Pengamatan terhadap faktor-faktor risiko untuk tuberculosis: sebuah studi kasus-kontrol di tiga negara di Afrika Barat

Abstrak

Latar belakang. Faktor-faktor yang terkait host dan lingkungan terbukti memegang peranan dalam terjadinya tuberkulosis, tapi masih sedikit penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi peranannya masing-masing di negara-negara miskin.

Metode. Sebuah studi kasus multi-senter dilakukan di Guinee, Guinea Bissau, dan Gambia, mulai dari Januari 1999 sampai Maret 2001. Kasus adalah pasien positif TB yang baru-baru dideteksi. Dua kontrol direkrut untuk masing-masing kasus, salah satunya berada satu rumah dengan kasus, dan yang lainnya dalam komunitas.

Hasil. Untuk faktor-faktor yang terkait-host, analisis univariat dengan regresi logistik kondisional terhadap 687 pasangan kasus dan kontrol rumah tangga menunjukkan bahwa TB terkait dengan jenis kelamin laki-laki, riwayat TB dalam keluarga, ketiadaan scar BCG, merokok, alkohol, anemia, infeksi HIV, dan riwayat serta pengobatan infeksi jamur. Pada sebuah model multivariabel yang berdasarkan pada 601 pasangan yang dicocokkan, ditemukan bahwa jenis kelamin pria, riwayat TB dalam keluarga, merokok, dan infeksi HIV adalah faktor risiko yang independen untuk TB. Pengamatan terhadap faktor-faktor lingkungan berdasarkan perbandingan 816 pasangan kasus/kontrol komunitas menunjukkan bahwa risiko TB terkait dengan status perkawinan tunggal, riwayat keluarga TB, keramaian rumah tangga, dan menyewa rumah. Pada sebuah model akhir yang menilai efek gabungan dari faktor host dan faktor lingkungan, TB terkait dengan jenis kelamin pria, infeksi HIV, merokok (dengan hubungan dosis-respon), riwayat asma, riwayat TB dalam keluarga, status perkawinan, keramaian rumah tangga, dan menyewa rumah.

Kesimpulan. TB merupakan penyakit multifaktor, dimana lingkungan berinteraksi dengan faktor-faktor yang terkait host. Penelitian ini memberikan informasi yang sangat bermanfaat untuk penilaian faktor host dan faktor lingkungan dari TB untuk peningkatan aktivitas pengendalian TB di negara-negara berkembang.


PENDAHULUAN
   
Perkembangan tuberkulosis (TB) pada manusia merupakan sebuah proses dua-tahap dimana orang rentan yang terpapar pada sebuah kasus TB infeksi menjadi terinfeksi dan selanjutnya mengalami penyakit ini, dengan tergantung pada berbagai faktor. Pada individu yang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, setiap kondisi yang mengubah keseimbangan dalam tubuh antara pertahanan host dan bacilli tuberculosis bisa memiliki dampak terhadap risiko untuk mengalami penyakit ini. Faktor-faktor yang telah diketahui mempengaruhi keseimbangan ini sudah lama diteliti, dan dilaporkan sebagai faktor internal dan eksternal bagi host. Akan tetapi, pada kebanyakan penelitian yang meneliti faktor-faktor risiko untuk TB, faktor-faktor risiko yang terkait-host dan faktor lingkungan biasanya diteliti secara terpisah, dengan menggunakan rancangan penelitian berbeda, sehingga tidak memungkinkan untuk meneliti efeknya masing-masing. Disamping itu, kebanyakan dari penelitian ini dilaksanakan di negara-negara maju, dan jauh dari penelitian-penelitian yang menunjukkan efek infeksi HIV, sangat sedikit yang dilakukan pada negara-negara miskin. Dengan munculnya kembali TB, yang mengenai utamanya negara-negara berkembang, diperlukan untuk menguji kontribusi faktor lingkungan dan faktor terkait-host untuk TB dan mengidentifikasi faktor-faktor yang bisa mempengaruhi perkembangan TB pada laki-laki, untuk menyesuaikan dan mengadaptasikan kebijakan pengendalian TB.
   
Untuk meneliti hal ini, kami melakukan sebuah studi kasus-kontrol multi-center di tiga negara di Afrika Barat, Gambia, Ginee Conakry, dan Guinea Bissau, mulai dari Januari 1999 sampai Maret 2001. Negara-negara ini dipilih karena memiliki bauran etnis yang hampir sama, indikator-indikator sosial ekonomi dan lingkungan geografis yang juga sama, serta beban TB epidemiologik yang sebanding untuk memungkinkan perekrutan yang sesuai. Di setiap negara, penelitian direview dan disetujui oleh Komite Etis lokal/nasional, dan izin tertulis didapatkan dari kasus dan kontrol sebelum pendaftaran.

METODE
   
Sebuah studi kasus multi-senter dilakukan di Guinee, Guinea Bissau, dan Gambia, mulai dari Januari 1999 sampai Maret 2001. Kasus adalah pasien positif TB yang baru-baru dideteksi. Dua kontrol direkrut untuk masing-masing kasus, salah satunya berada satu rumah dengan kasus, dan yang lainnya dalam komunitas.
   
Informasi dikumpulkan dari kasus dan kontrol mengenali berbagai faktor risiko yang terkait host dan yang terkait lingkungan. Ini mencakup fakor-faktor yang sebelumnya telah diidentifikasi dalam penelitian-penelitian terdahulu dan faktor-faktor yang diharapkan menjadikan rentan terhadap TB pada situasi negara berkembang. Kuisioner baku diberikan untuk mengkaji subjek dengan asisten lapangan menggunakan bahasa yang sesuai, setelah memeriksa ketepatan penerjemahan dengan pewawancara. Data dianalisis dengan menggunakan program Epi-Info dan STATA.  Analisis dilakukan terhadap data dari tiga tempat yang digabungkan, dengan menggunakan pasangan kasus indeks/kontrol rumah tangga untuk menilai efek faktor yang terkait host dan pasangan kasus indeks/kontrol komunitas untuk menilai efek faktor risiko lingkungan. Terakhir, kasus dan kontrol komunitas dibandingkan untuk menilai efek gabungan antara faktor terkait host dan faktor lingkungan.

HASIL

Selama masa penelitian, ada sebanyak 846 kasus, 702 kontrol rumahtangga, dan 828 kontrol komunitas yang direkrut di tiga negara. Berdasarkan analisis, 24 kasus TB dikeluarkan, karena TB paru positif hapusan tidak dikonfirmasikan atau karena data utama tidak tersedia. Sehingga hanya tinggal 822 kasus indeks yang memenuhi definisi kasus dimasukkan dalam analisis. Dari jumlah ini, 687 memiliki kontrol rumahtangga dan 816 memiliki kontrol komunitas, sehingga memungkinkan dilakukannya analisis berpasangan.

Pengamatan faktor-faktor yang terkait host
   
Hasil dari analisis univariat yang dilakukan terhadap 687 kasus/kontrol rumahtangga menunjukkan bahwa jenis kelamin pria ditemukan meningkatkan risiko TB di tiga negara. Status janda/cerai dan status single memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami TB dibanding yang telah menikah. Episode TB sebelumnya dalam kasus, atau diantara keluarganya, sangat meningkatkan risiko tersebut. Risiko TB juga ditemukan meningkat seiring dengan peningkatan kebiasaan merokok, dengan trend dosis-respon yang signifikan berdasarkan durasi merokok (P < 0,001), serta dengan asupan alkohol dan penggunaan narkoba. Meminum teh pada sekelompok kecil dewasa tidak terkait dengan risiko TB. Keberadaan scar BCG tampaknya melindungi dari TB. Riwayat infeksi HIV, riwayat infeksi cacing, dan  pengobatan cacing terbaru ditemukan meningkatkan risiko TB, tetapi tidak ada efek riwayat atau pengobatan asma. Terakhir, TB terkait dengan diabetes dan anemia, dengan trend linear yang signifikan untuk kadar hemoglobin yang berkurang (P < 0,001).
   
Sebuah model multivariabel kemudian dibuat, berdasarkan hasil analisis univariat. Dimasukkannya kelompok usia sebagai sebuah variabel kategori dalam model tidak merubah efek variabel lainnya, sehingga menunjukkan bahwa tidak ada efek pembaur dari usia. Variabel hemoglobin tidak dimasukkan dalam model, karena jika dimasukkan akan secara dramatis mengurangi jumlah pasangan yang akan dianalisis. Riwayat TB sebelumnya juga tidak dimasukkan dalam model karena jalur kausal dengan TB. Total 601 pasangan kasus dan kontrol tersedia untuk analisis. TB ditemukan terkait dengan jenis kelamin laki-laki, riwayat TB dalam keluarga, infeksi HIV, dan merokok, dengan efek dosis-respon yang konsisten dengan durasi merokok.

Pengamatan faktor-faktor lingkungan
   
Sebanyak 816 pasangan kasus-kontrol tersedia untuk analisis. Faktor-faktor lingkungan diamati dengan menggunakan variabel yang dikumpulkan pada tingkat rumahtangga. Risiko TB meningkat dengan meningkatnya jumlah rumahtangga dalam komunitas, dan dengan meningkatnya jumlah orang dalam rumahtangga. Lebih khusus lagi, risiko meningkat seiring dengan jumlah orang dewasa dalam rumahtangga (nilai P untuk trend linear < 0,01) walaupun TB tidak terkait dengan jumlah orang per kamar dalam rumahtangga. Risiko TB meningkat jika rumah dibangun dari dinding tanah liat dibanding dengan dinding tembok, dan jika lantainya terbuat dari tanah bukan semen, tetapi efek ini tidak signifikan secara statistik. Tidak adanya plafon rumah merupakan faktor protektif terhadap TB. Risiko TB tidak terkait dengan jumlah jendela dalam rumah. Variabel-variabel yang menilai pemanfaatan dan kesehatan dalam rumahtangga (sumber air, listrik, keberadaan kakus, dan pembuangan sampah) tidak terkait dengan TB.
   
Seperti yang diamati dengan kontrol rumahtangga, risiko TB meningkat seiring dengan meningkatnya riwayat TB dalam keluarga yang dilaporkan. Secara lebih spesifik, risiko ini meningkatka seiring dengan jumlah orang dalam rumahtangga yang memiliki TB di masa lalu (nilai P untuk trend linear < 0,001). Berdasarkan data selanjutnya yang dikumpulkan di Gambia dan Guinee Conakry, ditemukan bahwa risiko TB bahkan lebih tinggi jika kasus TB sebelumnya terjadi pada anggota keluarga dekat (ayah, ibu, putra, putri, saudara) dan diantara anggota keluarga jauh, walaupun efek ini tidak signifikan secara statistik.
   
Pada tingkat individu, risiko TB lebih tinggi pada orang yang belum menikah dibanding yang sudah menikah. Pekerja manual terampil dan petani paling berisiko untuk TB dibanding dengan pekerja manual yang tidak terampil. Tidak ada hubungan dengan agama, lamanya sekolah, dan tipe sekolah. Risiko TB tidak dipengaruhi oleh kepemilikan rumah. Tidak ada hubungan baik dengan kepemilikan item tertentu atau dengan keberadaan hewan piaraan dalam rumahtangga.
   
Sebuah model multivariat kemudian dibuat, termasuk variabel-variabel yang diinginkan yang menunjukkan sebuah hubungan yang signifikan secara statistik dengan TB pada tingkat rumahtangga dan pada tingkat individu, dengan menyesuaikan jenis kelamin dan infeksi HIV. Risiko TB ditemukan terkait dengan status perkawinan riwayat TB dalam keluarga, jumlah orang dewasa dalam keluarga, dan kepemilikan rumah oleh keluarga kasus.
Kombinasi Faktor host dan lingkungan
   
Terakhir, untuk menilai bersama efek faktor host dan lingkungan, sebuah model dibuat termasuk variabel terkait host yang ditemukan memiliki efek dalam analisis awal, dengan menggunakan pasangan kasus-kontrol komunitas. Risiko TB ditemukan lebih tinggi pada pria dibanding wanita. Diantara faktor-faktor yang terkait host, TB terkait dengan infeksi HIV. Riwayat asma tampaknya sangat melindungi dari TB dalam populasi ini. Merokok secara konsisten ditemukan meningkatkan risiko TB, dengan efek dosis-respon signifikan berdasarkan durasi merokok. Diantara faktor sosial dan lingkungan, riwayat TB dalam keluarga, status perkawinan, jumlah orang dewasa dalam keluarga, dan kepemilikan rumah tetap menjadi faktor risiko yang independen untuk TB.
   
Untuk mengevaluasi efek yang mungkin dari negara, kami menguji model multivatiat untuk mencari interaksi yang mungkin antara setiap variabel dengan negara. Tidak ada interaksi yang ditemukan untuk variabel jenis kelamin, merokok, infeksi HIV, status perkawinan, riwayat TB dalam keluarga, kepemilikan rumah, yang menunjukkan sebuah efek konsisten terhadap TB di seluruh tempat penelitian. Akan tetapi, ada interaksi antara jumlah orang dewasa dan negara, efek terhadap risiko TB lebih tinggi di Bissau dibanding di Conakry dan di Gambia. Efek riwayat asma konsisten di seluruh tempat, tetapi paling tinggi di Gambia. Terakhir, variabel sosial-ekonomi menunjukkan efek yang bervariasi berdasarkan negara, sehingga mencerminkan kompleksitas situasi, tetapi efek kepemilikan rumah konsisten di tiga negara.

Pembahasan
   
Penelitian kali ini merupakan salah satu dari penelitian pertama yang menguji faktor-faktor risiko TB secara konsisten dalam sebuah sampel berskala besar dengan rancangan multi-negara, sehingga memungkinkan pengamatan masing-masing efek dari faktor ini dan konsistensinya antar negara.
   
Dua tipe kontrol direkrut dalam penelitian. Perekrutan kontrol rumahtangga didasarkan pada asumsi bahwa efek faktor risiko terkait-kesehatan yang potensial bisa dikontrol. Sehingga diharapkan bahwa variasi risiko TB yang diamati dengan variabel tertentu benar-benar mencerminkan efek dari variabel-variabel ini untuk sebuah lingkungan tertentu.
   
Perekrutan kontrol komunitas sulit tanpa adanya kerangka-kerja pengambilan sampel (alamat jalan, kode pos, nomor telepon, sensus terbaru), kami memutuskan untuk memilih rumahtangga kontrol dengan memilih arah acak dari rumah kasus dan mengunjungi rumah ke-5 ke arah kanan. Sifat proses pengambilan sampel untuk kontrol ini berarti bahwa rumahtangga, bukan individu, dipilih dengan probabilitas yang sama. Ini dianggap cocok, karena kontrol komunitas dipilih untuk evaluasi faktor risiko lingkungan. Akan tetapi, seseorang dalam rumahtangga kecil akan memiliki probabilitas seleksi yang tinggi sebagai sebuah kontrol komunitas dibanding seseorang dalam rumahtangga yang besar. Untuk mengatasi bias potensial ini, kami mengontrol ukuran rumahtangga dalam analisis multivariat.
   
Bias pengingatan terjadi dalam studi kasus-kontrol jika pasien mengingat keterpaparan masa lalu secara berbeda dari kontrol. Dalam penelitian ini, bias pengingatan bisa mengarah pada perkiraan efek penyakit yang diperkirakan terlalu rendah (asma dan infeksi cacing), karena orang yang sakit biasanya lebih besar kemungkinannya mengingat peristiwa patologik dibanding orang yang sehat. Untuk alasan inilah, kami membatasi pertanyaan kami terhadap penyakit yang terjadi bersamaan untuk periode pengingatan singkat (1 tahun), dan membedakan antara riwayat dan pengobatan penyakit tertentu.
   
Pertimbangan lain dalam studi kasus-kontrol adalah bahwa penyakit mempengaruhi keterpaparan, sehingga hasil-hasilnya bisa menjadi tanda adanya hubungan sebab-akibat terbalik. Ini bisa terjadi pada situasi merokok, karena para pekerja kesehatan sangat menyarankan kasus-kasus TB yang baru didiagnosa untuk menghentikan kebiasaan ini. Untuk alasan inilah kami mengumpulkan informasi tentang durasi merokok, untuk membedakan riwayat merokok masa lalu dan masa kini, sehingga hubungan sebab-akibat terbalik tidak mungkin dapat menjelaskan hasil penelitian.
   
Hubungan yang diamati antara TB dengan jenis kelamin pria sesuai dengan yang telah dilaporkan di kebanyakan negara di Afrika, dimana angka yang dilaporkan lebih tinggi untuk pria dibanding wanita. Apakah banyaknya pria diantara populasi penelitian mencerminkan tidak tepatnya pelaporan dan diagnosis untuk pasien wanita ataukah memang ada perbedaan antara kedua jenis kelamin, sulit untuk ditentukan. Ada perbedaan jenis kelamin berkenaan dengan kecacatan dan dampak sosialnya, yang bisa menghasilkan perilaku pencarian kesehatan banding dan akses terhadap perawatan antara pria dan wanita. Akan tetapi, efek konsisten dari jender pria yang diamati, dengan kontrol rumahtangga dan kontrol komunitas dan dalam seluruh daerah, menunjukkan bahwa ketidakakuratan diagnosis yang berkaitan dengan jender tidak mungkin terjadi. Perlu dicatat, sebuah penelitian pertalian genome-wide yang mencari daerah-daerah genom manusia yang mengandung gen-gen kerentanan TB menunjukkan sebuah hubungan antara daerah kromosom X dan TB, dengan skor lod 1,77, yang bisa berkontribusi bagi kelebihan TB pada pria di banyak populasi.
   
Merokok menghasilkan perubahan-perubahan histologis pada saluran pernapasan bawah, termasuk inflamasi peribronchial, fibrosis, penebalan  vaskular, dan kerusakan alveoli. Ini mengarah pada perubahan fungsi epithelial, seperti aktivitas ciliary yang berkurang, pembersihan zat terhirup yang berkurang, dan vaskular serta permeabilitas epithelial yang abnormal. Pada penelitian ini, merokok merupakan sebuah faktor risiko independen untuk TB, dengan efek dosis-respon yang jelas dengan durasi merokok. Hasilnya konsisten dengan yang dilaporkan pada dua studi kasus-kontrol yang dilakukan di Spanyol dan di India, dimana sebuah hubungan yang tergantung dosis antara merokok dan TB paru-paru dilaporkan. Dengan demikian temuan kami dalam penelitian ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa perokok memiliki kerentanan yang meningkat terhadap infeksi dan perkembangan TB, paling mungkin disebabkan karena perubahan pato-fisiologi dalam paru-paru yang ditimbulkan merokok berkepanjangan. Karena merokok semakin menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara-negara miskin, khususnya pada kelompok usia yang lebih muda, hasil-hasil ini menguatkan kebutuhan untuk melakukan tindakan kesehatan masyarakat yang sesuai, mengikuti rekomendasi-rekomendasi yang terdapat dalam WHO  Framework Convention on Tobacco Control, yang dikeluarkan pada tahun 2003 oleh WHO. Hal ini juga harus dimasukkan dalam kebijakan-kebijakan program pengendalian TB dan staf pengendalian TB harus ditraining dalam memberikan nasihat kepada pasien TB dan kerabat-kerabatnya mengenai penghentian merokok.
   
Sejak awal pandemik, infeksi HIV telah muncul sebagai faktor risiko yang paling penting untuk perkembangan TB pada individu-individu yang terinfeksi M. Tuberculosis. Menurut WHO, sekitar 30% kasus TB yang muncul diantara usia 15-49 tahun di sub-Sahara Afrika terkait dengan HIV, dan peningkatan TB 10% terus menerus per tahun diproyeksikan di negara-negara yang memiliki tingkat keparahan TB tertinggi. Faktor-faktor utama yang berkontribusi bagi epidemik TB yang terkait HIV di Afrika adalah risiko reaktivasi yang tinggi dari infeksi TB laten pada orang yang terinfeksi HIV dan risiko tunggu untuk penyakit TB progresif akibat infeksi HIV, yang terkait dengan angka penyebaran TB yang tinggi dalam komunitas. Dengan demikian, penting untuk memasukkan infeksi HIV sebagai sebuah faktor risiko ketika mengidentifikasi peranan faktor-faktor lain terhadap risiko untuk mengalami TB.
   
Keberadaan scar BCG tidak terkait independen dengan perlindungan terhadap TB. Kesensitifan analisis scar sangat bervariasi, dan ukuran scar BCG telah terbukti tergantung pada jenis dan dosis vaksin, dan juga usia. Sebuah penelitian di Malawi menunjukkan bahwa scar BCG merupakan indikator status vaksin yang sangat sensitif ketika vaksin diberikan dengan baik dan diberikan selama usia 3 bulan, tetapi pada bayi yang berusia < 1 bulan, kesensitifan scar BCG berkurang menjadi <80% 4 tahun setelah vaksinasi. Menurut beberapa peneliti, kesensitifan yang rendah ini kemungkinan terkait dengan vaksinasi yang dilakukan pada kondisi pusat kesehatan non-optimal – yang kemungkinan terjadi pada tiga tempat penelitian ini, dimana vaksinasi BCG diberikan pada saat lahir atau pada saat kontak pertama dengan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa penelitian kami tidak dirancang untuk menilai efikasi BCG di tempat penelitian, tetapi data kami konsisten dengan peneliti lain yang melaporkan tidak adanya hubungan antara scar BCG dan perlindungan terhadap TB pada orang dewasa di Afrika.
   
Kami mengamati efek yang konsisten dari pengalaman terdahulu terhadap TB di rumah tangga, dan efek ini meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang mengalami TB di masa lalu. Lebih lanjut, ada beberapa bukti bahwa efek ini lebih tinggi apabila kasus TB sebelumnya berada dalam pertalian keluarga dengan kasus TB pertama, sebagaimana dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak terkait.
   
Kami menemukan bahwa risiko TB terkait dengan jumlah orang dewasa dalam rumahtangga. Data konsisten lintas tiga negara, dengan efek lebih kuat di Bissau, kemungkinan terkait dengan struktur perumahan khusus di negara tersebut, dimana semua orang dewasa tinggal di lingkungan yang sama. Fakta bahwa kami tidak menemukan hubungan antara TB dan jumlah orang per kamar, tetapi menemukan hubungan independen antara TB dan jumlah orang dewasa dalam rumahtangga kemungkinan terkait dengan mobilitas orang dalam rumahtangga, poligami, serta variabilitas perumahan dalam tempat tersebut.
   
Banyaknya penghuni dewasa dalam rumah menunjukkan meningkatnya kemungkinan untuk kontak dengan orang-orang yang mengekskresikan bacilli dalam lingkungan yang ramai, tetapi juga merupakan penanda status sosial ekonomi (SES). TB selalu terkait dengan kemiskinan. Di negara-negara maju, TB terkait dengan kondisi hidup yang buruk. Akan tetapi, beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara miskin, untuk meneliti efek faktor-faktor sosial-ekonomi terhadap TB dan hasilnya tidak konklusif; meskipun beberapa penelitian menemukan bahwa risiko TB lebih tinggi pada daerah miskin, sementara penelitian lain gagal menunjukkan adanya hubungan antara SES rendah dan TB aktif pada dewasa, atau bahkan menunjukkan hubungan yang kebalikannya.
   
SES sulit diukur, dan tidak ada kriteria standar untuk mengukurnya. Penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan di negara-negara maju untuk mengevaluasi efek kemiskinan terhadap risiko TB sangat tergantung pada definisi indeks-indeks spesifik dan pada desain metodologi yang digunakan. Kebanyakan dari penelitian ini adalah penelitian ekologi berdasarkan pada penilaian SES pada tingkat individual. Disamping itu, indikator-indikator yang digunakan di bagian utara kemungkinan tidak sesuai dengan yang di selatan, sehingga menimbulkan perbedaan sosial ekonomi dan kultural. Dalam penelitian kali ini, kami mengumpulkan informasi tentang berbagai variabel yang diduga mencerminkan SES. Beberapa dari ini menunjukkan beberapa tingkat hubungan dengan TB dalam analisis univariat, tetapi tidak memiliki efek independen terhadap risiko TB dalam analisis multivariat, ketika disesuaikan pada variabel-variabel demografi utama, dengan menunjukkan korelasi yang mungkin.
   
Subjek-subjek yang mengalami TB kemungkinan melaporkan riwayat asma dibanding kontrol komunitas. Sebuah hubungan putatif antara keterpaparan terhadap mikobakteri dengan risiko penyakit atopik yang berkurang ditunjukkan pada sebuah penelitian pada anak-anak Jepang yang memiliki respon tuberkulin positif pada awal masa hidup terkait dengan risiko asma yang berkurang pada masa kanak-kanak kelak. Ada kemungkinan bahwa keterpaparan mikobakteri mengurangi perkembangan atopi melalui penghambatan mekanisme imun Th2, yang sejalan dengan temuan-temuan epidemiologi di atas dan temuan kami tentang aktivitas Th1 yang tinggi pada kontrol rumahtangga yang terpapar.

Kesimpulan
   
Analisis gabungan yang dilakukan pada tiga negara di Afrika Barat ini menguatkan aspek multifaktorial dari penyakit TB, dengan faktor-faktor terkait-host yang berinteraksi dengan lingkungan untuk seluruh fenotip. Temuan dari penelitian ini dipresentasikan dan dibahas dengan staf NTCP di tiga negara. Ini melahirkan rekomendasi-rekomendasi untuk perbaikan pengendalian TB dengan pengidentifikasian target-target spesifik, seperti pendidikan kesehatan yang meningkat tentang TB dan faktor-faktor risikonya dan aktivitas pencarian kasus yang meningkat dalam keluarga-keluarga kasus TB.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders