Interaksi kromium dengan mikroorganisme dan tanaman

Abstrak

Kromium adalah logam non-esensial yang sangat toksik (beracun) bagi mikroorganisme dan tanaman. Karena penggunaannya yang luas dalam industri, kromium (Cr) telah menjadi polutan yang serius dalam setting lingkungan yang beragam. Bentuk heksavalen dari logam ini, Cr(VI), dianggap sebagai spesies yang lebih bersifat toksik dibanding bentuk Cr(III) yang kurang dapat berpindah-pindah dan relatif tidak berbahaya. Keberadaan Cr dalam lingkungan akan menyebabkan kemusnahan kecuali untuk varian mikroba dan tanaman yang mampu mentolerir kadar senyawa Cr yang tiggi. Mekanisme resistensi-Cr yang beragam ditunjukkan oleh mikroorganisme, dan kemungkinan oleh tanaman, termasuk biosorpsi, akumulasi berkurang, presipitasi, reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III), dan efluks kromat. Beberapa dari sistem ini telah diusulkan sebagai sarana bioteknologi yang potensial untuk mengatasi polusi Cr. Dalam review ini kami merangkum interaksi antara bakteri, alga, jamur dan tanaman dengan Cr dan senyawa-senyawanya.


-

Pendahuluan

Kromium merupakan sebuah logam transisi yang terletak dalam golongan VI-B tabel periodik. Walaupun unsur ini bisa ditemukan dalam beberapa bilangan oksidasi, namun bentuk yang paling stabil dan umum adalah spesies trivalen Cr(III) dan heksavalen Cr(VI), yang menunjukkan sifat-sifat kimiawi yang agak berbeda. Cr(VI), yang dianggap sebagai bentuk paling toksik dari Cr, biasanya terikat dengan oksigen sebagai ion kromat (CrO42-) atau dikromat (Cr2O72-). Berbeda dengan itu, Cr(III) dalam bentuk oksida, hidroksida atau sulfat, jauh lebih aktif berpindah-pindah dan kebanyakan terikat ke zat organik dalam tanah dan lingkungan akuatik. Cr(VI) merupakan agen pengoksidasi kuat dan tereduksi menjadi Cr(III) jika terdapat zat organik; reduksi ini berlangsung cepat pada lingkungan asam seperti tanah asam. Akan tetapi, kadar Cr(VI) yang tinggi bisa menghambat kapasitas lingkungan untuk mereduksinya menjadi Cr(III) sehingga tetap terdapat sebagai polutan. Disamping itu, Cr(III) juga bisa teroksidasi menjadi Cr(VI) jika terdapat oksigen yang berlebih, yang dirubah kembali menjadi bentuk yang lebih toksik.

Cr merupakan unsur ke-tujuh paling melimpah di bumi dan unsur ke-21 terbanyak dalam batuan kerak bumi. Kelimpahan Cr dalam kerak bumi berkisar antara 100 sampai 300 µg/g. Tanah bisa mengandung antara 5 sampai 3000 µg kromium per gram. Produksi Cr di dunia berkisar antara 107 ton per tahun; 60-70% digunakan dalam campuran-logam (alloy), termasuk stainless steel, dan 15% digunakan dalam proses industri kimia, utamanya pewarnaan dan elektroplating. Penggunaannya yang luas telah mengonversi Cr menjadi polutan yang serius terhadap udara, tanah, dan air. Konsentrasi Cr dalam air yang tidak tercemar berkisar antara 0,1 sampai 0,5 ppm dalam air tawar dan dari 0,0016 sampai 0,05 ppm dalam air laut, tetapi kadar hingga 80 ppm telah dilaporkan pada limbah pembuatan kertas.

2. Transport dan akumulasi kromium

Kromat ditransport secara aktif melintasi berbagai membran biologis baik pada spesies prokariotik maupun eukariotik. Jika sudah berada dalam sel, Cr(VI) direduksi menjadi Cr(III) kemungkinan melalui produk intermediet Cr(V) dan Cr(IV) yang tidak stabil. Berbeda dengan itu, kebanyakan sel tidak dapat ditembus oleh Cr(III) kemungkinan karena ia membentuk senyawa-senyawa tidak-terlarut air dalam larutan cair yang tidak asam.

2.1. Transport dan akumulasi kromium pada mikroba

Transport kromat melalui sistem transport sulfat pertama kali ditunjukkan pada Salmonella typhimurium dan selanjutnya pada Escherichia coli, Pseudomonas fluorescens dan Alcaligenes eutrophus. Penyerapan Cr(VI) yang tergantung energi pada sianobakter Anabaena doliolum menunjukkan perilaku dua-arah dan ketergantungan terhadap konsentrasi Cr.

Berbeda dengan logam-logam lain, yang sebagian besar membentuk spesies kation, Cr ditemukan utamanya dalam bentuk oksianion (yakni CrO42-) sehingga tidak bisa dijebak oleh komponen-komponen anion dari dinding bakteri. Akan tetapi, turunan-turunan Cr(III) anionik terikat kuat ke lipopolisakarida Salmonella, dinding sel Bacillus subtitis dan E. coli dan polimer kapsular Bacillus licheniformis.

Data tentang transport kromium pada alga masih jarang. Perbedaan tingkat akumulasi Cr pada spesies-spesies hewan dan tumbuhan telah dilaporkan: alga hijau mengandung lebih banyak Cr (serta Al dan Fe) dibanding alga coklat atau alga merah. Alga epifita (organisme yang hidup pada tanaman lain) diangga memiliki afinitas tinggi untuk polutan dari udara dan memiliki kemampaun untuk mengakumulasi loga-logam berat dari udara. Kandungan Cr dan Pb meningkat pada alga epifita Pleurococcus sp. pada tempat-tempat yang dekat dengan jalur kenderaan bermotor.

Pada jamur, Cr(VI) bisa memasuki sel melalui karier anion yang tidak spesifik, sistem permeasi, yang mana mentransport berbagai anion seperti sulfat dan fosfat. Beberapa mutan yang resisten kromat dari Neurospora crassa menunjukkan sifat transport sulfat yang sangat berkurang. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa toksisitas Cr(VI) disebabkan oleh antagonismenya yang spesifik terhadap trasport besi. Dengan menggunakan medium kultur dengan sumber sulfur berbeda, ditemukan bahwa sistem transport sulfat juga digunakan untuk penangkapan kromat pada Candida sp., dan sebagian pada Saccharomyces cerevisiae dan Candida famata.

2.2. Transport dan akumulasi kromium pada tanaman

Hasil penelitian tentang bentuk CR yang ditangkap dan diakumulasi oleh tanaman cukup berbeda-beda. Inter-konversi bentuk-bentuk Cr cukup sering pada medium tanah dan hidroponik selama eksperimen-eksperimen jangka panjang, sehingga analisis sulit dilakukan. Pada penelitian-penelitian dengan buncis (Phaseolus vulgaris L.) dan gandum (Triticum aestivum L.) tidak ada perbedaan penangkapan Cr(III) atau Cr(VI) yang dideteksi. Akan tetapi, senyawa-senyawa Cr tidak dianalisis dalam medium sehingga tidak ada informasi tentang interkonversi Cr yang disediakan. Pembentukan kompleks Cr dengan senyawa-senyawa organik terlibat dalam memfasilitasi ketersediaan Cr bagi tanaman. Sebagai contoh, tanaman gandum (Triticum vulgare) yang ditanam pada kultur hidroponik dengan CrCl3 dan asam oksalat atau glisin, mengakumulasi lebih banyak Cr dalam akarnya dibanding tanaman yang hanya terpapar terhadap Cr saja.

Bukti tentang mekanisme penyerapan Cr3+ dan CrO22- yang tidak tergantung faktor lain pada tanaman telah dilaporkan. Dengan menggunakan inhibitor-inhibitor metabolik, penurunan penyerapan CrO42- yang signifikan tetapi tidak untuk Cr3+ ditemukan pada tanaman gerst, sehingga menandakan bahwa penyerapan Cr(VI) tergantung pada energi metabolik sedangkan penyerapan Cr(III) tidak. Berbeda dengan itu, penyerapan aktif spesies Cr, yang sedikit lebih tinggi untuk Cr3+ dibanding untuk CrO42-, juga telah dilaporkan pada tanaman yang sama. Seperti pada mikroorganisme, sistem transport sulfat jelas terlibat pada penyerapan CrO42- oleh tanaman, karena sulfat menghambat total penyerapan CrO42- pada semaian gerst (sejenis gandum).

