PATOFISIOLOGI NYERI

DEFINISI NYERI
   
Dalam bentuknya yang paling sederhana, nyeri adalah apa yang dirasakan sakit oleh pasien. Akan tetapi, nyeri merupakan sebuah proses kompleks yang melibatkan jalur-jalur neurologi spesifik yang membawa sensasi nyeri ke sistem kesadaran, dan ke sistem-sistem neuronal dalam otak. Nyeri juga bisa dihasilkan dari lesi-lesi dalam sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Secara umum, asal usul nyeri yang disadari terdiri dari tiga jenis, yaitu: nyeri nosiseptif, neurogenik, atau psikogenik.


Nyeri nosiseptif timbul dari stimulasi reseptor nyeri jaringan permukaan atau jaringan dalam (nosireseptor) sebagai akibat dari cedera jaringan atau inflamasi.

Nyeri neurogenik timbul dari sebuah gangguan pada titik manapun mulai dari sistem penghantar aferen primer sampai pusat-pusat reseptif dalam sistem saraf pusat. Ini mencakup sebuah sub-kelompok entitas klinis dimana ada kerusakan sel saraf atau kerusakan akson yang disebabkan oleh inflamasi, trauma atau penyakit degeneratif, yang menghasilkan bentuk nyeri neurogenik yang sangat sulit dihilangkan, disebut sebagai nyeri neuropati. Contohnya adalah neuralgia postherpetik, neuropati diabetik atau nerve plexus avulsion. Apabila lesi primer berada dalam sistem saraf pusat, maka nyeri yang dihasilkan disebut sebagai nyeri sentral.

Nyeri psikogenik timbul dengan tidak adanya proses cedera yang dapat diidentifikasi. Meski demikian, nyeri ini sama dengan nyeri yang berasal dari sumber lain.
   
Penjelasan ini tidak harus menunjukkan bahwa neuraksis merupakan sebuah sistem yang berhubungan pasif. Justru neuraksis ini yang merubah struktur, fungsi dan konektivitas pada saat merespon informasi sensoris yang datang (plastisitas), dan juga reaksi pasien terhadap input sensoris.

PENDETEKSIAN PERIFER DARI NYERI
   
Stimuli buruk dideteksi dalam perifer oleh nosiseptor dan sinyal-sinyal ditransmisikan ke tulang belakang oleh serat-serat saraf aferen yang kecil (1-5 µm), tertutup myelin (A-delta) atau serat-C yang tidak tertutup myelin (-,5-1µm). Serat-serat aferen primer ini bersinapsis dalam substantia gelatinosa (lapisan Rexed 2 dan 3) dari tanduk dorsal tulang belakang. Neuron-neuron orde ke-dua kemudian melintasi cord dan terus berlanjut dalam kuadran anterolateral berlawanan, lihat Gambar 1. Nyeri yang dihasilkan oleh cedera jaringan disebut nyeri nosiseptor.
   
Serat-serat A-delta memediasi nyeri yang tajam, sementara, dan menusuk yang disebut sebagai nyeri cepat, dan reseptor-reseptornya disebut sebagai mekanoreseptor ambang-tinggi atau termoreseptor karena merespon utamanya terhadap stimuli mekanis dan panas, lihat Gambar 2.
   
Serat-C memediasi nyeri lambat yang sering ditandai sebagai nyeri luka bakar atau nyeri sakit yang berdurasi lama. Serat-C juga memediasi nyeri visceral. Terminal perifer dari serat-C telah disebut sebagai nosiseptor polimodal, karena kebanyakan merespon terhadap stimuli termal dan kimiawi, dan terkadang terhadap stimuli mekanis. Beberapa merespon terhadap stimuli dingin dan stimuli mekanik.
   
Terminal-terminal non-nosiseptor yang tertutup myelin, seperti serat Aβ (sentuhan, tekanan), Aγ (propriosepsi, yang menaik dalam kolom dorsal ipsilateral) dan serat B (otonomik), bersinapsis dalam lamina yang berdekatan dengan substantia gelatinosa dan tidak terlihat dalam proses nosiseptor sebelum kondisi abnormal tertentu muncul.
Efek cedera jaringan: “sop” inflammatory
   
Kerusakan jaringan bisa secara langsung merangsang ujung-ujung saraf melalui efek mekanis, termal, atau kimiawi terhadap membran-membran saraf. Kerusakan seperti ini juga terbentuk dalam proses urutan peristiwa yang dikenal sebagai inflamasi, lihat Gambar 2. Termasuk yang penting bagi mediasi nyeri dan inflamasi pada reseptor nyeri perifer adalah konversi asam arachidonat, melalui enzim siklo-oksigenase, menjadi postaglandin. Ini beraksi dengan menurunkan keterangasangan dari nosiseptor terhadap mediator inflammatory lainnya yang dilepaskan sebagai akibat dari cedera jaringan, menghasilkan apa yang disebut sebagai “sop inflammatory”. Zat-zat ini mencakup ion kalium dan hidrogen, 5-hokdroksitriptamin, bradykinin, zat P, thromboksan, leukotriena, faktor pertumbuhan saraf dan histamin. Aksi agen antiinflammatory non-steroid (NSAID) yang populer sebagian besar disebabkan oleh kemampuan mereka untuk menghambat aksi siklo-oksigenase sehingga juga menghambat produksi prostaglandin. Disisi lain, senyawa-senyawa seperti capsaicin, ekstrak “pembakar” dari cabe merah, menyebabkan pelepasan dan kemudian penipisan simpanan zat P, yang mengarah pada analgesia melalui sebuah mekanisme berbeda.
   
Tercakup dalam proses ini adalah sekelompok nosiseptor yang sangat sulit tereksitasi pada kondisi normal tetapi ketika dirangsang dengan inflamasi, menjadi mudah teraktivasi. Apa yang disebut sebagai “nosiseptor diam” ini dianggap sebagai tipe khusus dari kemoreseptor yang bisa dibangkitkan dengan mediator kimiawi, dan menjadi lebih terangsang terhadap stimulasi mekanis dan kemungkinan stimulasi termal. Perekrutan ini dengan cepat menyebabkan peningkatan nyeri dan sensitiftas pada daerah cedera.

TANDUK DORSAL DARI SPINAL CORD: MEKANISME “GERBANG”
   
Karena mekanisme penggerbangan dalam tanduk dorsal cukup kompleks dan pemahaman kita terus mengalami pembaharuan tentang hal ini, maka hanya penjelasan singkat yang disebutkan tentang hal ini.
   
Dalam beberapa jam terjadinya stimulus perifer yang berbahaya, sebuah zona yang memiliki kesensitifan meningkat terhadap stimuli non-noxious (allodynia) atau stimuli nyeri (hyperalgesia sekunder) mulai menyebar pada daerah yang cedera. Fenomena yang sangat penting ini terjadi sebagai dampak dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam daerah tanduk dorsal dari spinal cord.
   
Kebanyakan serat aferen primer bertemu dalam substantia gelatinosa, lapisan terluar dari tanduk dorsal, lihat Gambar 2. Modulasi sinyal nyeri terjadi disini melalui penggandaan interneuron yang memadukan input dari kedua jalur multisipatik ipsiltaeral dan perifer yang membentang dari otak tengah sampai ke substantia gelatinosa, lihat Gambar 1. Jalur ke bawah tampaknya melibatkan sistem kontrol serotonergik, noradrenergik dan cholinergik dengan reseptor-reseptor yang sesuai pada neuron-neuron tanduk dorsal. Banyak dari interneuron yang bersifat enkephalinergik dan memberikan inhibisi presynaptik dan/atau postsynaptik untuk sinyal nyeri yang datang.
   
Pembangkitan neuron aferen primer melepaskan beberapa transmitter kimia pada synapse. Zat P (yang beraksi lambat) dan glutamat (beraksi cepat) adalah yang paling penting. Glutamat yang dilepaskan dari terminal presynaptic bisa mengaktivais tipe-tipe reseptor berbeda pada dendrit neuron postsynaptik, yang paling umum adalah reseptor asam α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoxazole-propinoat (AMPA), lihat Gambar 3. Akan tetapi, pada situasi dimana frekuensi tinggi atau input aferen menghasilkan depolarisasi yang lama, maka pemblokiran normal dari reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat) yang ditimbulkan oleh magnesium dihilangkan, sehingga memungkinkan masuknya kalsium intraseluler. Ini selanjutnya mengaktivasi enzim nitrat oksida sintase untuk menghasilkan transmitter oksida nitrat. Konsentrasi yang meningkat dari transmitter ini berdifusi kembali ke neuron presynaptik dengan meningkatkan pelepasan glutamat, lebih lanjut mengaktivasi reseptor dan meningkatkan keefektifan transmisi synaptik. Potensiasi ini mengarah pada fasilitasi dan ekspansi medan-medan reseptor dengan hyperalgesia sekunder, sensitisasi sentral dan fenomena yang dikenal sebagai “wind-up”.
   
Sejalan dengan perubahan-perubahan ini, beberapa peristiwa lain dengan konsekuensi jangka panjang bisa terjadi:
Terminal dari aferen perifer yang memediasi sentuhan dan tekanan, yang normalnya bertemu dalam lapisan yang lebih dalam dari tanduk dorsal, telah terbukti masuk ke dalam daerah substantia gelatinosa dari cord setelah cedera saraf sehingga memungkinkan kontak langsung untuk terjadi antara jalur nyeri non-noxious dan nyeri potensial.
Keberadaan kadar oksida nitrat yang meningkat juga mengarah pada ekspresi oncogen tertentu, seperti c-fos, c-jun dan kemungkinan yang lainnya, dalam sel untuk menghasilkan pesan-pesan protein, melalui m-RNA, yang mampu melakukan transport aksonal dan kemungkinan memberikan “memori nyeri”.
Sensitisasi reseptor-NMDA yang lama bisa mengarah pada “eksitotoksisitas” interneuron inhibitory di dekatnya dengan dampak kematian sel, sehingga menghilangkan komponen penting dari proses yang memodulasi keparahan sinyal nyeri. Signifikansi dari aktivitas neurokimiawi ini pada tingkat tanduk dorsal, yang  bisa menandai perkembangan nyeri kronis, adalah bahwa dia mampu dimodifikasi secara farmakologi melalui pengaplikasian analgesia preemptif, yakni manipulasi terapeutik yang mencegah sentitisasi perifer dan wind-up tanduk dorsal. Ini berpotensi dicapai oleh zat-zat yang dapat memblok proses pembangkitan, seperti NSAID, anestesi lokal; meningkatkan respon inhibitory dalam cord, seperti opioid, agonis α-adrenergik (clonidin), agonis asam gamma-aminobutirat (GABA) (midazolam, baclofen), agen-agen cholinergik (neostigmin); atau memblok reseptor NMDA spinal cord, seperti ketamin (sebuah agen anestetik) atau dekstometorfan. Aplikasi terapeutik dari banyak zat ini sangat menjanjikan, tetapi masih sedang dalam tahap eksperimental.

JALUR-JALUR SENTRAL
   
Sinyal-sinyal nosiseptor yang menuju kebawah dalam saluran anterolakteral kemungkinan memanfaatkan beberapa jalur nosiseptif berbeda. Neuron-neuron sendiri bisa menjadi spesifik nosiseptor atau merespon terhadap berbagai stimuli, yakni neuron dengan range dinamik luas. Koneksi-koneksi supraspinal dari neuron-neuron transmisi-nyeri mencakup thalamic nuklei yang diketahui mewakili informasi yang harus dilakukan dengan sensasi semua jenis, dan lainnya yang terproyeksi ke daerah frontal dan limbik dari otak, lihat Gambar 1.
   
Daerah limbik dari otak adalah pusat emosi, dan informasi terkait nosisepsi diproyeksikan ke tempat ini. Ada koneksi-koneksi dari daerah limbik ke bagian lain dari korteks serebral, yang memungkinkan keparahan serta lokasi nyeri diproses pada semua daerah.
   
Tempat-tempat reseptor-opioid spesifik telah ditemukan dalam konsentrasi tinggi baik pada daerah zat abu-abu periqueduktal maupun pada daerah limbik. Endorfin dan enkephalin dianggap berfungsi sebagai opioid “alami”, atau ligan, pada tempat-tempat reseptor ini.
   
Juga ada koneksi-koneksi ke arah bawah dari korteks dan hipotalamus ke zat periaqueduktal grey, tetapi peranannya dalam pendeteksian atau modulasi impuls-impuls nosiseptor belum diketahui.

PEPTIDA-PEPTIDA OPIOID ENDOGEN
   
Peptida-peptida opioid endogen terdiri utamanya dari enkephalins, endorfin dan dynorfin. Setiap family diturunkan dari sebuah prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memiliki distribusi anatomik yang khas.
   
Enkephalin adalah pentapeptida dan mengandung urutan asam amino minimum yang diperlukan untuk aktivitas opioid. Lokalisasi serat-serat enkephalinergik telah diteliti paling ekstensif, dan sistem ini memiliki distribusi yang luas. Ada serat-serat mengandung enkephalin dalam tanduk dorsal spinal, spinal trigeminal nukleus, zat periaqueductal grey, korteks serebral dan medula oblongata serta daerah-daerah lain dalam otak. Serat-serat yang mengandung enkephalin tidak cenderung membentuk saluran-saluran panjang dan peptida-peptida ini terkandunga utamanya dalam iterneuron yang memiliki akson-akson singkat.
   
Endorphin adalah polipeptida-polipeptida yang lebih besar dibanding enkephalin, dan neuron-neuron yang mengandung beta-endorphin cenderung dibatasi pada daerah-daerah sistem saraf pusat, khususnya pituitary anterior dan intermediet, dan sebuah saluran serat panjang antara hipothalamus dan sistem limbik dan zat periaqueduktal grey pada batang otak.
   
Sistem dynorphin belum dikarakterisasi dengan baik, tetapi bisa ekstensif.

RESEPTOR-RESEPTOR OPIOID
   
Tempat-tempat pengikatan berafinitas tinggi untuk obat-obat opioid terletak dalam membran neuron di dekat synapse, keduanya secara memusat dan pada perifer. Empat reseptor berbeda ditemukan yaitu mu, kappa, sigma, dan delta, berdasarkan karakteristik pengikatannya dan kesentifan selektif terhadao opioid-opioid berbeda. Opioid dengan demikian bisa memberikan efeknya pada banyak daerah yang mencakup spinal cord. Di luar sistem saraf pusat, reseptor-reseptor opioid ditemukan banyak dalam usus sehingga bisa menjelaskan efek konstipasi dari obat-obat opioid dan keberadaannya dalam jaringan perifer menunjukkan peranan opioid dalam memodifikasi inflamasi.
   
Peptida-peptida opioid dan obat-obat opioid eksogen memiliki afinitas-afinitas reseptor berbeda dengan cara yang banyak sama dengan adrenalin, noradrenalin dan isoprenalin memiliki afinitas yang berbeda untuk alfa- dan beta-adrenoseptor. Sebagai contoh, enkephalin memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor-delta, beta-endorphin memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk reseptor-mu, dan dynorphin memiliki afinitas yang lebih tinggi utnuk reseptor-kappa. Morfin merupakan agonis reseptor kappa dan mu yang kuat dan analgesia cenderung terkait dengan reseptor-reseptor ini. Reseptor mu juga kemungkinan memediasi depresi respirasi, sedangkan disphoria atau efek psikotomimetik telah dikaitkan dengan reseptor delta, reseptor delta cenderung terdapat dalam daerah limbik otak dan dianggap terlibat dalam perubahan-perubahan perilaku afektif. Beberapa obat, seperti pentazocine, buprenorphin, memiliki aksi agonist dan antagonist terhadap reseptor. Pemberian dari obat seperti dikombinasikan dengan opiate konvensional yang lain dapat membalikkan aksi analgesik.

MEKANISME AKSI DARI OBAT OPIOID

Obat opioid menstimulasi reseptor-reseptor opioid. Walaupun mekanisme aksi dari saraf opioid pada cord masih belum jelas, bukti bahwa interneuron yang mengandung enkepalin pada superficial dorsal horn memainkan peran penting dalam modulasi rasa sakit cukup meyakinkan. Tempat aksi bisa saja presynaptik atau postsyaptik. Aksi presinaptik melibatkan peghambatan pelepasan zat P dari saraf afferent utama. Sebuah aksi postsynaptik mungkin menyebabkan hiperpolarisasi dari membran postsynaptik dengan pengurangan pada transmisi pusat.
   
Pada situasi eksperimen, injeksi itercebro-ventrikular dari beta-endorfin atau analog enkepalin menyebabkan ditemukanya antinociceptio, yaitu pengurangan sensitivitas terhadap rasa sakit. Daerah di sekelilig periaqueductal grey matter merupakan daerah yang paling sensitif dari semua bagian yang mendapat pengaruh ini, dan menggambarkan partisipasi dari sebuah peptida opioid pada sistem penghambatan spinal descending (ke arah bawah).

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders