Bilirubin

Bilirubin dihasilkan dari katabolisme heme dalam sistem regikuloendotelium (gbr. 1). Bilirubin yang tidak berkonyugasi ini dilepaskan kedalam sirkulasi dimana ia terikat ke albumin secara reversibel tetapi ikatannya kuat. Apabila kompleks bilirubin-albumin mencapai sel hati, maka ia ditransport ke dalam hepatosit dimana ia bergabung dengan asam glukuronida dengan bantuan enzim, menghasilkan bilirubin monoglukuronida dan diglukuronida. Reaksi konyugasi dikatalisis oleh uridin difosfat glukuronosil transferase (UGT-1A1). Monoglukuronida dan diglukuronida diekskresikan kedalam empedu dan usus. Pada anak baru lahir, banyak bilirubin terkonyugasi dalam usus yang dihidrolisis kembali menjadi bilirubin tak berkonyugasi, sebuah reaksi yang dikatalisis oleh enzim beta glukuronidase yang terdapat dalam mukosa usus. Bilirubin yang tidak berkonyugasi diserap ulang kedalam aliran darah melalui sirkulasi enterohepatik, dengan menambahkan muatan biliruin ke hati yang sebelumnya mengalami tekanan berlebih. Sirkulasi enteropatik dari bilirubin ini merupakan kontributor penting bagi penyakit kuning neonatus. Sebaliknya, pada dewasa, bilirubin terkonyugasi dikurangi dengan cepat melalui kerja bakteri koloni menjadi urobilinogens, dan sangat sedikit sirkulas enterohepatik yang terjadi.


Setelah pengikatan umbilical cord, neonatus harus mengeluarkan muatan bilirubin yang sebelumnya dibersihkan melalui plasenta. Karena hiperbilirubinemia neonatal merupakan temuan yang hampir universal selama pekan postnatal pertama, maka peningkatan bilirubin serum yang sementara ini disebut sebagai penyakit-kuning fisiologis. Mekanisme-mekanisme yang bertanggung jawab untuk penyakit-kuning fisiologis dirangkum pada Tabel 1.

Konsentrasi TSB menunjukkan sebuah kombinasi efek produksi bilirubin, konyugasi, dan sirkulasi enterohepatik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses-proses ini dapat menjelaskan bilirubinemia yang terjadi pada hampir semua anak yang baru lahir. Salah satu perubahan penting dalam populasi Amerika Serikat adalah terjadinya peningkatan menyusui ASI secara dramatis pada saat anak dikeluarkan dari rumah sakit, dari 30% di tahun 1960an menjadi hampir 70% sekarang ini. Di beberapa rumah sakit, 85% atau lebih bayi menyusui dengan Asi. Banyak penelitian yang telah menemukan hubungan kuat antara menyusui ASI dan peningkatan kejadian hiperbilirubinemia neonatal. Penyakit kuning yang terkait dengan menyusui ASI dalam 2 sampai 4 hari pasca lahir disebut sebagai “penyakit-kuning menyusui” atau “penyakit kuning yang terkait menyusui”; yang muncul lebih lambat (onset pada 4 sampai 7 hari dengan penyakit kuning yang berkepanjangan) disebut sebagai “sindrom penyakit kuning susu manusia,” walaupun ada kesamaan diantara kedua entitas ini.

Hiperbilirubinemia yang bereaksi langsung (diatas usia 2 sampai 3 pekan) terjadi pada 20% hingga 30% dari semua bayi yang menyusui dan bisa berlangsung selama hingga 3 bulan pada beberapa bayi. Bayi-bayi seperti ini memiliki peningkatan kejadian sindrom Gilbert (yang didiagnosa dengan penentuan-genotip UGT-1A1 dari sampel darah perifer).

Penyakit kuning yang terkait dengan menyusui dalam beberapa hari pertama setelah kelahiran tampak terkait dengan peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin. Ini terjadi dalam beberapa hari karena sebelum susu didapatkan, bayi yang menyusui ASI mendapatkan lebih sedikit kalori, dan penurunan asupan kalori merupakan stimulus penting untuk meningkatnya sirkulasi enterohepatik.

Tabel 2 menunjukkan penyebab hiperbilirubinemia yang bereaksi langsung pada neonatus.

Penggunaan imunoglobulin Rh secara dramatis telah mengurangi kejadian eritroblastosis fetalis Rh, dan hemolisis akibat ketidakserasian ABO sejauh ini merupakan penyebab paling umum untuk penyakit hemolitik isoimun pada anak baru lahir. Pada sekitar 15% kehamilan, seorang bayi yang memiliki tipe darah A atau B memiliki ibu yang bertipe darah O. Sekitar sepertiga dari bayi seperti ini memiliki hasil positif pada uji natiglobulin langsung (DAT atau uji Coombs), yang menandakan bahwa mereka memiliki antibodi anti-A atau anti-B yang melekat ke sel-sel darah merah. Dari bayi-bayi ini, hanya 20% yang mengalami TSB puncak lebih dari 12,8 mg/dL (219 mcmol/L). Konsekuensinya, walaupun bayi yang tidak kompatibnel ABO, positif DAT sekitar dua kali lebih besar kemugnkinannya mengalami hiperbilirubinemia sedang. Meskipun demikian, penyakit hemolitik ABO bisa menyebabkan hiperbilirubinemia parah dan kernikterus.

Penyakit hemolitik ABO memiliki presentasi klinis yang sangat bervariasi. Kebanyakan bayi yang terkena mengalami peningkatan konsentrasi TSB secara cepat dalam 24 jam pertama, tetapi TSB selanjutnya menurun, pada banyak bayi, seringkali tanpa adanya intervensi. Penyakit hemolitik ABO merupakan sebuah penyebab yang relatif umum untuk hiperbilirubinemia dini (sebelum bayi meninggalkan rumah sakit), tetapi merupakan penyebab yang relatif langka untuk hiperbilirubinemia pada bayi-bayi yang telah dikeluarkan dari rumah sakit dan dirujuk ulang. Kriteria untuk mendiagnosa penyakit hemolitik ABO sebagai penyebab hiperbilirubinemia nenonatal ditunjukkan pada Tabel 3. Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa bayi-bayi yang negatif DAT, inkompatibel ABO yang juga memiliki sindrom Golbert berisiko untuk hiperbilirubinemia. Ini bisa menjelaskan mengapa terkadang bayi inkompatibel ABO yang memiliki DAT negatif mengalami hiperbilirubinemia dini.

Defisiensi G-6PD merupakan cacat enzim sel darah merah yang signifikan secara klinis dan paling umum, yang mengenai hingga 4.500.000 anak baru lahir di seluruh dunia setiap tahun. Walaupun diketahui prevalensinya di populasi Mediteranian, Timur Tengah, Peninsula Arabia, Asia Tenggara dan Afrika, G-6PD telah ditransfor oleh imigrasi dan perkawinan silang menjadi sebuah kondisi umum. Meskipun demikian, kebanyakan anak di Amerika Serikat tidak menganggap defisiensi G-6PD ketika berhadapan dengan bayi yang mengalami penyakit kuning. Kemungkinan ini harus dipertimbangkan khususnya ketika berhadapan dengan bayi-bayi Amerika-Afrika. Walaupun para neonatus Amerika Afrika, sebagai kelompok, cenderung memiliki konsentrasi TSB yang lebih rendah dibanding neonatus kaukasoid, namun defisiensi G-6PD ditemukan pada 11% hingga 13% neonatus Amerika Afrika. Ini berarti 32.000 sampai 39.000 neonatus laki-laki hemizigot defisien G-6PD keturunan Amerika-Afrika dilahirkan setiap tahunnya di Amerika Serikat. Sebanyak 30% bayi di Amerika Serikat yang mengalami kernikterus telah ditemukan kekurangan G-6PD.

Gen G-6PD terletak pada kromosom X, dan laki-laki hemizigot memiliki defisiensi enzim lengkap, walaupun heterozigot perempuan juga berisiko untuk hiperbilirubinemia. Neonatus yang kekurangan G-6PD memiliki peningkatan pergantian heme, walaupun bukti hemolisis sering tidak ditemukan. Disamping itu, bayi yang terkena memiliki gangguan kemampuan untuk mengkonyugasi bilirubin.

Pada kasus yang disebutkan di awal artikel ini, bayi mengalami hiperbilirubinemia ekstrim dan tanda-tanda klasik dari encephalopati bilirubin akut (Tabel 4). Dia juga mengalami ciri-ciri atipikal dari encephalopati bilirubin kronis atau kernikterus (Tabel 5).

Bayi dalam laporan kasus tersebut memiliki banyak faktor dapat meningkatkan risiko hiperbilirubinemia parah (Tabel 6). Rekomendasi kunci dalam panduan praktis klinis American Academy of Pediatrics (AAP) (Tabel 7) adalah bahwa setiap bayi dinilai untuk risiko hiperbilirubinemia parah selanjutnya sebelum dikeluarkan dari rumah sakit, khususnya bayi yang dikeluarkan sebelum usia 72 jam. Bayi yang dilaporkan dalam kasus ini memiliki usia kehamilan 36 pekan, berjenis kelamin pria yang menyususi ASI dan dikeluarkan pada usia 30 jam. Dua dari faktor risiko yang telah terbukti berulang-ulang sangat penting adalah usia kehamilan yang kurang dari 38 pekan dan menyusui ASI, khususnya perawatan perawatan tidak berlangsung dengan baik. Hampir setiap kasus kernikterus yang belakangan dilaporkan telah terjadi pada bayi yang menyusui ASI, dan bayi dengan usia kehamilan 35 hingga 36 pekan sekitar 13 kali lebih besar kemungkinannya dibanding usia kehamilan 40 pekan untuk dirujuk ulang akibat penyakit kuning yang parah. Disamping itu, ketidakmatangan sistem pengkonyugasi hati pada neonatus yang lahir prematur menjadikan jauh lebih sulit bagi bayi untuk membersihkan bilirubin secara efektif. Sehingga, tidak mengherankan bahwa mereka menjadi lebih menderita penyakit kuning.

Disamping itu, TSB bayi adalah 7,5 mg/dL (128,3 mcmol/L) pada umur 25 jam, sebuah nilai yang sangat mendekati persentil ke-95 (Gbr.2). Pengukuran TSB lainnya harus sudah didapatkan dalam 48 jam dan sebuah kunjungan follow-up sudah seharusnya dijadwalkan tidak kurang dari 48 jam setelah dikeluarkan dari rumah sakit. Disamping itu, apabila kantor dokter diberitahu bahwa bayi tidak dirawat dengan baik, tidur nyenyak, dan mengalami sakit kuning, maka bayi seharusnya ditemui dengan cepat. Ibunya melaporkan stadium pertama encephalopati bilirubinemia akut (Tabel 4).

Jika bayi pada kasus ini telah ditemui dalam 48 jam setelah dikeluarkan dari rumah sakit (sebelum usia 4 hari), maka penyakit kuning yang signifikan sudah pasti akan ditemukan, bilirubin akan diukur, dan dia akan diobati dengan fototerapi, sehingga mencegah timbulnya outcome yang berbahaya. AAP sekarang merekomendasikan agar setiap bayi yang dikeluarkan pada usia kelahiran kurang dari 72 jam harus ditemui dalam 2 hari setelah dikeluarkan. Bayi yang memiliki banyak faktor risiko mungkin perlu ditemui lebih awal (dalam 24 jam setelah dikeluarkan dari rumah sakit), yang akan cocok untuk bayi ini. Follow-up seperti ini sangat penting untuk melindungi bayi dari hiperbilirubinemia parah dan kernikterus. Meskipun demikian, pertimbangan klinis diperlukan pada saat dikeluarkan dari rumah sakit. Jika bayi dengan usia kehamilan 41 pekan, menyusui dengan susu formula, dan mengalami penyakit kuning dikeluarkan dari rumah sakit dan tidak memiliki faktor risiko yang signifikan (Tabel 6), maka kunjungan follow-up setelah 3 atau 4 haru dapat diterima. Ketiadaan faktor risiko dan keputusan untuk follow-up selanjutnya harus dicatat dalam kartu pasien. Jika disisi lain, seorang neonatus dengan usia kehamilan 36 pekan dan menyusui dengan  ASI dikeluarkan pada hari Jumat, maka dia harus ditemui tidak lewat dari hari Ahad.

Jika follow-up tidak bisa dipastikan dan terdapat risiko hiperbilirubinemia parah yang signifikan, maka dokter mungkin perlu menunda waktu keluar dari rumah sakit. Jika follow-up akhir pekan sulit atau tidak mungkin, opsi yang masuk akal adalah membawa bayi ke laboratorium untuk pengukuran bilirubin (atau pengukuran bilirubin transkutaneous).

Konsentrasi TSB (atau bilirubin transkutaneous [TcB]) umumnya mencapai puncak pada hari ke-tiga sampai ke-lima setelah kelahiran (Gbr. 2 dan Gbr. 1-E). Di masa lalu, ketika neonatus tetap dalam rumah sakit selama 3 atau 4 hari, bayi yang mengalami penyakit kuning bisa diidentifikasi sebelum dikeluarkan dan dievaluasi dan diobati dengan tepat. Sekarang ini, karena hampir semua bayi yang dilahirkan lewat vaginal meninggalkan rumah sakit sebelum berumur 48 jam, maka konsentrasi bilirubin mencapai puncak setelah dikeluarkan. Karena TSB belum mencapai puncak pada saat dikeluarkan, APP memberikan panduan yang ketat untuk follow-up semua bayi yang dikeluarkan sebelum usia 72 jam: Mereka harus ditemui kembali dalam 2 hari setelah dikeluarkan.

Disamping itu, penting agar semua nilai TSB diinterpretasi dari segi usia bayi dalam jam dan bukan dalam hari. Walaupun dokter sering berbicara tentang konsentrasi TSB pada hari 2 atau 3, Gambar 2 menunjukkan bagaimana menyesatkannya proses yang diduga ini. Nilai TSB sebesar 8 mg/dL (136,8 mcmol/L) pada 24,1 jam berada diatas persentil ke-95 dan memerlukan evaluasi dan follow-up ketat, sedangkan level yang sama pada 47,9 jam berada pada zona risiko rendah (Gbr. 2) dan kemungkinan tidak memerlukan kekhawatiran. Meski demikian, kedua nilai ini terjadi pada hari 2 pasca melahirkan. Pada kasus ini, nilai TSB pada 25 jam adalah 7,5 mg/dL (128,3 mcmol/L), sangat mendekati persentil ke-95. Pertimbangan harus diberikan untuk pppenyelidikan tambahan dalam mencoba untuk menentukan mengapa bayi mengalami penyakit kuning, sebuah TSB selanjutnya harus diukur dalam 24 jam, dan follow-up harus dijadwalkan tidak lebih lambat dari 48 jam setelah dikeluarkan dari rumah sakit.

Pada beberapa bayi, penyebab hiperbilirubinemia muncul dari riwayat dan temuan pemeriksaan fisik. Sebagai contoh, penyakit kuning pada bayui yang memar parah tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, tidak juga diperlukan untuk menyelidiki mengapa seorang bayi 5-tahun yang menyusui ASI memiliki nilai TSB 15 mg/dL (256,5 mcmol/L). Disisi lain, jika konsentrasi TSB diatas persentil ke-95, atau meningkat dengan cepat dan melewati beberapa persentil, dan ini tidak bisa dijelaskan dengan hasil pemeriksaan riwayat dan pemeriksaan fisik, maka uji lab yang pasti harus dilakukan (Tabel 8).

Sebelum dikeluarkan, setiap anak-baru-lahir perlu diperiksa untuk mengetahui risiko hiperbilirubinemia parah selanjutnya. Ini bisa dicapai dengan menggunakan kriteria klinis (Tabel 6) atau dengan mengukur konsentrasi TSB atau TcB sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Pada kasus yang dilaporkan, bayi memiliki beberapa faktor risiko untuk hiperbilirubinemia, dan TSB yang diukur ini pada 26 jam berada pada zona risiko sedang dan tinggi (Gbr. 2), sehingga dia berisiko signifikan untuk mengalami hiperbilirubinemia selanjutnya.

Cara lazim untuk pengidentifikasian penyakit-kuning tergantung pada pemutihan kulit dengan tekanan digital untuk menunjukkan warna mendasar dari kulit dan jaringan subkutaneous. Walaupun ini tetap menjadi tanda klinis yang penting, namun ada kekurangannya dan bisa tidak terpercaya, khusus pada bayi yang memiliki pigmen kulit yang gelap. Perbedaan antara nilai TSB 5 mg/dL dan 8 mg/dL tidak bisa diidentifikasi oleh mata, tetapi ini mewakili perbdaan antara persentil ke-50 dan ke-95 pada 24 jam (Gbr. 2). Kesalahan potensial yang terkait dengan diagnosis dengan penglihatan telah menyebabkan beberapa ahli merekomendasikan agar semua neonatus diukur TSB atau TcB nya, sebelum dikeluarkan.

Peranti elektronik telah tersedia di Amerika Serikat untuk mengukur TcB. Peranti ini memberikan perkiraan konsentrasi TSB, dan korelasi dekat telah ditemukan antara pengukuran TcB dan TSB pada populasi-populasi ras berbeda.

Pengukuran TcB bukan merupakan pengganti untuk pengukuran TSB, tetapi TcB bisa sangat membantu. Ketika digunakan sebagai sebuah alat screening, pengukuran TcB juga bisa membantu menjawab pertanyaan “Haruskah saya khawatir dengan bayi ini?” dan “Haruskah saya mendapatkan TSB pada bayi ini?” Karena tujuannya adalah untuk menghindari kesalahan penilaian nilai TSB yang meningkat, maka nilai untuk pengukuran TcB (berdasarkan usia bayi dalam dalam jam dan faktor risiko lain) selalu mendasari nilai TSB yang akan diambil.

Hiperbilirubinemia bisa diobati melalui: 1) transfusi pertukaran untuk menghilangkan bilirubin secara mekanik; 2) fototerapi untuk mengkonversi bilirubin menjadi produk-produk yang bisa melewati sistem konyugasi hati dan diekskresikan dalam empedu atau dalam ruin tanpa metabolisme lebih lanjut; dan 3) agen-agen farmakologi untuk mengganggu degradasi heme dan produk bilirurin, mempercepat jalur-jalur metabolik normal untuk kemunculan bilirubin, atau menghambat sirkulasi enterohepatik bilirubin. Panduan-panduan untuk penggunaan fototerapi dan transfusi pertukaran pada bayi yang lahir normal dan bayi prematur diberikan pada Gbr. 3 dan 4 dan Tabel 9.

Fototerapi bekerja dengan menginfusi foton-foton berenergi sama ke molekul sebuah obat. Foton-foton ini diserap oleh molekul-molekul bilirubin dalam kulit dan jaringan subkutaneous, tepat ketika molekul obat terikat ke sebuah reseptor. Bilirubin selanjutnya mengalami reaksi fotokimia untuk membentuk isomer-isomer terekskresikan dan produk penguraian yang bisa melewati sistem konyugasi hatu dan diekskresikan tanpa metabolisme lebih lanjut. Beberapa produk foto juga diekskresikan dalam urin.

Fototerapi menunjukkan efek dosis-respons yang jelas, dan beberapa variabel mempengaruhi bagaimana cahaya bekerja untuk mengurangi kadar TSB. Karena sifat-sifat optik dari bilirubin dan kulit, cahaya yang paling efektif adalah cahaya yang memiliki panjang-gelombang yang dominan dalam spektrum biru-hijau (425 sampai 490 nm). Pada panjang gelombang ini, cahaya menembus kulit dengan baik dan diserap maksimum oleh bilirubin. Fototerapi digunakan pada awalnya pada bayi berbobot-lahir-rendah yang lahir dengan usia kehamilan normal utamanya untuk mencegah    peningkatan konsentrasi bilirubin secara perlahan agar tidak mencapai kadar yang mungkin memerlukan transfusi pertukaran. Sekarang ini, fototerapi sering digunakan pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan normal yang telah meninggalkan rumah sakit dan dirujuk ulang pada hari 4 sampai 7 untuk pengobatan konsentrasi TSB 20 mg/dL (342 mcmolŁ) atau lebih. Bayi seperti ini memerlukan fototerapi dosis penuh untuk mengurangi konsentrasi bilirubin secepat mungkin. Fototerapi intensif menandakan penggunaan radiasi dalam berkas 430 sampai 490 nm dengan sekurang-kurangnya 30 mcW/cm2 per nanometer yang disalurkan ke sebanyak mungkin area permukaan bayi.

Peningkatan area permukaan yang terpapar terhadap fototerapi meningkatkan efiikasi terapi secara signifikan. Ini dicapai dengan menempatkan alas serat-optik atau matras dioda pengemisi cahaya LED) dibawah bayi atau dengan menggunakan peranti fototerapi yang menyalurkan fototerapi dari tabung-tabung fluoresen biru baik di atas atau di bawah bayi. Apabila fototerapi intensif diterapkan dengan baik, 30% sampai 40% pengurangan konsentrasi bilirubin bisa diharapkan dalam 24 jam pertama, dengan penurunan paling signifikan yang terjadi dalam 4 sampai 6 jam pertama.

Agen-agen farmakologi seperti  fenobarbuital atau asam urosdeoksikolat meningkatkan aliran empedu dan bisa membantu untuk menurunkan konsentrasi bilirubin. Mesoporpirin timah menghambat heme oksigenase, dan dengan demikian, menghambat produksi bilirubin (Gbr. 1). Sampai sekarang, lebih dari 500 bayi-baru-lahir telah mendapatkan mesoporphyrin timah dalam trial-trial kontrol, tetapi obat ini masih menunggu persetujuan FDA USA. Obat-obat lain telah digunakan untuk menghambat sirkulasi enterohepatik bilirubin. Sebuah trial terbaru menunjukkan bahwa agen-agen yang menghambat beta glukuronidase bisa mengurangi kadar bilirubin pada neonatus yang menyusui dengan ASI. Untuk bayi yang memiliki penyakit hemolitik isoimun, pemberian imunoglobulin intravena secara signifikan mengurangi kebutuhan akan transfusi pertukaran.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Memutihkan Kulit Wajah

Relationship between glycemic index and weight loss

Cheerleaders are associated with many diet disorders