Translokasi dan akumulasi Cr didalam tanaman tergantung pada bilangan oksidasi Cr dalam medium, serta pada spesies tanaman. Pada tujuh diantara 10 spesies tanaman pangan yang dianalisis, lebih banyak Cr yang terakumulasi apabila tanaman ditanam dengan Cr(VI) dibanding dengan Cr(III). Dengan menginkubasi semaian tanaman gerst dengan 15Cr3+ atau 51CrO42-, kandungan 51Cr yang lebih tinggi ditemukan pada tunas jika diberikan sebagai CrO42-, sehingga menandakan bahwa Cr sebagian ditransport oleh xilem. CrO42- bergerak lebih cepat dalam xylem dibanding Cr3+ diduga karena Cr3+  ditahan oleh interaksi elektrostatis dengan dinding pembuluh, seperti yang terjadi untuk Ca2+. Hasil-hasil yang kontroversial akan diperoleh apabila tanaman ditanam baik dengan Cr(III) atau Cr(VI) dan hanya bentuk Cr(III) yang ditemukan dalam jaringan-jaringannya. Data-data ini menunjukkan bahwa Cr(VI) ditransformasi menjadi Cr(III) utamanya didalam sel-sel akar, meski juga pada bagian aerial dari tanaman.

Akumulasi Cr yang berbeda-beda pada organ-organ tanaman telah dilaporkan. Akar mengakumulasi 10-100 kali lebih banyak Cr dibanding tunas dan jaringan lainnya. Pada buncis, sedikitnya 0,1% dari total Cr yang berakumulasi ditemukan pada biji, sedangkan konsentraso pada akar 98% dari total penyerapan Cr. Shallari dkk, yang mengumpulkan tanaman-tanaman yang ditanam di tanah serpentin, menemukan bahwa Herniaria hirusta merupakan akumulator Cr yang tinggi. Selain itu tanaman air Eichhornia crassipes telah menunjukkan kapasitas yang tinggi untuk mengakumulasi Cr 6 mg/d DW telah dideteksi pada akar tanaman ini yang tumbuh pada 10 ppm Cr(VI). Besarnya akumulasi Cr (160-350 mg Cr/kg DW pada akar dan 1,6-2,0 mg Cr/kg DW pada tunas) diamat untuk kol kembang, sayur hijau, dan cabe, tanaman-tanaman yang diketahui sebagai spesies penyuka sulfur, tetapi tidak untuk kacang polong, stroberi, atau selada. Brassica spp. Menunjukkan kemampuan yang lebih tinggi untuk menangkap dan mengakumulasi Cr dan logam-logam berat lainnya dibanding spesies tanaman lain. Sistem transport sulfat bisa bertanggung jawab untuk penangkapan Cr yang tinggi pada tanaman-tanaman ini.

3. Toksisitas kromium

Seperti yang dibahas sebelumnya, efek biologis Cr tergantung pada bilangan oksidasinya: Cr(VI) sangat toksik terhadap mikroorganisme sedangkan Cr(III) relatif tidak berbahaya. Toksisitas Cr terkait dengan proses reduksi Cr(VI) menjadi bilangan oksidasi yang lebih rendah, tidak hanya Cr(III), dimana radikal-radikal bebas dihasilkan. Reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) telah dilaporkan pada banyak sistem biologis dimana pembentukan Cr(V) secara sementara kemungkinan besar menjadi mekanisme yang terlibat dalam toksisitas Cr. Kompleks-kompleks Cr(V) terbentuk dari Cr(VI) melalui agen pereduksi fisiologis seperti NAD(P)H, FADH2, beberapa pentosa, dan glutation. Kompleks-kompleks ini bereaksi dengan H2O2 untuk menghasilkan banyak radikal OH tanpa pembentuk O22- terkait. Radikal-radikal OH bisa memicu perubahan DNA secara langsung serta efek toksik.

Agen pereduksi kromat intraseluler lainnya seperti vitamin C dan B12, sitokrom P-450, dan rantai respirasi mitokondria. Cr(III) intraseluler bisa disita oleh gugus fosfat DNA yang mempengaruhi replikasi, transkripsi dan menyebabkan mutagenesis. Kerusakan oksidatif pada DNA dianggap sebagai dasar efek genotoksik yang dihasilkan oleh Cr. Cr(III) juga bisa bereaksi dengan gugus karboksil dan sulfihidril dari enzim yang menyebabkan perubahan struktur dan aktivitasnya. Modifikasi DNA polimerase dan aktivitas enzim lainnya bisa disebabkan oleh pergeseran ion magnesium oleh Cr(III).

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders