVR, penting untuk mengetahui panjang-gelombang mana yang utamanya bertanggungjawab. Hubungan ini dikenal sebagai spektrum aksi dan didasarkan pada sifat-sifat serapan UVR dari molekul (kromofor) yang emmicu efek tersebut (lihat Bab 88). Kromofor kulit yang utama mencakup DNA, asam urokanat (UCA), dan asam amino aromatik (protein) yang menyerap utamanya pada daerah UVC/UVB; kromofor UVA lebih sedikit diidentifikasi.
   
Spektroskopi aksi memungkinkan sistem metrik lainya dari keterpaparan UVR yang dikenal sebagai dosis erythema standar (SED). Ini tidak didasarkan pada kesensitifan UVR individual dan ekivalen dengan 100J/m2 setelah menimbang spektrum emisi absolut dari sumber UVR dengan spektrum aksi erythema standar seperti ditunjukkan pada Gbr. 89-2. SED merupakan sebuah pendekatan yang bermanfaat dalam penelitian keterpaparan populasi. Sebagai contoh, pekerja dalam ruangan di Eropa bagian utara memiliki keterpaparan tahunan terhadap sinar matahari sekitar 200 SED (mendekati 5 persen dari keterpaparan UVR lingkungan sekitar), utamanya pada saat melakukan aktivitas di akhir pekan atau hari libur, sedangkan pekerja di luar ruangan yang berada pada ketinggian yang sama biasanya mendapatkan keterpaparan 2 atau 3 kali lebih tinggi. Hubungan antara MED dan SED untuk kulit foto-tipe I sampai VI ditunjukka Tabel 89-1.

EFEK AKUT RADIASI ULTRAVIOLET

Kerusakan DNA karena Cahaya (Photodamage) dan Mutasi
   
Penyerapan UVR oleh DNA epidermal menghasilkan pembentukan lesi-lesi dipyrimidin seperti dimer siklobutana pyrimidin (CPD) dan pyrimidin (6-4) photoproduct. Gambar 89-3 menunjukkan sebuah spektrum aksi untuk CPD pada empat zona epidermal berbeda pada kulit foto-tipe I/II. UVB sinar matahari menyebabkan jauh lebih banyak kerusakan pada lapisan basal dibanding UVA per foton atau unit dosis fisik (J/cm2) tetapi kerusakan yang sebanding diamati pada dosis biologis yang mirip (MED). Ada bukti yang menunjukkan CPD, tetapi bukan photoproduct (6-4), bisa terbentuk melalui reaksi-reaksi transfer energi yang berasal dari kromofor UVA. Penelitian in vitro dan in vivo pada kulit manusia telah menunjukkan lesi-lesi DNA oksidatif terinduksi UVA seperti 8-okso-7,8-dihidroksi-2'-deoksiguanosin dan 8-hidroksi-2'-deoksiguanin. Kromofor yang menghasilkan spesies oksigen reaktif setelah menyerap UVA tidak diketahui.
   
Perbaikan kerusakan DNA. Selama tidak diperbaiki dengan perbaikan ekscisi nuklear (NER), lesi dipyrimidin menghasilkan mutasi tanda UVB, yakni transisi C -> T atau CC -> TT. NER bertindak dalam dua cara yang berbeda yaitu: (1) perbaikan genom global (GGR) beroperasi pada seluruh genom dan (2) perbaikan tergabung transkripsi (TCR) lebih bersifat menghilangkan lesi dari gen-gen yang ditranskripsi secara aktif. Gangguan-gangguan genetik memberikan bukti bahwa GGR dan TCR memiliki peranan biologis yang sangat berbeda. Sebagai contoh, kekurangan GGR pada xeroderma pigmentosum menghasilkan tingkat kanker kulit yang tinggi, sedangkan kekurangan TCR pada sindrom Cockayne menyebabkan kesensitifan matahari akut tanpa risiko kanker yang meningkat. Penelitian-penelitian pada mencit transgenik dengan premutasi gen GGR-TCR berbeda membuktikan bahwa jalur-jalur perbaikan ini mempengaruhi hasil-hasil fotobiologis berbeda.
   
Penelitian-penelitian pada manusia telah menunjukkan bahwa, setelah satu kali keterpaparan terhadap radiasi penstimulasi surya (SSR), GGR dari photoproduct (6-4) secara in situ cukup cepat, sedangkan GGR dari CPD jauh lebih lambat, dengan banyak lesi yang berlangsung selama sekurang-kurangnya 24 jam. Perbaikan yang lambat seperti ini berarti bahwa lesi-lesi berakumulasi jika kulit terpapar kembali terhadap UVR pada hari berikutnya, seperti yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan ini telah ditunjukkan dengan keterpaparan SSR sub-erythema yang berulang-ulang pada kulit manusia secara in vivo. Masih sedikit bukti yang menunjukkan bahwa perbaikan DNA menyeluruh dalam epidermis bisa ditimbulkan oleh keterpaparan SSR yang berulang pada tipe-tipe kulit yang tersamak dengan baik (tipe IV) tetapi tidak pada tipe kulit yang tersamak dengan buruk (tipe II).
   
Inflamasi Luka Bakar Sinar Matahari (Sunburn). Luka bakar sinar matahari (erythema) menunjukkan tanda-tanda klasik dari inflamasi seperti kulit kemerah-merahan, hangat, nyeri, dan membengkak. Intensitasnya ditentukan dengan dosis keterpaparan UVR (J/cm2) tanpa tergantung pada waktu keterpaparan, sekurang-kurangnya selama beberapa jam, sebuah hubungan yang dikenal sebagai resiprositas. Penelitian-penelitian dengan dua MED SSR pada kulit fototipe I/II menunjnukkan onset erythema pada sekitar 6 jam yang maksimal setelah 18 jam sampai 24 jam dengan durasi selama sekurang-kurangnya 1 pekan. Keterpaparan terhadap SSR sub-erythema yang berulang setiap hari memiliki efek erythema kumulatif, khususnya pada kulit tipe I/II.
   
Spektra aksi untuk erythema dan CPD cukup mirip. Gbr 89-3 menunjukkan sebuah spektrum aksi untuk erythema pada kulit tipe I/II dan spektra aksi untuk CPD dengan spektra UVR yang sama. Kemiripan spektra ini memberikan bukti kuat bahwa DNA merupakan sebuah kromofor utama untuk erythema. Akan tetapi, juga ada bukti untuk kromofor yang menyerap UVA yang bekerja melalui sebuah mekanisme yang tergantung oksigen.
Fotoimmunomodulasi
   
UVR matahari memiliki efek immunoregulatory dimana respons sitokin Th1 ditekan. Sehingga, sensitisasi dan penimbulan imunitas termediasi-sel pada manusia, biasanya dinilai dengan respons hypersensitifitas kontak (CHS), terhambat. Penipisan jumlah sel Langerhans epidermal yang dipicu oleh UVR, perekrutan makrofage dermal dan epidermal yang juga bertindak sebagai sel-sel penampak antigen, dan pelepasan mediator inflammatory seperti faktor pengaktivasi platelet, TNF-α, IL-4, IL-10, TNF-β, α-MSH, dan CGRP adalah proses-proses yang penting dalam immunomodulasi. Ini merubah proses penampakan-antigen normal, menyebabkan terbentuknya sel T regulatory yang sangat spesifik yang secara khusus menghambat imunitas yang dimediasi sel untuk antigen-antigen yang baru ditemukan.
   
Fotoimmunosupresi, Kanker Kulit, dan Infeksi. Immunosupresi (penekanan sistem kekebalan) yang dipicu oleh UVR memiliki peranan utama dalam fotokarsinogenesis, memfasilitasi pertumbuhan dan munculnya tumor (berdasarkan penelitian pada mencit). Fotoimmunosupresi (penekanan sistem kekebalan oleh sinar matahari) dianggap memegang peranan dalam terjadinya kanker pada manusia, dan fakta bahwa pasien transplant organ yang menjalani terapi immunosupresif memiliki risiko yang sangat meningkat untuk semua jenis kanker kulit lebih memberikan dukungan terhadap pendapat ini. Keterpaparan terhadap UVR juga meningkatkan kejadian dan keparahan penyakit infeksi pada hewan ercobaan dan menekan penimbulan imunitas terhadap beberapa penyakit infeksi pada manusia. Sampai sekarang, bukti terbaik untuk hal ini adalah kerentanan yang meningkat terhadap lesi virus herpes simplex rekuren pada kulit yang terpapar akut terhadap sinar matahari.
   
Kerentanan terhadap immunosupresi yang dipicu SSR pada fase sensitisasi CHS tergantung pada tipe kulit, yang bisa dipengaruhi oleh jumlah sitokin yang dilepaskan. Individu yang memiliki kulit foto-tipe I/II lebih mudah mengalami immunosupresi dibanding kulit foto-tipe III/IV. Gambar 89-4 menunjukkan bahwa satu kali keterpaparan terhadap 0,25 atau 0,50 MED akan menekan respons CHS sebesar 50 persen dan 80 persen masing-masing, pada kulit foto-tipe I/II normal, sedangkan MED penuh hanya bisa menginduksi 40 persen penekanan respons CHS pada kulit foto-tipe III/IV. Data ini menunjukkan bahwa kesensitifan kulit terhadap immunosupresi bisa menjadi sebuah faktor risiko untuk kanker kulit. Keterpaparan berulang kulit manusia terhadap SSR sub-erythema tidak mencegah terjadinya fotoimmunosupresi oleh keterpaparan UVR selanjutnya.

RESPON ADAPTIF SETELAH KETERPAPARAN RADIASI ULTRAVIOLET

Hyperplasia
   
Hypeprlasia dermis, epidermis, dan stratum korneum dapat dilihat setelah keterpaparan radiasi ultraviolet. Hyperplasian ini terjadi setelah pertumbuhan awal dan penahanan seluler selama 24 sampai 48 jam. Sebagai contoh, 2 pekan SSR sub-erythema setiap hari menghasilkan 20 sampai 40 persen peningkatan jumlah lapisan sel dalam stratum korneum pada foto-tipe kulit putih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hyperplasia yang dipicu UVR seperti ini, khususnya pada stratum korneum, memegang sebuah peranan besar dalam perlindungan-sinar matahari khususnya pada kulit sehat, sementara penelitian lain menunjukkan efek yang jauh lebih terbatas.

Tanning
   
Komposisi melanin merupakan sebuah campuran antara alkali terang yang dapat larut, sulfur yang mengandung feomelanin dan eumelanin gelap yang tidak dapat larut; tipe kulit yang tersamak dengan dengan baik memiliki lebih banyak eumelanin. Keterpaparan terhadap UVA menimbulkan warna keabu-abuan dengan cepat tapi hanya sementara, yang dikenal sebagai penggelapan pigmen langsung (IPD) yang kemungkinan disebabkan oleh foto-oksidasi dari melanin yang telah ada dan distribusi ulang melanosom melanositik dari sebuah posisi perinuklear ke dalam dendrit perifer. IPD berkembang menjadi penggelapan pigmen persistem (PPD), yang bisa tetap stabil selama sampai 2 jam setelah keterpaparan. Fungsi-fungsi biologis dari IPD dan PPD tidak diketahui.
   
Pencoklatan tertunda, yang juga dikeal sebagai melanogenesis, utamanya adalah respon UVB yang dihasilkan dari peningkatan aktivitas dan jumlah melanosit. Pencoklatan terlihat 3 sampai 4 hari setelah keterpaparan UVR dan mencapai puncak mulai dari 10 hari sampai 3 hingga 4 pekan tergantung pada kompleksitas dan dosis UVR. Aktivitas melanosit tyrosinase juga meningkat, dendrit melanosit memanjang dan bercabang, dan melanosom meningkat jumlah dna ukurannya. Pencoklatan UVA memiliki efek berbeda yang tergantung pada panjang-gelombang. Sehingga, UVAI menghasilkan kepadatan melanin meningkat yang terlokalisasi pada lapisan sel basal, sedangkan UVAI meningkatkan sintesis dan transfer melanosom bermelanin ke keratinosit melalui epidermis, mirip dengan perubahan-perubahan yang diamati dengan UVB.
   
Mekanisme-mekanisme melanogenesis yang dipicu radiasi ultraviolet. Tyrosinase, sebuah glikoprotein transmembran pengikat tembaga yang terlokalisasi pada melanosom, adalah enzim penghambat laju melanogenesis. Aktivitasnya terkait erat dengan kandungan melanin dari melanosit yang dikulturkan dan meningkat selama melanogenesis. Ada bukti yang menunjukkan bahwa kerusakan DNA oleh sinar matahari, dan perbaikanya, adalah pemicu bagi melanogenesis. Spektrum aksi untuk melanogenesis manusia secara in vivo mirip dengan spektrum aksi untuk erythema, yang mengidentifikasi DNA sebagai kromofor yang diduga. Lebih lanjut, thymidin dinukleotida (pTpT) sintetik, substrat wajib untuk dimer thimin yang terpicu UV,meningkatkan melanogenesis secara in vitro dan pada kulit hewan secara in vivo, sebagiannya melalui induksi p53 yang meregulasi ekspresi gen tyrosinase. Kerusakan oleh UVR juga mendukung regulasi reseptor permukaan sel untuk berbagai faktor melanogenik yang berasal dari keratinosit, khususnya reseptor melanocortin 1 utuk α-MSH. Disamping itu, ada peningkatan produksi dan pelepasan faktor-faktor seperti faktor pertumbuhan fibroblast dasar, endothelin-1, dan produk-produk yang didapatkan dari proopiomelanocortin seperti α-MSH, hormon adrenocorticotrophic, hormon β-lipotropik, dan β-endorphin, semuanya meregulasi aspek molekuler dan aspek seluler dari melanogenesis. Data terbaru menunjukkan bahwa α-MSH bisa meningkatkan perbaikan kerusakan DNA yang ditimbulkan UVR. Melanogenesis bisa menjadi salah satu ciri respon SOS bakterial pada mamalia yang ditimbulkan oleh kerusakan DNA dan mengurangi dampak keterpaparan selanjutnya terhadap agen-agen perusak DNA. Ciri kedua adalah kapasitas perbaikan kerusakan DNA yang meningkat, yang bisa menjelaskan predisposisi individu dengan kulit tipe I/II yang kuat terhadap kanker kulit, yang tidak tersamak dengan baik.

Fotoproteksi dan Fotosensitisasi dari Pencoklatan yang Ditimbulkan Radiasi Ultraviolet. Beberapa penelitian in vivo dan in vitro pada manusia menunjukkan bahwa fotoproteksi akut yang ditimbulkan oleh pigmentasi konstitutif dan fakultatif terhadap kerusakan DNA oleh sinar matahari pada keratinosit dan melanosit dan terhadap luka bakar sinar matahari ekivalen dengan sun-screen yang memiliki faktor proteksi sinar-matahari 2 sampai 4. Ini menghasilkan pengurangan dosis efektif secara biologis  yang signifikan dan pengurangan seperti ini, jika berlangsung lama, akan menimbulkan risiko kanker kulit yang lama. Akan tetapi, penjagaan penyamak fakultatif kemungkinan terkait dengan akumulasi kerusakan DNA epidermal, sehingga menghilangkan manfaat dari dari proteksi. Lebih jauh, terdapat kontradiksi diantara data-data epidemiologi tentang peranan sebuah penyamak dalam memberikan perlindungan terhadap terjadinya melanoma ganas (MM).
   
Walaupun warna kulit gelap, yang mewakili eumelanin, jelas memiliki efek protektif terhadap sinar matahari, namun beberapa bukti menunjnukkan bahwa feomelanin bisa berkontribusi bagi fotosensitisasi dan kerusakan DNA. Signifikansi klinis dari kerusakan termediasi feomelanin terhadap risiko kanker kulit pada manusia yang berambut pirang dan merah, yang diduga telah memiliki pigmen ini pada kulitnya serta pada rambutnya, tidak diketahui.

Antioksidan Pelindung
   
Berbagai antioksidan enzimatik dan non-enzimatik melindungi terhadap berbagai kerusakan oksidatif pada kulit yang terpapar UVR, dan secara dramatis berkurang setelah keterpaparan UVR. Enzim-enzim yang memperbaiki cedera oksidatif dalam kulit mencakup superoksida dismutase, katalase, dan thioredoksin reduktase, sedangkan antioksidan alami, seperti vitamin A, C, dan E, serta glutthation, juga bertindak secara langsung untuk mencegah kerusakan akibat radiokal oksigen. Antioksidan eksogen juga telah terbukti menghambat respon luka bakar matahari, immunosupresi, dan fotokarsinogenesis pada mencit. Variasi genetik pada lokus glutation S-Transferase juga terkait dengan kerentanan yang bervariasi terhadap luka bakar matahari dan terhadap risiko kanker kulit non-melanoma dan melanoma pada manusia.

Fotosintesis Vitamin D
   
Vitamin D3 (kolekalsiferol) penting untuk kesehatan tulang dan fotosintesis-nya pada kulit merupakan manfaat dari keterpaparan terhadap UVR. Kromofor 7-dehidrokolesterol yang terikat membran plasma (juga disebut sebagai provitamin D3) dikonversi menjadi pra-vitamin D3 yang megalami isomerisasi termal lambat menjadi vitamin D3. Data spektra aksi menunjukkan bahwa UVB (sekitar 295 sampai 315 nm) bertanggungjawab untuk produksi vitamin D3, yang juga merupakan daerah puncak kanker kulit non-melanoma dan luka bakar sinar matahari. Vitamin D3 bersifat inert secara biologis dan memerlukan dua tahapan hidroklasi: yang pertama dalam hati untuk 25-hidroksivitamin D3 [25-(OH)D3] dan yang kedua dalam ginjal untuk menghasilkan bentuk aktif secara biologis dari 1,25(OH)2D3 (kalsitriol). Konsentrasi 25-(OH)D3 dalam plasma mudah diukur dan merupakan indikator mudah untuk status vitamin D3. Tidak ada definisi baku untuk status vitamin D3 optimal tetapi pada umumnya disepakati bahwa kadar 25-(OH)D3 plasma di bawah 25 nM menunjukkan defisiensi karena sangat terkait dengan pembentukan rakhitis dan osteomalacia. Telah diduga bahwa kadar sebesar 50 sampai 80 nM dilperlukan untuk mengoptimalkan kesehatan tulang, khususnya pada usia tua, akan tetapi, sebuah kategori defisiensi vitamin D baru dianggap sebagai kadar vitamin D yang lebih tinggi dari yang dapat menyebabkan rakhitis atau kadar hormon parathyroid meningkat tetapi di bawah kadar yang terkait secara statistik dengan manfaat vitamin D pokok lainnya dalam penelitian-penelitian populasi. Nilai batas untuk defisiensi vitamin D sangat bervariasi dalam literatur, tergantung pada hasik studi referensi dan tidak tergantung pada adanya sebuah proses penyakit (seperti rakhitis) tetpai hanya tergantung pada risiko proses penyakit yang meningkat secara statistik (seperti kanker atau hypertesi) pada sebuah kohort individu yang memiliki kadar simpanan vitamin D sebanding.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders